Jantung Alea seakan berhenti berdetak dan dadanya terasa sesak, seolah-olah ada yang meraup oksigennya secara paksa. Manakala dia melihat pria yang semalam sudah menemaninya dan pria itu juga sudah memberikan kenangan ciuman pertama untuknya.
"Ke-kenapa dia bisa ada di sini?" desis Alea sembari menggigit bibirnya sendiri, guna menahan rasa gugup itu. Namun, apa yang dilakukannya itu sia-sia, lantaran dia malah menunjukkan kegugupannya. Alea semakin tidak aman, ketika pria itu tiba-tiba saja berhenti di depannya dan menatapnya dengan tajam. Alea pun langsung menundukkan kepalanya, untuk menyembunyikan wajahnya dan berharap bahwa Juno tidak mengenalinya. "Kumohon, pergi sajalah dari sini." Mulut Alea komat-kamit dan meminta agar pria itu segera pergi dari hadapannya. "Angkat kepala kamu!" titah lelaki itu dengan suara dinginnya pada Alea. Semua orang yang ada di sana, sontak saja melihat ke arah Alea dan Presdir baru itu. Mereka bertanya-tanya apa yang telah dilakukan oleh Alea atau apakah Alea dan Juno saling mengenal sebelumnya? "Kamu tuli?" tanya Juno dengan sinis. "Tidak pak!" jawab Alea dengan cepat. Dengan memberanikan diri, Alea mengangkat kepalanya. Akhirnya dia pun bertatapan dengan Juno, pria tadi malam yang sudah bersamanya dan mengetahui kegilaannya tadi malam. Alea juga berpikir, kalau mereka sudah tidur bersama. Juno memandang wajah wanita itu dengan intens. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Tapi Juno berhasil membuat Alea deg-degan. Setelah beberapa detik mengamati wajah Alea, Juno kembali berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Langkahnya mantap, diikuti oleh dua orang di belakangnya. Satunya adalah pria berkacamata bulat dengan ekspresi serius, sementara yang lainnya bertubuh tinggi dan mengenakan kacamata hitam, tampak waspada. "Siapa dia?" tanya Juno, suaranya tenang namun mengandung ketegasan. Pertanyaan itu seketika membuat kedua pria di belakangnya menghentikan langkah. Mereka saling bertukar pandang sejenak sebelum salah satunya membuka mulut, seolah ragu untuk menjawab. "Siapa Pak?" "Wanita yang tadi saya lihat. Siapa?" "Saya tidak tahu Pak. Saya baru melihatnya hari ini," jawab pria berkacamata bulat yang bernama Adrian itu. Dia adalah sekretaris Juno. Juno lalu memerintahkan kepada sekretarisnya. "Cari tahu tentang dia dan suruh dia ke ruangan saya, setelah ini." "Baik, Pak." Adrian mengangguk. Wajahnya terlihat gelisah, dia khawatir kalau wanita itu membuat kesalahan pada Juno. Sampai-sampai Juno memanggilnya. Sementara itu Alea, yang masih berdiri di tempatnya, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Tatapan Juno tadi yang tajam seolah menelanjangi pikirannya, seakan dia akan mati saat itu juga. "Aku hampir nggak bisa napas saat pak Juno lewat di depan kita,"ucap salah seorang karyawan sambil mengelus dadanya sendiri. "Gila, ganteng banget Presdir baru kita. Aku jadi yakin, kalau aku bakalan makin betah kerja di sini seumur hidup!" Para karyawati itu terpesona dengan ketampanan Juno. Visualnya bagaikan patung pahatan dewa Yunani. Tampan, berkarisma, tapi auranya benar-benar tegas dan mencirikan kalau dia memang benar-benar seorang penguasa besar. "Ngomong-ngomong ... Bu Alea." Alea menoleh ke arah salah satu anggota timnya yang memanggil namanya. "Iya?" "Apa Bu Alea kenal sama pak Juno?" tanyanya yang seketika membuat Alea tersenyum canggung. "Enggak! Saya gak kenal!" sanggah Alea dengan cepat. "Oh gitu ya? Tapi tadi pak presdir lihatin bu Alea sampe segitunya loh. Saya kira, pak presdir mungkin kenal sama Bu Alea. Atau Bu Alea kenal sama beliau." Alea menahan diri untuk tidak terlihat gugup dengan memperlihatkan senyumannya. Dia juga berdusta. "Enggak kok. Saya baru melihatnya hari ini." 