Share

menjelang

❤️❤️

.,.

Menjelang magrib, mobil Ajudan Mas Yadi memasuki gerbang besar perkebunan kami, hamparan sawah dan kebun teh di atas bukit menyambut kedatanganku.

Sebenarnya itu pemandangan yang menyejukkan tapi bagiku bagai diletakkan bara api yang menyala.

Tak lama mobil berhenti di depan teras dan kulihat mereka sedang bercengkerama sambil menikmati teh dan tertawa ceria.

"Si jalang itu bahkan tidak ragu, menikmati hak orang lain. Alangkah senangnya dia tertawa dan bergelayut di pelukan suami orang!"

Pintu mobil kubanting kencang dan melihatku datang dengan pandangan mata yang penuh dengan sorot kemarahan, Mas Yadi langsung berdiri.

"Ada apa, kamu ke sini?" ujarnya setengah membentak.

Aku tertawa sinis mendengarnya.

Jangan lupa! aku membawa pistol yang kuselipkan di belakang rokku. Begini-begini aku pernah mengikuti pelatihan bertahan bagi Ibu-ibu istri TNI.

Sedikit dia menyentil harga diriku, maka aku akan menembak simpanan binalnya itu.

"Kau lupa ini perkebunan siapa?"

"Tentu kebunku!" sentaknya tegas.

"Berani sekali kau mengakui aset anak-anak sebagai milikmu! Ingat Imelda tahun depan sudah berhak atas asetnya!"

Wanita pengemis itu seakan tahu bahwa kapan pun aku bisa menyergapnya, sehingga dia segera bangkit dan buru-buru berdiri di belakang suamiku.

"Apa maumu?!" Kali raut wajahnya serta urat lehernya menegang.

Aku sejujurnya takut dengan pembawaan suamiku yang seram seperti itu, suatu pukulan darinya mungkin aku bisa pingsan seketika, tapi jika aku tidak memberanikan diri seperti ini maka posisiku akan semakin tidak menguntungkan dan semua harta benda kami akan digeret oleh pelakor itu.

"A-aku datang ke sini untuk memastikan bahwa kau berdua tidak menikmati vila ini," jawabku dengan suara bergetar.

"Memangnya kenapa? Mau kujual pun kau tidak bisa melarangku, uang yang kau pakai sebagian adalah uangku," jawabnya santai.

Tentu saja napasku tersengal-sengal, dadaku panas dan mau meledak mendengar ucapan santainya yang sebagian mempermalukanku di depan wanita itu. Aku yakin dalam hati Kartika sedang tertawa jahat.

"Oh, ya, kalo begitu aku mau lihat sejauh apa seseorang yang mau menjual aset tanpa surat surat."

Aku merangsek masuk ke dalam vila lalu segera naik ke lantai dua, ketika kubuka pintu kamar, alangkah sedih hati ini mendapati tempat tidur yang sudah berantakan, bau dan aroma pergumulan masih tertinggal di sana.

"Semalam mereka pasti ...."

Air mataku jatuh, tapi segera kuseka, kulihat ada pakaian tidur wanita itu berserakan di di sisi ranjang, lalu beberapa pakaian ganti teronggok begitu saja di sofa tanpa dilipat.

Kuambil semua dan kulempar dari lantai dua dan jatuh ke ruang tengah di mana ada perapian sebagai penghangat di sana.

Kututup pintu kamar lalu kukunci, begitu juga kamar kamar lain, dapur, gudang, berikut juga pintu belakang. Semua kunci kumasukkan ke dalam tasku.

"Apa yang kau lakukan?" ujarnya dengan tatapan tajam.

"Keluar dari villa ini, beraninya kau membawa istri barumu ke sini," geramku.

"Ajudan, ambil kunci dari dalam tasnya," perintah Mas Yadi.

Kopral Hendra maju ke arahku dan bersiap merebut tas selempang yang kukenakan.

"Sedikit saja kamu menyentuh saya, saya akan membuatmu menyesal!" teriakku membuat pria itu mundur.

"Hei, jalang, kau pasti sedang merayakan kebahagiaanmu dengan suamiku, dan baju-baju ini dia belikan dari hasil mencuri sapiku, aku mengharamkan tiap sen yang kalian nikmati."

Aku menggeram lalu memungut semua pakaian itu lantas melemparnya ke perapian, api membesar dan melahap semua pakaian ganti wanita itu, sedang Mas Yadi menatap kejadian itu nanar.

