Cerbung ini adalah season kedua dari cerbung Karma: kupermalukan di Akad nikahnya, dengan tokoh utama Sakinah dan Letkol Suryadi.
Setelah pernikahan Imelda berlangsung mewah dan semarak dalam usia 19 tahun dia kemudian harus menjalani sebuah episode baru yang penuh tantangan dan emosi. Akankah Imelda bertahan dan seperti apa lika-liku kehidupan yang penuh tantangan, apakah hidupnya akan lebih bahagia dari Sakinah atau malah penuh drama? bagaimana dia akan bertahan? Akankah Imelda sekuat Ibunya? Atau malah, menyerah. Ikuti terus ya, 🌹🌹 Jangan lupa, Like, komen dan share ya Kak ❤️ 2 . Selepas acara, pernikahan bahagia yang megah, ketika ketika tamu-tamu berangsur berpamitan dan meninggalkan aula pernikahan, aku dan Bendi kemudian mengobrol berdua sembari menunggu giliran sisa anggota keluarga yang belum bergabung dan berfoto bersama kami. "Kamu kenapa, Mas?" "Wah, kamu manggil aku Mas?" "Iya, bukankah, seorang istri harus menghormati suaminya?" Raut wajah suamiku amat ceria mendengar jawaban seperti itu. Dia menggenggam tanganku dan tertawa kecil tapi aku masih heran kenapa ia terluka di hari pernikahan. "Kenapa wajahmu bisa selebam itu, aku tidak percaya bahwa seseorang yang punya banyak anak buah bisa dipukul seperti itu, apa orang yang menyerangmu cukup banyak?" Aku berbisik tentang lebam di wajahnya. "Iya, lumayan," jawabnya santai. "Siapa?" "Tidak usah tahu, dan tidak perlu membesarkan rasa penasaran karena itu tidak berguna sama sekali." "Baiklah, tapi aku tetap akan bertanya beberapa saat lagi," jawabku sambil mengalihkan diri pada beberapa tamu yang datang untuk mengucapkan selamat dan pamit. * Mobil Merci hitam meluncur dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota menuju hotel di mana kita akan menghabiskan malam pertama. Sesampainya di depan lobby hotel supir turun dan membukakan pintu untuk kami berdua lantas mempersilahkan kami untuk masuk dan dikawal oleh empat orang dari mobil yang berbeda. Sewaktu memasuki lift aku bertanya padanya, "Apa kita akan menghabiskan waktu bersama dengan keadaan dijaga?" "Ya, tentu saja." "Kenapa, kamu merasa tidak aman Mas?" "Bukan aku yang kukhawatirkan, tapi keselamatan kamu." "Apa kamu sudah menduga, apa yang akan terjadi padaku? Apakah bersuamikan seorang Bendi adalah hal yang akan mengancam hidupku?" Tiba-tiba pertanyaanku membuat dia menatap dengan seksama lalu mendekat dan merangkul bahuku. "Akan kulakukan hal yang terbaik untuk melindungi keselamatanmu." "Bagaimana jika suatu hari aku hamil lalu seseorang datang menyerang dan mengancam keselamatan kita, apa yang harus aku lakukan?" "Aku punya ratusan anak buah yang akan melindungimu sampai mempertaruhkan nyawa mereka, jadi kau tidak perlu khawatir." * Pintu kamar suite room hotel terbuka, aku dipersilahkan masuk dan pemandangan yang memanjakan mata langsung menyambut di dalam sana. Ranjang yang ditata sedemikian rupa dengan taburan kelopak bunga mawar aneka warna, lilin-lilin dengan nyala temaram pemandangan kota yang megah dan indah serta nuansa romantis yang diciptakan membuatku bahagia. "Aku pikir kita akan bermalam di rumah?" "Malam yang istimewa harus dihabiskan di tempat yang istimewa," jawabnya sembari memeluk pinggangku dan mendaratkan kecupan di bahu yang terasa begitu hangat langsung di kulitku karena model kebaya yang kukenakan adalah model off shoulder. "Mas ... Aku merasa gugup dengan apa yang akan terjadi malam nanti," bisikku membalikkan badan, lalu memeluknya. "Tenang saja, aku bukan tipe orang yang akan terburu-buru sekarang duduklah di sini dan aku akan membantu melepas hiasan kepala mu," ujarnya dengan penuh kelembutan. "Apakah seorang mafia bisa melepas siger kepala?" "Ya, ampun, sebagai orang yang kerap menyamar aku dituntut untuk bisa menjadi apa saja, tukang masak, tukang cuci, tukang rias tukang bangunan, bahkan pria kaleng kaleng degan rok mini di jalanan?" Jawabnya sambil mendudukkanku dan mencoba mencabut satu persatu kembang goyang yang menghiasi sanggulku. "Oh, ya, apa Mas Bendi pernah melakukan itu?" "Tentu." "Aku ingin tanya, seberapa orang yang sudah kau bunuh?" "Aku tidak membunuh, aku hanya