"Ini siapa ya?" Tanyanya.
"Saya Diana, benar ini dengan nomer Mbak Fiona?" Jawabku tegas."Benar ...." sahutnya. Bibirku melengkung tipis, untuk beberapa detik aku terdiam. Memikirkan harus memulai pembicaraan dari mana."Maaf, Diana siapa ya?" Suara Fiona terdengar."Eh iya Mbak, saya ... saya ada perlu dengan Mbak Fiona. Bisa kita bertemu?" Aku menggigit bibir, mencerna kata-kataku sendiri."Bertemu? Apa sebelumnya kita pernah kenal?" Tanyanya."Kita memang belum pernah kenal, tapi saya membutuhkan bantuan Mbak Fiona," jawabku."Butuh bantuan?" Nadanya terdengar heran."Maaf saya sibuk.""Ini masalah Anitta," ucapku kemudian, sebelum Fiona memutuskan sambungan. Dia pasti berfikir, aku seorang penipu, yang butuh bantuan uang. Fiona terdiam, aku memeriksa gawai. Detik panggilan masih berjalan."Anitta? Anitta siapa?" Tanyanya."Anitta ... PerPerlu kamu ingat Mas, jika kita berpisah. Aku tidak akan membiarkan kalian hidup bahagia. Aku akan melakukan apapun, agar hidup kalian tersiksa bagai dineraka.Langkah terasa melayang, kujatuhkan tubuh diatas pembaringan luas ini. Meraba sprai dan bantal tempat istirahat Mas Mahesa, ada perih yang tidak bisa untuk dijabarkan.Nafasku sesak, air mata ini mengalir dengan deras. Berkali aku menghapus bulir yang keluar, namun semakin deras dia keluar. Aku biarkan dia mengalir, menyakinkan diri bahwa ini adalah air mata yang terakhir."Mih ... Mamih," suara Mas Mahesa masih terdengar diluar pintu. Aku menoleh, menatap nanar pintu yang mungkin dia bersandar dibaliknya.Sikap Mas Mahesa yang kian berubah, rasa sayang yang mulai terkikis. Membuat aku bertekad untuk mengakhiri segalanya, aku sudah berusaha untuk mempertahankan keluarga kecil ini. Namun apa artinya jika disatu sisi, Mas Mahesa malah menghancurkannya.Menyedihkan
Penglihatanku mengabur, perlahan mata tertutup dengan sendirinya. Kini bukan hanya suara Mas Mahesa yang menggema ditelinga, suara anak-anak pun terdengar meneriaki namaku.***Ofd.Pov Mahesa."Gimana ini, Mas? Kamu tidak akan meninggalkan aku, bukan?" Anitta terus saja mencecarku."Apa aku bilang, perempuan sialan itu pasti sudah tahu semuanya. Dan dia mengadu sama Mamah kamu, Mas," sambung Anitta. Wajah cantiknya terlihat panik, dia takut aku akan mengakhiri hubungan ini."Pleas!! Aku sayang sama kamu, jangan tinggalkan aku ya. Buang saja si Diana itu, dia tidak pantas menjadi istrimu lebih lama lagi," Anitta meraih kedua tanganku, lalu menciuminya. Dia menatap iba, dan menyapu wajahku dengan tangan lembutnya. Kini kedua tangan itu membingkai wajahku."Mas ... jangan diam saja, aku takut!" Anitta menatap lekat, hembusan nafasnya hangat menerpa wajahku. Ini yang aku suka dari Anitta, bagaimana pun ekpresinya, dia tetap kelihatan sexy.
"Pasien mengalami benturan keras, Dok. Saat ini pasien kekurangan banyak darah!" Ucap perawat sambil berjalan tergesah, beriringan dengan Dokter lalu masuk kedalam ruangan UGD."Mamih!!" Teriak Adit sambil mendongkakkan wajah, tatapan kebencian dia layangkan padaku.Pak Dody merangkul tubuh anakku, nafas Adit memburu masih menatapku lekat. Aku mengurut kening, mengapa Adit terlihat marah padaku. Sangat tidak sopan sekali?Atau jangan-jangan ....Jantung berdetak cepat, kepalaku pusing mencerna prilaku Adit. Aku memeluk Deo yang terus menangis, sesekali melirik Adit yang masih menatapku dengan murka.Adit menghentak kaki, menatap lurus nafasnya memburu seolah bersiap untuk menyerangku."Mahesa ...."Mamah dan Papah terlihat berlari kearah kami, aku langsung bangkit menyambut mereka."Diana, kenapa bisa terjatuh?" Mamah langsung menyerang dengan pertanyaan. "Kamu kemana, heh!" Kali
Gawai berbunyi nyaring, dengan lemas aku merogoh saku celana. Nama Nitta tersemat didalam layar, aku tekan tombol on-off lalu kembali memasukkannya kedalam saku.Saat ini aku tak ingin memikirkan apapun, aku hanya ingin Diana selamat dan baik-baik saja.Anitta ... dia pasti akan menanyakan kabar, dan menekan agar aku berpisah dengan Diana. Kembali aku menarik rambut, denyutan dikepala semakin menjadi-jadi, otakku seakan mengeluarkan asap saat ini."Mahesa!" Mamah melambaikan tangan kearahku. Aku cukup terkejut, tak menyangka Mamah mencari keberadaanku."Iya, Mah?" sahutku lesu."Duduk disana, awas kalau sampai kamu pergi kerumah gundik itu!" Ancam Mamah dengan kilat kemarahan. Aku hanya diam tak menyahut, namun langkah berjalan sesuai perintahnya.Satu jam menunggu, Dokter keluar dari ruangan UGD. Keluargaku langsung menyerbu, menanyakan kabar Diana. Istriku."Gimana anak saya, Dokter?" Tanya Ibu mertua dengan wajah cemas."Gim
