Pagi-pagi sekali suara mesin mobil Mas Yadi menderu dan berhenti di depan rumah, aku yang masih mengenakan mukena setelah salat Subuh dan membaca Alquran, mengintipnya dari jendela dan melihatnya terburu-buru masuk ke dalam rumah.Baru saja hendak keluar ke ruang tamu tiba-tiba suamiku membuka pintu kamar dan kami hampir bertabrakan di ambangnya.Dia menyingkirkan bahuku dan melewatiku tanpa kata sedikit pun, dan akupun enggan banyak bicara selain menunggu apa yang ingin dia ungkapkan.Dia membuka laci meja mengambil beberapa kertas miliknya, lalu membuka pintu lemari dan terlihat mencari sesuatu,aku berdiri saja sambil menyimak apa yang hendak dia lakukan."Seragamku mana? Kenapa tidak disiapkan?" Dia memasang nada suara seolah-olah tidak terjadi sesuatu."Mana aku tahu kalau Mas akan pulang ke rumah dan meminta disiapkan seragam, bukankah sekarang segalanya sudah berbeda?""Apa maksudmu?" Dia mendongak dengan tatapan berkilat."Ya mungkin saja ... Istri baru Mas akan mengambil alih
*Seiring kepergian Novita, kubalikkan badan menuju ke kamar namun ketika aku menghadap cermin di depan bufet lebam di sudut bibirku sangat nyata terlihat bekasnya. Meski ditutupin dengan bedak, atau dengan berbagai alasan, tetap luka itu terlihat sebagai bekas tamparan. Memalukan sekali!Untungnya, setelah kepergiannya malam kemarin, pria licik itu meminta Kopral Hendra untuk menungguiku siuman dan mengantarku pulang.Yang membuat sedih adalah mengapa Mas Yadi tidak Iba sedikitpun melihatku tersungkur dan berdarah, sebaliknya ia melenggang santai meninggalkanku bersama simpanannya.Pantaskah seorang istri yang sudah mendampingi dari susah dan tertatih-tatih hingga bisa sukses seperti sekarang, ditinggal begitu saja, terkapar pingsan bersama seorang ajudan?**Pukul dua siang,"Bu, apakah Ibu ada rencana minggu ini?"tanya Mbak Novita setelah memberi hormat, sekembalinya ia dari Kodim.Sebenarnya aku harus memanggilnya adik, tapi karena tidak enak dan menghargainya aku menyebut
Mendapatimu sudah masuk secara diam-diam ke dalam kamar, wanita itu terperanjat bukan main dan dan langsung mundur sambil menutup kedua tangan ke mulutnya."Ah, Mbak, a-anu ....""Jalang licik, apa kamu merasa sudah menjadi menjadi anggota Persit hanya dengan mencoba baju itu, atau ... kau tak sabar ingin segera menjadi nyonya?"Kuhidupkan ponsel, tatih rekaman video dan kuletakkan di atas bufet kamar."Kenapa kau menghentikan aksimu berlenggak lenggok di depan kaca, ayo lanjutkan," ujarku sambil menghampirinya sedang dia mundur teratur dengan sedikit gemetar."A-aku hanya penasaran ingin mencoba Mbak,"ujarnya pelan hampir tidak terdengar, "a-aku akan melepasnya." Ia berusaha membuka kancing baju itu."Tidak usah! kau memang pelacur jalang yang sangat ambisius, sudah merebut suamiku kini kau ingin merebut pakaian dan rumahku," geramku sementara video terus berjalan merekam kami." Sungguh Mbak, a-aku hanya ...." Belum selesai dia melanjutkan kata-katanya aku sudah menyerang rambut
Pagi sekali aku mendapat kabar bahwa Ibu atasan sangat kesal, dan dia memanggilku,"Kenapa? apakah karena aku tidak berkunsultasi dengannya dan langsung ke Pangdam sehingga dia dan suaminya kesal? Aku yakin Bapak Pangdam telah menegur mereka, dan mereka kesal karena di pertanyakan tanggung jawabnya pada bawahan?" batinku berfikir Dia menelepon membuatku cukup gugup untuk menggeser tombol hijau dan menjawab. Beliau tumben tidak seramah biasanya, intonasinya terdengar dingin dan seram."Halo, assalamualaikum, Ibu," sapaku perlahan."Walaikum salam.""Apa kabar Ibu?""Saya baik, saya ingin tanya sesuatu sama Adik, tapi saya akan menunggu adik datang ke rumah saja," ujarnya."Ya, Bu, izin untuk bisa menemui Ibu besok ya," pintaku."Saya saya tunggu pukul sembilan pagi."*Baru saja kututup ponsel tiba tiba mobil Pajero milik Mas Yadi berhenti di depan rumah. Mesin dimatikan dan pria yang kini kubenci itu masuk ke dalam rumah."Senang kan? aku harus disudutkan karena video yang kamu k