memberi mereka pelajaran agar tidak melakukan kesalahan yang sama mencoba mempermainkan dan bersikap tidak profesional dalam pekerjaan dan bisnis," jawabnya dengan tatapan tegas. "Aku percaya, meski kau jahat bagi sebagian orang tapi aku yakin kau masih punya sisi terbaik dalam dirimu?" "Ya, manusia punya sisi iblis dan malaikat didalam diri mereka, Aku ingin dengan kedatanganmu aku lebih mendominasikan sisi malaikatku." "Terima kasih telah berjuang untuk memilihku dan sampai berada di titik ini," balasku pelan. "Sama sama, Sayang," balasnya yang perlahan mendekatkan wajah, aku gugup, debaran jantungku berlomba, tak tau harus bagaimana di momen canggung ini, bahkan mengintip sudah sampai di mana dia, aku tak bisa. Kutunggu kecupan itu mendarat di bibirku sementara napas ini tertahan di dalam sana. "Apa kau gugup?" godanya sambil mengulum senyum. "Astaga kau bertanya, Mas." "Aku pikir tidak jadi karena kasihan padamu yang masih gugup lagipula ini masih siang, kau pasti tidak siap," cibirnya sambil beralih ke meja di mana minuman dan makanan kecil disajikan. "Dasar mengesalkan," rutukku. Pria itu membuka kancing beskap yang dia kenakan lantas meletakkannya di atas ranjang, membuka kain jarik yang jadi bawahan, dan kaus yang dia kenakan. Jantungku rasanya makin tak karuan melihat bentuk tubuhnya yang atletis dengan perut sixpack, sebuah tato elang tergambar di punggungnya dan memberikan kesan sangar sekaligus tegas. Dia berjalan membiarkanku yang ternganga menatap dan dia meraih handuk lalu berangsur ke kamar mandi. * Pukul, sembilan malam, aku sudah menunggu di ranjang, dengan piyama Hello Kitty memainkan ponselku, berharap ia segera bergabung denganku di ranjang. Namun, sejak petang tadi ia sibuk dengan laptop dan ponselnya. Setiap aku bertanya ia hanya diam, dan menjawab sekenanya saja, seolah sengaja membuatku kesal, dan menguji kesabaranku. Akhirnya kuputuskan untuk tidur saja tanpa banyak bertanya, kumatikan lampu dan ponsel lalu menarik selimut dengan hati kesal. Pukul dua belas malam aku terbangun dan sadar bahwa lengan kekarnya melingkar di perutku, dia sudah tidur dengan dengkuran halus yang yang bisa kurasakan aliran napasnya di belakang leherku. Ah, apakah dia tidak seantusias aku malam ini? Entahlah, mungkin lelah. Aku tak tahu.Dengan perlahan, aku merayap di antara pepohonan, berusaha tidak terlihat oleh para pria jahat yang sedang mengincarku dan mengepung vila Roni.aku berlari menuju sebuah mobil, menghujam tangki bensi dengan sebuah obeng tajam lalu membiarkan bensinnnya mengalir, kulakukan hal itu pada dua mobil lain hingga tiba tiba aku ketahuan oleh seorang wanita, anak buah Bendi yang terkenal bengis tanpa ampun dan licik, dia Oxana."Nyonya, apa yang anda lakukan di kolong mobil bos kami?" agak terkejut diri ini tapi aku berusaha untuk segera bersurut mundur menghindarinya.Tiba tiba dia layangkan tendangan ke bahuku, kakinya mendarat hingga terasa nyaris mematahkan tulang bahuku. "akh ..." satu tendangan sekali lagi, namun sigap kutangkap betisnya, aku siap menusukkan obeng ke tulang kering wanita berkepang panjang dan berkulit hitam itu. namun ia melompat salto dan nyaris saja permukaan sepatunya mengenai wajahku. aku bangkit, Kembali menerima serangan tinju dan pukulan, kuimbangi dengan coba m
"Apakah aku harus menembak Roni, kita tak bisa mati konyol tanpa perlawanan begini," ucapku setengah berbisik, berharap dia mendengarku."Tolong sederhanakan perintahku. cari tempat berlindung dan tiaraplah, Istriku. aku mohon Imelda!" Suara Roni terdengar kehabisan kesabaran sehingga membuatku tidak punya pilihan."Aku bisa membantumu!" ucapkan sekali lagi untuk meyakinkannya."Sekali saja ... jangan jadi keras kepala dan berbuat sesukamu, aku mohon dengarkan aku dan berlindunglah!" bentaknya yang kehabisan kesabaran."Hei, Roni!"Dari luar terdengar nada panggilan dari suara familiar yang sudah kukenal. Itu Bendi. "Ya, Tuhan cepat sekali pria itu menemukan kami," gumamku panik."Kalian dikepung dan tidak punya pilihan. Serahkan Imelda dan emasnya atau kalian mati berdua!" Ancam Bendi."Aku tak akan serahkan istri dan anakku, enak saja.""Dia sudah bikin gaduh dan resah, istrimu itu bukan figur wanita yang cocok disebut istri dia lebih pantas dipanggil ibunya mafia.""Kau yang membu
