Share

melapor

Ketika matahari mulai terbit di ufuk timur, aku telah menyiapkan apa yang harus kubawa ke markas suamiku. Aku tidak akan menunda melaporkan perbuatan jahatnya.

Aku tak mau mempertanyakan apa hal yang kulakukan benar atau salah, aku tak punya cadangan kesabaran lagi untuk menghadapinya.

Tidakkah sekalipun terbesit dalam hatinya rasa iba atau simpati padaku yang sudah mengorbankan banyak hal, pernah makan hanya dengan taburan garam demi mendukung kariernya. Pernah terlunta-lunta tanpa kabar darinya ketika ia ditugaskan ke daerah konflik, aku tetap setia sembari menjaga kehormatan dan anak yang ia titipkan ke rahimku.

Sayang, air mata dan kemarahanku tak lantas membuat hatinya tersentuh, malah makin membeku. Pesona Kartika yang memukaunya sudah membius dan merusak akal Mas Yadi.

Ah, nama yang selalu kusebut sebagai mantra pengobat rindu kini bagai duri yang menyakitkan, harga kesetiaaanku tercoreng oleh pengkhianatannya. Meski bagi orang lain ini bukan masalah besar, melainkan wajar, namun bagiku luka yang dia torehkan sangat memporak-porandakan.

"Mas Yadi, apa yang sedang kau lakukan sekarang ...." Batin melankolisku meronta.

Kubuka lemari dan kuraih pakaian dinas harian miliknya yang suda diseterika rapi, kuusap perlahan dan air mataku jatuh begitu saja di permukaannya.

"Ya Allah, inikah harga yang harus kubayar setelah membersamainya dengan penuh ketulusan?"

Dia harus pergi bekerja, sementara pakaiannya ada padaku, akankah dia sendiri yang datang mengambilnya?

Kadang dari lubuk hati yang terdalam aku berharap ini hanya mimpi buruk yang mengejutkan, aku berharap ia kembali pagi ini dan mengatakan itu hanya jebakan saja, hanya main-main atau bercanda, tapi mustahil!

Dia melangsungkan akad dan wanita yang enggan kusebut namanya itu, secara agama adalah istrinya.

*

Pukul 07:00 seorang anggota Persit yang selalu kuajak untuk menemaniku ke berbagai acara datang, wanita berpakaian rapi itu adalah Mbak Novita, dia yang memiliki senyum manis itu menemuiku di meja makan. sebelum bicara, ia memberiku salam dan menanyakan agenda apa yang akan kulakukan hari ini.

"Antarkan saya ke Kodam," pintaku.

"Untuk apa Bu?" Ia mengernyit heran, setahunya, selain tidak ada acara resmi, aku tak punya hal yang sama sekali berkaitan dengan urusanku di sana.

" Saya ada urusan," jawabku pada wanita bertinggi semampai itu.

"Baik, Bu. Saya akan menunggu di depan," ujarnya sambil mengundurkan diri.

Seusai sarapan aku segera bersiap dan meluncur bersamanya ke markas komando daerah militer yang jaraknya lumayan jauh dari kabupaten tempat tinggalku.

Setelah menempuh dua jam setengah perjalanan, akhirnya mobil kami sampai di depan markas megah dengan dominasi warna hijau itu, ada plakat dan Baliho TNI di bagian depan dan si sebelah kiri ada replika meriam dan tank tempur. Mobil kami terhenti di pos penjagaan untuk pemeriksaan, dua orang polisi militer dan dua orang petugas berpakaian dinas menghampiri mobil kami.

"Permisi, ada yang bisa kami bantu?"

"Saya ingin menemui Panglima Kodam," jawabku.

Sesaat Petugas berpangkat kopral itu mengernyit, mungkin heran, mengapa wanita ingin menemui Mayor Jenderal mereka.

"Anda sudah hubungi ajudan beliau?"

"Belum," jawabku.

"Baik, mungkin akan sulit tapi silakan, Bu," jawabnya dan setelah memeriksa keamanan mobil kami mereka membiarkan kami masuk.

Di kantor depan ada dua orang petugas piket yang tengah berjaga dan aku langsung menemui mereka. Kami mendekat dan memberi salam hormat.

"Selamat pagi, saya datang dari kota Utara, ingin bertemu dengan Pangdam," ujarku.

"Boleh tahu tujuan, Anda?"

Sesaat aku sempat ragu, untuk mengatakan yang sebenarnya.

