"Hey, tukang nasi miskin! Ngapain kamu ada di rumahku?" Astaga! Kenapa wanita ini ada di sini? Bukankah ini wanita yang mengusirku dari proyek Mas Yuda waktu itu? Apa hubungannya dia dengan Tante Dian? "Hey! Malah bengong!. Nggak pernah lihat cewek cantik, ya? Apa kaget liat rumah gue yang bagus ini ?" bentaknya seraya melotot padaku. "Tania ..., siapa yang datang?" Terdengar suara seseorang dari dalam Suara itu seperti tidak asing di telingaku. Walau cukup lama kami tak bertemu, aku masih sangat hapal dengan suara Tante Dian. "Ini loh, Ma. Ada gembel masuk-masuk rumah kita." Kalau tidak ingat ini di rumah orang, sudah aku remas mulut perempuan di hadapanku ini. "Saya ke sini mau ketemu Tante saya." "Gembel? Mana gembelnya Tania ....? Astaga! Salma ? Mau ngapain kamu ke sini?" Tuh kan bener. Tante Dian tidak akan suka bertemu denganku. "Maaf Tante, Saya hanya mau mengundang Tante dan keluarga di acara pernikahan saya besok. " "Ngundang doang kaaan? Nggak minta uang kaan?
Raihan tampak sudah nyaman dengan Bu Ratri. Babysitter itu sangat telaten namun cekatan dalam mengurus Raihan. Hingga tengah malam Mas Yuda belum juga pulang. Padahal besok adalah hari penting kita. Sekalipun juga dia tak menghubungiku lewat ponsel. Apakah dia sangat sibuk? Aku juga ingin menceritakan pertemuanku dengan Tania dan Tante Dian siang tadi. Beberapa hari kemarin, Mas Yuda memang tidak ke kantor. Dia menemaniku dan mencari Raihan. Mungkin karena itu banyak pekerjaannya yang terbengkalai.... "Non .., Non Salma!" Astaga! Aku kesiangan. Gegas aku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu. Entah pukul berapa semalam aku tertidur. "Mariam, ada apa?" "Non Salma diminta siap-siap. Tiga puluh menit lagi ada perias pengantin akan datang." Aku mengangguk kemudian kembali menutup pintu. Raihan masih tertidur. Sebaiknya aku mandi saja. Kemudian Raihan diambil alih Bu Ratri ke kamarnya. Setelah selesai mandi, seorang pelayan mengantarkan sarapan pagi. Katanya aku diminta sa
"Permisi .., Selamat pagi ..!" Kami dikejutkan oleh tiga orang tamu yang baru saja datang. Mataku membeliak melihat Tante Dian, Tania dan seorang pria setengah tua masuk ke ruangan ini. Mungkin itu suami Tante Dian, Ayah Tania. "Tania?" gumam Mas Yuda heran. "Wanita yang bersama Tania itu adalah tante Dian, tanteku," bisikku padanya. MC mulai bersuara memandu jalannya acara. Sementara Tania dan Tante Dian tampak terheran dan bingung dengan semua yang dia lihat. Dengan gaya angkuhnya mereka melangkah masuk. Tante Dian dan Tania menyisir pandangan ke sekitar ruangan ini. "Loh, Yuda ...?" Tania ternganga ketika matanya tertuju pada Mas Yuda yang sedang bersanding denganku. Namun Mas Yuda tampak acuh tak peduli.. "Yuda ..! Apa-apaan ini? Kamu nggak boleh nikahin perempuan gembel ini! Kamu itu milik Aku!" Tania berteriak hingga MC menghentikan suaranya dan semua mata tertuju pada anak tiri Tante Dian itu. Wanita berpakaian dress panjang dengan belahan hingga ke paha itu sontak me
"Pak Yuda, sekali lagi saya minta maaf. Saya akan ajarkan Tania agar bisa bersikap lebih baik lagi." Om Bram memohon dengan wajah menunduk. "Baiklah. Saya maafkan. Tapi lain kali saya tidak akan pernah memaafkan orang yang mengganggu keluarga saya." "B-baik, Pak Yuda," sahut Om Bram dengan gemetar. "Assalamualaikum ..., Salma." Aku dan Mas Yuda yang ingin beranjak ke dalam, tiba-tiba dikejutkan oleh suara seorang wanita yang tidak asing olehku. Sontak Aku membalikkan badan kembali. "Kak Lina dan Kak Norma? Untuk apa Kalian ke sini? Tau dari mana kalian alamat rumah kami?" tanyaku kesal. "Salma ...., tolong maafkan Bang Marwan.Dia terpaksa melakukannya. Sebenarnya Dia tidak tau kalau anak yang disuruh culik adalah Raihan." "Sudahlah, Kak. Kami sudah menyerahkan urusannya pada polisi," sahutku malas. "T-tolong ..., tolong Salma! Bang Marwan jangan dimasukkan ke penjara. Hu ... hu ... hu ...!" Kak Lina menangis meraung-raung, lalu menjatuhkan badannya dan bersimpuh di depan ka