Kami sampai di sebuah rumah berlantai satu dengan pola bangunan letter L. Ada banyak kamar, dan sebuah kolam renang di antara taman yang cantik.."Ini adalah Vila peristirahatan keluarga kami, masing masing keluarga punya kamar yang dilengkapi dapur dan kamar mandi. Kita juga punya kamar," ucap Roni sambil menyalakan lampu depan yang seketika menerangi koridor. Lantainya keramik dengan pola mozaik hitam putih yang klasik, jendela di buat dengan gaya Belanda serta cat putih yang hampir rata ke seluruh dinding rumah."Kamar kita ada di dalam." Roni kembali membuka pintu yang menghubungkan ruang tengah ke koridor sayap kiri."Apakah di sini akan aman?""Aman. Hanya saja aku memikirkan kedua orang tua kita, bagaimanakah gerangan mereka di sana."Tring ....Ponselku berdering. Ada nama mantan suami yang hingga saat ini tidak mengganti nomor ponselnya.kuangkat telpon dan belumlah aku menjawab mantan orang terkasihku itu langsung berteriak."Apa yang kau lakukan pada Mami?!""Dia yang memak
"Apa ...?" Sekali lagi pertanyaan itu menggantung di udara."Iya, aku memberinya kesempatan dengan seteguk nyawa. Kuharap si tua ceking itu menyadari kekeliruannya yang panjang dan segera bertobat.""jangan santai, Mel, kita dalam bahaya. Bagian mana yah kau tembak? apa kau membuatnya terkapar?" Tanya Roni sembari menelan ludah."Kurasa aku meremukkan tulang kakinya dengan timah panas.""Allahu ... aku specless ...." Tante Vina hanya bisa menggeleng sambil mengurut dada."Tahukah kamu apa yang kemudian akan terjadi?" "Tidak bisa kutebak, Kek.""Roni, bawa imel menjauh dari tempat ini, sementara kalian semua, pergilah ke vila di luar kota. aku akan menelpon keamanan untuk berjaga di sekitar rumah kita.""Apa artinya penjagaan ayah? pasukan penjahat itu tetap akan membantai kita semua hingga tak seorang pun tersisa."Om Heri murka dan geram sekali."Imelda, sungguh, aku mengecam sekali perbuatanmu, kau tidak pernah mau mendengar omongan orang tua," imbuh Tante Vina."Maafkan aku Tante,
"Andai bukan anak Suryadi, mungkin aku akan meragukan mu, tapi mengingat bahwa kau dibesarkan oleh orangtua yang hebat aku tidak akan heran dan merasa ragu.""Apa yang harus aku lakukan sekarang menurut kalian, aku harusnya seperti apa?""Mengapa selalu keluarga ini yang membayar hasil perbuatanmu. Kenapa tidak pulang saja ke rumah Ibumu dan tanggung semua itu sendiri. kami tidak ada kaitannya dengan segala hal yang kau lakukan termasuk mengapa juga kami harus tersakiti oleh sesuatu yang tidak kami kerjakan?"Om Heri dan istrinya tiba-tiba turun karena mendengar percakapan di pagi buta menjelang subuh."Lihat dia, masih dengan gaun rajut dan cardigan, juga sepatu Keds yang seharusnya menunjukkan dia wanita hamil yang sedang menikmati waktu casual. tapi bercak darah dan tatapan mata penuh misteri itu ... sungguh mengerikan. Aku tidak tahu sudah berapa banyak anak ini membunuh orang, tapi yang pasti dia benar-benar berbahaya," imbuh pria yang sejak lama bersitegang dengan mama dan tidak
Aku yang kaget langsung berusaha membalikkan badan tapi wanita itu menahan gerakanku sambil mendorong kan moncong pistol dengan kencang, ia semakin menekan kepalaku dengan ujung senjatanya itu. "Jangan coba coba bergerak sebelum kuletuskan kepalamu!""Baiklah, aku tak akan bergerak, tapi, ada baiknya jika kau bersikap tenang agar aku pun juga tenang," jawabku."Dengan cara apa lagi aku menghentikanmu, sepak terjangnmu sejak di dalam penjara benar benar tak henti mengejutkanku. Bahkan untuk penjarahan yang terakhir ini, aku benar benar tak bisa menduganya. Tapi aku tak heran dengan sifatmu yang serakah dan pendendam. Ketika Bendi memberi tahu bahwa pelakunya ada kau, aku langsung paham bahwa dirimu memang gemar cari masalah," ungkapnya panjang lebar."Kau tahu sendiri bahwa aku tak senang melihat kalian bahagia, terlebih dirimu yang biang keladi rusuh dan kejahatan di kota ini," jawabku. Perlahan kususupkan tangan ke dalam mantelku, berusaha meraih pistol dengan cara paling halus, ta