Meluncur diantar ajudan Mas Yadi kembali dari rumah Ibu Danrem, kabarnya Mad Yadi sedang interogasi jadi kurasa hari ini dia tidak akan pulang.Mobil berjalan di lajur kiri dengan mulus, sedang aku menyandar di jok belakang sambil menerawang, hingga mobil kami berhenti di perempatan karena lampu merah.Suasana kota di siang hari sangat ramai, bunyi klakson kendaraan yang menumpuk di belakangku menyentakkan lamunan, hingga kusadari di sebelah kiri ada butik khusus yang menjual baju pegantin dengan display gaun gaun cantik yang indah dipandang."Kelak jika Imel atau Siska menikah, aku akan mengajak mereka kemari untuk mengepas baju pengantin," gumamku dalam hati sambil tersenyum kecil.Namun baru saja bergumam demikian, tiba tiba aku melihat si jalang, ya Kartika!Dia mengenakan blazer warna ungu dan rok yang membuatnya terlihat bagai Nyonya, sebuah topi bundar dengan pita menghias di kepala dan sepatu heels yang kutaksir dari brand ternama ia kenakan melengkapi penampilannya."Astaghfi
"Turunkan aku di tepi jalan saja, Mas," pinta Kartika kepada Mas Yadi."Aku nggak mau turunkan kamu di sembarangan tempat, setelah Hendra mengantarkan kami, kamu bisa diantar pulang," kata Mas Yadi sambil menggenggam tangannya.Kira-kira jika wanita lain ada di posisiku, menatap suami mereka duduk dekat dan berpegangan tangan, apa yang akan terjadi."Enak aja, nggak bisa Mas, si Om harus menjemput anak-anak ke sekolahnya," balasku menyela percakapan Mas Yadi."Kamu terus menerus menyela, Sakinah," ucap Mas Yadi sewot."Apa kalian saja yang boleh bicara dan aku tidak boleh?!" balasku sengit membuat ajudan kami hanya menggelengkan kepala saja."Bukan begitu Sakinah, kamu sudah tahu aku tidak mungkin membawa Kartika ke markas.""Kenapa? Mas takut? Mas khawatir akan ditampar oleh Komandan, sebegitu pengecutkah?" Aku sinis dan tertawa."Entah kenapa mulutmu begitu kasar, Sakinah." ia menunjukkan wajah tak suka."Ya ampun, kamu mengomentari kata-kataku sementara aksimu yang memalukan itu,
*Aku kembali ke rumah, ketika hari sudah mulai petang, anak-anak yang sedang duduk di ruang tv menikmati tayangan dari layar datar tersebut terlihat membalikkan badan ketika aku menutup pintu rumah."Mama, mama baru pulang ya?" tanya Siska padaku sambil berdiri dan menyambutku."Iya, sayang Mama buru pulang, capek banget," ujarku sambil menjatuhkan diri di sofa dekat mereka."Memangnya akhir-akhir ini Mama ngurusin apa sih? Mama kelihatan kurus dan mata Mama berkantung hitam, adakah hal yang serius yang sedang Mama pikirkan?" tanya si Kakak menimpali ucapan adiknya."Iya, ada hal serius, dan ini beneran serius.""Apaan, Ma?" Si Adik lebih penasaran sekarang."Mama ingin bicara, tapi mama mohon kalian untuk mengendalikan diri agar hal ini bisa diselesaikan dengan kepala dingin," pintaku berhati-hati."Apa Ma? Ayo dong, kita bakal mati penasaran kalo gini," kata Siska tak sabar."Sebenarnya Papa diam-diam menikah lagi," kataku lirih."Apa?!" Kedua anakku terbelalak dan menyebut itu ham
**"Tahan!" Siska berteriak amat kencang membuat kami menghentikan langkah kami."Stop! semua! Tante, kalau Tante masih punya akal, silakan angkat kaki dari tempat ini, Tante sadar 'kan kalau ini bukan rumah, Tante," ujarnya setengah panik sambil memegang Kakaknya."Ini juga bukan rumah kalian," jawabnya menggeram."Setidaknya, kami berhak ada disini, kalau Tante memang masih waras, Tante tidak akan datang dan memaksa orang lain untuk bercerai dengan suaminya," kata Imel sambil menunjuknya.Wanita itu sesaat terlihat ragu dengan gerakannya sendiri, baik aku maupun dia kami sama-sama tidak mampu menahan nafas yang memburu karena emosi."Percuma bertengkar seperti ini, Papa yang akan menjatuhkan pilihan dan memutuskan untuk hidup dengan siapa, jadi hentikan."Aku menatap sorot mata Siska dengan penuh keheranan, tidak biasanya dia bersikap begitu tenang seperti hari ini, aku mencoba memberi isyarat apa maksud dari yang dia lakukan sekarang, namun hanya ditanggapi dengan menggeleng.Wani