Share

Part 3. Talak? Awal Kemerdekaan Diri

Seluruh tubuh ini terasa bergetar dengan hebat. Dadaku naik-turun dengan cepat setelah mendesak Mas Bram untuk mengucapkan talak.

“Yakin?” tantangnya, lengkap dengan senyum mengejek. “Sekali aku mengabulkan, tidak akan aku ubah lagi sekalipun kau sujud di kakiku!”

“Seumur-umur menjadi istrimu, baru kali ini aku meminta sesuatu padamu dan tidak pernah aku seyakin ini, Mas.” Mataku nyalang menatap Mas Bram. Lalu kulangkahkan kaki menuju kamar, muak melihat wajahnya yang tanpa rasa bersalah itu.

"Baiklah jika itu maumu," teriaknya tak mau kalah saat aku berlari masuk ke kamar.

Brak!

Tubuh ini terasa tak bertulang saat aku baru saja menutup dan mengunci pintu. Terduduk. Air mata yang sejak tadi aku tahan, kini tak terbendung lagi, tumpah ruah bagai air terjun.

Bayangan saat ijab kabul delapan tahun lalu kembali terbesit di kepalaku. Sungguh tak kusangka, Mas Bram akan menyuguhkan sakit luar biasa dalam pernikahan ini. Aku malah sangat percaya diri kala itu, dicintai dengan lebih, diratukan setiap hari, hingga dia berjuang mati-matian untuk mendapatkanku. Nyatanya, apa yang Mas Bram perbuat padaku justru membuatku semakin yakin bahwa semua pria sama saja. Membuka luka lama saat ayah mengkhianati ibu di masa lalu.

Aku mengumpulkan energi, bangkit, dan duduk di bibir ranjang beberapa menit. Kemudian, mataku terfokus pada cermin meja rias. Cermin yang setiap hari mendengar keluh kesah dan rintihan hatiku. Cermin yang selalu menampakkan bahwa aku memang tidak secantik dulu, tidak semenarik dulu, dan tidak semulus dulu. Namun, aku seolah dihadapkan tanpa pilihan selain mengalah.

"Ya Allah, kini aku menyesal pernah memperjuangkan laki-laki yang nggak tahu diri itu."

"Dan, sudah waktunya aku mengucapkan selamat tinggal pada Ratna yang dulu."

"Lihat saja, Mas. Ke depannya kita akan bermain dengan diriku yang sebenarnya. Tunggu saja!"

Tok ... Tok ... Tok ...

"Ma ...," panggil Devina disertai dengan ketukan pintu. Saat aku menoleh, pintu kamar sudah terbuka dengan lebar.

"Mama mau ke mana?" teriaknya di ambang pintu saat Devina melihat aku tengah merapikan baju ke dalam koper.

Jujur, aku tak kuasa menjelaskan pada Devina.

"Kalau Mama mau pergi, Nana ikut, Ma!" ucap Devina lirih yang tak lama kemudian menangis.

Aku hanya merapikan beberapa helai baju karena memang tak punya banyak. Kata Mas Bram, sebelum lusuh dan sobek sana-sini masih layak pakai katanya. Berbeda dengan dirinya, yang setiap hari membeli pakaian, katanya, malu kalau seorang Manajer baju yang dipakai itu ke itu saja.

Aku mengeluarkan koper satu lagi. Tak ingin membuang waktu, dalam hitungan menit pakaian Devina sudah masuk ke dalam koper, hampir sebagian pakaian Devina ada di lemari di kamarku, jadi aku tidak perlu bertolak ke kamarnya.

Kemudian kuajak Devina untuk segera meninggalkan rumah terkutuk ini.

"Hei, berhenti! Mau dibawa ke mana cucu saya?" Seketika langkahku terhenti saat tiba-tiba mama mertua mencekal tanganku yang sedang menggandeng lengan Devina.

"Lepas, Ma! Mama bisa pisahkan aku dengan Mas Bram, tapi tidak dengan anakku!” ucapku lantang.

"Devina tidak boleh ikut dengan kamu, Ratna. Mau kamu kasih makan pakai apa nanti cucuku, hah?

“Kalau mau hengkang dari rumah ini, kamu hanya boleh membawa barang yang kamu bawa sejak pertama datang ke rumah ini. Ingat, saat kamu menjadi istri Bram dan membeli segala sesuatunya, itu semua memakai uang Bram. Jerih payah anak saya dan artinya kamu tidak berhak membawa barang-barang itu keluar dari rumah ini."

