Arin keluar dari tempat Bu Puji. Hari ini ia ada janji mengantar upah hasil kerjanya membersihkan rumah untuk membayar karedok yang mertuanya beli.
"Mau bagaimana nasib kita ya, Gam," ucap Arin lirih pada anak angkatnya ini. Arin memang kerap mengajak Agam ikut bekerja jika ia sudah pulang sekolah. Karena ia tak mau mertuanya tahu, jika ia pergi keluar rumah untuk bekerja. Agam sendiri sepertinya tak tahu, jika Arin pergi dari rumah ke rumah untuk mencari tambahan uang."Kenapa, Bu?" tanya Agam dengan polosnya."Ibu sedih lihat kamu nggak bisa jajan enak kayak teman-teman yang lain.""Nggak apa, Bu. Lagian, Agam suka kok begini. Asal sama Ibu terus, Agam rela gak jajan. Tapi, Ibu jangan pergi lagi ya?" Sepertinya kepergian Arin waktu itu membekas di hati anak kecil berumur enam tahun ini. Inilah alasan Arin masih mempertahankan rumah tangganya dengan Bayu, lelaki berwatak keras dan juga pelit."Asal Agam janji, nurut sama Ibu dan nggak boleh bikin ayah repot. Agam kan tahu, Ayah itu sibuk. Doakan saja semoga ayah bisa dapat rezeki banyak, dan kita bisa makan enak tiap hari," ucap Arin menggendong Agam di punggungnya."Kalau Agam nggak perlu enak, pokoknya asal sama Ibu semuanya enak," pekik Agam semangat."Cius?" "Ciyus, Mom," ucap Agam menirukan artis 'Ntut' di sinetron Dunia terjungkal ini. Keduanya saling tertawa sepanjang perjalanan pulang sambil bercerita tentang keseruan Agam di sekolah tadi. Agam memang setiap hari diantar mertua Arin karena Bayu memang sengaja mempercayakan pendidikan sekolah Agam pada mertuanya. Biaya sekolah mertua Asih yang membayarkan, tentunya dari uang Bayu. Sedangkan keperluan peralatan sekolah, Arin yang harus memikirkan.Bayu memang kerap tak adil dalam membagi jumlah uang, walau anak laki-laki masih bertanggung jawab penuh dengan ibunya, tapi Bayu sudah sangat tidak manusiawi. Gaji hampir lebih dari lima juta, tapi Arin hanya menerima lima ratus ribu saja setiap bulannya. Walau listrik dan air Bayu yang membayarnya, tapi Arin merasa itu sangatlah tidak adil sedangkan mertuanya dikasih dua juta setiap bulan.Nyatanya, jika orang mengetahui ini semua pasti mereka akan mengambil pilihan mudahnya yaitu bercerai. Jika saja itu semudah yang diucapkan kebanyakan orang, pasti Arin sudah melakukannya. Sayangnya melihat wajah polos Agam, Arin rasa tak tega meninggalkan anak seumur Agam yang haus akan kasih sayang seorang Ibu. Walau dia bukan ibu kandung Agam, cintanya tulus dari lubuk hati yang paling dalam."Bu Sari, maaf jika kesorean nganter uangnya. Ini, tiga puluh lima ribunya. Pas ya?" ucap Arin menyodorkan uang yang didapatkan dari rumah bu Puji."Baiklah, Bu Arin. Maaf juga sudah membuat Bu Arin jadi harus membayarnya segera, soalnya besok sudah mau dibawa pasar uangnya buat modal muter," ucap Bu Sari."Iya, Bu Sari. Arin tahu kok, makannya Arin buru-buru tadi dari tempat kerja ke sini. Biar Bu Sari nggak repot bolak balik nagih ke rumah. Kasihan, jadi orang nagih tuh capek. Aku pernah kayak gitu, yang ditagih lebih galak dari yang nagih," ucap Arin sambil tersenyum."Iya emang, maka dari itu sebenarnya aku malas kalau ada yang beli tapi hutang. Tapi kemarin itu, mertuamu bilang kalau kamu yang akan bayar. Jadi ya, aku woles aja. Kan Mbak Arin ini anti hutang, makannya aku kasih aja," jawab Bu Sari jujur."Iya, kali ini nggak apa. Tapi untuk kedepannya, jangan kasih ya, Bu. Bukan apa, takut saya nggak bisa bayarnya," ucap Arin."Oke, Mbak. Nanti aku ingat-ingat.""Tapi jangan bilang juga Arin yang nyuruh.""Siap, Mbak Arin."Setelah membayarkan hutang