Share

Bab 6. Mantan Istri Suamiku

Author: Arira
last update Last Updated: 2023-05-22 13:02:24

Aku menceritakan kejadian tadi siang pada bang Arman. Kejadian saat Elisa datang dengan membawa satu kardigan tanpa meminta izin padanya.

Wajah bang Arman langsung berubah masam setelah mendengar penuturanku.

"Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Abang sebelum memberinya kardigan itu?" tanya bang Arman. Ia seakan menyalahkan aku atas perbuatan yang dilakukan putrinya.

"Aku tidak tahu, bang. Kata Rindi, dia memang biasa melakukannya," aku mencoba membela diri.

"Ya, meskipun dia biasa melakukannya, bukan berarti kamu membiarkannya, dek! Kita bisa rugi jika dia terus melakukan itu!" tukas bang Arman menyalahkan aku.

Keningku bertaut menatapnya. Aku jadi tidak mengerti. Kenapa sekarang seakan-akan aku yang mengambil kardigan itu?

"Bang, bukan aku yang mengambil kardigan itu. Tapi anak Abang!" ucapku berusaha selembut mungkin untuk meredakan emosinya.

"Abang tahu. Setidaknya kamu bisa mencegahnya. Jangan cuma diam seperti patung!" suara bang Arman mulai meninggi.

Aku terperangah dan tidak menyangka jika dia bisa membentakku seperti ini. Itu pun atas kesalahan yang sama sekali tidak aku lakukan.

Aku akhirnya memilih untuk diam agar perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya ini bisa berakhir. Bang Arman masih bersungut-sungut.

Aku heran, apakah bang Arman memang sepelit itu, atau memang dia sudah bosan melihat sikap anaknya yang lancang mengambil barang toko? Tapi, bukankah ini bukan salahku? Aku bahkan tidak mengenal anak-anaknya.

Bang Arman masuk ke kamar dengan wajah kesal. Aku hanya bisa menghela nafas berat. Ini pertama kali aku melihat wajah marahnya. Biasanya dia selalu tersenyum dan bersikap lembut padaku.

Aku sudah menyelesaikan masak makan malam. Aku berjalan ke kamar untuk mengajak bang Arman makan. Ia terlihat berbaring di ranjang sambil memainkan handphonenya.

"Bang, makan malam sudah siap. Abang mau makan sekarang?" tanyaku.

Bang Arman tidak menjawab pertanyaanku dengan kata. Dia hanya mengangguk dan berjalan keluar menuju meja makan. Dia masih mengacuhkan ku.

Aku menyendokkan nasi ke piringnya.

"Abang mau ikan goreng?" tanyaku.

Bang Arman mengangguk. Aku memasukkan sepotong ikan goreng ke piringnya. Aku juga memasukkan sesendok sayur bayam.

"Minta sambalnya, dek!" pintanya. Aku menoleh padanya. Dengan tersenyum lega aku menyendokkan sambal ke piringnya.

"Ini, bang!" ucapku lembut seraya menyerahkan piring yang berisi nasi dan lauk pauk kepadanya. Ia pun menerimanya.

"Terima kasih, dek!" ucapnya.

Aku sangat senang. Bang Arman sudah mau bicara denganku. Ternyata, bang Arman tidak bisa lama-lama merajuk dan marah padaku.

"Bang, aku minta maaf karena tadi aku tidak mencegah Elisa mengambil barang toko," ucapku setelah bang Arman menyelesaikan makannya meskipun kami sama-sama masih duduk di meja makan.

Bang Arman diam. Hatiku berdebar kencang. Apakah dia masih marah?

Bang Arman menghela nafas berat. "Iya, dek. Sebenarnya Abang juga tahu, jika ini tidak sepenuhnya salah adek. Tapi Abang sedikit kecewa, karena adek tidak bisa bersikap tegas pada Elisa. Ya, meskipun Elisa tidak terlahir dari rahim adek, dia tetap anak adek. Adek berhak mengajarinya sopan santun," tutur bang Arman.

"Iya, bang. Aku mengerti. Lain kali aku akan bersikap lebih tegas padanya," ucapku berusaha mengalah. Karena bersikeras pada suami yang keras kepala, memang tidak ada gunanya.

"Dek, kita sudah menikah. Berarti harta Abang harta adek juga. Jadi, sudah kewajiban adek untuk menjaganya dari orang lain," ucap bang Arman lagi.

Orang lain? bukankah Elisa itu anak kandungnya sendiri. Kenapa dia mengatakan orang lain? Aku menatap bingung padanya. Namun aku tidak berani membantahnya lagi.

Aku cuma diam.

"Dek, karena kedisiplinan Abang mengatur keuangan lah yang membuat Abang bisa memiliki dua toko di Tanah Abang. Jika Abang boros dan tidak tegas, pastilah sudah lama Abang bangkrut," bang Arman melanjutkan ceritanya.

Aku hanya menyimak saja. Biarlah bang Arman bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya dari hanya seorang pedagang kaki lima hingga menjadi pemilik dua toko di Tanah Abang. Itu lebih baik dari pada dia mendiamkan aku.

