"Tidak! Sampai kapan pun saya tidak mau menikah dengan Anda!" kata Arsela kepada dosennya sendiri.
Keputusan besar yang ia ambil sebulan lalu untuk membantu dosennya ternyata membawa petaka besar dalam hidupnya. Arsela Davina Maheswari, mahasiswa semester empat jurusan bisnis—jurusan yang ia ambil karena tuntutan keluarga. Ia terkenal cerdas dan cantik. Selain itu, Arsela juga dikenal ramah dan tidak sombong. "Arsela, saya mohon. Tinggal sekali ini saja kamu bantu saya," ucap dosennya. Dia adalah Devara Aryasatya Wiratama, dosen muda di kampus tempat Arsela kuliah. Bantuan yang diminta Arya saat itu sebenarnya tidak seberapa. Ia hanya meminta Arsela menjawab telepon dari ibunya, agar sang ibu percaya kalau Arya sudah punya pacar. Hanya itu. Arsela sempat menolak. Tapi karena Arya berkata akan memberinya nilai A waktu itu, ia pun menyetujuinya. Lagipula, hanya menjawab telepon yang berlangsung dua menit saja. Tapi ternyata, dosennya ini benar-benar gila. Di depan Arsela, Arya mengatakan bahwa perannya hanya sebagai pacar pura-pura. Tapi di depan ibunya, Arya mengatakan bahwa yang menjawab telepon itu adalah istrinya. Dan sekarang, Arya datang lagi, membujuk Arsela agar mau menjadi istri pura-puranya sekali lagi. "Saya punya pacar, Pak. Saya juga sudah membantu Bapak waktu itu, dan saya sangat menyesalinya. Salah Bapak sendiri, siapa suruh bilang istri ke ibu Bapak. Sudahlah, saya mau belajar. Besok saya ujian," kata Arsela, tak ingin berdebat lebih jauh. Rasa hormatnya pada Arya hilang seketika setelah membaca pesan dari dosennya satu jam lalu. Dan kini, pria yang berstatus sebagai dosennya itu datang ke kosan, memintanya untuk menemui ibunya dan berpura-pura menjadi istrinya. Yang benar saja. Arsela jelas-jelas tidak mau. "Kamu siapa, Arsela?" ucap seseorang dari belakang Arya, masih bisa melihat punggung Arsela yang belum terlalu jauh. "Saya..." Arsela yang mendengar suara itu langsung berbalik. Suara yang sangat ia kenali. "Mama," ucap Arsela. Suaranya cukup keras, terdengar jelas oleh Arya. Dan Arya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. "Saya pacarnya Arsela. Ibu siapa?" tanya Arya, padahal jelas-jelas dia mendengar Arsela memanggil wanita paruh baya yang masih terlihat cantik meski keriput itu dengan sebutan mama. "Pacar?" ulang mama Arsela dengan nada heran. Arya mengangguk. Tatapan wanita paruh baya itu kini beralih pada anak gadisnya yang berdiri di samping. "Mama sama siapa?" tanya Arsela, belum sempat mendengar ucapan mama dan Arya sebelumnya. "Kamu pacaran?" Deg. Pertanyaan itu membuat wajah Arsela pucat. Panik. Takut. Arya bisa melihat jelas perubahan ekspresi itu. "Ela nggak pacaran. Sumpah," kata Arsela sambil menyatukan kedua tangannya, berusaha meyakinkan mamanya. "Lalu kenapa pria ini mengaku kalau dia pacarmu, Nak?" Mata Arsela membelalak. Ia hampir tak percaya. Dosennya yang terkenal dingin dan karismatik itu ternyata cukup gila. "Tidak, Ma. Dia dosen aku. Namanya Pak Arya. Kami tidak punya hubungan apa-apa. Beneran, Mama. Aku tidak bohong." "Jangan berbohong pada Mama, Ela. Seorang dosen datang ke kosan mahasiswanya itu