"Apa yang kalian lakukan di sini?!" kataku sembari menahan diri.
"Kau sudah mengambil semua yang aku miliki, mobil, uang, dan harga diriku, jadi apa yang tersisa sekarang," ujarnya dengan nada yang dibuat setegas mungkin."Heh, Kenapa kau mengeluhkan itu kepadaku? Apa sekarang itu adalah masalahku?" Aku mendecih sambil melipat tangan di dada."Rumah ini juga adalah rumahku. Jadi aku pun bebas untuk datang, pergi, dan membawa siapa saja," ujarnya penuh percaya diri membuatku ingin meraih pistol dan meledakkan kepalanya."Oh ya? Aku tidak tahu apa saat ini kau sedang mabuk atau kehilangan akal, tapi aku minta kau segera pergi dari sini, Mas.""Kamu tidak bisa mengusirku," ujarnya sambil setengah mendorong tubuh ini agar menyingkir dari pintu masuk."Kenapa tidak? Aku istri pertama yang sah, secara hukum dan surat-menyurat hanya aku yang berhak atas aset dan uangmu," balasku tak kalah percaya diri dan bertahan di depan pintu utama, sembari mengeraskan badan menahan mereka."Maka aku akan menghapusnya!" Ia memasang wajah seangker mungkin."Semudah itukah? Kalo begitu ayo, panggil ajudanmu dan suruh dia menembak kepalaku dan tuntas sudah semuanya, gundikmu bisa melenggang santai dan jadi Nyonya.""Jaga bicaramu!""Siapa wanita ini ... siapa wanita yang kau nikahi ini?""Aku ingat dengan sangat baik, Sakinah," jawabnya sambil menatapku tajam."Dengan Letkol Suryadi, Aku tidak ingin mengalihkan fokus anakku yang sedang belajar untuk ujian sekolah, dengan drama perselingkuhanmu, baiknya bawa wanita ini pergi dari tempat ini!" desisku sembari memasang wajah murka."Aku pun sudah begitu sabar, kau injak harga diriku didepan semua orang siang tadi,jangan sampai aku bersikap kasar di hadapanmu dan istriku!""Wah, dia istrimu? dan aku pembantumu?!""Menyingkir sebelum aku menjadikanmu benar-benar seorang pembantu!" Mas yadi mendorongku hingga terjerembab dan jatuh ke lantai, itupun dengan cara paling kasar seolah aku adalah pelaku kriminal atau musuh negara.Aku menatapnya dengan membeliak sembari tidak percaya dengan apa yang dia lakukan barusan, wanita licik yang di belakang suamiku terlihat tersenyum lalu kemudian menundukkan wajah untuk menutupi sikap jahatnya."Berani sekali kau, Mas, tidak ingatkah kau dengan semua yang sudah kulakukan, biadab kamu Mas!"Aku segera berdiri dan membuka laci meja yang tepat berada di depan sofa ruang tamu, kau meraih sepucuk pistol dessert eagle, dan menarik pemicunya."Kau ingin mati?""Jangan mengancamku!" Ia maju dan bersiap ingin merebut senjata itu."Aku tidak menggertak, jika aku harus kehilangan dirimu maka aku tidak mau setengah-setengah, kamu tahu sendiri bahwa aku juga wanita yang memiliki kekerasan hati dan prinsip yang sama denganmu," geramku."Jangan main-main, Sakinah!" Ia terlihat takut."Apa wajahku terlihat sedang bermain-main?! Katakan seberapa geram diri ini sehingga nampak seperti sedang memainkan lelucon," ujarku dengan teriakan membahana dan kondisi wajah yang sudah berantakan oleh keringat dan rambut yang menempel.Aku tak peduli, akan kubunuh dia jika nekat memasuki rumah ini!Untung saja posisi kamar anak anak berada di lantai dua belakang sehingga mereka tidak mendengar apapun."Turunkan pistol itu, sakinah!""Tidak, hingga kau menjauhkan pelacur itu dari rumahku, ini adalah rumahku, rumah yang kubangun dengan keringat dan air mata, aku tak akan membiarka siapapun menguasainya.""Kartika sudah jadi istriku jadi aku harus memperlakukannya sama," balasnya.Entah mengapa aku muak, sehingga tak tahan diri ini untuk meludah ke arahnya,"Cih, iblis jahannam, Aku tidak pernah menyangka bahwa mendukung suami sama seperti menyelamatkan anjing liar yang terjepit.""Kau