Home / Rumah Tangga / Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu / Part 5. Sementara, Tak Apa Sederhana

Share

Part 5. Sementara, Tak Apa Sederhana

last update Last Updated: 2022-11-11 11:29:46

‘Lumayan juga,’ batinku kala memandang ruangan yang berukuran tak seberapa itu.

Setelah mendapatkan kunci dan diberikan rentetan wejangan dari Bu Soimah, istri Pak Juki, terkait jam kunci gerbang dan sebagainya, aku telah tiba di kamarku yang berada di lantai dua. Ruangan kecil dengan satu tempat tidur dan lemari itu memang sederhana, tapi paling tidak cukup untuk diriku seorang.

Baru saja kurebahkan tubuh setelah berbenah dan membersihkan diri, aku pun langsung terlelap tanpa sadar. Detik berikutnya kubuka mata, cahaya terang telah menembus jendela. Saking lelahnya kemarin, aku pun tak sadar hari baru sudah menyapa. Ternyata seperti ini rasanya tertidur pulas bahkan tak kenal waktu saat terjaga.

‘Kalau di rumah dulu, mana bisa?’ ujarku dalam hati sembari tertawa pahit.

Aku melihat jam di layar ponsel menunjukkan waktu pukul delapan pagi. Namun, pandanganku malah terpaku pada foto Devina yang kujadikan wallpaper di layar ponsel.

"Devina, Ibu rindu," gumamku seraya menyusuri foto putri kecilku dengan jari. Mengingat bagaimana pria itu merebutnya secara paksa dariku, kukepalkan tangan seraya membatin, "Lihat saja, Mas. Kamu dan keluargamu akan menerima balasan yang lebih pedih dari yang kalian lakukan padaku."

Karena waktu tak lagi pagi, aku pun bangkit dari duduk untuk mengisi perut yang kosong. Baru saja berjalan melewati beberapa gang kecil, ada sesuatu yang membuatku mengerutkan kening. Sosok seorang lelaki yang familiar terlihat berjalan berangkulan dengan seorang wanita seksi, lalu belok ke sebuah rumah di ujung gang.

“Itu bukannya … Pak Juki?” batinku. “Tapi, wanita itu siapa?” Aku yakin wanita yang dia rangkul bukan Bu Soimah, bentuk tubuhnya jauh berbeda. “Jangan-jangan mereka ….” Kutepis pikiran buruk yang singgah sembari menggelengkan kepala.

Kala aku mencapai jalanan depan gang, aku melihat segerombolan ibu-ibu berkumpul mengelilingi sesuatu, seperti sebuah gerobak pedagang kaki lima. Ketika mendekat, samar-samar kudengar pembicaraan mereka.

“Iya, aku yakin dia sudah janda, makanya ngekos di sini sendiri.” Suara Bu Soimah terdengar renyah kala melanjutkan gosip, “Kucel sih, lakinya mana betah, ya?”

Ucapan Bu Soimah membuat para ibu-ibu itu menganggukkan kepala. Hal tersebut juga membuatku menurunkan pandangan, menatap daster lusuh yang membalut tubuhku.

Apa mereka sedang membicarakan diriku?

"Iya, zaman sekarang kalau nggak mau ditinggal suami, perlu dijaga dikit penampilannya. Lelaki itu ‘kan matanya lebih suka lihat yang segar, bersih, dan wangi," tutur ibu lainnya, belum sadar aku telah berada di belakang mereka.

“Seru banget, Bu,” ujarku, membuat mereka terkejut. “Lagi ngomongin apa?”

Melihat diriku tiba di sana, beberapa ibu-ibu terlihat tidak enak. Akan tetapi, Bu Soimah masih mengangkat tinggi dagunya seraya mendengus, “Ngomongin perempuan kalau nggak mau ditinggal suami tuh harus jaga penampilan.”

Mulutku membentuk huruf ‘o’, masih tersenyum walau tahu ucapan itu untuk diriku. Kuajukan pesananku pada pedagang, mengabaikan para ibu-ibu itu. Bukannya berhenti, mereka malah semakin menjadi-jadi menghinaku.