'Mampus aku. Kayaknya dia benar-benar ngenalin aku. Gimana ini? Ini hari pertamaku kerja di sini' Alea mengigit bibirnya sendiri. Dia takut hari pertamanya bekerja di perusahaan ini, malah menjadi hari terakhirnya bekerja juga. Saat Alea baru akan memulai pekerjaannya, Gunawan memberitahu Alea kalau dia mendapatkan amanat dari sekretaris presdir, kalau Alea harus pergi ke kantor presdir sekarang juga. "Ada apa ya, Pak? Kenapa pak presdir manggil saya?" tanya Alea yang mulai deg-degan. "Mungkin karena Bu Alea masih baru di tim kami, jadi pak presdir ingin bicara sedikit dengan Ibu." Penjelasan Gunawan setidaknya membuat Alea sedikit berpikiran positif. Lagi pula Juno mungkin tidak ingat dirinya dan hanya membahas masalah yang berkaitan dengan pekerjaan saja. Alea berusaha berpikiran positif. Dia menaiki lift karyawan menuju ke ruangan presdir yang berada di lantai atas. Jantungnya masih berdegup tak karuan, meskipun dia berusaha untuk menyingkirkan kegelisahannya. "Pak presdir ada di dalam, Bu." Adrian mempersilahkan Alea untuk masuk ke dalam ruangan presdir. "Bapak ikut ke dalam juga, kan?" tanya Alea, karena Adrian diam saja di sana dan tidak mengikutinya ke dalam. "Saya di sini, Bu. Karena pak presdir ingin bicara berdua dengan Ibu." Wajah Alea langsung berubah pucat pasi saat mendengarnya. "Be-berdua?" Namun, dia tetap melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menetralkan jantungnya yang saat ini tak baik-baik saja. "Tenang Alea. Tidak akan terjadi apa-apa sama kamu." Akhirnya langkahnya sampai di depan meja lebar dengan tumpukan dokumen di sana. Tapi yang lebih membuat Alea khawatir adalah pria yang sedang duduk di depan tumpukan dokumen tersebut. "Kamu sudah datang?" "I-iya Pak." Juno mendongak dan menatap Alea dengan tatapan matanya yang tajam. Hingga Alea kesulitan untuk menelan air liurnya sendiri. "Apa kamu sudah tidak mabuk?" "Apa maksud Bapak? Siapa yang mabuk, Pak? Saya baik-baik saja," sahut Alea dengan senyuman lebarnya. Juno tersenyum sinis mendengar kata-kata Alea dan melihat gerak-gerik wanita itu yang berpura-pura polos. "Jadi kamu berpura-pura tidak tahu siapa saya?" "Saya memang tidak tahu siapa Bapak dan saya baru melihat bapak hari ini." Alea masih menyangkalnya. Namun, Juno malah tersenyum tipis mendengarnya. "Benarkah? Lalu bagaimana bisa saya tahu ukuran bra kamu ya? Ukuran 36 CD kan?" Seketika kedua mata Alea langsung terbelalak kala mendengar perkataan Juno. Bisa-bisanya pria itu menyebutkan ukuran branya. "Dasar laki-laki mesum!" Akhirnya Alea pun meledak dan membuatnya ketahuan. "Siapa yang kamu sebut mesum? Kamulah semalam yang menggoda saya, Nona." "Saya tidak menggoda Anda!" sanggah Alea tak mau kalah. Wajahnya memerah, mengingat potongan kejadian memalukan semalam. "Padahal semalam kamu sangat ganas menggoda saya. Tidak disangka, ternyata kamu orangnya sangat jaim," ucap Juno dengan sarkas. "Bisakah Bapak melupakan saja kejadian semalam?" pinta Alea sambil menahan rasa malunya. "Jadi