Pagi sudah menjelang, gorden jendela sudah dibuka oleh suamiku, dia sendiri terlihat sedang duduk menikmati sarapannya di balkon kamar kami.
Kusibak selimut masih dengan sisa perasaan kesal tadi malam karena dia ... ah, sudahlah. Perlahan kugeser pintu kaca dan hendak menyapanya tapi Mas Bendi terlihat menelpon seseorang di sana. "Gue curiga, sama dia yang ada di penjara dan sudah menyuruh orang untuk menghancurkan pernikahan gue," ungkapnya sambil menghisap sebatang rokok. "Iya ... walaupun tidak mungkin, tapi bisa jadi kan? keluarga tante Sakinah sudah bermusuhan lama dan mereka saling menjerumuskan sampai ke titik ini. Gua nggak mau, gua dan istri gua terus menerus terseret, sampai-sampai Imelda gak akan merasa aman." "Hah, Kolonel William? Siapa dia? .... Oh hakim itu? ada apa dia? hah, anaknya?" Bendi terlihat kaget. Aku makin makin tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Bendi tentang mama dan beberapa orang yang pernah menjadi musuh mama. Apakah kini mereka kembali untuk merongrong keluarga kami. Tapi kenapa? Apa permusuhan itu tidak akan ada habisnya? "Mas ...." Aku mencoba memanggil suamiku, dia tersentak dan membalikkan badan lalu buru-buru mematikan ponselnya. "Oh, Sayang, kamu udah bangun?" "Iya, Mas. Kamu lagi ngomong sama siapa?" "Kawanku, Ridho, Dia menanyakan tentang pernikahan kita dan meminta maaf bahwa tidak bisa datang." "Tapi, tadi aku sempat mendengar kamu membicarakan tentang mama dan beberapa orang ...." "Oh, itu, enggak juga kok, hanya bertanya tanya biasa saja. Jangan dipikirkan," jawabnya sambil meraih pinggangku, mendudukkanku di pangkuannya dan mengecup pipiku dengan mesra. "Kenapa Mas nggak cerita sih? Sejak kemarin aku bingung dengan yang terjadi, Apa yang membuat Mas terlambat datang ke pesta dan sampai babak belur seperti itu, siapa pelakunya?" "Bisnis Yang kujalani ini adalah bisnis yang berat Imelda, teman bisa menjadi musuh dan musuh bisa menjadi teman, kemanapun aku berjalan maut selalu mengintai, jadi mau tidak mau aku harus menghadapi semua itu." "Lantas, kenapa masih dilanjutkan Mas?" tanyaku sambil mendesah kesal. "Karena banyak orang yang menggantungkan hidup denganku, anak buah, ibu-ibu janda dan mereka yang mengadu nasib di lapak kecil mereka, mereka terancam digusur sepanjang waktu, jika aku tidak memberi mereka perlindungan keamanan." "Lalu apa gunanya polisi dan pemerintah Mas?" "Kau tahu negeri ini adalah negeri para pecundang, Kamu lihat sendiri apa yang terjadi pada ibumu dimana kita tidak bisa mengandalkan hukum. Karena hukum bisa dibeli, dengan intrik dan uang." Mendengar itu rasanya tubuh ini merinding tidak karuan, Tak kusangka dibalik aksi yang mungkin disebut jahat oleh beberapa orang dia ternyata mengorbankan dirinya untuk kepentingan banyak orang. "Lalu apa yang akan kau lakukan seterusnya Mas? Apakah aman kita hidup seperti ini?" "Sudah kukatakan dari dari awal bahwa seperti inilah aku dengan kehidupanku, jangan takut karena aku akan melindungimu sekuat yang aku bisa." Dia kembali mengecup pipi dan menyuapiku sepotong roti. ** Kulihat suamiku sudah masuk ke kamar mandi dan terdengar bunyi di sana, kuambil ponselku menghubungi Mama, dan tak lama kemudian suara wanita yang aku cintai itu terdengar dari seberang sana. "Halo, Sayang... gimana kabarmu hari ini? bagaimana dengan malam tadi, apakah lancar?" "Lupakan saja, Ma. Aku ingin bertanya apakah orang-orang yang pernah memusuhi Mama masih mengganggu?" "Hah ...?" Mama terdengar heran dari seberang sana. "Ma, aku dengar Mas Bendi berbicara dengan temannya dan membicarakan tentang orang-orang yang kembali mengancam dan meneror, mereka adalah orang-orang yang pernah berhubungan dengan Mama." "Sungguhkah ...?" tanyanya tertahan. "Kurang