Share

Part 4. Pemiliknya Julid

last update Last Updated: 2022-11-11 11:28:24

"Jangan sampai ada yang salah." Mataku terlihat dingin seiring kukatakan kalimat berikutnya, "Pastikan semua berjalan lancar atau kalian akan tahu akibatnya!" Kuanggukkan kepala, refleks menjawab ucapan dari sisi seberang. "Terima kasih."

Klik. Kuputuskan sambungan telepon dengan cepat.

Helaan napas berat kuembuskan, merasa sangat lelah. Kuangkat pandangan ke atas, menatap langit yang sudah berganti warna. Aku tidak bisa berdiam lebih lama lagi di sini.

"Aku ... harus cari tempat tinggal," gumamku seraya bangkit dari duduk saat melihat sebuah angkot menepi ke halte, telah kutentukan daerah tujuanku berikutnya.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam menggunakan angkot, aku pun turun di sebuah gang komplek perumahan. Meski asing dan jarang lewat tempat ini, tapi sering kudengar daerah tersebut merupakan tempat nyaman yang menyediakan banyak rumah kost atau kontrakan dengan harga murah.

Berjalan sekitar 100 meter dari gang, mataku tertuju pada tulisan di sebuah pagar, 'Terima Kost Putri'.

"Assalamu'alaikum," panggilku di luar pagar hitam yang tingginya melebihi diriku.

"Wa'alaikumsalam," sahut seseorang perempuan. Aku melihat perempuan itu tampak bergegas ke arah pagar.

"Permisi, Bu," sapaku ramah saat dia membuka pagar.

Melihat diriku, ekspresi ramahnya sekejap menghilang, menjadi sangat jutek. "Iya, ada apa?" ketusnya sembari memperhatikan aku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Tahu jam-nya Maghrib tidak, Mbak?" tambahnya lagi.

"Oh, maaf, Bu. Ini, saya mau nanya apa di dalam masih ada kamar yang kosong?"

"Cari kost-an?" tanyanya penuh penekanan, tampak keningnya mengkerut. Mungkin ibu paruh baya ini turut ragu karena penampilanku yang kurang meyakinkan.

"Iya, Bu. Saya mau cari kost-an. Apa masih ada yang kosong?"

"Nggak, udah penuh!" jawabnya ketus.

"Tapi, maaf. Di situ masih ada tulisan terima kost putri," ujarku seraya menunjuk selembaran yang tergantung di pagar kost.

"Saya lupa cabut," sahutnya sembari mencopot kertas tersebut.

Tiba-tiba seorang laki-laki yang kuterka berumur enam puluhan berjalan mendekat ke arah pagar, mungkin bapak ini adalah suaminya.

"Kenapa, Bu? Kok nggak disuruh masuk?"

"Bukan siapa-siapa, Pak. Udah yuk, masuk!" ajak ibu tersebut sambil menarik lengan suaminya untuk masuk ke dalam. Beruntung si bapak tidak menurut.

"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya lelaki ini sopan. Berbeda sekali dengan istrinya yang judes.

"Saya mau mencari kost, Pak. Apa ada yang kosong?"

"Oh, ada-ada. Mari-mari."

Aneh, tadi ibu ini mengatakan tidak ada. Sekarang, berbeda dengan apa yang dikatakan suaminya. Namun, aku memutuskan untuk masuk ke dalam karena langit sudah mulai berganti warna. Senja sudah berlalu, sinar hangatnya sudah tidak aku rasakan.

"Silakan duduk!" titahnya saat kami sampai di teras rumah. Satu set kursi lengkap dengan meja yang terbuat dari besi. Mungkin disediakan khusus.

"Pak, bapak yakin mau ngasih kamar kost-nya? Coba lihat, penampilannya saja begitu, ibu ragu, apa dia mampu bayar?" ucap perempuan berambut gelombang dan tebal itu. Meski berbisik, aku bisa mendengar dengan jelas.

"Ssstttt ..., mending bikinin teh, Bu. Sama tamu jangan begitu."

Si istri semakin kesal, akan tetapi tidak bisa menolak perintah suaminya.

"Maafkan istri saya ya, Mbak. Dia lagi sakit gigi makanya agak sensi hehe. Oh iya, kita belum kenalan. Mbaknya siapa namanya? Saya Juki he he.” Si bapak mengulurkan tangan.

