Share

Yazid Kritis

last update Last Updated: 2022-07-10 17:04:27

Kami sampai di rumah sakit langsung menuju IGD, Yazid diperiksa dokter. 

"Demamnya tinggi sekali, Bu. Dirawat saja, ya!" ucap dokter di IGD. 

"Baik, Dok, lakukan yang terbaik untuk anak saya," ucapku pasrah. 

Yazidku lemas, matanya terpejam, apakah dia pingsan? Ya Allah, kenapa dengan putraku? Kulihat beberapa perawat mengerubungi tubuh mungil Yazid. 

Berbagai alat dipasang, Yazid tak mengeluarkan suara. Yazidku ada apa denganmu, Nak? 

"Bu, anak ibu kritis, harus dibawa keruangan ICU," terang Pak dokter. "Untuk kejelasan penyakit, nunggu hasil laboratorium," imbuh sang perawat. 

Duniaku runtuh mendengar penjelasan dokter. Kudekati tubuh mungil Yazid yang kini tak memakai baju, hanya popok bayi yang dipakai, berbagai alat menempel ditubuhnya. 

"Ya Allah, Nang, Yazid yang kuat, ya! Mama sama Bapak disini, Nang!" Tangisku luruh melihat anakku. 

"Dik, Yazid gimana? Ini tak beliin susu untuk Yazid." Mas Rahman menghampiriku membawakan sekotak susu formula untuk Yazid. 

"Mas, Tole kritis, Mas," lirihku. 

Mata Mas Rahman berembun melihat kondisi putranya yang tergolek dengan berbagai alat ditubuhnya. 

"Permisi, Pak, tolong administrasi pasien diurus dulu," seorang perawat menghampiri kami. 

"Oh, iya." Mas Rahman mengiyakan kalimat perawat. 

"Dik, Mas urus administrasi dulu, yang sabar." Mas Rahman menyerahkan susu formula kepadaku. Lalu dia pergi. 

Kudekati Yazid kubisikan panggilan ditelinga mungil itu, tak ada respon. Hatiku semakin sakit, nelangsa melihat putraku menderita. Jika boleh memilih, aku saja yang ada disana menggantikan mu, Nak. 

"Permisi, Bu, anaknya mau kami pindahkan ke ICU." Dua orang perawat menghampiriku, lalu tubuh mungil Yazid dipindahkan ke tempat tidur khusus. Yazidku dibawa pindah ruangan. Aku mengikuti kemana Yazid dibawa. Melangkah menyusuri lorong rumah sakit ini. Air mataku tak henti menetes rapalan do'a kubaca terus untuk kesembuhan Yazid. 

"Bu, maaf, ibu tunggu saja diluar!" kata si perawat. 

Yazidku dibawa ke ruangan ICU khusus bayi. Aku hanya bisa melihat lewat dinding kaca. Ada beberapa pasien bayi diruang itu. 

"Permisi, Bu, anaknya minum ASI atau susu formula?" Seorang perawat bertanya kepadaku. 

Aku menoleh terkejut. "Asi, dia Asi." Aku gugup. 

"Kalau gitu, tolong ASI-nya diperah, nanti bisa diberikan kepada saya, anak ibu dehidrasi. Jadi, tolong kalau bisa beri ASI yang cukup ya, Bu, agar kondisi anak ibu segera pulih." Wanita cantik masih muda ini memberiku arahan dengan ramah. "Saya dokter yang menangani anak ibu. Semangat, ya, Bu! Jangan putus asa! Saya tinggal dulu." Wanita muda ini berlalu setelah mengusap bahuku lembut. 

Aku segera mencari Mas Rahman, kuminta untuk dibelikan dot untuk menampung Asiku. Lorong demi lorong kulalui, kulihat suamiku berdiri melihat secarik kertas. 

"Mas!" Tolong Carikan dot. Yazid sudah pindah di ruang ICU khusus anak," ucapku pada Mas Rahman. 

"Ya wes, Mas pergi dulu." Wajah Mas Rahman sedih dan mendung. Tentu saja hati orangtua mana yang sanggup melihat anaknya sakit. 

Aku duduk termenung menunggu di ruang tunggu khusus ICU. Aku bingung, haruskah ku kabari keluarga besarku? Masalah biaya rumah sakit, tentusaja pasti dibantu oleh keluarga besarku. Tapi, aku nggak enak sama Mas Rahman, aku takut menyinggung perasaannya. Selama ini dia begitu bertanggung jawab atas diriku, bahkan meskipun buruh, Mas Rahman giat bekerja demi keluarga, hanya saja nasibnya belum seberuntung kakak iparnya yang serakah itu. 

