Malam itu, setelah Umar tertidur, Kasih membereskan mainan yang berserakan di kamar, memeriksa pintu dan jendela, dan mematikan lampu ruang tamu. Ketika hendak beristirahat, ponselnya berbunyi.
Ting... Ting... Beberapa pesan dari nomor tak dikenal masuk. Ada satu video dan beberapa foto. Dengan rasa penasaran, Kasih membuka satu per satu file yang dikirim. Foto pertama menampilkan pesta pernikahan. Keluarga besar Faiq berdiri rapi, tersenyum bahagia bersama Faiq dan Zahra yang tampak sebagai mempelai. Pandangan Kasih tertuju pada Zahra, mempelai wanita yang mengenakan gaun mewah terlihat sangat anggun. Foto berikutnya memperlihatkan Zahra dan Faiq memamerkan buku nikah mereka. Wajah Kasih memucat, namun ia terus membuka foto demi foto. Kasih mendowload video yang sebenarnya bisa ia perkirakan isinya. Benar saja, saat terputar video tersebut berisi ijab kabul. Faiq tampak mantap mengucapkannya. Doa dan restu dari para tamu undangan terdengar jelas. Kasih tak lagi bisa menahan perasaannya. Sesiap apapun ia menyiapkan mentalnya selama dua bulan ini. Nyatanya melihat pernikahan Faiq dan Zahra membuat dadanya sesak sekali. Kasih menatap layar ponselnya. Terlihat betapa bahagia wajah-wajah di balik pernikahan itu. Dadanya semakin sesak, napasnya memburu, dan tenggorokannya terasa kering. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi pemandangan itu terus terbayang di matanya. Faiq berdiri di sana, tersenyum lebar dengan Zahra di sisinya. "Kenapa harus aku dipilih menjalani takdir, ini?" lirihnya, air mata kembali membasahi pipinya. Akhirnya Kasih meletakkan ponsel di atas meja, mengatur napas sejenak. Dari awal harusnya dia sadar diri, ketika Aziz, Abah suaminya itu menentang putra sulung menikahinya. Ternyata restu dari orangtua tak kalah penting dari cinta. Ia harus rela berbagi suami, karena bukan menantu yang diinginkan oleh mertuanya. Seharusnya Kasih marah, harusnya ia kecewa diperlakukan demikian. Nyatanya ia hanya mampu pasrah. "Aku akan bertahan semampuku," lirihnya dengan mata terpejam untuk meluruhkan air matanya. Seakan lepas semua persendian Kasih ketika berjalan ke kamarnya. Tatapannya tertuju ke arah Umar yang tertidur pulas. Putranya itu, seolah tak terganggu oleh kegelisahan yang memenuhi hati ibunya. Kasih duduk di tepi ranjang, menatap wajah polos Umar yang damai. Seandainya Umar lebih besar, apakah ia akan memahami apa yang tengah terjadi dalam keluarga kecil mereka? Bagaimana ia akan menjelaskan jika suatu hari nanti Umar menanyakan kenapa ayahnya harus membagi perhatian dengan untuk keluarganya yanh lain? Kasih menundukkan kepalanya, mencium pipi Umar. "Sekali lagi ibu minta maaf, Nak. Setelah hari ini, Ayah bukan lagi milik kita berdua," lirihnya bergetar hingga tanpa sadar air mata Kasih kembali meleleh. *Rcr_ Di tempat berbeda Faiq Hamzah berdiri dengan tangan bersedekap, menatap lurus ke luar jendela. Tetesan gerimis membasahi kaca, menciptakan embun tipis yang memburamkan pandangan. Sorot lampu kota dari kejauhan berkelip, sesekali menyelinap di sela-sela butiran hujan. Kamar hotel yang megah itu tampak sunyi, sepi, meskipun dilengkapi fasilitas mewah dan kenyamanan yang tersiapkan. Keluarga Faiq telah pulang setelah pesta resepsi yang berlangsung di gedung besar tak jauh dari hotel. Ilyas, Abinya Zahra yang memesan kamar ini untuk mereka berdua. Sementara untuk keluarga besar Zahra dari Lampung, menginap di rumah salah satu kerabat mereka. Resepsi sengaja diadakan di Jombang, karena memang keluarga besar Aziz dan Aini berpunjer pada kakek dan nenek yang sama. Dan rerata tinggal di Jombang. Ilyas, suami Aini, masa mudanya adalah seorang kontraktor sukses, yang sering berpindah tempat kerja. Hingga akhirnya memilih menetap di Lampung, yang kemudian mendirikan pondok pesantren tahfidz di sana. Di tempat tidur, Zahra sudah terlelap sejak beberapa waktu lalu. Riasan wajahnya yang membuatnya tampil nak ratu sehari telah dibersihkan, meninggalkan wajahnya yang cantik dan natural. Tidak seperti pengantin lainnya yang menanti malam