jelas sih, tapi mendengarnya saja sudah membuatku resah." "Jangan begitu khawatir Nak. Selagi mereka tidak bisa menyentuh kalian." "Tidak bisa menyentuh bagaimana Ma, lantas Siapa yang sudah membuat Mas Bendi babak belur kemarin?" "Apakah itu mereka?" "Tidak tahu, tapi Mas Bendi terdengar membahasnya," jawabku galau. "Tenangkan dirimu, Sayang, kalau kalian sudah kembali ke rumah, maka, Mama akan menemui Bendi," jawabnya berusaha menenangkan. "Mama jadi akan menemui Bendi dan menanyakan segalanya?" "Iya, pasti." Pintu kamar mandi tiba-tiba dibuka dan aku buru-buru mengucapkan pamit kepada mama dan kembali beralih kepada suamiku. "Ngomong sama siapa?" "Mama," jawabku menyodorkan pakaian untuknya. "Apa ... kau sedang memberi tahu apa yang terjadi?" tanyanya sambil mengangkat alis sebelah. "Ti-tidak, aku hanya bertanya kabar," jawabku gugup. "Baiklah, aku tidak ingin kau memberi tahu siapa-siapa karena aku takut Ayahmu akan marah dan khawatir lalu memintamu untuk kembali kepada mereka." "Itu tidak akan mungkin terjadi Mas, Aku adalah istrimu dan tidak mungkin mereka mengambil seorang wanita dari suaminya," jawabku membantunya mengancing pakaian. "Kita akan pulang sekarang, kembali ke mansion dan menghabiskan waktu kita di sana," ajaknya sambil memegang kedua bahuku. "Lho, kita tidak jadi menghabiskan bulan madu?" "Pelayanan kamar dan kolam renang juga ada di rumah, jadi kita bisa bulan madu di rumah saja," jawabnya tertawa. "Baiklah, terserah Mas saja," jawabku sambil mendesah pelan, sebenarnya ada rasa kecewa tapi aku harus menurut padanya. "Mandilah, ganti baju karena sebentar lagi supir akan datang menjemput kita," suruhnya. "Iya, Mas. Aku akan mandi," jawabku yang berangsur ke kamar mandi. Aku masuk ke kamar mandi lalu menyalakan keran dan membiarkan pancuran membasahi badan, 10 menit kemudian kumatikan pancuran dan mengeringkan badan di depan wastafel. Dari balik pintu kamar mandi terdengar kembali percakapan Mas Bendi, yang kunilai cukup aneh. "Mami, aku udah nikah, mami tahu itu, gak bisa ...." Hah, apa yang sedang mereka bicarakan? "Kalau aku pergi sekarang Imelda akan curiga dan tentu aku tidak bisa meninggalkan istriku," jawabnya kesal. Apa? Dia ingin pergi ke mana?"Ayo ... Ayo turun ...." Mereka semua segera menjatuhkan diri dengan posisi terbalik.Menyaksikan teman temanku sudah menghilang di balik kegelapan air aku segera menghampiri diki dan melihat apa dia bisa berkomunikasi dengan teman teman yang menyelam dan mengarahkan mereka ke titik emasnya."Apakah akan mudah?" tanyaku."Emasnya jatuh ke beberapa titik, tapi jangan khawatir, mereka tidak terlalu berjauhan, semoga mereka menemukan dalam satu jam.""Jangan satu jam, itu terlalu lama.""Lautnya di kedalaman lima belas hingga dua puluh meter Nyonya. menyelam dengan motor laut berbeda dengan menyelam untuk mencari harta karun," jawab Diki sambil menggeleng dan tersenyum miring."Sebaiknya selagi teman teman kita menyelam, kita berjaga jaga, khawatir kapal musuh datang dan mencegat kita. Tolong, apa yang mereka lakukan di bawah sana sama besar perjuangannya dengan apa yang kita lakukan di atas ini.""Aku sungguh berdoa agar aku tidak diserang dalam keadaan mengendalikan komputer dan komuni
"Kurasa berlebihan jika kau ingin membunuh rekan satu tim kita. Mereka sudah mempertaruhkan nyawa untuk menolong kita. Kakak harus bersikap bijak dan jangan merugikan siapapun." "Aku tidak serius tentang itu kok, aku akan berusaha mencari solusi terbaik dan tetap membayar upah kalian," jawabku tertawa kecil."Kakak tidak perlu khawatirkan tentang aku, cukup khawatirkan, Joni, Ridwan dan Diki.""Iya, aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan mereka."Segera setelah selesai menelpon Siska aku segera melanjutkan kembali perjalanan menuju titik koordinat yang dia tentukan.Sesampainya di sana, kutemui timku yang sudah berada di sebuah kapal cepat, mereka yang sejak tadi nampak gelisah langsung berdiri melihat kedatanganku."Hai, Imelda," sapa mereka serempak."Hai, semua. Sebelum kita berangkat, aku ingin bicara dan mungkin ini tidak akan mudah.""Ya, katakan.""Aku ingin meminta bantuan kalian untuk menyerahkan emas itu, karena kalian dan kita semua, termasuk keluarga kita, akan dibunu
