Share

2. Curiga

2; Curiga 

****

Untuk beberapa saat, aku hanya bisa berdiri di pelataran parkiran dengan tatapan kosong. Terik matahari membuat pandanganku semakin kabur dan berkunang-kunang.

Namun di dalam buram pandangan mata, aku melihat bayangan Bang Asrul dan gadis itu menari-nari di depan pelupuk mata, seolah mereka sedang menertawakan dan mengejek diriku.

Entah itu sebuah fatamorgana atau sekedar ilusi dan imajinasi liarku, yang masih belum bisa menghapus foto suami dan gadis tersebut dari memori ingatan. Dan hal tersebut membuat kepalaku seperti berputar hingga terasa begitu berat. 

"Lebih baik Rahma antar Kak Marina pulang sekarang, biar motor Kakak di ambil sama Mario," kata Rahma lagi.

Rahma menuntunku masuk ke dalam mobilnya. 

Sepertinya aku memang harus di antar Rahma pulang, karena aku merasa seluruh tubuhku begitu lemas. Entah ke mana hilangnya tenagaku tadi. 

Setelah aku berada di dalam mobil, Rahma yang berada di sampingku lagi-lagi memandangku dengan tatapan aneh. 

Dia seolah menyembunyikan sesuatu dariku. Tatapan matanya semakin membuat pikiranku tidak menentu.

"Kak Marina, mmm ...." Rahma menggantung kalimatnya. 

"Ada apa Rahma, apa kamu mengetahui sesuatu?" selidikku. 

"Tidak Kak, aku hanya mau bilang kalau motor nya biar diambil sama Mario. Dan aku sudah memberitahukan lewat pesan."

Rahma berusaha menjawab dengan setenang mungkin. Namun dari mimik dan ekspresi wajahnya, aku tahu dia sedang berbohong dan menyembunyikan sesuatu dariku. 

"Kakak minumlah dulu ini, biar agak tenang."

Rahma menyodorkan sebotol air mineral kearahku. Perlahan, mobil Rahma melaju meninggalkan parkiran kafe, di mana aku berencana makan siang bersama teman-teman sekolahku dulu. Sebuah rencana yang telah kami susun sejak lama, namun ternyata aku harus pulang terlebih dulu karena melihat kemesraan suami dan gadis yang tidak kukenal dalam unggahan foto di media sosial.

***

Mobil Rahma memasuki halaman rumahku yang luas, aku tidak memasang pagar atau gerbang di rumahku. Karena lingkungan tempat tinggal kami jarang yang rumahnya dipasang pagar. 

Hanya pagar tanaman yang mengelilingi rumah, dan Bang Asrul selalu merapikan tiap beberapa hari sekali.

Rahma memapahku berjalan memasuki rumah. Sebenarnya aku bisa berjalan sendiri, namun Rahma kekeh membantuku berjalan. 

Rumah terasa sunyi. Dan kesunyian itu kini makin terasa. Karena di usia pernikahan kami yang ke 15 tahun, kami belum juga dikaruniai momongan. Mengingat hal itu, hatiku tiba-tiba terasa nyeri seolah ada yang diambil paksa dari sana.

Kupersilahkan Rahma duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Kulihat dia sedang asik memperhatikan foto pernikahanku dengan Bang Asrul yang berada di pigura kecil.

"Tidak terasa ya, Kak, kalian sudah melalui kebersamaan selama lima belas tahun. Rahma berkata lirih.

"Iya, ga terasa dah selama ini." Aku menjawab lirih, bahkan hampir tidak terdengar.

"Rahma, Kakak buatkan minuman sebentar, ya?" ucapku sambil berlalu meninggalkan Rahma menuju dapur.

Kukeluarkan ponsel dari saku celana, dan aku baru sadar, sejak dari kafe tadi, Bang Asrul belum menghubungiku. 

Tidak biasanya dia seperti itu, apalagi saat itu adalah jam makan siang. 

Bang Asrul pasti akan menelepon atau mengirim pesan sekedar mengingatkanku untuk tidak telat makan. 

Tapi aku harus menelan kekecewaan, karena tak kutemukan pesan atau panggilan yang terlewat dari Bang Asrul. Kusimpan ponselku ke dalam saku celana. 

Berharap jika sewaktu-waktu Abang menghubungi, aku akan segera tahu. 

"Kak, Kak Marina ...."