Kebun bagian Mas Rahman dirampas paksa oleh kakak iparnya dengan alasan membayar hutang biaya aku operasi Caesar saat melahirkan Yazid. Padahal hutang kami hanya sepuluh juta. Namun kebun karet seluas tiga perempat hektar disita paksa olehnya. Kata Mbak Meri uang sepuluh juta itu beranak menjadi lima puluh juta selama setahun. Alhasil kebun karet kami direbut paksa. Sesuai ucapanya uang tak kenal saudara. 

"Dik, ini dotnya." Suara Mas Rahman mengejutkan ku. 

Langsung saja dot kucuci lalu ku bilas dengan air panas yang ada pada dispenser. Segera kuperah ASI ku. Sebotol berisi tiga puluh mili, ASI ini berhasil ku perah. Segera kuberikan kepada petugas ICU. 

"Mbak, ini Asi untuk Yazid," ucapku pada petugas penunggu ruang ICU ini. 

"Oh, terimakasih, Bu." Perawat cantik berseragam hijau ini tersenyum manis kepadaku. 

"Mbak, apa boleh saya menemani Yazid?" tanyaku berharap bisa masuk kedalam. 

Perawat ini tersenyum, "Boleh, Bu. Tapi, pakai baju khusus itu dulu, ya!" Mbak perawat menunjukkan baju yang tergantung di lemari khusus. 

Aku segera memakainya, lalu ikut kedalam. Mas Rahman menunggu dan melihat dari dinding kaca. 

Masuk ruangan ini, sangat dingin. Yazidku, tak berselimut. Air mata ini menetes. Perawat memberi label pada dot yang kuberikan. Lalu perlahan memasukan Asi itu kealat suntikan khusus dan di masukkan ke selang yang terpasang di hidung Yazid. Perlahan ASI itu menghilang masuk ketubuh Yazid melalui selang. 

Hati ini miris melihat keadaan Yazid. Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi pada anakku? Aku tak kuat keluar dari ruangan ini. 

Aku menangis di pelukan suamiku. Tak ada sanak saudara yang mendampingi kami disini. Hape jadul Mas Rahman berbunyi. Segera di angkat. 

"W*'alaikum salam, Bu Aisyah. Yazid, kritis Bu ... iya, oh, iya! Terimakasih lho, Bu atas bantuannya. Ya, w*'alaikum salam."

Aku mengusap perlahan air mata ini, "Mas aku mau ngasih kabar ibuku, boleh ya, Mas!" pintaku pada Mas Rahman. 

"Sebentar, Mas telpon Kang Handoyo dulu." Mas Rahman berusaha menghubungi kakaknya. 

"Nyambung, tapi nggak diangkat." Mas Rahman wajahnya bingung. 

"Sudahlah, Mas. Jangan hubungi dia. Mas nggak ingat apa kata istrinya tadi! Sini hapenya aku mau nelpon ibu," ucapku sambil menangis. 

Segera kuhubungi keluargaku, mengabarkan kondisi Yazid. Tangisku pecah saat menelpon ibu. 

"Iya, Rum, sudah, jangan nangis. Ibu dan semuanya kerumah sakit sekarang. Kamu sudah makan? Bawa ganti enggak? Kalau enggak biar ibu bawakan. Yang sabar, Nduk. Ibu segera kesana." 

Telpon terputus. Taklama kemudian Bu Aisyah datang, menjenguk kerumah sakit bersama keluarganya. 

Aku menangis dalam pelukan Bu Aisyah. Bahkan disaat seperti ini, saudara kandung suamiku tak peduli. 

"Handoyo sudah dikabari?" tanya Bu Aisyah setelah tangisku reda. 

"Saya coba telpon nggak diangkat, Bu." Mas Rahman lemas. 

"Ya Allah, kebangetan banget itu kakakmu! Biar nanti saya yang bicara sama mereka!" Bu Aisyah geram. 

"Nggak usahlah Bu, kami nggak mau ngusik kehidupan Kang Handoyo dan Mbak Meri. Cukup sudah penghinaan yang diucapkan Mbak Meri pada kami," kenangku sedih. "Mereka tak menganggap kami ini saudara, Bu. Kami ini cuma orang miskin beda kasta dengan mereka," tangisku kembali muncul. 

"Astaghfirullah halazim! Benar-benar keterlaluan kakak iparmu itu! Biarkan Allah yang negur mereka!" Bu Aisyah geram. 

Saat kami sedang ngobrol dengan keluarga Bu Aisyah, namaku dipanggil. 

"Keluarga pasien Yazid! Di tunggu diruangan dokter!" panggil seorang perawat. 

Ada apa, ya? Bukanya barusan aku sudah kasih Yazid ASI, apa ASI-nya kurang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ending (TAMAT)

    POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ari bingung

    POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Cobaan berat Arum (ex48)

    POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kecelakaan

    "Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Rencana meringkus Handoyo (ex 46)

    Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Meri sadar (ex 45)

    Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status