Kasih terisak sambil menyeka air matanya yang tak kunjung reda. Tangan kecil Umar mencoba meraih wajahnya, seolah ingin memberikan penghiburan dengan sentuhan lembutnya.
Kasih mencium tangan mungil itu berkali-kali, menahan gejolak hatinya. "Maafkan ibu, Nak," bisiknya. Keadaan psikis Kasih benar-benar berada di titik terendah, memengaruhi produksi ASI yang ia berikan untuk Umar. Walau sudah dikenalkan MPASI untuk putranya yang berumur delapan bulan itu. Namun, tetap ASI ibunya yang dicari setiap lapar maupun haus. Karena menyadari hal itulah, Kasih bergegas ke dapur, mencoba mengalihkan segala hal yang menjadi beban pikirannya. Perempuan yang dipersunting Faiq tiga tahun lalu itu, mengayunkan langkah menuju kulkas yang berseberangan dengan kompor di dapurnya. Kasih mengambil sayur segar yang masih tersisa dalam box kulkas paling bawah. Ia mengambil sayur pare, tempe yang tinggal separuh. Kasih mulai mengiris tipis tempe, merajang pare dan menyiapkan bumbu untuk menumis. Saat memasak bayangan kebersamaan dengan Faiq tiba-tiba menguasai pikirannya. Biasanya, suaminya yang akan membantu di dapur. Dengan tawa dan candaan, Faiq sering kali menggoda, mencium pipi, menjawil dagu saat Kasih sedang sibuk mengulek bumbu. "Istri siapa sih, ini ... sudah cantik, pandai memasak lagi," ujar Faiq. Dan ketika Kasih mencebik, dengan gemas suaminya menggigit bahunya. Kalau sudah Faiq mulai berulah, Kasih akan mengacungkan ulegkan ke arahnya. "Mas, ini bekas cabai mau coba?" ancamnya dengan ekspresi segalak mungkin. "Ampun, Permaisuriku!" seru Faiq tergelak dengan mengangkat kedua tangan. "Daripada di sini, enggak selesai aku masaknya. Mendingan Mas temani Umar!" Perintah Kasih akan disambut tanda siap, laksana komandan upacara oleh Faiq. Lantas suaminya pun berlalu meninggalkan dapur untuk menemani putra mereka di ruang tengah. Namun kini, setiap sudut rumah itu hanya menyimpan kenangan yang membuatnya semakin terluka. Faiq memang tak sepenuhnya pergi, tapi ketika hati dan jiwanya terbagi, Kasih merasa hidupnya seolah kehilangan arti. Sebelum tenggelam lebih jauh dalam bayangan akan suaminya, Kasih segera menyelesaikan masakannya. Ia harus makan cepat karena Umar tidak bisa ditinggalkan lama. Setelah makan, Kasih kembali ke kamar, namun hatinya mencelos saat menyadari Umar tidak ada di ranjang, tempat ia tinggalkan. "Innalillahi … Umar!" serunya panik. Pikirannya langsung dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk. Bagaimana jika Umar diculik? "Umarr!" Kasih mulai berlari keluar kamar, histeris mencari putranya. Namun, betapa terkejutnya dia saat melihat Faiq sedang menggendong Umar yang tertidur pulas di dekapan ayahnya. "Sayang," sapa Faiq lembut, mendekat ke arah Kasih. Senyum tipis terulas di wajah Kasih meski terasa begitu dipaksakan. "Saat Mas masuk tadi, Umar terbangun. Tercium bau masakan, pasti ibunya lagi memasak di dapur, makanya Mas bawa keluar, rupanya masih berlanjut tidurnya," jelas Faiq tanpa diminta. Kasih masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Hatinya bertanya, kenapa Faiq ada di sini? Bukankah hari ini adalah akad nikah suaminya dengan Zahra? "Eem, iya ... tadi aku di dapur, Mas. Masak, lanjut makan sebentar," jawab Kasih, mencoba menutupi kegugupannya. Faiq tersenyum dan mengajaknya masuk ke dalam. Ia membaringkan Umar ke kasur dengan perlahan sementara Kasih hanya berdiri mematung di ambang pintu. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya, tapi lidahnya kelu. Dadanya menahan sesak, hampir saja meledak menjadi tangisan. Tetiba Faiq mendekapnya erat. "Aku mengkhawatirkanmu," ucap lelakinya itu. "Mas … Aku dan Umar baik-baik saja." Kasih mencoba terdengar tegar, walau kenyataannya berbeda. "Abah dan Ummi pasti mencarimu, Mas ... Pergilah," lanjutnya dengan nada getir. Faiq menggeleng, "Aku ingin menemanimu dulu." Pelukan Faiq semakin erat, dan Kasih hanya bisa pasrah saat terkungkung dekap suaminya. Dalam dua bulan terakhir, sejak rencana poligami itu disampaikan oleh Abah dan Umminya, Faiq semakin menunjukkan perhatian dan cintanya. Bahkan, ia sering