karedok, Agam dan Arin pulang ke rumahnya. Ia melihat mobil putih terparkir di depan rumahnya."Bu, mobil siapa ya? Bagus banget," ucap Agam bingung."Nggak tahu, kita coba lihat ke dalam."Agam dan Arin bergegas masuk ke dalam, terlihat Bayu dan mertua serta adik ipar sedang memakan snack di depan televisi."Assalamualaikum," salam Arin dan Agam saat baru sampai di depan pintu."Waalaikumsalam, anak Ayah dari mana?" tanya Bayu menciumi pipi gembul Agam."Dari jalan-jalan sama Ibu, terus tadi dari rumah Bu Sari. Kasihan Ibu, dimarahi Bu Sari gara-gara karedok belum dibayar sama Ayah." Bayu melirik ke arah Arin dan ia hanya diam tak mengatakan apapun."Kamu mengajari Agam berbohong, Rin? Bisa-bisanya anak sekecil Agam kamu biarkan berkata seperti itu?" cerca Reni pada Arin."Kenapa Arin yang disalahkan? Ibu sendiri yang tak tahu malu. Sudah dikasih uang buat bayar karedok Bu Sari, malah uang ditilep sendiri. Yang salah siapa, nunjuk ke siapa." Arin berlalu meninggalkan keluarga Bayu yang sangat membuat Arin sakit kepala. Agam yang merasa sedih melihat Arin dimarahi, menyusulnya hingga ke kamar."Maaf, Bu. Gara-gara Agam, Ibu dimarahi lagi. Maafin Agam, Bu." Agam tergugu dipelukan Arin dan inilah alasan Arin tak bisa pergi. Agam begitu rapuh tanpanya, dan ia selalu membelanya walau yang lain membencinya."Agam nggak salah. Agam sudah betul jadi lelaki jujur, tapi Agam juga harus ingat, jangan jadi lelaki tak bertanggung jawab apalagi sampai melukai hati wanita. Ingat, A, sebaik-baiknya lelaki adalah yang mampu melindungi dan menghargai seorang wanita. Jadilah lelaki bertanggung jawab dan juga berakhlak sholeh, karena tugas lelaki itu berat.Salah satu firman Allah tentang ayat tersebut adalah al-rijâlu qawwâmûna ‘ala al-Nisâ, yang artinya kurang lebih “Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan”. (Al-Nisa’ : 34)Atas dasar itu, Agam harus tahu batasan mana yang harus dilakukan seorang laki terhadap perempuan dan batasan hak lelaki terhadap perempuan. Agam paham?" tanya Arin sambil menaikan Agam ke pangkuannya."Paham, Bu. Kalau begitu, Agam mau jadi pemimpin yang baik bagi semua wanita," ucap Agam."Baik bagi semua orang itu baik, Gam. Tapi setelah dewasa nanti, pilih satu wanita saja. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik," ucap Arin."Oke, Mom."Terdengar suara Bayu memanggil Agam untuk ke depan untuk bergabung bersama mereka. "Tuh, dipanggil Ayah," bujuk Arin."Nggak, Agam di kamar saja sama Ibu. Agam nggak mau sama mereka," ucap Agam memeluk Arin erat."Agam, melawan orang tua itu dosa yang tak diampuni. Jika mereka menyuruh kebaikan, ikuti. Jika menyuruh keburukan baru Agam boleh menolaknya. Itupun dengan cara yang baik, siapa tahu Ayah mau kasih hadiah Agam? Atau pergi jalan-jalan sama Agam? Sudah sana, Ibu mau mandi dulu. Agam sama Ayah dan nenek ya?" Akhirnya Agam menuruti ucapan Arin dan keluar kamar dengan wajah cemberut."Apa sih, Yah?" tanya Agam jutek."Kok gitu sama Ayah?" ucap Bayu lembut."Gitu tuh, si Arin ngajarin anak kamu, Bay. Ternyata, membiarkan kamu menikahi wanita kampung itu salah, nyesel Ibu jadinya. Sudah nggak becus urus suami, ngajarin anak nggak bener pula. Tahu gini, kamu dulu Ibu jodohkan sama Amel saja," omel Reni.Arin yang mendengarkan dari dalam kamar merasa nelangsa, padahal dulu Reni yang memintanya langsung ke rumah orangtuanya untuk menjadi ibu sambung Agam. Arin yang dulu adalah seorang gadis desa yang turut serta membantu orangtuanya, terpaksa menikahi Bayu yang merupakan duda beranak satu. Awalnya Arin menolak, tapi