Share

Katamu Uang Tak Kenal Saudara
Katamu Uang Tak Kenal Saudara
Author: Vita Anggraini

Dasar Madesu

"Mbak Arum, Yazid bawa saja ke rumah sakit, ya! Saya takut dia kenapa-kenapa. Sudah saya beri obat, panasnya nggak reda-reda." 

Bagai disambar petir. Kabar dari bidan Esti membuatku bingung. Yazid anak ku yang masih berumur 18 bulan sedang demam tinggi. 

"Dari kemarin panasnya nggak turun, ke dokter spesialis anak aja, sekalian cek lab, biar tau Yazid sakit apa," ucap Bidan Esti lagi. 

Lahaulawalaquwata illabillah ... duniaku rasanya runtuh mendengar ucapan Bu Bidan. 

"Cepat bawa ke rumah sakit sekarang, saya buatkan surat rujukan," ucap Bu bidan Esti lagi. 

Kulihat Bu Esti menulis pada selembar kertas lalu dimasukkan ke amplop. 

"Tunjukan surat ini ke IGD biar Yazid cepat ditangani. Cepat, Man bawa anakmu segera!" Bu Esti menyerahkan amplop pada suamiku. 

Aku menggendong tubuh mungil putra sulung ku yang demam tinggi, Bidan Esti membantuku, Yazid masih merintih namun matanya terpejam. Keningnya ditempel kompres penurun panas. 

"Sabar ya, Nang! Kita cari obat." Air mataku mulai menetes. 

"Wes cepet bawa anakmu segera!" titah Bu Esti lagi. "Nggak usah bayar disini." 

Setelah berucap terimakasih, aku dan suami meninggalkan rumah praktek bidan Esti. 

Mas Rahman mengengkol motor butut kami lalu aku membonceng dibelakang, Yazid kudekap erat. 

"Dik, kita kerumah Kang Handoyo, dulu. Mas mau pinjem motor sekalian pinjam uang sama Kang Handoyo." Motor melaju kencang. 

Aku tak bergeming, pikiranku tertuju pada Yazid. Motor masuk halaman rumah Kang Handoyo. Rumah yang bagus dan indah. 

Mas Rahman turun tergesa dari motor, langsung mengetuk pintu rumah kakaknya. 

"Kang, Kang Handoyo! Kang! Kang Handoyo!" 

Aku berjalan menuju teras sambil mendekap Yazid ku yang merintih lirih. 

"Heh! Kalau bertamu itu yang sopan! Dasar madesu!" Mbak Meri membuka pintu lalu marah-marah. 

Madesu adalah sebutan bagi keluarga ku yang artinya masa depan suram. Kata itu selalu muncul dari mulut Mbak Meri -istri Kang Handoyo.

"Ngapain pagi-pagi kesini? Bukanya kerja, malah bawa anak istri kesini. Kalau mau minta makan jangan disini. Ini bukan panti sosial!" hardik Mbak Meri. Tangannya memegang paha ayam goreng, mulutnya masih mengunyah. 

"Kang Handoyo, ada, Mbak?" Mas Rahman bicara gugup. 

"Nggak ada! Kakangmu itu rajin kerja, jam segini masih diladanglah nggak kaya kamu, pemalas!" cibir Mbak Meri menatap Mas Rahman dan aku jijik. 

Memang ini masih pagi jika bertamu, tapi bagaimana lagi, ini darurat. 

"Maaf, Mbak, saya kesini mau minjem motor sekalian minjem uang. Saya mau bawa Yazid ke rumah sakit Mbak," ucap suamiku menghiba. 

"Apa?! Mau pinjem motor sama uang?!" Mata Mbak Meri Mendelik. "Heh, orang miskin jangan sok sok an berobat ke rumah sakit!" 

"Tapi, Mbak, kata Bu bidan Yazid harus dibawa ke rumah sakit, Yazid butuh penanganan dokter, Mbak," ucap Mas Rahman lagi. 

"Halah, alasan! Orang miskin tuh tau diri, berobat semampunya aja!" bentak Mbak Meri. 

"Tolong, Mbak, pinjami saya uang Lima ratus ribu aja, Mbak. Saya janji akan saya kembalikan secepatnya," ucap Mas Rahman lagi. 

"Heh! Kau pikir aku dan kakakmu itu ngumpulin uang mudah, hah?! Seenaknya saja pinjam sesukamu. Disini bukan bank, tau!" Mbak Meri mencak-mencak. "Aku muak sama orang miskin seperti mu bisanya cuma nyusahin orang aja. Asal kau tau, uang tak kenal saudara. Nggak ada sesen pun uang untukmu!" Suara Mbak Meri melengking. 

