Share

Part 4. Pemiliknya Julid

"Jangan sampai ada yang salah." Mataku terlihat dingin seiring kukatakan kalimat berikutnya, "Pastikan semua berjalan lancar atau kalian akan tahu akibatnya!" Kuanggukkan kepala, refleks menjawab ucapan dari sisi seberang. "Terima kasih."

Klik. Kuputuskan sambungan telepon dengan cepat.

Helaan napas berat kuembuskan, merasa sangat lelah. Kuangkat pandangan ke atas, menatap langit yang sudah berganti warna. Aku tidak bisa berdiam lebih lama lagi di sini.

"Aku ... harus cari tempat tinggal," gumamku seraya bangkit dari duduk saat melihat sebuah angkot menepi ke halte, telah kutentukan daerah tujuanku berikutnya.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam menggunakan angkot, aku pun turun di sebuah gang komplek perumahan. Meski asing dan jarang lewat tempat ini, tapi sering kudengar daerah tersebut merupakan tempat nyaman yang menyediakan banyak rumah kost atau kontrakan dengan harga murah.

Berjalan sekitar 100 meter dari gang, mataku tertuju pada tulisan di sebuah pagar, 'Terima Kost Putri'.

"Assalamu'alaikum," panggilku di luar pagar hitam yang tingginya melebihi diriku.

"Wa'alaikumsalam," sahut seseorang perempuan. Aku melihat perempuan itu tampak bergegas ke arah pagar.

"Permisi, Bu," sapaku ramah saat dia membuka pagar.

Melihat diriku, ekspresi ramahnya sekejap menghilang, menjadi sangat jutek. "Iya, ada apa?" ketusnya sembari memperhatikan aku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Tahu jam-nya Maghrib tidak, Mbak?" tambahnya lagi.

"Oh, maaf, Bu. Ini, saya mau nanya apa di dalam masih ada kamar yang kosong?"

"Cari kost-an?" tanyanya penuh penekanan, tampak keningnya mengkerut. Mungkin ibu paruh baya ini turut ragu karena penampilanku yang kurang meyakinkan.

"Iya, Bu. Saya mau cari kost-an. Apa masih ada yang kosong?"

"Nggak, udah penuh!" jawabnya ketus.

"Tapi, maaf. Di situ masih ada tulisan terima kost putri," ujarku seraya menunjuk selembaran yang tergantung di pagar kost.

"Saya lupa cabut," sahutnya sembari mencopot kertas tersebut.

Tiba-tiba seorang laki-laki yang kuterka berumur enam puluhan berjalan mendekat ke arah pagar, mungkin bapak ini adalah suaminya.

"Kenapa, Bu? Kok nggak disuruh masuk?"

"Bukan siapa-siapa, Pak. Udah yuk, masuk!" ajak ibu tersebut sambil menarik lengan suaminya untuk masuk ke dalam. Beruntung si bapak tidak menurut.

"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya lelaki ini sopan. Berbeda sekali dengan istrinya yang judes.

"Saya mau mencari kost, Pak. Apa ada yang kosong?"

"Oh, ada-ada. Mari-mari."

Aneh, tadi ibu ini mengatakan tidak ada. Sekarang, berbeda dengan apa yang dikatakan suaminya. Namun, aku memutuskan untuk masuk ke dalam karena langit sudah mulai berganti warna. Senja sudah berlalu, sinar hangatnya sudah tidak aku rasakan.

"Silakan duduk!" titahnya saat kami sampai di teras rumah. Satu set kursi lengkap dengan meja yang terbuat dari besi. Mungkin disediakan khusus.

"Pak, bapak yakin mau ngasih kamar kost-nya? Coba lihat, penampilannya saja begitu, ibu ragu, apa dia mampu bayar?" ucap perempuan berambut gelombang dan tebal itu. Meski berbisik, aku bisa mendengar dengan jelas.

"Ssstttt ..., mending bikinin teh, Bu. Sama tamu jangan begitu."

Si istri semakin kesal, akan tetapi tidak bisa menolak perintah suaminya.

"Maafkan istri saya ya, Mbak. Dia lagi sakit gigi makanya agak sensi hehe. Oh iya, kita belum kenalan. Mbaknya siapa namanya? Saya Juki he he.” Si bapak mengulurkan tangan.