***

Masalah Elisa sudah berakhir dengan permintaan maaf ku. Meskipun aku sendiri bingung, dimana letak salahku. Aku hanya berharap rumah tangga kami berjalan lancar tanpa adanya pertengkaran berlarut-larut.

Namun, masalah kembali muncul. Kali ini lebih besar. Ini masih tentang Elisa. Ia kembali datang ke toko ketika bang Arman tidak berada di tempat. Seakan ia sengaja melakukan itu. Kali ini dia juga membawa ibunya. Wanita dengan dandanan menor dan memiliki rambut yang di rebonding. Ia menatapku dengan sinis. Setelah itu mengacuhkan ku.

Aku berbisik pada Rindi. "Rin, itu mantan istri bang Arman?" tanyaku.

"Iya, kak. Tengoklah! Dia pasti ke sini mau merampok barang-barang toko," kata Rindi kesal. Namun Rindi tidak bisa berbuat apa-apa, dia sadar jika dia hanya karyawan toko yang di gaji bang Arman. Tapi, aku istri bang Arman. Tentu aku berhak melarang mereka, pikirku. Apalagi tempo hari bang Arman marah padaku karena Elisa mengambil barang toko tanpa seizinnya.

Aku melihat saja, saat ibu dan anak itu memilih-milih barang di toko. Mereka tertawa-tawa seraya berbisik-bisik sambil menatap sinis padaku.

Ya, aku memang tersinggung dan merasa tidak nyaman. Namun aku harus bersabar.

"Rindi, mana kantongnya?" tanya mantan istri bang Arman. "Bungkusin, dong!"

Rindi tampak kebingungan. Ia menatap padaku.

"Coba dihitung dulu, Rin!" perintahku.

Ibu dan anak itu menatapku dengan mata terbelalak. Dengan langkah lebar, mereka datang menghampiriku. Wajah mereka memerah menandakan betapa marahnya mereka padaku.

"Eh, perempuan kampung! kamu tahu siapa aku? Hah?!" Mantan istri bang Arman melotot menatapku seraya berkacak pinggang.

Aku terkejut. Betapa kasarnya kata-kata yang keluar dari mulut wanita kota ini, pikirku. Aku menarik nafas panjang berusaha untuk bersikap tenang.

"Maaf, Bu. Saya memang tidak mengenal ibu. Ibu siapa, ya?" tanyaku tanpa terpancing oleh sikap kasarnya.

Mata wanita itu semakin melotot menatapku. Nafasnya sudah memburu.

"Dasar wanita g*bl*k!!" makinya padaku.

Aku kembali terkejut. Aku geleng-geleng kepala.

"Eh, dengar baik-baik! Aku ini ibu Elisa, anak suami kamu! Pemilik toko ini. Jadi, aku dan anakku berhak mengambil apa saja di toko ini. Ngerti kamu?!" Matanya mendelik menatapku. Seandainya aku tidak mempersiapkan diri, pastilah aku menangis saat ini karena dipermalukan. Apalagi banyak yang melihat keributan yang dibuatnya.

"Oh, jadi ibu mantan istri suami aku?!" Aku tersenyum. "Sekarang, ibu yang dengar aku. Aku saja yang jadi istrinya bang Arman, tidak merasa berhak mengambil barang toko seenak hatiku saja. Apalagi ibu yang hanya seorang mantan istri!" ucapku tenang tapi langsung mengena ke sasarannya. Ini terbukti dengan wajahnya yang merah padam. Apalagi banyak pengunjung yang mengikuti pertengkaran kami, malah mencibir padanya.

"Idih, mantan istri saja, songongnya minta ampun. Pantas saja dulu di cerai!" komentar seorang pengunjung. Meski ia berbisik dengan temannya tapi cukup jelas tertangkap di telinga kami.

Wajah mantan istri bang Arman semakin memerah. Ia mempelototi para pengunjung yang melihatnya.

"Apa kalian lihat-lihat?! Kalian pikir ini sinetron?! Hah?! Pergi sana! Bubar! Bubar!" teriaknya memaki orang-orang yang menontonnya.

Para pengunjung malah meneriakinya. Ia semakin berwajah masam. Dengan geram ia menarik tangan putrinya dan keluar dari toko.

"Hei, jangan lupa bajunya di kembalikan, Bu!" teriakku.

Ia menoleh dan menatap bengis padaku. Kemudian melempar baju-baju yang tadi dipilihnya. Para pengunjung kembali meneriaki pasangan ibu dan anak itu. Mereka kemudian berlari terbirit-birit. Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Sabar ya, mbak!" Seorang pengunjung menghiburku.

Aku mengangguk. "Terima kasih, Bu!" ucapku tulus seraya tersenyum ramah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 56 POV Elisa

    Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 55 POV Hani

    Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 54 Kembali ke rumah bang Arman

    Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 53 Haruskah aku memberitahunya?

    Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 52 Yuni hamil

    Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m

  • Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua   Bab 51 Yun, bercerailah dari Arman!

    Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status