Sejurus kemudian, mama mertua menarik Devina hingga ke belakang tubuhnya, menjauhkan aku dari anakku sendiri. Aku hendak menarik kembali Devina, tapi pergerakan mama mertuaku lebih cepat.

"Aku mau ikut mama, Nek," rengek Devina tak ingin pisah. Wajahnya memerah tampak dia menahan tangis, aku tentu paham.

"Diam semua! Devina tidak boleh pergi! Aku tidak sudi anakku hidup terlantar di luar sana denganmu, Ratna!" bentak Mas Bram yang tiba-tiba muncul dengan membawa tas jinjing berwarna peach, ukurannya pun kecil.

"Nih!" Dia melempar tas itu ke hadapanku. "Hanya itu yang boleh kamu bawa, benar kata mamaku, selebihnya itu adalah hasil jerih payahku sendiri!" tambahnya kemudian.

Aku memungut tas yang dilempar tadi.

"Mas, aku laper. Kapan nih kita makannya?" rengek jal*ng yang dibawa Mas Bram mendekat sambil menggamit lengan lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Rasanya ingin muntah saat dia berujar dengan nada manja. Namun, akan aku pastikan luka yang kurasakan sekarang akan menjadi bumerang untuk mereka.

Kukecup lama kening Devina. Berat karena berpisah. Namun, aku berjanji ..., "tunggu mama, Dev. Secepatnya kamu akan mama bawa," bisikku kemudian.

"Sudah, pergi sana! Saya tidak sudi ada benalu yang mengotori rumah saya!" usir mama mertua.

Aku belum bisa beranjak, karena Devina sangat erat memegang kaki kiriku.

"Ma ..., jangan tinggalkan Nana, Ma." Kulepaskan dengan paksa tangan mungil yang memegang kakiku dengan erat.

"Lepaskan, Nak. Ini hanya sementara, mama janji!" pintaku lirih. Aku berusaha membujuk Devina karena tak kuat anak yang kubesarkan susah payah dibentak seenak hati oleh lelaki yang tak punya hati itu.

Aku melangkah yakin keluar dari rumah, tak ingin menampakkan air mata, tak ingin terlihat rapuh, karena mereka akan tertawa jika aku menderita ke depannya. Lihat saja, akan kubayar tuntas perbuatan kalian padaku!

"Nenek sama papa jahat!" Samar-samar kudengar suara Devina dari balik pintu utama yang sudah terkunci beberapa detik lalu.

Kini langkahku tertatih, belum lagi saat beberapa pasang mata tetangga melihatku menelusuri gang rumah dengan tatapan menghakimi.

“Jeng… Jeng… itu si Ratna istrinya Pak Bram, kan? Ngapain tuh dia bawa-bawa tas gembolan gitu?”

Meski sambil berbisik, tapi aku bisa dengan jelas mendengar gibahan ibu-ibu kurang kerjaan itu di belakangku.

“Sudah pasti habis diusir itu. Bu Dewi kan sering cerita kalo menantunya itu males banget. Paling si Bram udah ga tahan sama kelakuannya.”

Aku hanya meringis mendengar itu. Jadi selama ini mama mertuaku menyebarkan gosip tentangku?

"Ya ampun. Untung saya mah selektif kalo milih mantu. Jadi, ga sampai nyu-sa-hin." Kalimat terakhir dilontarkan dengan penekanan penuh.

Cukup sudah! Kubalikkan badanku menghadap kedua ibu itu. Namun, mereka justru langsung lari terbirit-birit. Dasar, beraninya membicarakan di belakang!

Kulanjutkan perjalananku. Sinar senja memberi cahaya hangat pada hatiku yang membeku. Cahayanya memantul di sela-sela pohon saat aku berjalan di trotoar. Ketika sampai di salah satu halte terdekat gang rumah, baru aku merogoh ponsel dari tas jinjing yang kubawa.

Kucari ‘PT Podoromo’ di daftar pencarian dan segera menghubungi nomor tersebut.

Begitu telepon tersambung, segera kukatakan dengan tegas, "Aku butuh bantuanmu!"

Dwi Nella Mustika

Mungkin Bram mengira kalau Ratna perempuan yang lemah

| 1
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayu Dea Yuud
Kasihan Ratna harus berpisah dg anaknya
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status