Reni dan kedua orangtuanya meyakinkan Arin bahwa Bayu ini orang yang baik dan bertanggung jawab. Nyatanya, semua itu hanya omong kosong. Setelah ijab diikrarkan, Arin bahkan harus menikmati malam pertama yang memilukan. Kembali saat itu, Arin tak mungkin karena pasti orang tuanya menanggung malu jika ia menjadi janda di usia pernikahan yang masih seumur jagung, meneruskannya juga sakit karena sampai enam tahun pernikahan Bayu tetap masih menjadi lelaki yang dingin dan menyebalkan bagi Arin.Arin tak habis pikir, kenapa ia harus memakai alat penunda kehamilan setelah menikah. Saat Bayu ditanya, ia mengatakan masih belum siap menambah anak dan juga kasihan pada Agam jika ia memiliki adik di usia yang tergolong masih kecil dan masih butuh banyak kasih sayang darinya.Kadang ingin protes, tapi Arin lagi-lagi akan kalah jika disudutkan dengan pilihan yang sulit. Disamping orang tua yang bukan golongan kelas mampu, ditambah dirinya yang merasa masih minim ilmu, membuat Arin harus sabar dan menunggu sampai ia benar-benar tak bisa melanjutkan pernikahannya dan Agam juga sudah bisa menerimanya kepergiannya.Tentu saja sikap Arin yang mencegah Kaisar untuk mencari tahu mengenai kejadian jatuhnya Arin di kamar mandi sekolah itu membuat Kaisar semakin penasaran. Sekolah yang memiliki biaya cukup mahal untuk bisa mengenyam pendidikan di sana itu sangat mustahil jika memiliki kloset yang licin. Tanpa sepengetahuan Arin, Kaisar pun mendatangi sekolah Shaka. Sengaja hari ini Arin tidak diperbolehkan untuk berangkat ke sekolah dan istirahat di rumah ditemani oleh Shaka. Ibunya—Narsih—juga diminta Kaisar untuk menemani Arin di rumah karena Arin menolak untuk dibawa ke rumah sakit.Kaisar langsung datang menemui kepala sekolah. Dia datang untuk menanyakan perihal kualitas sekolah yang dijadikan tempat menuntut ilmu anaknya itu. Kaisar merasa heran karena Shaka tiba-tiba terlihat tidak nyaman bersekolah di sana."Selamat pagi, Pak.""Pagi Pak Kaisar. Silahkan duduk!" titah Pujiono–kepala sekolah itu."Ada perlu apa ini? Tumben datang ke sekolah seorang diri.""Hari ini saya ingin meminta izin untuk
“Mas.”Malam ini Arin ingin sekali bercerita mengenai alasan ia mengajak Shaka pulang lebih awal. Kaisar yang masih sibuk dengan pekerjaannya pun menghentikan sementara.“Kenapa, Rin?”“Kayaknya keputusan Mas untuk pindahin Shaka itu betul deh.”“Kenapa emangnya? APa tadi ada masalah lagi yang terjadi di sekolah.”Arin mengembuskan napasnya kasar. Bukan perihal yang mudah untuk bercerita hal mengenai mantan suaminya itu pada suaminya kini yang notabene super protektif pada keluarganya.“Aku pikir, semua yang kita bicarakan saat itu adalah suatu hal yang harus kita lakukan sekarang.”“Kenapa?”“Tadi aku ketemu Mas Bayu. Dia …”“Dia kenapa?”Arin bingung mau mengatakan hal ini atau tidak, namun ia juga tak mau direndahkan sampai dibuat kasar dengan cara yang tidak patut oleh lelaki yang sudah menjadi mantan. Jika dulu saja ia bisa marah saat Bayu memukulnya, seharusnya ia sekarang lebih marah dari pada itu. Namun, ia kembali berpikir mengenai bisnis sang suami yang sedang dianggap sedan