melakukan panggilan video saat sedang mengajar, memastikan bahwa Kasih dan Umar baik-baik saja. "Aku menyayangimu," Faiq selalu mengucapkannya sebelum tidur. Namun, meski hati Kasih penuh dengan cinta, ia masih harus menunggu waktu yang tepat untuk berdamai dengan keadaan. Untuk menerima kenyataan bahwa ia harus berbagi suami. ---Rcr Sore mulai merambat, namun Faiq belum juga pergi. Ia malah sibuk bermain dengan Umar dan bahkan memandikannya. Kasih gelisah, takut bapak mertua murka. Terlebih lagi, Faiq mematikan ponselnya sehingga tidak ada yang bisa menghubungi. "Mas ...." tegur Kasih pelan saat Faiq memakainya pakaian pada putra mereka. "Biar aku yang melanjutkan, Mas Faiq mandi saja," katanya lembut. "Enggak apa, Dek," balas Faiq santai. Kasih menyerah dan beranjak ke dapur untuk membuat teh panas. Tak lama kemudian, suara deru mobil terdengar di luar rumah. Kasih melihat Faiq sedang menemui seseorang di teras. Dua orang membawa sekarung beras, sembako lengkap, ada 2 rak telor, diapers, biskuit yang biasa dibeli buat Umar bahkan 3 kotak susu untuk ibu menyusui. "Loh, ini apa?" Kasih terheran. Faiq masuk rumah setelah selesai berbicara dengan kurir. "Mas sengaja belanja agak banyak tadi, buat persediaanmu di rumah, Dek. Untuk belanja sayur, tunggu Pak Parji saja. Jangan lupa, diminum susunya," jelasnya. Kasih semakin merasa ada yang janggal. Biasanya mereka hanya membeli sembako dalam jumlah kecil untuk kebutuhan sehari-hari. "Aku tidak ingin kamu kerepotan, Dek." Tambah Faiq seolah bisa membaca raut heran istrinya. "Ini, Mas tarikkan tunai untuk pegangan kamu." Kasih menerima lembaran uang merah dalam jumlah yang lumayan banyak. "Mas, ini terlalu banyak. Uang gajian dari Mas, juga belum aku ambil di ATM." "Sudah lama kamu enggak bawa motor, Dek. Biasa kemana-mana Mas yang antar. Ada Umar juga sekarang. Jadi, enggak usah kemana-mana dulu ya, sebelum Mas pulang nanti." Kata-kata Faiq seolah memberikan tanda bahwa ia akan pergi lama. "Selesai urusan Mas nanti, Mas akan segera pulang. Jangan berpikir buruk, Sayang," lirih Faiq seolah membaca kegelisahan Kasih. "Ini hari yang berat buat kita berdua, keyakinan dan rasa percaya adalah kunci kita saat ini." Ajaibnya, kali ini Kasih tidak lagi menangis. Mungkin inilah yang disebut dengan kepercayaan. Ia percaya dan yakin, tiada kebohongan di pancaran teduh kedua mata suaminya. "Mas sangat mencintaimu, Dek ... Jangan sekalipun meragukan perasaan Mas, ya," ucap Faiq sebelum memeluknya erat kembali. . . Next ...Sampai salam ketiga tidak juga ada jawaban, Faiq Hamzah memutuskan membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Suasana tampak lengang, beberapa mainan Umar berserakan, sebuah sapu teronggok di pojok dinding. Pertanda bersih-bersih rumah belum tuntas. Melihat kamar tertutup rapat, dapur nampak terang. Ia segera ke dapur. Ada rajangan buncis di wadah, bawang merah-putih yang telah dikupas, potongan wortel masih berada di atas talenan, dan tiga potong tahu terendam di mangkok. Sepertinya mau masak sayur, pikir Faiq. "Kasih kemana?" gumamnya. Faiq bergegas ke halaman belakang, karena pintu dapur terbuka. Siapa tahu, sedang memetik daun salam. Namun, ia tidak juga menemukan istrinya. Tiba-tiba terdengar langkah berat, tampak Kasih sedang berjalan terhuyung. Tangannya meräba dinding samping pintu kamar, supaya tidak limbung. Faiq segera menghampirinya. "Dek," panggilnya, meraih tubuh Kasih yang mulai ke
"Assalamualaikum, Abah, Umi," sapa Kasih dengan suara bergetar begitu mendapati kedua mertuanya berdiri di teras."Waalaikum salam," balas Afiah sementara Aziz hanya menggumam."Mari masuk, saya baru dari tempat Mbah Mi untuk memijatkan Umar." Kasih memutar kunci, membuka pintu, mempersilakan kedua mertuanya masuk."Biar umi yang gendong Umar, Sih.""Nggih Mi, agak demam Umar dari kemarin," ujar Kasih seraya melepaskan simpul selendang di punggungnya. Sedangkan Afiah memegang tubuh cucunya."Innalillahi... Sudah ke dokter, Sih?" Afiah meräba kening Umar."Belum sempat Mi, semalam saya kompres.""Sudah tahu, demam malah dipijet! Mau bilang pendidikan tinggi itu, enggak penting. Nyatanya hal sepele seperti ini saja, kamu enggak tahu," sengah Aziz dengan suara datar namun begitu menusuk Kasih."Sebentar nggih, Mi. Saya ke belakang dulu ... oh, iya Abah dan Umi mau minum teh atau kopi?""Enggak usah repot, kita