Melihatku yang sudah pulang ibu mertua nampak kaget sambil menghampiriku yang baru saja meletakkan baju kotor ditempat laundry. Dia menelisik gerak gerikku sambil melipat kedua tangan di dada."Kamu sudah pulang, sejak kapan? mengapa aku tidak menyadarinya? kamu ini seperti hantu ya, tidak pernah disadari kapan datang dan perginya," ujar ibu merua sambil menyindirku."Tante maaf karena akhir-akhir ini saya lebih banyak di luar rumah, saya punya banyak urusan dan sedikit pemeriksaan kesehatan," jawabku."Oh ya?""Ya.""Aku kurang yakin, tapi, terserah kau saja, yang aku tahu, kau harusnya selalu di rumah untuk menyambut dan melayani suamimu, terlebih kau sedang hamil," ujarnya lagi."Maafkan saya, saya tidak akan mengulanginya," jawabku.Jelas ada perbedaan hari ini, entah mereka sudah tahu atau belum, tapi yang pasti semua orang hanya diam dengan tatapan datar ketika melihatku. Biasanya kami akan saling menyapa dan bercanda hangat, namun kali ini semua orang membungkam. Sepupu, para T
Apa? yang benar saja, kakek ingin mengembalikan semua yang sudah kami rampas dengan darah dan keringat untuk alasan nego? tidak! tidak, tidak boleh semudah itu."Maaf aku tidak setuju Kek, maafkan aku.""Kamu tidak takut ya, kalau ternyata semua yang kau lakukan, dukunganku dan entah kenapa anak buah bendi tidak mengamankan kapal kargo itu, hanya sebuah jebakan saja. Termasuk percakapan kita sekarang?""Apa kakek akan melakukan itu padaku?" tanyaku balik menunjukkan wajah curiga."Di dunia ini tidak ada manusia yang benar benar hidup dengan hati murni dan tidak punya kemungkinan berkhianat," jawabnya terkekeh penuh misteri."Jadi termasuk kakek juga?" tanyaku penuh selidik."Sudah begini saja, katakan padaku di mana kau letakkan emasnya, aku akan meminta anak buah Erika untuk menjemputnya dan masalahmu akan selesai dengan cepat.""Maaf sebenarnya, emas itu tidak bersamaku. kami membuangnya karena situasi sangat kacau, kami diburu tembakan dan nyaris meregang nyawa. Karenanya, aku memi
"Kau pasti sudah gila," ucapku terbelalak."Aku bersikap sangat baik padamu imelda, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku, jangan sampai kedua orang tua, mertua dan keluargamu harus membayar apa yang kau lakukan."Tidak. aku tidak akan membiarkan itu terjadi, aku harusnya lebih tegas pada pria itu, aku tidak mau diintimidasi dan diancam-ancam lagi seperti dulu, jadi akan kutebalkan perlawananku."Kau ingin bunuh semua orang? lakukan saja, aku tidak takut. asal tahu saja, aku sudah merekam percakapan ini. Jadi kalau aku masuk penjara lagi kau pasti akan ikut denganku. Kuyakin ini insiden terakhir yang akan menggerus kekebalanmu pada hukum.""Sudah kubilang kalau aku bayar jaminan?""Apa kau tidak ingat kasus seorang gembong narkoba terbesar di Indonesia, dia punya akses pada kartel luar negeri, bisnisnya sangat besar dan nyaris seluruh provinsi tersebar anak buah yang siap mengedarkan barang haram. Kau tahu, pada akhirnya pria itu tertangkap, bukti-bukti terungkap dan pada akhirnya