kamu akhirnya mengaku juga, kalau kamu—" Alea langsung memotong perkataan Juno, karena dia merasa malu. "Ya, saya mengaku! Jadi tolong jangan bahas ini lagi, Pak." "Sa-saya pergi dulu." Wanita itu segera membalikkan badan dan sepertinya dia memang berniat untuk melangkah pergi dari sana. "Tunggu!" Langkah Alea terhenti, kala Juno memanggilnya. Alea membalikkan badan dan melihat ke arah Juno. "Iya Pak?" "Kamu hanya punya dua opsi, Nona Alea." Alea menelan salivanya, saat Juno berbicara dengan nada dingin dan raut wajah yang tampak datar. Maksud kata-katanya juga terkesan ambigu. "Ya?" Alea mengerutkan keningnya, tak paham. "Jadi pacar saya, atau keluar dari perusahaan ini." "APA?" TBCSetelah resepsi yang sederhana namun indah itu, Martin benar-benar menjalankan janjinya, membuktikan pada Ghea. Bahwa ia meratukan Ghea—dalam arti sebenar-benarnya.Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, Martin selalu menyiapkan sarapan untuk Ghea. Kadang, ia bangun lebih pagi hanya untuk membuatkan teh hangat, menyiapkan baju, atau sekadar mengecup kening istrinya sambil berbisik, “Ratuku, hari ini kamu nggak boleh capek, ya.”Ghea awalnya sering merasa tak enak, bahkan canggung. Tapi seiring waktu, perhatian Martin menjadi sesuatu yang ia syukuri setiap hari. Ghea yang dulu terbiasa menyendiri dan mandiri, kini terbiasa dimanja.Saat Ghea mengalami migrain akibat kecapekan mengurus galeri seni barunya, Martin tak marah sedikit pun. Ia langsung mengambil alih semua pekerjaan rumah, memijat kepala Ghea, membelikan makanan favoritnya, bahkan membacakan buku untuk menenangkan hati istrinya.“Kak Martin…” gumam Ghea suatu malam, sambil menyandarkan kepala di dada suaminya, “Aku nggak pern
"Daddy. Cepet bangun dong! Aku nggak mau kita sampai telat ke nikahannya Ghea sama Martin," ujar Alea pada suaminya yang masih rebahan di atas ranjang, bergelut di dalam selimut.Sedangkan Alea, saat ini sedang memoles wajahnya di depan cermin. Ia ingin melihat pernikahan Ghea dan Martin. Ya, hari ini mereka berdua akan menikah. Setelah cukup lama berkabung atas kepergian Arkan, mantan kekasihnya, Ghea akhirnya mau menerima Martin kembali. Membuka hatinya untuk Martin yang mau berusaha mendapatkan hatinya.Nyatanya, usaha itu akhirnya membuahkan hasil. Ghea bisa menerimanya kembali, setelah 3 tahun menyendiri. Martin juga bisa membuktikan kepada Ghea, kalau ia pantas mendapatkan maaf dan cinta dari wanita itu. Bahwa ia memang sudah berubah dan hari ini adalah waktunya, Ghea dan Martin akan menikah."Daddy, kalau kamu tidak mau bangun. Aku mau pergi sama cowok lain aja!" seru Alea mengancam suaminya yang masih diam saja dan tak merespon ucapannya. Bibirnya memonyong ke depan, menunjukk
Ghea menggeleng cepat. “Jangan, Mas… jangan bilang hal-hal kayak gitu. Aku gak butuh siapa-siapa selain kamu. Aku cinta kamu…”Arkan menarik napas pelan, tubuhnya gemetar menahan sakit luar biasa. Namun bibirnya tetap memaksakan senyum. “Tapi kamu butuh seseorang yang bisa nemenin kamu sampai tua. Yang bisa berjalan di sebelah kamu, bukan yang hanya bisa tinggal di hati kamu.”Martin berdiri terpaku, tubuhnya kaku di ambang pintu. Ia mendengar setiap kata Arkan. Hatinya bergetar, tapi dia belum mengerti arah pembicaraan itu sampai akhirnya Arkan memanggil namanya.“Martin… ke sini…”Martin melangkah perlahan, seperti dibawa angin. Ia tidak bisa berkata apa pun. Luka Arkan terlalu mengerikan, namun senyumnya terlalu damai untuk ukuran orang yang sedang sekarat.“Aku tahu kamu masih sayang Ghea. Meskipun kamu pernah salah… Tapi kamu pria yang kuat. Aku titip Ghea ke kamu…”Martin membelalak mendengar ucapan Arkan yang begitu lirih d an memohon itu seakan kata-katanya adalah yang terakhi
