"Mas, tadi ibu pesan karedok sama es sultan sama Mbak Sari. Tapi belum dibayar," ucap Arin saat Bayu sudah mandi dan berganti pakaian. Ia memang sengaja menunggu suaminya sedang santai dan badannya sudah bersih selepas bekerja.
"Lalu?""Arin sudah nggak ada uang buat bayar. Lagian, semua totalnya tigapuluh lima ribu," ucap Arin."Banyak amat, memang ibu pesan berapa porsi?""Dua karedok dan dua es sultan, yang satunya diantar ke sini yang satunya ke rumah ibu. Arin sudah janji besok mau bayar sama Mbak Sari, ada uangnya kan?""Kenapa karedok yang diantar ke rumah kamu terima? Seharusnya kamu tolak jadi nggak kebanyakan yang harus dibayar," sentak Bayu. "Mana bisa? Itu karedok, bukan beli perabotan dapur yang bisa dibalikin kalau nggak suka atau nggak bisa bayar. Lagian, Arin mana tahu ibu pesanin karedok itu. Arin aja nggak suka, soalnya pedes banget dan akhirnya dimakan Wisnu."Bayu melirik ke arah Arin, mencari kebenaran atas ucapan istrinya itu. Bayu beranjak mengambil kunci motornya dan pergi meninggalkan rumah.Arin menengok anaknya yang sudah terlelap tidur di kamar, ia berjalan ke dapur dan mengambil secentong nasi. Perutnya sangatlah lapar, tak ada sayur maupun lauk yang tersisa. Hanya ada karedok sisa tadi siang milik Wisnu di wadah daun pisang.Arin mengambil sisa karedok untuk menemani makan malamnya. Baru saja sesuap ia masukkan nasi ke mulutnya, suara motor Bayu terdegar mendekat. Ia datang dengan membawa ibunya ke rumah."Arin!" teriak Reni, mertua Arin."Iya, Bu." Arin meninggalkan makanannya dan berjalan dengan cepat ke depan menemui mertuanya."Sini kamu!"Arin menunduk dan tak berani menatap mertuanya yang sedang marah ini, bahkan ia tak tahu apa kesalahannya. Bayu yang melihat dua orang wanitanya ini hendak bersitegang, memilih duduk dan menyulut rokoknya."Bu, duduk saja. Kita bicara sambil duduk, kan enak," ucap Bayu santai seakan tak terjadi apa-apa."Bayu, kamu ini jangan terlalu santai. Lihat istrimu, dia saja baru makan. Bisa-bisanya istrimu ini fitnah Ibu semaunya," ucap Reni sat melihat bwkas nasi yang masih menempel di bibir Ari. Kedatangan Reni membuat Arin bingung kenapa tiba-tiba ia datang dan marah-marah."Fitnah apa, Bu? Arin nggak tahu dengan apa yang Ibu bilang.""Kamu jangan pura-pura be*o, Arin! Bayu bilang kalau ibu membeli karedok atas namamu dan membiarkan kamu membayarnya. Bahkan kamu juga memfitnah Wisnu bahwa dia yang menghabiskan karedok yang Ibu berikan untukmu," ucap Reni keras."Memang begitu kenyataanya. Ibu memang memesan itu semua tanpa bilang Arin dahulu, sekarang kenapa Ibu marah jika aku berbicara faktanya kalau Wisnu memang yang menghabiskan karedok yang Ibu belikan untuk Mas Bayu. Kalau Mas tak percaya, bisa tanya langsung sama orangnya." Wajah marah Reni berubah ketika mendengar ancaman Arin."Kamu mau bikin malu Ibu? Perkara uang tiga puluh lima ribu saja kamu mau meminta kejelasan?" gertak Reni."Loh, kan Ibu sendiri yang bilang kalau Arin fitnah Ibu. Kenapa sekarang jadi Ibu takut kalau kebohongan Ibu terungkap?" Reni melirik ke arah Bayu seperti meminta pertolongan pada anak sulungnya itu."Bay, istrimu ini kurang ajar sekali sama Ibu. Berani dia sudah fitnah Ibu, sekarang dia mau bikin malu Ibu. Kamu jadi suami bagaimana sih didik istri, nggak becus!" omel Reni karena tak mendapati pembelaan Bayu."Sepertinya Bayu yang salah di sini. Bayu kira kalian mau berdiskusi masalah makanan tadi, ternyata malah ribut. Sudahlah, besok kamu bayar saja, Rin. Pusing lihat kalian ribut," ucap Bayu menyodorkan uang limapuluh ribuan ke arah Arin."Sini, Ibu saja yang bayar," serobot Reni menarik uang pemberian