"Baiklah, baiklah aku minta maaf," ucapku sambil menahan langkah Roni ketika ingin meninggalkan rumah.Pria yang kutahan langkahnya itu hanya berhenti sambil tertawa sinis dan memicingkan mata seakan-akan dia sudah tidak punya kepercayaan padaku."Sudah empat kali kau minta maaf padaku dan tidak ada pengakuan sedikit pun, tolong jangan mengulur-ngulur waktu aku sibuk dan harus kembali ke kantor!" tegasnya sambil menampik tanganku yang ada di bahunya."A-aku memang bersalah," ucapku lirih."Lalu?" Roni mengangkat alisnya sebelah menunggu jawabanku."Aku keliru dan khilaf," lanjutkan."Lantas?" Suamiku semakin memicingkan mata dengan curiga."A-aku ... uhm, entah apa yang harus kukatakan tapi aku memang tidak sengaja .....""Tidak sengaja bagaimana jika kau sudah membuat rencana dan melakukannya! ayo jujur saja apa yang kau lakukan!""Aku tergiur, maafkan aku," jawabku sambil menunduk lirih."Hah, terserah kau saja," balasnya sambil melepas dirinya meninggalkan diriku yang tidak tahu ha
"Itu bohong kan, kamu hanya mencoba untuk menghentikanku," desis Bendi."Itu yang dikatakan Mama, itu hasil kliniknya! Tolong lepaskan aku," pintaku dengan kalimat yang tegas."Tidak takutkah kamu bawa aku akan membunuh kalian, minimal salah satu dari kalian.""Cukup dengan omong kosongmu, Bendi, aku harus pergi. Aku harus melihat Kakek mertuaku," jawabku sambil menggandeng Roni."Roni ... pengkhianatan yang kau lakukan takkan pernah kumaafkan. Kau menusukku dari belakang dan merebut istriku!""Terserah aku tak peduli," jawab Roni."Dengar Imel, dalam kisah pernikahan kita yang jadi perebut bukan Irina, tapi Roni!" teriak Bendi memecah keheningan dan desau angin di sekitar tempat pembuangan itu. Kali ini sakit hatinya amat terlihat dari sorot matanya yang berkaca-kaca."Dia tak merebut, kami jalin hubungan sesaat setelah kau mencampakkanku, salahmu membiarkanku terombang-ambing dengan perasaan dan harapan palsu, sementara kau tidak kunjung datang menjemputku."Pria itu terduduk lesu d
"Apa yang terjadi di sini?" tanya suamiku dengan tatapan terkejut."Roni, tolong aku," ucapku yang terlepas dari belenggu bendi dalam keadaan pakaian yang sudah berantakan."Apa-apaan ini Imelda? kamu dua hari gak pulang hanya untuk bersama Bendi?" tanya suamiku dengan mata membelalak."Astaga, tidak mungkin itu terjadi, aku ada urusan Ron!""Dia bohong, kami sedang melepas rindu dan saling berbagi cinta. Saking mesranya aku lupa kalau ini ruang tamu," jawab Bendi sambil merapikan pakaiannya."Dia sedang berusaha memperkosa diriku!""Percayalah apa yang ingin kamu percayai, aku akan pergi," jawab Bendi dengan senyum miring. Suamiku terlihat langsung geram dan memandang kami bergantian.Bugh!Ketika Bendi melewatinya priaku langsung melayangkan tinju ke arah rahang mantan suami."Lancang sekali," desis Roni, tapi Bendi malah tertawa saja sambil memegang wajahnya."Apa hanya ini yang bisa kamu lakukan sebagai pria, hahahah, kamu lemah!""Apa kamu mencoba merayu istriku?""Justru sebalik
Teet ...teet ...Suara bel gerbang dipencet, aku tersentak dan bingung harus berbuat apa. Di saat seperti ini, andai bisa aku ingin punya ilmu menghilang dan kabur dari tempat ini sesegera mungkin, atau kuputuskan untuk lenyap dari dunia untuk dua menit saja. Tapi, aku sadar bahwa mental semacam ini adalah mental pengecut, aku harus bertanggung jawab atas apa yang kulakukan.Teet ... Sekali lagi bunyi pintu gerbang seakan menusuk nusuk pendengaran, memaksaku untuk segera menemui orang yang ada di pintu depan. Kuganti segera pakaian dengan dress rumahan model payung dengan lengan yang agak panjang, kugerai rambut dan memulas riasan tipis agar aku terlihat sedikit pucat dan polos. Dan ya, sebelum turun ke sana, aku akan selipkan pistol kecil ke bawa bagian short yang kukenakan, tepatnya di bagian paha. Jadi, jika bendi macam-macam, akan kutembus dadanya dengan peluru panas."Ma, ada yang pencet Bel tuh ...."Tidak ada sahutan dari mama atau papa karena ternyata setelah kuperiksa kam