Kusambut tangan keriput itu, “Ratna,” jawabku singkat dan langsung menarik tangan. Sebab, Pak Juki menggenggam tanganku cukup lama sambil mengelus ringan punggung tanganku.

“Sudah menikah? Atau masih ….” Meski berbicara padaku, tapi Pak Juki tidak menatapku sama sekali, matanya justru tertuju ke dadaku seakan sedang mencari jawaban di sana. Tidak sopan!

“Sudah punya anak malah, Pak,” jawabku ketus.

Sadar akan reaksiku, si bapak terlihat salah tingkah. “Oh udah nikah ternyata hehe. Mau ambil berapa bulan rencananya, Mbak?"

"Rencana ambil sebulan aja bisa, Pak?"

"Bisa-bisa. Di sini ada dua kamar yang kosong. Di lantai bawah dan di lantai atas. Mbaknya mau yang mana?"

"Bawah saja, Pak. Berapa harga sewanya?"

Sebelum menjawab, si bapak sempat menoleh ke dalam rumah, seakan tidak ingin ada yang mengetahui percakapan kami. Lalu tanpa mengatakan apa pun, ia langsung mengangkat kedua tangannya, jari-jari tangannya yang tegak menunjukkan jawaban dari pertanyaanku.

Kuanggukkan kepala sebagai tanda menyanggupi.

"Siap. Kalau begitu deal, ya?" sahutnya sembari senyum-senyum. "Eh iya, saya baru ingat, kamar di bawah agak sempit, Mbak.”

“Ga masalah kok, Pak,” tukasku.

“Tapi kamar itu kurang cocok untuk yang berkeluarga seperti Mbak. Kamar atas saja bagaimana? Agak luas. Kira-kira kapan suami dan anaknya datang?" tanya si bapak. Agak sesak mendengar pertanyaannya itu, mengingat baru beberapa jam lalu aku dicampakkan oleh suamiku.

"Hmm ... a-anu … saya ngekost untuk sendiri, Pak," jawabku sambil mengelus tengkuk belakang leher yang tak gatal.

Jujur, aku tak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin kan aku menceritakan drama rumah tanggaku ke orang asing?

“Oh, gitu hehe. Oke, berarti ngekost sendiri ya, Mbak.” Aku bersyukur Pak Juki tak memperpanjang begitu menyadari keenggananku menjawab. Namun, suasana kini berubah menjadi canggung.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam rumah.

"Halah ... aku tebak nih ya, pasti dia baru bertengkar sama suaminya.”

Aku menoleh mencari sumber suara, ternyata itu suara si ibu tadi yang keluar membawa nampan dan menaruh cangkir berisikan air putih.

“Pantaslah. Lagian nih ya, Mbak. Dandan dikit gitu, kalau penampilan kucel, lakinya mana betah?"

Enteng sekali mulutnya. Kenal saja tidak, tapi dengan lancarnya menyusun kata cacian yang keluar dari mulut agak bervolume itu.

"Kamu juga, Pak. Jangan sembarangan nerima orang. Emangnya dia mampu bayar? Nanti malah kayak anak-anak kost sebelumnya, nunggak bayar dengan beribu alasan.”

"Jangan gitu, Bu. Suudzon namanya."

"Siapa yang suudzon, Pak. Buat jaga-jaga. Rumah ini bukan buat nampung orang secara gratis. Lagian dia pasti janda, aku nggak mau ah pelihara janda di sini. Nanti malah goda-goda kamu, terus apa kata tetangga nantinya?" Si ibu yang aku belum tahu namanya itu terus saja mencerocos membuat darah di dalam tubuhku mulai mendidih mendengarnya.

Tanpa pikir panjang, aku pun mengeluarkan lembaran uang berwarna merah muda. Aku hitung hingga berpuluh lembar banyaknya dan menaruhnya di atas meja.

"Tenang saja, Bu. Langsung saya bayar lunas untuk tiga bulan ke depan!"

Dwi Nella Mustika

Ini satu lagi, jangan nilai orang dengan tampilan aja!

| 1
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayu Dea Yuud
Sepertinya pak kosnya ganjen
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status