Terdengar Rahma memanggilku dari ruang tamu. 

Dia pasti kelamaan menunggu minuman yang sedang kubuat. 

Tak ingin Rahma menyusulku ke dapur dan mendapati diriku yang meratap seperti ini, bergegas aku membawa dua gelas sirup ke depan. 

"Maaf ya, agak lama. Tadi kakak lupa naruh sirupnya di mana," ucapku memberi alasan sebelum Rahma bertanya. 

Hanya dengan beberapa teguk, segelas sirup sudah berpindah tempat ke perut Rahma. 

"Ah, segeeer...." ucap Rahma setelah meneguk habis isi gelas miliknya.

Aku hanya tersenyum memandang tingkahnya. Masih sama seperti ketika dia kecil dulu, periang dan kadang sedikit konyol.

"Kenapa Kak, senyum-senyum sendiri?" tanyanya dengan memicingkan mata. 

"Ngga, cuma lucu aja. Dari dulu kebiasaan kamu tidak berubah, ya," jawabku.

Rahma hanya tersenyum mendengar ucapanku. 

"Kak ...?" Rahma memanggilku, suaranya terdengar sedikit ragu.

"Iya, kamu mau ngomong sesuatu?" tanyaku penuh selidik ketika lagi-lagi Rahma menggantung kalimatnya, dan itu semakin membuatku penasaran.

"Tentang gadis dalam foto Bang Asrul ... sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi aku kurang yakin apakah dia adalah orang yang sama." Rahma berkata sambil berusaha mengingat sesuatu, hingga membuat dahinya berkerut.

"Benarkah? Lalu ... di mana kamu pernah bertemu?" Tanyaku dengan cepat.

"Tapi sekali lagi, aku masih belum yakin, apakah itu adalah orang yang sama atau bukan. Karena waktu itu aku hanya melihat sepintas," jawab Rahma menjelaskan.

"Di mana kamu melihatnya?" cecarku sekali lagi.

"Di tempat kerja Bang Asrul," jawab Rahma pendek.

Mendengar penuturan Rahma, lagi-lagi hatiku terasa seperti tertohok. Jika apa yang dikatakan Rahma benar, berarti mereka memang sering bertemu. Dan itu semakin membuat hatiku semakin terasa sakit, karena aku baru mengetahui hal itu.

Mengingat semua itu, tenggorokan seperti tercekat, bahkan untuk menelan ludah pun terasa susah. 

"Mungkin Bang Asrul benar Rahma, dia adalah teman kerjanya," ucapku kemudian. Sebenarnya apa yang aku katakan tak lebih hanya untuk menghibur diriku sendiri. 

"Kak ... tapi apa yang aku katakan ketika di parkiran itu benar. Aku melihat aura gadis itu begitu gelap." Rahma berkata sambil memegang tanganku, sementara matanya menatap manik mataku dengan tajam.

"Jika Kakak ada masalah sama Bang Asrul, selesaikanlah secepatnya. Jangan beri celah orang ketiga untuk masuk." Rahma melanjutkan.

Degh ....! 

Kalimat Rahma bagai sebuah pukulan keras yang menghantam dadaku. Dia benar, kami sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. 

Karena akhir-akhir ini Bang Asrul banyak sekali berubah. 

Dan aku tidak tahu harus darimana membenahinya, jika diriku sendiri tidak tahu bagian sebelah mana yang salah. 

"Terima kasih Rahma ...." ucapku tulus. 

"Mengenai gadis itu, aku akan coba cari tau lebih banyak tentang dia. Kakak ingat, kan, sama Amanda? Bukankah dia bekerja di tempat yang sama dengan Bang Asrul? Aku bisa cari tahu dari dia." 

Rahma berkata sambil mengingatkanku tentang Amanda, gadis yang bekerja di tempat yang sama dengan Bang Asrul.

"Dan satu lagi, bantu Bang Asrul dengan doa, ya, Kak?" Rahma berkata, dan kali ini ucapannya membuat dadaku berdegup kencang. Yang aku sendiri tidak tahu kenapa.

Banyak sekali yang dikatakan Rahma padaku, sebelum dia berpamitan pulang. Namun dari sekian banyak kata-kata yang diucapkan Rahma, ada satu kalimat yang begitu membekas, agar aku membantu Bang Asrul dengan doa.

Ada apa ini sebenarnya Tuhan, kenapa aku merasa begitu takut?

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status