Beranda / Rumah Tangga / Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu / Part 3. Talak? Awal Kemerdekaan Diri

Share

Part 3. Talak? Awal Kemerdekaan Diri

last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-11 11:27:40

Seluruh tubuh ini terasa bergetar dengan hebat. Dadaku naik-turun dengan cepat setelah mendesak Mas Bram untuk mengucapkan talak.

“Yakin?” tantangnya, lengkap dengan senyum mengejek. “Sekali aku mengabulkan, tidak akan aku ubah lagi sekalipun kau sujud di kakiku!”

“Seumur-umur menjadi istrimu, baru kali ini aku meminta sesuatu padamu dan tidak pernah aku seyakin ini, Mas.” Mataku nyalang menatap Mas Bram. Lalu kulangkahkan kaki menuju kamar, muak melihat wajahnya yang tanpa rasa bersalah itu.

"Baiklah jika itu maumu," teriaknya tak mau kalah saat aku berlari masuk ke kamar.

Brak!

Tubuh ini terasa tak bertulang saat aku baru saja menutup dan mengunci pintu. Terduduk. Air mata yang sejak tadi aku tahan, kini tak terbendung lagi, tumpah ruah bagai air terjun.

Bayangan saat ijab kabul delapan tahun lalu kembali terbesit di kepalaku. Sungguh tak kusangka, Mas Bram akan menyuguhkan sakit luar biasa dalam pernikahan ini. Aku malah sangat percaya diri kala itu, dicintai dengan lebih, diratukan setiap hari, hingga dia berjuang mati-matian untuk mendapatkanku. Nyatanya, apa yang Mas Bram perbuat padaku justru membuatku semakin yakin bahwa semua pria sama saja. Membuka luka lama saat ayah mengkhianati ibu di masa lalu.

Aku mengumpulkan energi, bangkit, dan duduk di bibir ranjang beberapa menit. Kemudian, mataku terfokus pada cermin meja rias. Cermin yang setiap hari mendengar keluh kesah dan rintihan hatiku. Cermin yang selalu menampakkan bahwa aku memang tidak secantik dulu, tidak semenarik dulu, dan tidak semulus dulu. Namun, aku seolah dihadapkan tanpa pilihan selain mengalah.

"Ya Allah, kini aku menyesal pernah memperjuangkan laki-laki yang nggak tahu diri itu."

"Dan, sudah waktunya aku mengucapkan selamat tinggal pada Ratna yang dulu."

"Lihat saja, Mas. Ke depannya kita akan bermain dengan diriku yang sebenarnya. Tunggu saja!"

Tok ... Tok ... Tok ...

"Ma ...," panggil Devina disertai dengan ketukan pintu. Saat aku menoleh, pintu kamar sudah terbuka dengan lebar.

"Mama mau ke mana?" teriaknya di ambang pintu saat Devina melihat aku tengah merapikan baju ke dalam koper.

Jujur, aku tak kuasa menjelaskan pada Devina.

"Kalau Mama mau pergi, Nana ikut, Ma!" ucap Devina lirih yang tak lama kemudian menangis.

Aku hanya merapikan beberapa helai baju karena memang tak punya banyak. Kata Mas Bram, sebelum lusuh dan sobek sana-sini masih layak pakai katanya. Berbeda dengan dirinya, yang setiap hari membeli pakaian, katanya, malu kalau seorang Manajer baju yang dipakai itu ke itu saja.

Aku mengeluarkan koper satu lagi. Tak ingin membuang waktu, dalam hitungan menit pakaian Devina sudah masuk ke dalam koper, hampir sebagian pakaian Devina ada di lemari di kamarku, jadi aku tidak perlu bertolak ke kamarnya.

Kemudian kuajak Devina untuk segera meninggalkan rumah terkutuk ini.

"Hei, berhenti! Mau dibawa ke mana cucu saya?" Seketika langkahku terhenti saat tiba-tiba mama mertua mencekal tanganku yang sedang menggandeng lengan Devina.

"Lepas, Ma! Mama bisa pisahkan aku dengan Mas Bram, tapi tidak dengan anakku!” ucapku lantang.

"Devina tidak boleh ikut dengan kamu, Ratna. Mau kamu kasih makan pakai apa nanti cucuku, hah?

“Kalau mau hengkang dari rumah ini, kamu hanya boleh membawa barang yang kamu bawa sejak pertama datang ke rumah ini. Ingat, saat kamu menjadi istri Bram dan membeli segala sesuatunya, itu semua memakai uang Bram. Jerih payah anak saya dan artinya kamu tidak berhak membawa barang-barang itu keluar dari rumah ini."