"Kalau begitu, saya minjam motor saja, Mbak," Mas Rahman masih berusaha meminta bantuan kakak iparnya. 

"Enak saja! Nggak bisa, motor itu mau ku bawa arisan. Nggak akan kupinjamkan padamu, nanti kalau rusak mau kau ganti pake apa, hah!? Kau jual tempe istrimu juga nggak akan mampu membayar gati ruginya!" 

Astaghfirullah halazim! Hatiku seperti diremas sakit sekali, telingaku panas mendengar hinaan dari Mbak Meri. 

"Pergi kalian dari sini! Jangan harap aku mau bantu kalian. Dasar orang miskin! Kau dan aku beda kasta!" ucap Mbak Meri sombong. 

Dadaku berdenyut nyeri, mentang-mentang hidupnya kecukupan, Mbak Meri bebas menghinaku begitu. 

"Pergi kamu, pergi!" Mbak Meri mendorong tubuh suamiku, membuatnya terhuyung. 

Aku segera menolong suamiku, mata Mas Rahman berembun. Ku dekap tubuh mungil Yazid yang kian lemas, mata mungil ini terpejam. Aku dan Mas Rahman melangkah pergi membawa luka dari sini. 

Saudara yang kami anggap bisa membantu, malah sebaliknya. Motor berbunyi lagi lalu melaju meninggalkan rumah ini. 

"Mas, kita ke rumah Bu Aisyah saja, sekarang jadwal ngocok arisan bulanan, kali aja bisa kita minta untuk biaya Yazid kerumah sakit, Mas. Aku kemarin sudah setor, kok," tawar ku pada Mas Rahman. Air mata ini meluncur tak tertahan.

"Ya wes kita kesana saja." Mas Rahman memacu motor menuju rumah Bu Aisyah. 

Sampai sana aku segera turun. Benar ibu-ibu berkumpul hendak mengocok arisan. 

"Bu, Bu Aisyah! Tolong saya!" tangisku pecah saat datang kerumah Bu Aisyah. 

Mereka menghampiriku, "Arum, ada apa?" Bu Aisyah terkejut melihatku. 

"Saya pinjam motor sekaligus minta tolong pinjem uang arisan, Yazid sakit, dia harus dibawa ke rumah sakit," ucapku menangis. 

Para ibu-ibu mendekat lalu mengecek suhu badan putraku yang masih tinggi. 

"Ya ampun, panas banget." Mbak Dini wajahnya cemas. 

"Ya sudah, saya ambilkan surat motor dulu, Man, helm di samping rumah. Itu motornya," ucap Bu Aisyah setengah berlari masuk rumah. 

Aku menunggu sambil menjawab beberapa pertanyaan ibu-ibu yang ada disini. 

"Bu-ibu, arisan bulan ini yang nembus Mbak Arum, kasihan dia. Biar uangnya untuk berobat Yazid," ucap Bu Aisyah wanita paruh baya berjilbab besar ini memberikan kunci motor dan surat kepada suamiku. 

"Dini, berikan uang arisan sama Mbak Arum, biar mereka segera ke rumah sakit!" titah Bu Aisyah. 

Mbak Dini menghampiriku, lalu memberikan uang arisan. "Mbak Arum, ini baru ngumpul dua juta, yang sejuta belum kumpul." Mbak Dini menyerahkan uang kepadaku. 

"Nggak papalah, makasih ya," ucapku pada mereka. 

"Rum, bawa segera Yazid ke rumah sakit, kalau ada apa-apa kabari saya segera," pesan Bu Aisyah. 

"Iya, Bu, makasih atas pengertiannya," ku seka air mata ini. 

Aku dan Mas Rahman pergi ke rumah sakit memakai motor Bu Aisyah. Sepanjang perjalanan, ku dekap putraku sambil terus berdo'a dan berharap semoga Yazid baik-baik saja. 

"Ya Allah, lindungilah putraku, selamatkan dia ya Allah," lirihku

Sambil berpegangan erat pada suamiku motor melaju membawa kami ke rumah sakit. Hati ini sakit mengingat hinaan dari kakak ipar bermulut jahat tadi. 

Yazid ku masih saja demam. Ya Allah, tolong kami ya Allah, tolong putraku. 

Air mataku luruh beriringan dengan doa-doa yang ku rapalkan untuk putraku. 

Saat susah begini, saudara malah menghina kami. Setidaknya jika tidak mau membantu jangan hina keadaan kami. Tangisku mengiringi nestapa kehidupan yang tengah kulalui. 

Mbak Meri, tak 'kan kulupakan semua penghinaanmu terhadap ku. Andai saja kau merasakan sebentar saja jadi aku, apakah kau sanggup?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Yajidku masih demam
goodnovel comment avatar
Tyarasani
meri jahatnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status