Aku terjaga tepat saat azan subuh berkumandang. Sepertinya kami belum lama tertidur. Perlahan berusaha melepaskan diri dari pelukan Mas Yuda. Suamiku ini nampak sangat lelah. Betapa perkasanya dia semalam. Entah berapa kali kami melakukannya. "Maas, subuh dulu, yuk!" bisikku. Perlahan matanya terbuka. "Mau ke mana?" "Mandi. Sudah subuh, Mas." "Tapi aku masih mau sama kamuu ....," Astaga! Suamiku merengek persis anak balita. Aku terkikik geli. "Iyaaa. Tapi kita mandi dulu, trus salat, ya!" "Janji, ya!" Aku mengangguk. Malu. Beruntung aku sudah menyiapkan stok ASI yang lumayan banyak untuk Raihan. Sepertinya hari ini anak itu harus mengalah dulu dari Ayahnya. Ada-ada saja suamiku ini. Gegas aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Aku tersentak, ternyata Mas Yuda menyusulku. Kamipun segera membersihkan diri agar tidak kehabisan subuh. "Mas, Aku turun sebentar mau cari makanan. Laper. Sekalian mau cek Raihan," ujarku seraya melipat mukena setelah salat tadi. "Jangan
"Selvi mau ke sini, Mas?" "Iya. Ada berkas yang harus aku tanda tangani." "Sekretarismu itu kenapa selalu berpakaian terbuka, sih?" "Yaaa, itu hak dia," sahutnya santai dengan mata masih menonton televisi. "Tapi nggak bagus, loh, Mas. Terlalu terbuka. Sebaiknya Mas tegur saja!" kataku dengan hati-hati. "Di kantor memang rata-rata pakaian mereka seperti itu. Nggak fair dong, kalau cuma menegur satu orang." "Kenapa tidak Mas kasih pengumuman saja agar mereka berpakaian lebih sopan dan tertutup. Misalnya pakai celana panjang atau rok yang lebih panjang. Kancing ataspun di larang terbuka." Entah kenapa aku lancar sekali membicarakan ini padanya. Mungkin karena telah lama mengganjal dihati. Spontan Mas Yuda menoleh padaku dan menatapku dengan penuh tanda tanya. "M-maaf ya, Mas Aku hanya sekedar usul. Bagaimanapun juga pakaian seorang wanita itu adalah kesan pertama bagi orang lain yang menilainya." Suamiku itu hanya mengangguk. Sepertinya dia tak terlalu menghiraukanku. Biarlah.
"Selvi!' bentak Mas Yuda. Wanita itu sontak berbalik badan dan terlonjak melihat kami sudah berada dibelakangnya. Selvi nampak memucat. Tubuhnya gemetar. "P-Pak Yuda?" "Mana berkasnya?" "I-ini ...,Pak." Dengan tangan gemetar, Selvi menyerahkan beberapa dokumen pada suamiku. Mas Yuda memberi kode dengan matanya agar aku yang meraih dokumen itu. Setelah dokumen berada ditanganku, Kami beranjak kembali masuk ke dalam. Selvi mengikuti kami dari belakang. "Mau ngapain kamu?" tiba-tiba Mas Yuda berhenti dan menoleh ke belakang. "M-mau ikut ke dalam, Pak." "Kamu kembali ke kantor!" tegas suamiku. "Dokumennya, Pak?" "Nanti saya sendiri yang bawa ke kantor." "Tapi, Pak ...." "Sudah, kamu balik aja ke kantor!" ujarku.pada wanita seksi yang kini nampak sangat bingung. Sementara Mas Yuda terus melangkah tanpa menghiraukan sekretarisnya itu. Setelah Selvi pergi, aku menyusul Mas Yuda ke ruang kerjanya. "Ini dokumennya, Mas." "Taruh saja di meja!" sahutnya tanpa menoleh. Mata
"Wah ...wah, makin cantik aja adik iparku ini." Kak Rio tersenyum seraya berdecak kagum melihatku. "Nah begini, dong. Nyonya Yuda ..." Ayah Surya menimpali seraya tertawa. "Kak Rio sama Ayah, bisa aja," pungkasku malu. "Ehm! Sudah siap? Ayo berangkat!" Tiba-tiba Mas Yuda muncul dari ruang kerjannya dan menghampiriku. "Sudah, Mas!" Sempat kulihat Mas Yuda memandang tak suka pada Kak Rio. Entah kenapa dia terlihat sangat benci pada kakaknya itu. Kami melangkah menuju teras. Ternyata pak supir telah menunggu sejak tadi. Sepanjang jalan kami hanya berbincang ringan. Mas Yuda sangat antusias ketika aku katakan bahwa Raihan sudah mulai bisa berjalan. Tentu aku tidak katakan bahwa Kak Rio yang sering mengajarkan anakku itu. "Sejak kemarin aku tidak bertemu Raihan. Nanti malam aku akan menemaninya tidur." Aku tersenyum mendengar ucapannya itu. Akhirnya kami tiba di depan lobby kantor Yudatara. Pak Supir membukakan pintu mobil. Mas Yuda menggandengku melangkah masuk. Setiap orang me