Sekarang, di tengah malam yang dingin, Faiq merindukan Kasih dan anak mereka, Umar. Ia membuka galeri di ponselnya, menelusuri foto-foto keluarga kecilnya. Ia mencari kedamaian di antara kegundahan hatinya.Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Faiq menemukan pesan di aplikasi WhatsApp yang menunjukkan bahwa nomor Kasih telah dikirim ke kontak Abahnya.“Kok bisa?” Faiq merasa curiga.Pertanyaan demi pertanyaan terus berkelindang dalam pikiran Faiq. Ia segera menelepon Mutia, adiknya, untuk mencari tahu. Diliriknya jarum jam di angka satu, panggilan berulang ia lakukan.Panggilan keempat kalinya, baru dijawab Mutia. Faiq langsung melontarkan pertanyaan tajam, "Mutia, selama acara ponsel Mas Faiq kamu yang pegang. Apakah kamu yang kirim nomor Kasih ke Abah?" tanya Faiq penuh penekanan."Maaf, Mas ... Abah yang minta nomer Kasih," jawab Mutia dengan suara ragu."Untuk apa?" Faiq merasa cemas."A-Abah ....""Iya, Abah m
Malam itu, setelah Umar tertidur, Kasih membereskan mainan yang berserakan di kamar, memeriksa pintu dan jendela, dan mematikan lampu ruang tamu. Ketika hendak beristirahat, ponselnya berbunyi.Ting... Ting...Beberapa pesan dari nomor tak dikenal masuk. Ada satu video dan beberapa foto. Dengan rasa penasaran, Kasih membuka satu per satu file yang dikirim.Foto pertama menampilkan pesta pernikahan. Keluarga besar Faiq berdiri rapi, tersenyum bahagia bersama Faiq dan Zahra yang tampak sebagai mempelai. Pandangan Kasih tertuju pada Zahra, mempelai wanita yang mengenakan gaun mewah terlihat sangat anggun.Foto berikutnya memperlihatkan Zahra dan Faiq memamerkan buku nikah mereka. Wajah Kasih memucat, namun ia terus membuka foto demi foto.Kasih mendowload video yang sebenarnya bisa ia perkirakan isinya. Benar saja, saat terputar video tersebut berisi ijab kabul. Faiq tampak mantap mengucapkannya. Doa dan restu dari para tamu undangan terdeng
Kasih terisak sambil menyeka air matanya yang tak kunjung reda. Tangan kecil Umar mencoba meraih wajahnya, seolah ingin memberikan penghiburan dengan sentuhan lembutnya.Kasih mencium tangan mungil itu berkali-kali, menahan gejolak hatinya. "Maafkan ibu, Nak," bisiknya.Keadaan psikis Kasih benar-benar berada di titik terendah, memengaruhi produksi ASI yang ia berikan untuk Umar. Walau sudah dikenalkan MPASI untuk putranya yang berumur delapan bulan itu. Namun, tetap ASI ibunya yang dicari setiap lapar maupun haus.Karena menyadari hal itulah, Kasih bergegas ke dapur, mencoba mengalihkan segala hal yang menjadi beban pikirannya. Perempuan yang dipersunting Faiq tiga tahun lalu itu, mengayunkan langkah menuju kulkas yang berseberangan dengan kompor di dapurnya.Kasih mengambil sayur segar yang masih tersisa dalam box kulkas paling bawah. Ia mengambil sayur pare, tempe yang tinggal separuh. Kasih mulai mengiris tipis tempe, merajang pare d
"Maaf, Dek," ucap Faiq dengan suara pelan, tangannya terulur menyentuh pundak istrinya.Mata Kasih terpejam, mencoba menahan perasaan yang menyakitkan. Kata-kata Faiq, alih-alih menenangkan, yang ada malah memperdalam luka di hatinya."Aku mencintaimu, dan itu tidak akan pernah berubah, Sayang," bisik Faiq mendekat untuk merengkuh tubuh istrinya.Pelukannya membuat hati Kasih semakin lemah. Dipelukan pemilik segenap jiwanya tangisnya kian tersedu. Begitu dalam kesedihan yang ia rasakan."Menangislah, Dek. Marahi suamimu yang pengecut ini ... tapi, jangan pernah meminta Mas pergi darimu. Mas enggak akan sanggup," pinta Faiq dengan suara bergetar. Penuh rasa bersalah.Tangis Kasih pecah, dan mereka menangis bersama, terjebak dalam pelukan yang menyayat hati.Bayangan hari-hari yang tak lagi sama menghantui mereka. Rasa yang dulu utuh, sebentar lagi harus terbagi.Tuhan, bersalahkah kami, kalau hanya ingin saling mencintai dan memiliki?..Satu jam sebelumnyaHati Kasih berbunga-bunga s