pertama penuh gairah, Faiq malah meminta Zahra untuk segera istirahat. Ia tahu, Zahra pasti kelelahan setelah serangkaian prosesi pernikahan tadi. Zahra hanya mengangguk tanpa banyak bicara, menarik selimut hingga dagu, dan perlahan terlelap. Diam-diam, Faiq merasa bersalah. Malam itu, ia tak bisa berhenti memikirkan Kasih Lembayung, istrinya di rumah. Bayangan Kasih terus hadir di pikiran Faiq, mengingatkan senyum tegar wanitanya yang sering bercampur dengan derai air mata. Kasih terpaksa tidak menolak keputusan Abahnya. Meskipun jelas dia terluka. Kasih tampak pasrah, meskipun hati Faiq tahu, wanita itu sedang menahan kesedihan yang mendalam. Setiap kali melihat Kasih diam-diam menangis, Faiq merasakan perih di hatinya. Namun, perintah Abah dan permintaan bibinya, Aini tak bisa dihindari. Ketika akad nikah Faiq dengan Zahra berlangsung, Aziz berkali-kali mengingatkannya untuk menampakkan wajah bahagia agar tidak mengecewakan keluarga Zahra. Namun, saat Faiq mengucapkan ijab kabul, tangannya gemetar, seolah-olah ia melihat Kasih menangis jauh di sana. Faiq mengingat dengan jelas momen-momen awal ketika ia jatuh cinta pada Kasih, seorang gadis sederhana yang kala itu, sigap membantu acara nikahan tetangganya. Dan kebetulan tetangga yang menikah itu, adalah sahabat karib Faiq selama di Mahat hingga mereka berdua bersama belajar di Yaman. Kasih Lembayung bukan gadis lulusan pesantren, seperti halnya adik dan para sepupunya. Karena itulah, Abahnya menolak keras ketika Faiq menyatakan keinginannya untuk menikahi gadis yang menawan hatinya itu. Ternyata alasan Aziz menolak Kasih, karena ia menginginkan Faiq menikah dengan Zahra, putri sulung sepupunya. Namun, Faiq tak peduli, ia tetap mencintai Kasih dan akhirnya menikahinya meski tanpa restu penuh dari Abahnya. Pernikahan mereka sederhana, hanya dihadiri keluarga kecil Faiq dan dua sahabatnya. Kasih yang selalu tenang, pasrah, dan tidak pernah menuntut, menjadi pelipur lara bagi Faiq selama tiga tahun ini. Sekarang, di tengah malam yang dingin, Faiq merindukan Kasih dan anak mereka, Umar. Ia membuka galeri di ponselnya, menelusuri foto-foto keluarga kecilnya. Ia mencari kedamaian di antara kegundahan hatinya. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Faiq menemukan pesan di aplikasi W******p yang menunjukkan bahwa nomor Kasih telah dikirim ke kontak Abahnya. “Kok bisa?” Faiq merasa curiga. . . NextSampai salam ketiga tidak juga ada jawaban, Faiq Hamzah memutuskan membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Suasana tampak lengang, beberapa mainan Umar berserakan, sebuah sapu teronggok di pojok dinding. Pertanda bersih-bersih rumah belum tuntas. Melihat kamar tertutup rapat, dapur nampak terang. Ia segera ke dapur. Ada rajangan buncis di wadah, bawang merah-putih yang telah dikupas, potongan wortel masih berada di atas talenan, dan tiga potong tahu terendam di mangkok. Sepertinya mau masak sayur, pikir Faiq. "Kasih kemana?" gumamnya. Faiq bergegas ke halaman belakang, karena pintu dapur terbuka. Siapa tahu, sedang memetik daun salam. Namun, ia tidak juga menemukan istrinya. Tiba-tiba terdengar langkah berat, tampak Kasih sedang berjalan terhuyung. Tangannya meräba dinding samping pintu kamar, supaya tidak limbung. Faiq segera menghampirinya. "Dek," panggilnya, meraih tubuh Kasih yang mulai ke
"Assalamualaikum, Abah, Umi," sapa Kasih dengan suara bergetar begitu mendapati kedua mertuanya berdiri di teras."Waalaikum salam," balas Afiah sementara Aziz hanya menggumam."Mari masuk, saya baru dari tempat Mbah Mi untuk memijatkan Umar." Kasih memutar kunci, membuka pintu, mempersilakan kedua mertuanya masuk."Biar umi yang gendong Umar, Sih.""Nggih Mi, agak demam Umar dari kemarin," ujar Kasih seraya melepaskan simpul selendang di punggungnya. Sedangkan Afiah memegang tubuh cucunya."Innalillahi... Sudah ke dokter, Sih?" Afiah meräba kening Umar."Belum sempat Mi, semalam saya kompres.""Sudah tahu, demam malah dipijet! Mau bilang pendidikan tinggi itu, enggak penting. Nyatanya hal sepele seperti ini saja, kamu enggak tahu," sengah Aziz dengan suara datar namun begitu menusuk Kasih."Sebentar nggih, Mi. Saya ke belakang dulu ... oh, iya Abah dan Umi mau minum teh atau kopi?""Enggak usah repot, kita