Ahh ... mengapa aku jadi sepicik ini, karna takut kehilangan Diana. Aku jadi tak menginginkan kesadarannya."Kalau sampai terjadi sesuatu pada anakku, aku tidak akan tinggal diam. Jika Diana membenarkan ucapan Adit, itu berarti tindakkan Mahesa sudah termasuk tindakan kriminal. Aku tidak dapat memaafkannya," tegas Ibu dengan tatapan mematikan. Mamah terlonjak mendengarnya, rautnya begitu khawatir."Aku tidak bohong, Bu." lidah mendadak kelu, aku tidak biasa berbohong. Ada rasa yang mengganjal saat mengatakan itu semua."Pulanglah, Mahes. Kamu disini hanya membuat gaduh keadaan," Papah ikut bicara."Tapi, Pah. Diana ada didalam, mana mungkin aku pulang kerumah," sahutku tak terima.Aku tahu, saat ini aku bersalah. Tapi tak seharusnya Papah menyuruhku pulang, aku bukan suami yang tak bertanggung jawab. Kesalahanku hanya satu, yaitu ingin memiliki wanita baru."Iya, Papah mengerti. Tapi saat ini kondisi tidak kondusif.""Apanya yang tida
"Ya." Papah mengangguk tegas. "Dan Diana, membenarkan ucapan Adit," sambung Papah dengan tatapan tajam mematikan. Membuat persendianku lemas seketika.Astaga, Diana. Apa yang sudah kamu bicarakan."Apa yang merasuki mu, Mahes? Kenapa bisa berbuat sebodoh itu," wajah Papah mengeras, lalu memijit pelipisnya dengan kencang.Aku menghela nafas, tubuh begitu lemas mendengar kenyataan Diana tidak memihak padaku.Mengapa dia begitu tega, hilangkah segala kebaikan yang selama ini aku lakukan dimatanya? Tidak bisakah Diana menutupi aibku sedikit saja. Kalau sudah begini, bagaimana aku dimata keluarganya. Mungkin saja mereka saat ini sudah mengecapku sebagai seorang penjahat.Argh!Pusing sekali rasanya, kepalaku terasa ingin meledak saking panasnya."Jika keluarga Diana ingin melaporkan masalah ini pada pihak yang berwenang, Papah tidak mau ikut campur. Selesaikan masalahmu sendiri, jangan libatkan Papah. Apalagi Mamahmu," tegas Papah sambil m
Mata membulat sempurna, saat melihat Mamah dan Papah berdiri diambang pintu dengan tatapan murka dan menakutkan. Hawa panas langsung menyerang tubuh, firasatku mengatakan saat ini sedang tidak baik-baik saja. "Ada apa, Mah? Datang kok marah-marah begitu?" Tanyaku berpura tenang, sambil bangkit dari kursi. Mamah mendengkus sinis, lalu berjalan mendekat. "Kemasi barang-barangmu. Hari ini juga jabatanmu Mamah cabut, Mamah ga mau melihat kamu ada diperusahaan ini," ucapnya dengan nafas memburu dan mata mendelik tajam. Alisku menaut kencang, lelucon macam apa lagi ini? "Mamah lupa? Aku pemilik perusahaan ini. Papah sendiri yang sudah menyerahkan semuanya padaku," balasku tak terima. Enak saja mau mencopot jabatanku, aku ini pemilik. Tidak bisa digantikan. "Sayangnya, saat itu Papah hanya berencana saja Mahes." Timpal Papah, membuat pandangan kini fokus melihatnya. "Mak-sud Papah?"
"Mohon maaf, Pak. Kartu limit, tidak bisa digunakan?" Ucap Mbak kasir sambil menyodorkan kartu dihadapanku.Hah ... Limit, tidak bisa digunakan? mana mungkin?"Tidak mungkin? Saya belum melakukan transaksi apapun hari ini," sahutku sambil menerima kartu atm tersebut dan menimangnya.Apa yang salah?"Mohon maaf, Pak. Saya sudah mencoba sebanyak 2 kali. Tapi tetap hasilnya tidak bisa," balas Mbak kasir, masih dengan senyum ramahnya."Ada apa sih, Mas?" Anitta yang sedang berbincang dengan pegawai salon yang tadi menggodaku, jalan mendekat."Ini, kartu. Kok ga bisa dipakai, padahal uangnya masih banyak," jelasku. Kening Anitta bertautan. Dia melangkah mendekati kasir."Mesinnya tidak rusakkan?" Tanya Anitta."Mesin baik-baik saja, Mbak." Jawab kasir.Aku kembali merogoh dompet dan mengeluarkan kartu yang lain."Coba pakai ini," aku menyodorkan atm cadanganku