Kusambut tangan keriput itu, “Ratna,” jawabku singkat dan langsung menarik tangan. Sebab, Pak Juki menggenggam tanganku cukup lama sambil mengelus ringan punggung tanganku.

“Sudah menikah? Atau masih ….” Meski berbicara padaku, tapi Pak Juki tidak menatapku sama sekali, matanya justru tertuju ke dadaku seakan sedang mencari jawaban di sana. Tidak sopan!

“Sudah punya anak malah, Pak,” jawabku ketus.

Sadar akan reaksiku, si bapak terlihat salah tingkah. “Oh udah nikah ternyata hehe. Mau ambil berapa bulan rencananya, Mbak?"

"Rencana ambil sebulan aja bisa, Pak?"

"Bisa-bisa. Di sini ada dua kamar yang kosong. Di lantai bawah dan di lantai atas. Mbaknya mau yang mana?"

"Bawah saja, Pak. Berapa harga sewanya?"

Sebelum menjawab, si bapak sempat menoleh ke dalam rumah, seakan tidak ingin ada yang mengetahui percakapan kami. Lalu tanpa mengatakan apa pun, ia langsung mengangkat kedua tangannya, jari-jari tangannya yang tegak menunjukkan jawaban dari pertanyaanku.

Kuanggukkan kepala sebagai tanda menyanggupi.

"Siap. Kalau begitu deal, ya?" sahutnya sembari senyum-senyum. "Eh iya, saya baru ingat, kamar di bawah agak sempit, Mbak.”

“Ga masalah kok, Pak,” tukasku.

“Tapi kamar itu kurang cocok untuk yang berkeluarga seperti Mbak. Kamar atas saja bagaimana? Agak luas. Kira-kira kapan suami dan anaknya datang?" tanya si bapak. Agak sesak mendengar pertanyaannya itu, mengingat baru beberapa jam lalu aku dicampakkan oleh suamiku.

"Hmm ... a-anu … saya ngekost untuk sendiri, Pak," jawabku sambil mengelus tengkuk belakang leher yang tak gatal.

Jujur, aku tak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin kan aku menceritakan drama rumah tanggaku ke orang asing?

“Oh, gitu hehe. Oke, berarti ngekost sendiri ya, Mbak.” Aku bersyukur Pak Juki tak memperpanjang begitu menyadari keenggananku menjawab. Namun, suasana kini berubah menjadi canggung.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam rumah.

"Halah ... aku tebak nih ya, pasti dia baru bertengkar sama suaminya.”

Aku menoleh mencari sumber suara, ternyata itu suara si ibu tadi yang keluar membawa nampan dan menaruh cangkir berisikan air putih.

“Pantaslah. Lagian nih ya, Mbak. Dandan dikit gitu, kalau penampilan kucel, lakinya mana betah?"

Enteng sekali mulutnya. Kenal saja tidak, tapi dengan lancarnya menyusun kata cacian yang keluar dari mulut agak bervolume itu.

"Kamu juga, Pak. Jangan sembarangan nerima orang. Emangnya dia mampu bayar? Nanti malah kayak anak-anak kost sebelumnya, nunggak bayar dengan beribu alasan.”

"Jangan gitu, Bu. Suudzon namanya."

"Siapa yang suudzon, Pak. Buat jaga-jaga. Rumah ini bukan buat nampung orang secara gratis. Lagian dia pasti janda, aku nggak mau ah pelihara janda di sini. Nanti malah goda-goda kamu, terus apa kata tetangga nantinya?" Si ibu yang aku belum tahu namanya itu terus saja mencerocos membuat darah di dalam tubuhku mulai mendidih mendengarnya.

Tanpa pikir panjang, aku pun mengeluarkan lembaran uang berwarna merah muda. Aku hitung hingga berpuluh lembar banyaknya dan menaruhnya di atas meja.

"Tenang saja, Bu. Langsung saya bayar lunas untuk tiga bulan ke depan!"

Dwi Nella Mustika

Ini satu lagi, jangan nilai orang dengan tampilan aja!

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayu Dea Yuud
Sepertinya pak kosnya ganjen
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 199. Potrait Kebahagiaan

    Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 198. Mengutuk Diri

    Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 197. Duka Beruntun

    Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 196. Cuti Menjadi Dua Hari

    "Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 195 Keduanya Terperangah!

    Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 194. Pemisah dan Pembunuh

    Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status