Anna menatap Syam dalam perjalanan pulang."Menurutmu dia akan berubah?"Syam diam beberapa saat. "Mungkin tidak, tapi kita sudah melakukan yang terbaik, dan keadilan akan bicara."Anna mengangguk. Dia memejamkan mata, berharap bahwa setelah badai ini, mereka bisa benar-benar melanjutkan hidup. Ditambah rasa mual membuat pandangannya seakan berputar."Kau baik-baik saja?" Syam memelankan laju kendaraannnya. Melihat wajah pucat Anna dia menepikan kendaraannya ke bahu jalan. "Kau pucat, kita ke rumah sakit, ya."Anna menggeleng lemah. "Nggak usah. Aku cuma mual, padahal udah masuk tri semester ke-dua."Pandangan Syam menurun ke perut Anna. Dia mengus4p lembut di mana calon anaknya bersemayam. "Jangan nakal, ya, sayang. Kasian Mama."Anna tersenyum, dia memegang tangan Syam di perutnya. "Syam, apa kamu bahagia?"Syam mendekatkan wajah lalu mengecup dahi Anna lama dan lembut. "Harusnya aku yang nanya, apa kamu bahagia?""Tentu aku bahagia.""Makasih, sayang. Makasih udah bertahan sama aku
Sudah tiga hari sejak kejadian penculikan itu. Rumah menjadi tempat paling aman untuk Anna dan Kairo. Meski fisik mereka tidak terluka parah, Syam tahu luka batin lebih sulit disembuhkan.Pagi itu, matahari menyelinap lembut melalui tirai jendela kamar perawatan. Anna duduk di pinggir pembaringan Kairo, menyuapi bubur perlahan. Anak itu masih terlihat murung. Ia menunduk, hanya sesekali mencuri pandang pada wajah Anna.“Sayang, habiskan buburnya, ya,” ucap Anna dengan suara seramah mungkin.Kairo menggeleng pelan. “Nggak enak”“Kalau Kairo makan, Mama janji kita liburan ke tempat yang Kai mau."Kairo tetap diam.Anna menoleh pada Syam, yang berdiri memandangi mereka dari dekat pintu. Dia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk, berjongkok di sisi tempat tidur anaknya.“Kairo, boleh Papa cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Kairo mengangkat kepala perlahan.“Papa juga pernah takut. Waktu dulu, waktu Kakek dan Nenek meninggal. Papa takut banget, tapi ternyata Papa bisa jadi kuat kare
Suara tawa kecil Nadin di ujung telepon membuat d4rah Syam mendidih."Kau gil4, Nadin. Itu an-akmu, dar4h dagingmu. Apa kau tega menyakit1nya?!"“Ralat, an4k kita, bukan milikku sendiri, tapi apa? Kau lebih memilih bersama jal4ng itu daripada aku." Nadin terkekeh sinis. “Kau sudah tak menganggapku siapa-siapa, lalu sekarang kau masih berani bilang itu anakku? Dia an4kmu setelah kau buang aku seperti sampah, Syam. Sekarang kau tahu rasanya kehilangan. Aku tak akan segan meny1ks4nya. Kau lihat saja nanti!"Syam mencengkeram ponselnya dengan erat. Napasnya berat, tapi dia berusaha tenang. Dia tahu tak bisa meladeni orang nekat dengan perkataan provokasi.“Aku akan menemukanmu. Kau akan menyesal telah meny3ntuh an4kku.”"Coba saja, jangan banyak bicara. Kalau kau tidak memenuhi permintaanku dalam 2 × 24 jam, jangan salahkan kau akan menemukan may4tnya saja."Klik. Telepon terputus.Anna memperhatikan Alex yang berdiri di teras, wajahnya tampak gelisah. Pria itu mondar-mandir tak segera ma
Suasana ruang VIP rumah sakit masih sunyi saat ponsel Syam terus berdering. Para rekan bisnis dan teman ramai menanyakan tayangan gosip tentang dirinya dan Anna yang terus bergulir liar di media sosial. Wajahnya dingin, sorot matanya mengeras. Dia tahu siapa dalangnya, Nadin dan pengacaranya yang licik.'Aku akan selesaikan ini,' gumamnya pelan sambil meng-ecup kening Anna yang masih terbaring lemah.Keesokan paginya, Syam muncul di sebuah kantor hukum ternama di pusat kota. Dia datang bersamanya ada dua orang dari tim huku. legal pribadinya, dan seorang pria paruh baya yang menjadi penasihat bisnisnya selama bertahun-tahun.Pengacara Nadin, Herman Sudrajat adalah pria dengan jas mahal dan senyum licik. Dia menyambut Syam dengan ekspresi penuh percaya diri."Pak Syam, saya tidak menduga Anda akan datang sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"Syam menatap tajam."Anda terlalu percaya diri membela seseorang yang secara hukum terbukti menyerang wanita h4mil dan membantunya menyebar kebohon
Pagi di rumah sakit seharusnya berjalan tenang, tapi tidak untuk Syam. Dia menelusuri koridor dengan langkah cepat. Keringat dingin masih menempel di pelipisnya meski hujan belum berhenti sejak semalam. Wajahnya pucat, tangannya gemetar.“Pak Syam, istri Anda sudah sadar, tapi kami sarankan observasi lebih lanjut.”Itu kata dokter pagi tadi yang membuatnya gegas mendatangi rumah sakit. Syam melimpahkan semua pekerjaan ke asistenya. Keselamatan Anna priotitasnya sekarang.“Pak, istrinya sudah dibawa ke ruang observasi. Tekanan d4rahnya turun drastis, kemungkinan ada trauma,” kata perawat waktu itu, berusaha menenangkan.Mendengar itu Syam tak bisa tenang. Dia merasa bersalah, harusnya malam itu dia tidak sekadar mengus1r, tapi segera mengkasuskan Nadin. Kini, di dalam ruang perawatan VIP rumah sakit itu, Anna sudah terbaring lemah dengan infus di tangan. Wajahnya pucat, nafasnya pelan dan teratur, tapi tubuhnya tak sehangat biasanya.Syam duduk di sisi r4njang. Dia menggenggam tangan
"Bagaimana, kamu lelah?" tanya Anna melirik Syam yang sedang mengusap keringatnya.Syam menggeleng, meski sebenarnya letih dia tak boleh mengatakan. Anna hanya memintanya menjadi pelayan di restorannya. Hukuman yang diberikan Anna terlalu mudah dibanding luka yang dia berikan. Syam terus dibebani rasa bersalah setiap melihat Anna. Sampai kapan pun dia tak mungkin lupa sikap buruknya pada sang istri."Tante Anna, Papa bohong. Lihat, napas Papa saja udah ngos-ngosan. Muka Papa juga udah pucat, takutnya tiba-tiba pingsan." Kai bercelutuk sembari tertawa.Anna tersenyum mendengar kata-kata Kai. Dia tahu Syam kelelahan. Dia sengaja meminta lelaki itu bekerja di restorannya selama sepuluh hari nonstop dari pagi sampai malam sebagai syarat kepulangannya. Anna tak punya cara lain untuk menghukum Syam, bagaimana pun dia masih suaminya. Anna tak ingin melangkahi harga diri Syam meski lelaki itu sudah menyakitinya. Bucin? Entahlah, Anna merasa Syam layak diberi kesempatan menilik kesabaran lelak