Maya menangis tersedu-sedu, hingga membuat Alea dan Ghea bingung. "Ma, ada apa? Mas Arkan kenapa?" tanya Ghea khawatir. Dadanya tiba-tiba panas, saat bibir Maya yang terisak itu menyebut nama Arkan."Arkan ...mobil yang membawa Arkan,saat dalam perjalanan ke sini ...mengalami kecelakaan."Ghea tersentak kaget, ia berdiri dari tempat duduknya. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca, hatinya tidak percaya dengan semua ini. Kepalanya menggeleng-geleng berulang kali.Alea juga terkejut mendengar kabar tidak menyenangkan itu. Namun, ia tidak berkomentar selain wajahnya yang memperlihatkan rasa prihatin."Nggak. Mama pasti bohong. Belum lama Mas Arkan bilang, dia bakal datang. Dia akan datang!" seru Ghea dengan tangan gemetar."Ghea, tenangkan diri kamu, ya?" Akhirnya Alea bicara. Bermaksud menenangkan Ghea.Akan tetapi, Ghea melangkah pergi dari ruang rias. Ia berlari dengan memakai gaun pengantinnya dan melihat beberapa tamu undangan yang sudah hadir di sana. Bahkan pria yang akan menikahkan
Hari pernikahan Ghea dan Arkan pun tiba. Ghea tampak cantik mengenakan gaun putih ala sabrina dengan mahkota kecil menghiasi rambutnya yang disanggul. Ia sangat cantik, berbeda dengan pernikahan pertamanya yang tidak sebahagia ini. Pernikahan karena kecelakaan.Saat ia sedang bercermin, ia malah terbayang wajah Martin semalam. Ya, semalam mantan suaminya itu datang menemuinya."Mau apa lagi kamu ke sini, Kak?" tanya Ghea dengan tidak ramah seperti sebelumnya. Hingga ia pun terkejut melihat wajah pria itu yang memerah dan bibirnya yang tersenyum seperti orang linglung.Jalannya sempoyongan, ia mendekati mantan istrinya itu."Selamat malam mantan istri.""Kamu ...kamu mabuk, Kak?" tanya Ghea saat ia menghirup aroma alkohol yang menyengat dari tubuh Martin."Aku gak mabuk. Aku baik-baik aja kok. Hehe. Aku ke sini, karena aku mau ngucapin selamat untuk pernikahan kamu. Besok mungkin aku gak bisa hadir, tapi aku udah siapkan hadiah untuk kamu dan calon suamimu," tutur Martin seraya menatap
Sore menjelang malam, Ghea akhirnya mulai sadar. Kelopak matanya bergerak perlahan, dan ia mendengar suara mesin monitor berdetak pelan. Aroma antiseptik memenuhi hidungnya, dan lampu di langit-langit ruangan terlihat menyilaukan.“Ghea?” suara itu lembut dan penuh harap. Arkan langsung mendekat.Ghea mengerjap pelan, melihat sosok Arkan yang wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Mas…” suaranya lirih.“Syukurlah… kamu sadar,” ucap Arkan dengan suara yang hampir pecah. Ia langsung memeluknya lembut, takut menyentuh area yang terluka.“Lula… dia baik-baik aja, kan?” tanya Ghea pelan.Arkan tersenyum haru. “Kamu bahkan masih mikirin dia dalam keadaan begini.” Bisa-bisanya Ghea memikirkan adiknya yang selama ini bersikap tidak baik padanya.Ghea memaksakan senyum. “Aku nggak papa, Mas. Yang penting… dia selamat.”Di luar ruangan, Lula mengintip dari balik kaca. Air matanya kembali mengalir. Tapi kali ini bukan karena takut atau sedih, melainkan karena sebuah rasa yang baru mulai tumbuh di hati