menyamakanku dengan anjing?!"Matanya melotot geram."Bahkan lebih menjijikkan, coba saja kau maju, akan kutembak kepalamu! dan aku tidak takut penjara karena anak anak memegang uang dan gajimu akan selalu mengalir, aku tak peduli!""Kau licik!" desisnya."Mana lebih baik darimu pria menjijikan tega menghianatiku sedang aku sudah mengorbankan banyak hal untukmu! Apa hebatnya pelacur itu?!""Hentikan!""Bela dia sampai titik darah penghabisan seperti kau membela negara ini, tapi statusnya tidak akan pernah berubah, pelac*r tetap pelac*r!""Kau keterlaluan sekali menghinakannya ....""Kenapa? Kau mau memuliakannya? apa setelah ketiadaanku kau akan menjadikan dia sebagai ibu Persit yang akan dielu-elukan istri tentara?""Jaga mulutmu!""Si jalang ini tahu betul cara menaklukkan laki-laki, kenapa harus suamiku, hah?!" teriakku pada istrinya.wanita itu memasang gesture ketakutan dan gemetar di depan Mas Yadi, aku tertawa getir melihat bagaimana dia memainkan peluang untuk memenangkan pertarungan ini, aku akan dijadikan sumber masalah dan dia korbannya."Mas ... Aku takut ...." bisiknya pada suamiku sembari memeluk Mas Yadi dari belakang."Tenang Kartika," kata Mas Yadi menepuk bahunya pelan dengan penuh perhatian.Dia kemudian beralih ke arahku sambil berkata,"Kembalikan kartu debitku dan aku akan pergi dari rumah ini.""Kenapa? Kau menyadari bahwa tanpa diriku kau adalah pria kere' yang tidak punya apa-apa? Apa setelah aku menelanjangi harga dirimu di depan umum, kamu sama sekali tidak tahu cara menghasilkan uang?!" teriakku sambil tetap mengarahkan moncong senjata."Tutup mulutmu wanita kasar! Aku heran aku telah mencintaimu selama ini?!" ujarnya sembari menghinaku, membuat hati ini hancur remuk redam, luka yang telah ada semakin bernanah dan sulit disembuhkan oleh sikap dan kata-katanya."Kau baru menyadari bahwa aku tidak kompeten sebagai istri? kenapa baru sekarang? kenapa setelah 17 tahun?! katakan?!"Dia membungkam sedang wanita di belakangnya pura-pura gentar."Pergi ke rumah ajudanmu dan pinjam uang darinya, mengontrak ata hidup menggelandang itu bukan urusanku, yang jelas besok pagi sekali aku akan berangkat ke kodam untuk melaporkanmu.""Kau ingin menghancurkan reputasiku?""Mungkin aku tidak punya senjata lain untuk bertahan hidup, jadi tunggu saja apa yang akan terjadi padamu, Mas.""Awas saja kamu!" geramnya."Pergi dari sini sebelum aku benar-benar menghancurkan hidupmu!" Teriakku menggelegar dan akhirnya mereka mengalah dan pergi dari rumah ini.Aku terjatuh dan tersungkur ke lantai sedang pistol itu terlepas dari tanganku, tubuhku bergetar hebat setengah oleh emosi dan setengah oleh rasa takut,andai saja aku menarik pelatuk senjata itu, tentu saat ini aku adalah pembunuh, andai semuanya tidak seperti ini, oh!"Tidaaaaaaaaak!" Aku meraung dan marah, melampiaskan semua sakit yang terpendam di dada."Allah, kuatkan aku, aku tidak tahaaan!"Tidak ada seorangpun yang mau merangkul atau mendengar kesedihanku, selain asisten rumah tangga yang hanya berdiri dan menatapku penuh dengan rasa iba.Ketika matahari mulai terbit di ufuk timur, aku telah menyiapkan apa yang harus kubawa ke markas suamiku. Aku tidak akan menunda melaporkan perbuatan jahatnya.Aku tak mau mempertanyakan apa hal yang kulakukan benar atau salah, aku tak punya cadangan kesabaran lagi untuk menghadapinya.Tidakkah sekalipun terbesit dalam hatinya rasa iba atau simpati padaku yang sudah mengorbankan banyak hal, pernah makan hanya dengan taburan garam demi mendukung kariernya. Pernah terlunta-lunta tanpa kabar darinya ketika ia ditugaskan ke daerah konflik, aku tetap setia sembari menjaga kehormatan dan anak yang ia titipkan ke rahimku.Sayang, air mata dan kemarahanku tak lantas membuat hatinya tersentuh, malah makin membeku. Pesona Kartika yang memukaunya sudah membius dan merusak akal Mas Yadi.Ah, nama yang selalu kusebut sebagai mantra pengobat rindu kini bagai duri yang menyakitkan, harga kesetiaaanku tercoreng oleh pengkhianatannya. Meski bagi orang lain ini bukan masalah besar, melainkan wajar, nam