Sejurus kemudian, mama mertua menarik Devina hingga ke belakang tubuhnya, menjauhkan aku dari anakku sendiri. Aku hendak menarik kembali Devina, tapi pergerakan mama mertuaku lebih cepat.

"Aku mau ikut mama, Nek," rengek Devina tak ingin pisah. Wajahnya memerah tampak dia menahan tangis, aku tentu paham.

"Diam semua! Devina tidak boleh pergi! Aku tidak sudi anakku hidup terlantar di luar sana denganmu, Ratna!" bentak Mas Bram yang tiba-tiba muncul dengan membawa tas jinjing berwarna peach, ukurannya pun kecil.

"Nih!" Dia melempar tas itu ke hadapanku. "Hanya itu yang boleh kamu bawa, benar kata mamaku, selebihnya itu adalah hasil jerih payahku sendiri!" tambahnya kemudian.

Aku memungut tas yang dilempar tadi.

"Mas, aku laper. Kapan nih kita makannya?" rengek jal*ng yang dibawa Mas Bram mendekat sambil menggamit lengan lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Rasanya ingin muntah saat dia berujar dengan nada manja. Namun, akan aku pastikan luka yang kurasakan sekarang akan menjadi bumerang untuk mereka.

Kukecup lama kening Devina. Berat karena berpisah. Namun, aku berjanji ..., "tunggu mama, Dev. Secepatnya kamu akan mama bawa," bisikku kemudian.

"Sudah, pergi sana! Saya tidak sudi ada benalu yang mengotori rumah saya!" usir mama mertua.

Aku belum bisa beranjak, karena Devina sangat erat memegang kaki kiriku.

"Ma ..., jangan tinggalkan Nana, Ma." Kulepaskan dengan paksa tangan mungil yang memegang kakiku dengan erat.

"Lepaskan, Nak. Ini hanya sementara, mama janji!" pintaku lirih. Aku berusaha membujuk Devina karena tak kuat anak yang kubesarkan susah payah dibentak seenak hati oleh lelaki yang tak punya hati itu.

Aku melangkah yakin keluar dari rumah, tak ingin menampakkan air mata, tak ingin terlihat rapuh, karena mereka akan tertawa jika aku menderita ke depannya. Lihat saja, akan kubayar tuntas perbuatan kalian padaku!

"Nenek sama papa jahat!" Samar-samar kudengar suara Devina dari balik pintu utama yang sudah terkunci beberapa detik lalu.

Kini langkahku tertatih, belum lagi saat beberapa pasang mata tetangga melihatku menelusuri gang rumah dengan tatapan menghakimi.

“Jeng… Jeng… itu si Ratna istrinya Pak Bram, kan? Ngapain tuh dia bawa-bawa tas gembolan gitu?”

Meski sambil berbisik, tapi aku bisa dengan jelas mendengar gibahan ibu-ibu kurang kerjaan itu di belakangku.

“Sudah pasti habis diusir itu. Bu Dewi kan sering cerita kalo menantunya itu males banget. Paling si Bram udah ga tahan sama kelakuannya.”

Aku hanya meringis mendengar itu. Jadi selama ini mama mertuaku menyebarkan gosip tentangku?

"Ya ampun. Untung saya mah selektif kalo milih mantu. Jadi, ga sampai nyu-sa-hin." Kalimat terakhir dilontarkan dengan penekanan penuh.

Cukup sudah! Kubalikkan badanku menghadap kedua ibu itu. Namun, mereka justru langsung lari terbirit-birit. Dasar, beraninya membicarakan di belakang!

Kulanjutkan perjalananku. Sinar senja memberi cahaya hangat pada hatiku yang membeku. Cahayanya memantul di sela-sela pohon saat aku berjalan di trotoar. Ketika sampai di salah satu halte terdekat gang rumah, baru aku merogoh ponsel dari tas jinjing yang kubawa.

Kucari ‘PT Podoromo’ di daftar pencarian dan segera menghubungi nomor tersebut.

Begitu telepon tersambung, segera kukatakan dengan tegas, "Aku butuh bantuanmu!"

Dwi Nella Mustika

Mungkin Bram mengira kalau Ratna perempuan yang lemah

| 1
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ayu Dea Yuud
Kasihan Ratna harus berpisah dg anaknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 199. Potrait Kebahagiaan

    Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 198. Mengutuk Diri

    Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 197. Duka Beruntun

    Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 196. Cuti Menjadi Dua Hari

    "Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 195 Keduanya Terperangah!

    Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 194. Pemisah dan Pembunuh

    Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status