Arin tak menyangka bakal bertemu Bayu di sekolah Shaka. Ia sangat menyesali kenapa harus menyekolahkan anaknya di tempat yang sama. Arin pun semakin yakin memindahkan Shaka setelah ini dan memilih sekolah di tempat lain yang berbeda dengan Bayu.Jam istirahat dimulai. Para murid keluar dan berhambur bermain di taman bermain yang ada di sekolah itu. Shaka mendekat ke arah Arin dengan wajah yang ditekuk.“Kenapa, Sayang? Kenapa nggak main sama teman teman?”“Nggak mau ah, Ma. Satria nakal lagi. Tadi buku Shaka dicoret coret dan disobek. Ma, Shaka mau pulang aja. Nggak mau sekolah,” rengek Shaka.Arin yang melihat anaknya menangis pun memilih untuk memangkunya dan memeluknya hangat. Memberi pengertian agar Shaka tidak sedih lagi setelah dikerjai Satria.“Ada anak Mami! Ada anak mami! Hahaha.”Suara Satria yang meledek Shaka membuat Arin geram. Namun, Arin bukan memarahi Satria melainkan mendatangi Bayu yang sibuk bermain gadget sendiri tanpa memperhatikan anaknya.Brak!Arin menggebrak m
“Gatsu.”“Nggak usah. Nanti langsung ke rumah aja, istirahat. Kasihan SHaka diajak kerja juga.”“Nggak kerja lah, cuma temani doang.”“Baiklah. Terserah kamu saja. MAs pergi dulu.”Arin kembali turun setelah bersalaman dengan Kaisar lalu melambaikan tangan melepas kepergian suaminya bekerja. Faktor keuangan yang sedang menurun, membuat Arin harus banyak banyak berdoa dan berusaha. Makanya dia akan menyusul nanti jika sekolah Shaka sudah selesai. Hitung hitung membantu suaminya bekerja. Tentunya dia niatkan beribadah. Biar tidak menimbulkan pertengkaran dan perdebatan jika hasilnya tidak memuaskan.Suara klakson mengagetkan Arin yang sedang berjalan masuk ke dalam ruang tunggu wali murid. Sebenarnya tidak disarankan masuk dan menunggu anaknya, tetapi Arin masih ingin memastikan baik baik saja. Tin!Lagi lagi Arin dibuat kesal karena mobil itu justru membuntutinya jalan ke halaman sekolah, hingga Arin bertambah kesal saat ada Bayu yang di dalamnya“Hai, Rin.” Bayu menyapa dengan senyum
“Kenapa dengan Satria? Siapa dia?” tanya Narsih."Teman Shaka, Bu. Dia biasa jahilin Shaka. Nggak hanya saka, yang lain juga. Emang dasar anaknya gitu. Mau marahin juga percuma. Gak bakalan mudeng. Orangtuanya aja gak tahu etitut," adu Arin."Sudah sudah. Kita bicarakan nanti saja. Udah siang ini Shakanya," sela Kaisar yang tidak ingin membahas tentang keburukan orang lain di depan anaknya.Kaisar benar benar mengantar Shaka. Dia meminta Arin untuk menunggu Shaka masuk dan meminta Arin untuk kembali ke mobil."Ada apa sih, Mas?" tanya Arin heran melihat gelagat suaminya yang aneh."Nggak. Shaka udah masuk?""Udah. Barusan udah masuk. Hari ini Satria nggak datang. Aman."Arin mengembuskan napasnya perlahan lalu tersenyum di depan Kaisar."Mas mau tanya apa?""Memang Mas mau tanya?""Hiz! Serius. Mau nanya kali ini sama Arin nggak?""Mau sih. Tapi, kamu harus jawab jujur.""Apa?" tanya Arin serius mendengarkan."Mas mau tanya. Wajah kamu pake formalin ya? Kok awet cantiknya?" kelakar Ka
“Kenapa kamu bangunkan Mas kesiangan, Rin? Hari ini Mas akan ke gudang buat cek data yang semalam belum Mas selesaikan,” tanya Kaisar panik saat dibangunkan Arin kesiangan.“Tenang aja. File udah aku cek dan memang ada keanehan di Mellynya. Bukan salah toko atau gudang. Jadi Mas hanya perlu tanyai Melly, kenapa dia sampai berlaku demikian. Kita butuh penjelasan dia mengenai hal ini. Dia harus bertanggung jawab dan Mas harus bisa bertindak bijak. OKe?”Arin memang sudah menyelesaikannya semalam. Dia hanya membereskan beberapa dan itu cukup sangat membantu membuat Kaisar lelap tidur dan puas istirahat sampai pagi.“Ya ampun, begini ini yang kadang bikin Mas nggak mau tidur dulu kalau kerjaan sudah beres. Kamu pasti yang selesaikan. Ya sudah, aku mau mandi dulu. Kamu pasti udah siapkan sarapan, ya?” “Belum. Aku mau sarapan di rumah Ibu bareng kamu.”“Tumben?” tanya Kiasar heran.“Lagi pengin aja. Yuk ah, buruan! Mas mandi, aku mandiin Shaka.”Keduanya gegas beranjak sebelum melakukan ak