❤️❤️.,.Menjelang magrib, mobil Ajudan Mas Yadi memasuki gerbang besar perkebunan kami, hamparan sawah dan kebun teh di atas bukit menyambut kedatanganku.Sebenarnya itu pemandangan yang menyejukkan tapi bagiku bagai diletakkan bara api yang menyala.Tak lama mobil berhenti di depan teras dan kulihat mereka sedang bercengkerama sambil menikmati teh dan tertawa ceria."Si jalang itu bahkan tidak ragu, menikmati hak orang lain. Alangkah senangnya dia tertawa dan bergelayut di pelukan suami orang!"Pintu mobil kubanting kencang dan melihatku datang dengan pandangan mata yang penuh dengan sorot kemarahan, Mas Yadi langsung berdiri."Ada apa, kamu ke sini?" ujarnya setengah membentak.Aku tertawa sinis mendengarnya.Jangan lupa! aku membawa pistol yang kuselipkan di belakang rokku. Begini-begini aku pernah mengikuti pelatihan bertahan bagi Ibu-ibu istri TNI.Sedikit dia menyentil harga diriku, maka aku akan menembak simpanan binalnya itu."Kau lupa ini perkebunan siapa?""Tentu kebunku!"
Pagi-pagi sekali suara mesin mobil Mas Yadi menderu dan berhenti di depan rumah, aku yang masih mengenakan mukena setelah salat Subuh dan membaca Alquran, mengintipnya dari jendela dan melihatnya terburu-buru masuk ke dalam rumah.Baru saja hendak keluar ke ruang tamu tiba-tiba suamiku membuka pintu kamar dan kami hampir bertabrakan di ambangnya.Dia menyingkirkan bahuku dan melewatiku tanpa kata sedikit pun, dan akupun enggan banyak bicara selain menunggu apa yang ingin dia ungkapkan.Dia membuka laci meja mengambil beberapa kertas miliknya, lalu membuka pintu lemari dan terlihat mencari sesuatu,aku berdiri saja sambil menyimak apa yang hendak dia lakukan."Seragamku mana? Kenapa tidak disiapkan?" Dia memasang nada suara seolah-olah tidak terjadi sesuatu."Mana aku tahu kalau Mas akan pulang ke rumah dan meminta disiapkan seragam, bukankah sekarang segalanya sudah berbeda?""Apa maksudmu?" Dia mendongak dengan tatapan berkilat."Ya mungkin saja ... Istri baru Mas akan mengambil alih
*Seiring kepergian Novita, kubalikkan badan menuju ke kamar namun ketika aku menghadap cermin di depan bufet lebam di sudut bibirku sangat nyata terlihat bekasnya. Meski ditutupin dengan bedak, atau dengan berbagai alasan, tetap luka itu terlihat sebagai bekas tamparan. Memalukan sekali!Untungnya, setelah kepergiannya malam kemarin, pria licik itu meminta Kopral Hendra untuk menungguiku siuman dan mengantarku pulang.Yang membuat sedih adalah mengapa Mas Yadi tidak Iba sedikitpun melihatku tersungkur dan berdarah, sebaliknya ia melenggang santai meninggalkanku bersama simpanannya.Pantaskah seorang istri yang sudah mendampingi dari susah dan tertatih-tatih hingga bisa sukses seperti sekarang, ditinggal begitu saja, terkapar pingsan bersama seorang ajudan?**Pukul dua siang,"Bu, apakah Ibu ada rencana minggu ini?"tanya Mbak Novita setelah memberi hormat, sekembalinya ia dari Kodim.Sebenarnya aku harus memanggilnya adik, tapi karena tidak enak dan menghargainya aku menyebut