Bayu pada Arin.Bayu masuk ke dalam kamar meninggalkan dua orang di depannya. Ia enggan jika melihat keduanya berselisih. Tadinya Bayu hanya ingin bertanya perihal hutang karedok itu, tapi Justru Ibunya malah minta ikut ke rumahnya dan membuat gaduh."Mas." Panggil Arin saat Bayu sedang asik memainkan gawainya."Ibu sudah pulang?" "Sudah, kan sudah dikasih uang lebih sama kamu. Ya pasti pulang. Lagian, kamu kenapa harus ke rumah Ibu, nggak percaya banget sama istri. Ujung-ujungnya, keluar uang juga kan?" omel Arin."Udah sana tidur! Berisik! Nggak cape apa ngomel-ngomel mulu," usir Bayu pada Arin."Kalau Mas nggak kayak gini juga Arin nggak akan protes, Mas ini aneh. Jika Arin yang bilang, Mas nggak percaya. Tapi kalau Ibu yang bilang, Mas langsung percaya. Hubungan itu harus didasari dengan kepercayaan, bukan curigaan sama istri. Apalagi masalah uang, Mas itu terlalu perhitungan dan pelit dari dulu." "Kamu bilang Mas pelit? Sudah berapa kali kamu bilang begitu? Bosan dan nggak ngaruh sama Mas," ucap Bayu."Ya iya, Mas ini hatinya sudah jadi batu. Rezeki Arin itu, Allah titipkan lewat Mas. Bahkan semua rezeki keluarga kita, hanyalah titipan Tuhan. Jangan lupa, Mas. Zalim dengan istri itu dosa besar!" ucap Arin sembari membalikkan badannya dan tidur dengan membelakangi suaminya.Bayu tak menanggapi ucapan Arin, ia masih saja sibuk dengan gawainya. ****"Assalamualaikum, Mbak Arin." Suara Bu Sari kembali terdengar."Waalaikumsalam, eh …Bu Sari. Ada apa ya pagi-pagi sudah mampir?" tanya Arin."Mau minta bayaran karedok kemarin, sudah ada?" "Loh, kan sudah dibayarkan mertuaku, Bu. Tadi malam uangnya sudah dikasihkan sama beliau," ucap Arin."Nggak ada, katanya minta sama Pak Bayu saja. Kok jadi saya yang puyeng, Mbak? Jadi, siapa yang mau bayar?" Arin tampak bingung. Ia akhirnya meminta Sari menuju rumah mertuanya."Bu! Bu!" panggil Arin menggedor pintu rumah mertuanya."Ibumu baru pergi, Rin. Tadi sama Wisnu naik motor dan pake helm. Berarti mau pergi jauh kali," ucap tetangga mertua Arin."Iyakah? Yah terlambat kalau begitu. Begini saja bu, Sari. Nanti jam satu, Ibu balik lagi ke rumah saya. Akan Arin bayar setelah pulang beberes dari rumahnya bu Puji. Hari ini Arin ada kerjaan di sana, nanti Ibu ke sana saja nggak apa. Arin bayar di rumah Bu Puji. Bagaimana?""Baiklah, untung kamu orang yang bisa dipercaya, Rin. Kalau kayak mertuamu itu, hadeh. Ogah aku hutangin lagi, kasihan kamu jadinya kayak gini," ucap Bu Sari."Nggak apa, Bu. Arin sudah terbiasa dengan keluarga Mas Bayu. Maaf ya, Bu Sari jadi harus bingung dan bolak-balik kesini.""Nggak apa. Kalau begitu, saya pamit Mbak Arin. Permisi!"Sari meninggalkan Arin yang masih berada di depan rumah mertuanya. Arin lagi-lagi ketiban sialnya, sudah tak makan karedoknya. Uang hasil kerja beberes hari habis juga untuk bayar hutang mertua pada Sari."*Arin keluar dari tempat Bu Puji. Hari ini ia ada janji mengantar upah hasil kerjanya membersihkan rumah untuk membayar karedok yang mertuanya beli."Mau bagaimana nasib kita ya, Gam," ucap Arin lirih pada anak angkatnya ini. Arin memang kerap mengajak Agam ikut bekerja jika ia sudah pulang sekolah. Karena ia tak mau mertuanya tahu, jika ia pergi keluar rumah untuk bekerja. Agam sendiri sepertinya tak tahu, jika Arin pergi dari rumah ke rumah untuk mencari tambahan uang."Kenapa, Bu?" tanya Agam dengan polosnya."Ibu sedih lihat kamu nggak bisa jajan enak kayak teman-teman yang lain.""Nggak apa, Bu. Lagian, Agam suka kok begini. Asal sama Ibu terus, Agam rela gak jajan. Tapi, Ibu jangan pergi lagi ya?" Sepertinya kepergian Arin waktu itu membekas di hati anak kecil berumur enam tahun ini. Inilah alasan Arin masih mempertahankan rumah tangganya dengan Bayu, lelaki berwatak keras dan juga pelit."Asal Agam janji, nurut sama Ibu dan nggak boleh bikin ayah repot. Agam kan tahu, Ayah itu