Sekarang, di tengah malam yang dingin, Faiq merindukan Kasih dan anak mereka, Umar. Ia membuka galeri di ponselnya, menelusuri foto-foto keluarga kecilnya. Ia mencari kedamaian di antara kegundahan hatinya.Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Faiq menemukan pesan di aplikasi WhatsApp yang menunjukkan bahwa nomor Kasih telah dikirim ke kontak Abahnya.“Kok bisa?” Faiq merasa curiga.Pertanyaan demi pertanyaan terus berkelindang dalam pikiran Faiq. Ia segera menelepon Mutia, adiknya, untuk mencari tahu. Diliriknya jarum jam di angka satu, panggilan berulang ia lakukan.Panggilan keempat kalinya, baru dijawab Mutia. Faiq langsung melontarkan pertanyaan tajam, "Mutia, selama acara ponsel Mas Faiq kamu yang pegang. Apakah kamu yang kirim nomor Kasih ke Abah?" tanya Faiq penuh penekanan."Maaf, Mas ... Abah yang minta nomer Kasih," jawab Mutia dengan suara ragu."Untuk apa?" Faiq merasa cemas."A-Abah ....""Iya, Abah m
Malam itu, setelah Umar tertidur, Kasih membereskan mainan yang berserakan di kamar, memeriksa pintu dan jendela, dan mematikan lampu ruang tamu. Ketika hendak beristirahat, ponselnya berbunyi.Ting... Ting...Beberapa pesan dari nomor tak dikenal masuk. Ada satu video dan beberapa foto. Dengan rasa penasaran, Kasih membuka satu per satu file yang dikirim.Foto pertama menampilkan pesta pernikahan. Keluarga besar Faiq berdiri rapi, tersenyum bahagia bersama Faiq dan Zahra yang tampak sebagai mempelai. Pandangan Kasih tertuju pada Zahra, mempelai wanita yang mengenakan gaun mewah terlihat sangat anggun.Foto berikutnya memperlihatkan Zahra dan Faiq memamerkan buku nikah mereka. Wajah Kasih memucat, namun ia terus membuka foto demi foto.Kasih mendowload video yang sebenarnya bisa ia perkirakan isinya. Benar saja, saat terputar video tersebut berisi ijab kabul. Faiq tampak mantap mengucapkannya. Doa dan restu dari para tamu undangan terdeng
Kasih terisak sambil menyeka air matanya yang tak kunjung reda. Tangan kecil Umar mencoba meraih wajahnya, seolah ingin memberikan penghiburan dengan sentuhan lembutnya.Kasih mencium tangan mungil itu berkali-kali, menahan gejolak hatinya. "Maafkan ibu, Nak," bisiknya.Keadaan psikis Kasih benar-benar berada di titik terendah, memengaruhi produksi ASI yang ia berikan untuk Umar. Walau sudah dikenalkan MPASI untuk putranya yang berumur delapan bulan itu. Namun, tetap ASI ibunya yang dicari setiap lapar maupun haus.Karena menyadari hal itulah, Kasih bergegas ke dapur, mencoba mengalihkan segala hal yang menjadi beban pikirannya. Perempuan yang dipersunting Faiq tiga tahun lalu itu, mengayunkan langkah menuju kulkas yang berseberangan dengan kompor di dapurnya.Kasih mengambil sayur segar yang masih tersisa dalam box kulkas paling bawah. Ia mengambil sayur pare, tempe yang tinggal separuh. Kasih mulai mengiris tipis tempe, merajang pare d
"Maaf, Dek," ucap Faiq dengan suara pelan, tangannya terulur menyentuh pundak istrinya.Mata Kasih terpejam, mencoba menahan perasaan yang menyakitkan. Kata-kata Faiq, alih-alih menenangkan, yang ada malah memperdalam luka di hatinya."Aku mencintaimu, dan itu tidak akan pernah berubah, Sayang," bisik Faiq mendekat untuk merengkuh tubuh istrinya.Pelukannya membuat hati Kasih semakin lemah. Dipelukan pemilik segenap jiwanya tangisnya kian tersedu. Begitu dalam kesedihan yang ia rasakan."Menangislah, Dek. Marahi suamimu yang pengecut ini ... tapi, jangan pernah meminta Mas pergi darimu. Mas enggak akan sanggup," pinta Faiq dengan suara bergetar. Penuh rasa bersalah.Tangis Kasih pecah, dan mereka menangis bersama, terjebak dalam pelukan yang menyayat hati.Bayangan hari-hari yang tak lagi sama menghantui mereka. Rasa yang dulu utuh, sebentar lagi harus terbagi.Tuhan, bersalahkah kami, kalau hanya ingin saling mencintai dan memiliki?..Satu jam sebelumnyaHati Kasih berbunga-bunga s