Sempat timbul ketakutan dalam hati apa yang kulakukan sekarang, sudah benar atau salah? Mestikah aku langsung kemari tanpa berkonsultasi dengan istri atasanku, istri Danrem? Apakah mereka mampu mengakomodir apa yang akan menjadi keluhanku?

Sesaat tenggorokanku kering dan beberapa detik aku tercekat hingga petugas itu kembali menanyai tujuanku.

"Ibu, ada perlu apa?"

"Ingin melapor."

"Melaporkan apa, Bu? Anda jauh-jauh dari kabupaten ke ibukota provinsi, ada apa, apalah urusannya sangat mendesak?" tanyanya heran.

Sesaat kuangkat wajahku, dan tatapan mata kami beradu, kuambil napas dalam lalu mengucapkan kata itu.

"Suami saya diam-diam menikah lagi," jawabku.

Dia terlihat berfikir sesaat lalu menjawab, "Sepertinya hari ini, Panglima Kodam ada kunjungan resmi dan rapat, jadwal beliau penuh."

"Tolong saya, Pak, saya sudah jauh-jauh kemari, saya mencari keadilan. Tolong periksa apakah beliau berkenan menemui saya atau tidak," pintaku dengan penuh harap.

Raut wajah petugas itu terlihat tak tersentuh, ia membisu sambil menatap rekan kerjanya.

"Suami saya Letnan Kolonel Suryadi, Komandan distrik militer Utara, selagi saya tidak merencanakan kejahatan, saya rasa Bapak punya alasan melarang saya masuk." Dengan mengumpulkan keberanian aku mengatakan kalimat itu.

"Boleh saja, tapi Ibu tidak bisa memaksa untuk bertemu beliau," jawabnya.

"Mengapa?"

"Seperti yang saya katakan, beliau sibuk!"

Selagi berdebat seperti itu, tiba-tiba Mayjen Haryoto lewat dan kami sempat saling bertemu pandang, beliau menatapku dengan tajam membuat nyaliku ciut, namun kemudian mendekat.

"Ada apa?" tanyanya dengan suara yang tegas.

"Pak, izinkan saya ingin bicara dengan Anda beberapa saat saja, Pak, saya tidak akan menyita waktu," ujarku dengan penuh harap.

Aku dalam kondisi seperti itu gelagapan dan tak tahu harus bersikap formal seperti apa lagi, ditambah perasaan kalut dan sedih bercampur campur jadi satu, menbuatku salah kendali.

"Baik, silakan ikut saya ke ruangan."

Sosok tegas bertubuh tinggi besar dan raut sangat serius sebenarnya membuatku gentar, namun apa lagi yang harus kulakukan.

**

Setelah memperkenalkan diri, kuceritakan semuanya dengan perlahan dan hati hati, berusaha tak menyinggungnya atau pihak lain, setelah itu aku menutup dengan harapan semoga beliau berkenan mengasihani diri ini.

Tak mengapa bersikap seperti pengemis yang memelas, jika ini menyangkut kelangsungan dan keselamatan harta dan anak-anakku maka aku akan melakukan apapun.

"Suami Ibu, setelah saya periksa data anggota saya, dia adalah pria yang memiliki jasa dan dedikasinya tinggi bagi tugasnya, dia juga tak pernah punya track record jelek atau dihukum, saya sedikit tidak percaya jika dia berbuat demikian."

"Saya punya photo pernikahan mereka, Pak," ujarku sambil menyodorkan ponsel.

"Menurut Anda mengapa dia berbuat begitu? Anda ada salah padanya?" Kali ini nada bicaranya membuatku nyaris membungkam.

"Ti-tidak ada, Pak, tidak pernah merasa saya menyakitinya. Malah saya mendukung semua tugasnya, saya bertanggung jawab sebagai istri dan sebagai Ibu Persit KCK dengan baik."

"Saya dengar kontribusi seorang Anda bagi kemajuan desa tertinggal dan usaha kecil di sana dari istri saya, namun tak begitu detail," jawabnya.

"Ya, saya hanya membina dan memberi bimbingan, saja, Pak. Dari itu mohon bantu saya, Pak. Saya ingin keadilan untuk saya dan anak-anak, Pak," ujarku degan tatapan penuh harap, entah boleh atau tak boleh berkata demikian aku sudah pasrah.

"Saya akan memanggilnya dan menyuruh petugas di bawah saya untuk menyelidiki masalah ini," pungkasnya sambil mengangguk tegas.