"Bu, Ayah ajak Agam keliling alun-alun pake mobil baru Ayah. Mama ikut ya?" ajak Agam. Bayu menyusul masuk Agam ke kamar untuk berganti pakaian."Mas beli mobil baru?" tanya Arin."Iya.""Kok nggak tanya Arin?""Tanya? Buat apa tanya, kan Mas beli pake uang Mas sendiri. Kenapa harus izin kamu? Aneh," umpatnya."Agam keluar dulu, ya? Main sama nenek. Ibu mau bicara sama Ayah sebentar.""Iya, Bu."Arin menatap Bayu tajam meminta penjelasan pada suaminya ini."Mas, Arin ini istri sah Mas. Seharusnya, hal seperti ini kita bicarakan. Mas katanya nggak punya uang lebih, setiap hari Arin diminta hemat pengeluaran. Ternyata hematnya Arin, hanya untuk membuat Mas memperkaya diri sendiri. Sampai keuangan Mas, Arin tak boleh ikut campur," ucap Arin dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Kamu ini aneh. Suami dapat rezeki lebih, kamu malah sedih dan tak bersyukur. Pantas hidupmu selalu mengeluh, kamu ini istri yang tak bisa menerima setiap pemberian suami. Mas ini hemat karena kita perlu banyak tab
"Biar saya bantu, Mbak." Susi mengambil alih pisau yang Arin sedang gunakan memotong wortel."Nggak usah," ucap Arin menarik kembali pisau yang diminta Susi hingga tak sengaja menggores sedikit jari Susi."Aw!" rintih Susi.Bayu yang baru selesai dari kamar mandi mendengar rintihan Susi seketika terkejut. "Kenapa, Si?" tanya Bayu."Nggak apa, Mas. Hanya sedikit terkena pisau saat hendak memasak," ucap Susi membersihkan darah dengan menghisapnya."Sini biar Mas lihat," ucap Bayu membuat Arin geram."Perhatian sekali kamu, Mas? Biasanya aku berdarah sampai satu gayung saja kamu biasa saja. Kenapa sekarang jadi lebay gitu? Jangan-jangan benar dugaan Arin. Susi itu bukan saudara Mas, tapi selingkuhan Mas.""Arin!" bentak Bayu membuat Arin bertambah murka."Apa? Benar ucapan saya, Mas? Ck! Pantas Mas pelit dan sangat perhitungan, ternyata uang itu Mas gunakan untuk merayu wanita," ucap Arin kalap. Bayu yang murka seketika melayangkan pukulan di wajah Arin.Plak!Pipi Arin yang hampir berke
"Assalamualaikum, Bu." Arin masuk ke dalam rumah dengan menyeret koper miliknya. Bu Narsih yang melihat anaknya pulang dengan membawa koper kaget dengan kepulangannya kali ini."Waalaikumsalam, Arin. Kamu kenapa pulang membawa koper?" tanya Bu Narsih, ibu dari Arin."Mas Bayu usir Arin." Bu Narsih tampak terkejut. Arin yang merasa lelah badan dan pikiran memilih masuk ke kamarnya yang dulu ia tempati saat masih gadis.Bu Narsih pergi menyusul Bapak Karyo yang sedang berada di sawah untuk memintanya segera pulang. Bu Narsih panik melihat anaknya pulang dengan kondisi yang berantakan. Bu Narsih takut hal buruk telah terjadi pada anak sulungnya ini."Pak! Pak!" Pak Karyo yang sedang mencangkul lahan di sawah berhenti dan menengok ke arah Bu Narsih."Pak! Ayo, pulang!" teriak Bu Narsih kembali. Pak Karyo yang melihat istrinya kalut, memilih segera menyudahi aktivitasnya."Ada apa, Bu? Sampe teriak-teriak begitu?" tanya Pak Karyo."Itu loh, Pak. Anak kita," ucap Bu Narsih dengan nafas yang