Mendapatimu sudah masuk secara diam-diam ke dalam kamar, wanita itu terperanjat bukan main dan dan langsung mundur sambil menutup kedua tangan ke mulutnya."Ah, Mbak, a-anu ....""Jalang licik, apa kamu merasa sudah menjadi menjadi anggota Persit hanya dengan mencoba baju itu, atau ... kau tak sabar ingin segera menjadi nyonya?"Kuhidupkan ponsel, tatih rekaman video dan kuletakkan di atas bufet kamar."Kenapa kau menghentikan aksimu berlenggak lenggok di depan kaca, ayo lanjutkan," ujarku sambil menghampirinya sedang dia mundur teratur dengan sedikit gemetar."A-aku hanya penasaran ingin mencoba Mbak,"ujarnya pelan hampir tidak terdengar, "a-aku akan melepasnya." Ia berusaha membuka kancing baju itu."Tidak usah! kau memang pelacur jalang yang sangat ambisius, sudah merebut suamiku kini kau ingin merebut pakaian dan rumahku," geramku sementara video terus berjalan merekam kami." Sungguh Mbak, a-aku hanya ...." Belum selesai dia melanjutkan kata-katanya aku sudah menyerang rambut
Pagi sekali aku mendapat kabar bahwa Ibu atasan sangat kesal, dan dia memanggilku,"Kenapa? apakah karena aku tidak berkunsultasi dengannya dan langsung ke Pangdam sehingga dia dan suaminya kesal? Aku yakin Bapak Pangdam telah menegur mereka, dan mereka kesal karena di pertanyakan tanggung jawabnya pada bawahan?" batinku berfikir Dia menelepon membuatku cukup gugup untuk menggeser tombol hijau dan menjawab. Beliau tumben tidak seramah biasanya, intonasinya terdengar dingin dan seram."Halo, assalamualaikum, Ibu," sapaku perlahan."Walaikum salam.""Apa kabar Ibu?""Saya baik, saya ingin tanya sesuatu sama Adik, tapi saya akan menunggu adik datang ke rumah saja," ujarnya."Ya, Bu, izin untuk bisa menemui Ibu besok ya," pintaku."Saya saya tunggu pukul sembilan pagi."*Baru saja kututup ponsel tiba tiba mobil Pajero milik Mas Yadi berhenti di depan rumah. Mesin dimatikan dan pria yang kini kubenci itu masuk ke dalam rumah."Senang kan? aku harus disudutkan karena video yang kamu k
Meluncur diantar ajudan Mas Yadi kembali dari rumah Ibu Danrem, kabarnya Mad Yadi sedang interogasi jadi kurasa hari ini dia tidak akan pulang.Mobil berjalan di lajur kiri dengan mulus, sedang aku menyandar di jok belakang sambil menerawang, hingga mobil kami berhenti di perempatan karena lampu merah.Suasana kota di siang hari sangat ramai, bunyi klakson kendaraan yang menumpuk di belakangku menyentakkan lamunan, hingga kusadari di sebelah kiri ada butik khusus yang menjual baju pegantin dengan display gaun gaun cantik yang indah dipandang."Kelak jika Imel atau Siska menikah, aku akan mengajak mereka kemari untuk mengepas baju pengantin," gumamku dalam hati sambil tersenyum kecil.Namun baru saja bergumam demikian, tiba tiba aku melihat si jalang, ya Kartika!Dia mengenakan blazer warna ungu dan rok yang membuatnya terlihat bagai Nyonya, sebuah topi bundar dengan pita menghias di kepala dan sepatu heels yang kutaksir dari brand ternama ia kenakan melengkapi penampilannya."Astaghfi
"Turunkan aku di tepi jalan saja, Mas," pinta Kartika kepada Mas Yadi."Aku nggak mau turunkan kamu di sembarangan tempat, setelah Hendra mengantarkan kami, kamu bisa diantar pulang," kata Mas Yadi sambil menggenggam tangannya.Kira-kira jika wanita lain ada di posisiku, menatap suami mereka duduk dekat dan berpegangan tangan, apa yang akan terjadi."Enak aja, nggak bisa Mas, si Om harus menjemput anak-anak ke sekolahnya," balasku menyela percakapan Mas Yadi."Kamu terus menerus menyela, Sakinah," ucap Mas Yadi sewot."Apa kalian saja yang boleh bicara dan aku tidak boleh?!" balasku sengit membuat ajudan kami hanya menggelengkan kepala saja."Bukan begitu Sakinah, kamu sudah tahu aku tidak mungkin membawa Kartika ke markas.""Kenapa? Mas takut? Mas khawatir akan ditampar oleh Komandan, sebegitu pengecutkah?" Aku sinis dan tertawa."Entah kenapa mulutmu begitu kasar, Sakinah." ia menunjukkan wajah tak suka."Ya ampun, kamu mengomentari kata-kataku sementara aksimu yang memalukan itu,