Wanita itu terkesiap dan berpura pura menangis di hadapan suamiku, hingga membuat amarah Mas Yadi jadi memuncak.

Tiba tiba dia mendekat dan lantas melayangkan sebuah pukulan yang langsung membuatku oleng dan tersungkur, aku rasakan sudut bibirku mengeluarkan cairan rasa besi, rambutku berantakan dan aku yakin saat ini wajahku membekas gambar tangannya.

Sebuah sekop khusus mengangkat abu perapian berdiri tak jauh dariku, maka dengan mengumpulkan sekuat tenaga aku bangkit lalu meraihnya.

"Kamu memukulku, tampaknya kamu menguji kemampuanku, Mas." Aku mendelik sambil bersiap melayangkan sekop.

"Ajudan!" Orang yang disebut maju dan hendak menghalau aksiku.

"Jangan ikut campur kamu, Pak Hendra, meski kamu bukan bawahan saya, tapi tidak ibakah kamu melihat kesengsaraan saya?!"

"Bu, biar saya antar Ibu pulang."

"Tidak, sebelum mereka keluar dari tempat ini!" jeritku nyaris kehabisan tenaga, mulutku berdarah dan air mataku berderai.

Ini memalukan tapi sudah terlanjur terjadi.

"Aku tidak akan keluar!" tegas Mas Yadi.

Aku tak punya cara lagi, hingga tiba tiba kuraih ponsel di dalam tas dan bersiap merekam aksi pertengkaran kami.

"Ini akan menjadi bukti tambahan, aku akan menyerahkan ke pihak berwenang. Aku juga tak akan menahan lagi, akan kuberi tahu anak-anak sikap jahatmu, Mas."

"Hentikan itu!"

"Keluar dari vila ini!" Aku tak kalah sengitnya.

"Kau suruh aku kemana? Hah!"

bentaknya sambil menggenggam tangan Kartika.

"Masa bodoh! Kemana kau akan pergi, Mas, tidur di mana saja, di gubuk, di kandang atau di rumah warga asal jangan di sini." Aku tersedu-sedu meluapkan kesedihanku, rasanya tak sanggup kutahan air mata dan sensasi sakit di tenggorokanku akibat menahan diri.

Di masih bergeming di tempatnya.

"Atau ... kamu memang susah tidak memikirkan sudut pandang anak-anak setelah ini?" ancamku lagi masih memegang ponsel di salah satu tangan dan sekop di tangan yang lain.

Ah, posisiku ....

"Baiklah!" Ia menggandeng tangan istri barunya melenggang menabrak dan melewatiku.

"Hatiku hancur ya allah, berkeping-keping dan tak berbentuk lagi." Aku membatin sedang air mata ini tak henti-hentinya meluncur.

"Tunggu! sebelum itu ... kau harus kembalikan uang sapiku!"

Mas Yadi mendengkus sambil membalikkan badannya.

"Kamu menyimpan dan mengelola beberapa kali lipat uang yang kuambil. Lagi pula uangnya sudah habis."

"Delapan juta, satu malam?!" Aku melotot padanya.

"Aku sudah membaginya ...."

"Pada siapa? Anak tirimu, berani sekali kau mencuri uang anakku lalu memberinya ke anak si jalang ini ...."

"Hentikan menyebutnya jalang atau aku akan menggunting bibirmu!"

"Lantas apa sebutan baginya, Kartika Suryadi kah, si Nyonya istri Komandan?" Aku berteriak histeris membuat Kopral Hendra melangkah dan membantuku berdiri tegak.

Mas Yadi menggeram dengan cengkeraman tangan lalu meninju pintu dengan keras hingga menimbulkan suara berdebum yang memekakkan telinga.

"Kalo kau terus begini aku akan meninggalkanmu!" ancamnya.

"Sebelum kau meninggalkanku, aku telah lebih dulu menghancurkanmu, Mas, laporanku sudah kuserahkan ke markas daerah, kau akan menerima akibatnya. Tinggal pilih sekarang, kau tinggal gundik ini atau tamatlah kariermu!"

"Aku tak peduli!" Itu teriakan emosinya yang terakhir kudengar hingga tiba-tiba telingaku berdenging, tubuhku lemas karena belum makan seharian, lalu semuanya gelap.

Next lebih sakit hati lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status