แชร์

Kasur Lapuk Untuk Ibu
Kasur Lapuk Untuk Ibu
ผู้แต่ง: Fatimah humaira

Bab 1

ผู้เขียน: Fatimah humaira
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-02-06 08:30:35

"Bu, mulai malam ini ibu dan Dina pindah tidurnya dikamar belakang ya, orang tuaku mau menginap soalnya!"

Kak Inggit menjulurkan kepalanya melongok kedalam kamar yang ibu dan aku tempati. Wanita yang baru dinikahi selama satu bulan oleh abangku itu meminta kami mengosongkan kamar yang sudah sejak dulu ibu tempati, sejak rumah ini baru dibangun bang Gagas untuk hunian kami.

"Loh kan di atas masih ada kamar, Kak. Kok malah minta kami pindah ke belakang, di belakang kamarnya sempit mana muat untuk aku dan ibu. Lagi pula tak ada kasurnya di sana."

"Ya dibersihkan dong, Din! Jangan manja kamu jadi perempuan, jangan mau enaknya saja! Nanti kasurnya aku kasih, yang penting bereskan dulu barang-barang mu dan ibu, jangan lupa juga bereskan kamarnya sekalian ya, Din! Aku gak mau jika ibu dan bapakku nanti kurang nyaman tidurnya."

Kak Inggit pergi kembali masuk ke kamarnya, setelah meminta kami pindah dari kamar yang kami tempati. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan ibuku sebagai mertuanya, apa dia lupa kalau rumah ini dibangun sebelum dia masuk kedalam keluarga kami, tapi seenaknya saja sekarang dia menjadi nyonya yang sok berkuasa dirumah abangku yang sebenarnya dibangun untuk ibu dimasa tuanya.

Aku berdiri dari dudukku, berniat untuk mengejar Kak inggit yang seenaknya saja pergi setelah memberikan perintah yang menurutku sangat merugikan untukku dan ibu, bukankah di lantai atas pun masih tersedia satu kamar kosong yang tadinya adalah kamarku, dan setelah ia masuk ke rumah ini kamar ku itu dirampasnya pula, dengan alasan untuk menyimpan semua barang-barang barandednya yang katanya akan rusak jika tak ditaruh di tempat khusus.

Walaupun dengan berat hati, akhirnya aku mengalah untuk ketentraman keluarga kami. Namun sekarang ia berulah lagi dengan memindahkan kembali aku dan ibu dari kamar yang kami tempati saat ini, terlebih lagi dia meminta kami untuk pindah ke kamar belakang yang dulu sempat dibuat bang Gagas untuk kamar asisten rumah tangga, namun ibu tidak ingin memakai asisten rumahtangga karena katanya beliau saja masih sanggup mengurus rumah dan keluarganya sendiri.

"Sudahlah, Din, turuti saja permintaan Inggit! Ibu tak ingin nanti malah jadi masalah, toh mungkin hanya untuk sementara saat orang tuanya berkunjung saja, nanti setelah orang tuanya pulang kita pindah lagi ke kamar semula," ucap ibu menenangkanku. Ibu mencegahku untuk mengejar Kak inggit karena tak ingin ada keributan antara kami.

Memang setelah Bang Gagas kembali bekerja setelah masa cuti menikahnya selesai, perangai asli kakak iparku itu baru terlihat, dia yang tadinya begitu lembut dan santun terhadap ibuku mulai berani memerintah, bahkan meminta ibuku melayaninya seperti ibuku itu adalah babu di rumah kami sendiri.

Aku sudah sering menegurnya untuk tak berbuat seperti itu pada ibuku, namun akhirnya hanya terjadi keributan diantara kami, karena menurut Kak Inggit aku hanyalah anak kecil yang tak sepantasnya membantah apa yang dikatakannya.

Entahlah Abangku itu menemukan istrinya ini dimana, kenapa dia tak berusaha mengenal dahulu lebih jauh karakter serta sifatnya. Atau memang mungkin Kak Inggit yang terlalu pintar bersandiwara di depan abangku, ia yang terlihat lembut dan penuh kasih jika di depan suaminya nyatanya perlakuannya sangat menyebalkan, terkesan tidak menghargai dan tidak mempunyai sopan santun sama sekali, bahkan terhadap Ibu yang notabene adalah mertuanya sendiri.

"Ayok Din kita mulai bereskan barang-barangnya, jangan sampai nanti kakak iparmu kembali berteriak-teriak, tidak enak didengar orang!" Perintah Ibuku, kemudian beliau mengambil tas koper dari atas lemari dan mulai memasukan barang-barang kami kedalam tas besar itu, seolah kami akan pindah saja dari rumah ini.

"Kenapa sih Ibu harus selalu menuruti apa yang kak Inggit perintahkan? Ibu ini kan ibu dari suaminya, sudah seharusnya dia menghormati Ibu seperti dia menghormati orang tuanya sendiri, Bu." Sungutku kesal, tak urung jua tangan ini cekatan membantu Ibu membereskan baju-baju kami kedalam koper.

"Sudahlah, Din. Jangan diambil hati, mungkin kakak iparmu belum terbiasa hidup bersama kita, Din."

Selalu saja Ibu berkata seperti itu setiap kali aku protes dengan sikap lemah lembutnya, walaupun kakak iparku sudah berbuat diluar batas padanya. Aku tak mengerti terbuat dari apa hati ibuku sampai bisa sesabar itu, walaupun diperlakukan seenaknya dirumah sendiri oleh seorang menantu yang notabene baru saja masuk menjadi bagian dari keluarga kami.

Setelah beberapa saat berkutat dengan debu-debu, akhirnya beres juga aku dan Ibu membenahi kamar yang akan menjadi tempat istirahat kami untuk beberapa hari ke depan, semoga saja orang tua Kak Inggit tidak lama menginap di rumah kami agar aku dan ibu bisa secepatnya kembali tidur di kamar kami seperti semula.

Bukan aku tak senang jika keluarga kakak iparku itu berkunjung, tapi jika harus mengorbankan aku dan ibu rasanya tidak etis saja, terlebih kami diperlakukan seperti itu di rumah kami sendiri.

"Dina, ikut kakak! Kamu ambil kasur untuk tidurmu dan ibu nanti!" Perintahnya ketika aku baru saja keluar dari kamar belakang.

Aku mengangguk sambil mengekori Kak Inggit di belakangnya. "Loh Kak, ini kan gudang, apa kasur barunya kakak simpan di gudang?" tanyaku penuh selidik.

"Itu kasurnya, ambilah untuk disimpan di kamar barumu dan ibu," tunjuk kak Inggit ke sebuah kasur yang teronggok di pojok gudang yang terlihat kotor penuh debu. Ku tajamkan penglihatanku, merasa tak percaya dengan barang apa yang ditunjukan oleh kakak iparku ini, sebuah kasur busa lapuk yang sudah teronggok di gudang ini selama puluhan tahun bekas ibu dulu yang sudah tak terpakai lagi.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 103

    "Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 102

    "Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 101

    Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 100

    "Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 99

    Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 98

    Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 97

    "Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 96

    "Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 95

    "Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status