"Terima kasih, Pak. Jika begitu, saya mohon diri, saya pamit, Pak."

"Ya, silakan."

**

Mobil kembali ke rumah dan baru saja memasuki pekarangan ternyata mobil ajudan Mas Yadi ada di depan pintu.

"Mana Bapak?" cecarku setelah buru-buru turun dari mobil.

Ajudan berpangkat Tamtama itu memberiku hormat lalu berkata,

"Bapak menyuruh saya mengambil pakaiannya," jawabnya.

"Dimana dia sekarang?"

"Di Vila peternakan, Bu."

Berani sekali dia membawa gundiknya ke lokasi peternakan yang kurintis dari nol untuk membantu masyarakat sekitar dengan cara membuka lapangan kerja.

"Ngapaian di sana, kenapa tidak dia sendiri datang menemuiku di rumah?" tanyaku pada Kopral Hendra.

"Tidur di sana, Bu."

"Katakan, apa yang sudah dia lakukan!" kataku sambil mencengkeram bahunya.

"Maaf Bu, itu bukan hak saya untuk banyak bicara."

Nampaknya ajudan Mas Yadi sudah dibreefing sebelum menemuiku.

"Suamiku tidak punya uang, pun kartunya sudah kublokir, mobilnya juga ada padaku, katakan, bagaimana ia menyambung hidup di peternakan?"

"Saya tidak tahu," tegasnya tanpa ekspresi.

Maka aku pun tak mau kalah menekannya.

"Saya ingin tanya, saya ini siapa?"

"Istri Dandim Saya," jawabnya.

"Berarti saya punya hak untuk bertanya! Katakan dari mana dia memiliki uang untuk hidup dan membeli makanan?"

Sebenarnya istri Dandim tidak berhak menekan anggota tapi apa daya, ini sudah cara terakhir untuk membuatnya bicara.

"Dia menjual seekor sapi milik Ibu," jawabnya.

Seketika jantungku berhenti berdetak, berani sekali dia menjual sapi perahan yang sudah kupelihara sebagai penghasil susu, kurang ajar!

Aku sampai terduduk lemas mendengar penuturan ajudannya itu.

"Berapa dia menjualnya?"

"Delapan juta, Bu, selain itu saya tidak tahu." Tentara itu terlihat sedikit tidak enak padaku.

"Pasti kamu telah membantunya juga," desisku.

"Maaf, saya hanya melaksanakan perintah, Bu, maafkan saya," ujarnya tetap dengan posisi tegak lurus dan pandangan ke depan.

Dia pasti membelikan wanita itu makanan dan pakaian hangat untuk menikmati cuaca dingin di pegunungan. Tempat itu adalah tempat yang sempurna untuk menghabiskan bulan madu.

Hamparan bukit yang hijau, kandang yang di tata rapi, perapian yang hangat, aku membangunnya sembari membangun impian kami, di hari tua nanti, teganya dia mengajak wanita itu untuk menikmati. Pengemis jalang itu tahu sekali cara paling bagus dan tempat strategis menghabiskan waktu, tidak tahu malu.

Aku yakin dia tertawa di ranjang yang kudekor sendiri, aku yakin.

"Arrgghh ...." Kulempar asbak yang ada di atas meja ruang tamu dengan marah.

"Antarkan saya ke sana," pintaku pada ajudan Mas Yadi.

"Tapi Anda baru kembali Bu," sanggah Mbak Novita.

"Aku tidak peduli, aku akan mengusir mereka," desisku geram.

"Bagaimana kalo Bapak melakukan kekerasan, Bu?"

"Aku sudah melaporkan perselingkuhannya ke atasannya, apakah saat ini dia benar-benar ingin dipecat?!"

"Tapi saya ... saya gak bisa ...." Pria itu terlihat ragu.

Aku hendak melayangkan tamparan dengan keras, tapi kutahan. Wajah petugas tidak menunjukkan reaksi apapun selain menunduk. Tidak ingin membuang waktu lebih lama terpaksa kugunakan cara keras, karena sepertinya sikap otoriter Mas Yadi juga menular padaku sehingga ketika dihadapkan dengan masalah seserius ini, membuatku kehilangan kesabaran.

"Antar saya, atau akan saya buat kamu dipecat juga karena mendukung perbuatan bejatnya!"

Pria itu seketika pucat dan sepertinya pria yang kerap dipanggil anak anak sebagai om itu lantas mengantarku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
bikin emosis sj...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status