Pagi ini, Karyo berencana mengunjungi rumah Bayu seorang diri. Ia tak ingin Arin sedih jika nanti ia ajak ke sana. Biarlah hari ini ia hendak mencari tahu penyebab kemarahan Arin terhadap Bayu. Dengan menaiki ojek, ia bertandang ke kota tempat Bayu tinggal. Kota berlambang bunga Wijaya Kusuma ini tempat Bayu menetap, masih dalam satu kabupaten dengan tempat tinggal Karyo hanya ia di desa dan Bayu di kota.Ojel sampai di depan rumah Bayu, rumah tampak sepi dan hanya ada mobil berwarna putih yang ada di depan rumah. Karyo berjalan ke arah pintu, mengetuk pintu perlahan."Assalamualaikum," panggil Karyo. Tak ada jawaban dari dalam sana, membuat Karyo kembali mengetuk pintu. Terdengar suara dari arah jendela dan itu seperti sebuah desahan wanita dan laki-laki. Tak ingin berpikiran buruk, Karyo hendak mengintip dari jendela. Ia tak bisa melihatnya karena jendela tertutup rapat oleh gorden. Tapi ia mendengar dengan jelas suara itu saat sudah mendekati jendela kamar."Mas, kayak ada yang ket
"Rin, ini uang pembayaran kambing Bapak. Kamu besok kembali ke pengadilan agama untuk melanjutkan berkasmu agar segera diproses. Bapak mau semuanya cepat selesai," ucap Karyo. Arin menerima uang senilai dua juta yang baru Karyo dapatkan dari penjual kambing."Makasih, Pak. Mengurus perceraian itu butuh waktu yang lama ya, Pak. Harus wara wiri ke pengadilan. Arin jadi kasihan sama Bapak kalau harus ikut terus, besok Arin berangkat sendiri saja.""Yakin?" "InsyaAllah," jawab Arin tegas."Yo wis kalau begitu, Bapak besok mau ke Lomanis. Bude meminta Bapak buat bersihin kebun belakang rumahnya," ucap Karyo."Iya, Pak." Arin memasuki kamarnya, meletakkan uangnya di dalam laci lemarinya dan bersiap tidur.🌷"Pak, Arin nggak papa dibiarkan berangkat sendiri?""Nggak papa, Bu. Arin kan sudah pernah ke sana sama Bapak kemarin. Insya Allah nggak apa. Bapak mau sekalian berkunjung ke rumah abang Bapak yang pada di Lomanis itu." Karyo adalah anak dari 5 bersaudara. Ayah dari Arin ini, adalah a
"Hallo, iya. Oke … Kakak jemput!" ucap Kaisar di dalam panggilan ponselnya."Hm … Rin, kita mampir ke Green cafe bentar ya. Jemput adik saya dulu, nggak apa 'kan?""Baik, Mas." Kaisar membelokkan stir menuju Green cafe, Kenzi yang sudah menunggu di depan cafe merasa kesal karena terlalu lama menunggu mobil jemputannya."Lama amat, Ka?" gerutu Kenzi.Kenzi membuka pintu dan masuk tanpa melihat ada Arin dibelakang. Arin merasa tak asing dengan suara lelaki itu, lelaki yang pernah menjadi lawan lomba sains antar sekolah.Kenzi menengok ke belakang dan melihat ada Arin seketika kaget."Lo?!" ucap Kenzi kaget. Arin hanya tersenyum tanpa menanggapi lagi kekagetan Kenzi padanya, karena ia sudah tahu jika Kenzi memang lelaki yang pernah ia kalahkan dalam olimpiade antar sekolah."Kakak bawa wanita dalam mobil Kakak tanpa bilang ke Ken, wah … bahaya ini. Kakak nggak beres, harus dilaporkan kanjeng Mami. Heh, sejak kapan kamu numpang di mobil Kakakku?" ucap Kenzi dingin.Kaisar menjewer telin
"Sombong sekali kamu, Mbak. Mas Bayu tidak seserius itu mengatakannya. Kalau Mbak Arin tak mau kembali ke rumah Mas Bayu sekarang, jangan harap bisa lagi bertemu Agam selamanya," ucap Wisnu tegas. Sepertinya adik dari Bayu ingin menggunakan Agam sebagai bahan untuk memperalat Arin."Apa-apaan ini? Bu Reni jika mau bertamu baik-baik, sebaiknya kita bicara di dalam. Tidak membuat keributan di luar rumah seperti ini. Saya sedang kedatangan tamu jauh, tak enak di dengarnya," ucap Narsih ikut membantu anaknya berbicara kepada tamu tak diundang ini.==============="Tidak perlu, saya hanya urusan sama Arin. Kedatangan saya ke sini untuk menjemputnya, jika hari ini ia tak pulang ke rumah maka jangan salahkan saya mencoret nama Arin dari daftra menantu saya," teriak Reni geram."Silahkan! Lagian, anak saya ini juga tak akan menyesal jika dibuang oleh anda dan keluarga besar anda. Justru anda yang akan menyesal telah menzalimi anak saya. Lihat saja, siapa yang akan bahagia setelah perceraian