"Saya padahal udah bilangin ke dia kemarin soal penampilan. Eh, malah kayak nggak terima gitu," ujar Bu Soimah dengan terbuka sembari mendelik ke arahku, mungkin tidak suka aku mengabaikannya begitu saja. "Jangan mudah tersinggung kalau dikasih tau yang baik. Saya juga lebih jauh pengalamannya soal urusan rumah tangga," lanjutnya panjang-lebar.

Mendadak, aku mengingat sesuatu. "Oh ya, Bu, Pak Juki di rumah?" tanyaku.

Mendengar pertanyaanku itu, Bu Soimah memasang wajah marah dan membalas dengan suara tinggi, "Ngapain kamu tanya-tanya suami saya di mana?!"

Dengan sebuah senyuman tak berdaya, aku menjawab, "Bukan kenapa-kenapa sih, Bu. Cuma mau mastiin aja, soalnya tadi saya lihat ada orang mirip Pak Juki sedang bersama wanita, masuk ke rumah yang ada di ujung gang sana,” ucapku seraya menunjuk arah rumah yang kumaksud.

Bu Soimah menudingkan jari telunjuknya ke arahku. "Eh, Ratna. Kamu jangan bikin masalah, ya. Kamu nanya atau nuduh suami saya, hah? Rumah tanggamu hancur, ya, hancur aja sendiri. Jangan balik ngancurin rumah tangga orang lain," sanggahnya, tidak terima dengan apa yang aku katakan.

Di sisi lain, para ibu lainnya pun turut menyikut satu sama lain.

"Rumah di gang ujung bukannya tempat tinggalnya si Janda Gemes?"

"Yang seksi itu, ‘kan?” sahut ibu lain dengan wajah terkejut.

Karena dipanas-panasi, Bu Soimah terlihat menjadi semakin panik. Aku pun berkata, "Bukan bermaksud nuduh, Bu. Cuma sesama wanita harus saling mendukung ‘kan, Bu? Saya nggak tega kalau Bu Soimah merasakan apa yang saya rasakan aja, jadi saya tanya." Kutundukkan kepalaku dan memasang wajah bersalah. "Maaf ya Bu kalau menyinggung. Bukan maksud saya," ujarku. "Saya permisi."

Tidak ingin berlama-lama di sana, aku pun berbalik pergi meninggalkan tempat tersebut. Namun, kala mencapai ruang kosku, bisa kudengar makian nyaring dari lantai bawah, “Suami sialan!”

Mendengar hal tersebut, aku yang sedang menikmati sarapanku pun membatin, 'Ternyata, selain penampilan, mulut juga harus dijaga, biar nggak karma.'

Tak lama berselang, suara dering dari ponsel membuatku tersentak kaget. Kuraih benda pipih itu dan menekan tombol hijau setelah melihat nomor tak dikenal yang menghubungi.

Terdengar suara bariton dari seberang, "Selamat siang, apa benar ini dengan Ibu Ratna?"

"Ya, saya sendiri," jawabku formal.

"Perkenalkan saya perwakilan Pengadilan Negeri X. Saya ingin mengabarkan jika sidang kedua perceraian Ibu Ratna dengan Bapak Bram akan dilaksanakan minggu depan," tutur seorang pria dari ujung telepon yang lain. "Ibu diwajibkan untuk hadir tanpa wali ya, Bu."

Pernyataan pria tersebut membuatku terdiam sejenak. Kukepalkan tangan membayangkan bahwa pernikahan yang telah kupertahankan selama delapan tahun ini akan berakhir dalam waktu satu minggu lagi.

Sebelumnya kami telah menjalani sidang pertama untuk melakukan proses perdamaian dan mediasi. Namun, tentu saja hasilnya nihil. Aku takkan mau rujuk dengannya.

Akhirnya, dengan satu tarikan napas, aku pun berkata, "Saya mengerti, Pak. Saya pasti hadir."

Dwi Nella Mustika

Jadwal sidang yang paling ditunggu Ratna, mana mungkin dia absen....

| 2
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayu Dea Yuud
Bu soimah kena karma...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 199. Potrait Kebahagiaan

    Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 198. Mengutuk Diri

    Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 197. Duka Beruntun

    Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 196. Cuti Menjadi Dua Hari

    "Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 195 Keduanya Terperangah!

    Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 194. Pemisah dan Pembunuh

    Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status