sudah aneh. Jujur kamu sama Mama!" Arya hanya diam, melihat sejauh mana Arsela akan menjawab. Sesekali, Arsela melirik Arya dengan tatapan tajam. "Aku tidak bohong, Mama. Aku sudah berkata jujur. Lalu aku harus berkata lebih jujur apa lagi? Aku sudah bilang kebenarannya. Aku harus berkata apa lagi, Mama? Aku tidak pacaran. Aku sadar umurku dan dia..." Ucapannya terhenti saat matanya menatap Arya. "...umur kami cukup jauh, Ma. Aku juga bingung Pak Arya datang ke sini mau apa." "Saya ingin menikahi anak Ibu. Tapi dia menolak saya," ucap Arya tiba-tiba. Tatapan tajam langsung dilemparkan Arsela ke arahnya. Dengan napas menggebu, Arsela menjawab, "Sudah saya katakan, saya tidak ingin menikah dengan Bapak. Sekarang silakan pergi. Cari wanita lain yang mau. Saya tidak mau!" katanya, mencoba menarik mamanya masuk ke dalam. "Tunggu, Arsela Davina Maheswari!" ucap mamanya, menghentikan langkahnya. Nama lengkap itu keluar dari mulut sang ibu. Tandanya, mamanya sangat marah. "Kenapa pria ini ingin menikahimu tanpa sebab? Apa dia sering ke sini saat Mama dan Papa sedang di luar kota? Jawab Mama, Arsela!" Memang benar, orang tuanya hanya datang saat akhir pekan. Kadang Arsela yang pulang. Rumah mereka jauh dari kampus, karena itulah Arsela memutuskan untuk ngekos. Awalnya sempat ditentang, tapi akhirnya mereka mengizinkannya juga. "Tidak, Ma. Pak Arya—" "Ya, saya sering berkunjung, Tante," potong Arya. "Karena itulah saya ingin segera menikahi anak Tante." Plak! Satu tamparan mendarat ke pipi Arsela untuk pertama kalinya. "Mama tidak menduga ini yang kamu lakukan di belakang Mama dan Papa. Kalau Papa tahu, habis kamu, Arsela!" Arya terkejut melihat itu. Ada perasaan bersalah karena sudah membohongi, tapi di sisi lain, hanya Arsela yang bisa menyelesaikan masalah ini dengan mamanya. "Mulai sekarang kamu tidak diizinkan ngekos lagi! Dan kamu," tunjuk mamanya ke arah Arya, "saya tunggu itikad baikmu. Datanglah ke rumah kami secepatnya." Mama memberikan kartu nama yang tertera alamat rumah mereka, lalu pergi meninggalkan Arya yang masih mematung. "Maafkan saya, Arsela," ucap Arya pelan. .... Malam itu, Arsela diadili oleh kedua orang tuanya. Mereka meminta penjelasan atas semua kejadian yang membuat mereka marah dan kecewa. Dengan suara terbata, Arsela menceritakan segalanya—tentang permintaan Arya sebulan lalu, tentang peran pura-pura yang kini berubah menjadi bencana. Namun, orang tuanya tetap bersikeras. Mereka menunggu kedatangan Arya. Cepat atau lambat, pria itu harus datang memberi penjelasan. Dengan mata sembab dan tubuh lelah karena kurang tidur, Arsela tetap memaksakan diri masuk kuliah hari ini. Ada ujian yang tak bisa ia lewatkan. Namun, tidak seperti biasanya, hari ini Arsela lebih banyak diam. Ia tak seaktif biasanya. Bahkan senyum tipis pun tak muncul di wajahnya. Di mata kuliah yang diajar Arya, ia nyaris tidak mengangkat tangan atau bertanya seperti biasanya. Sebenarnya, ia enggan mengikuti kelas itu. Tapi karena Arya adalah dosen pengampu mata kuliah wajib di jurusannya, ia tak punya pilihan. Setelah kelas usai dan semua mahasiswa keluar dari ruangan, hanya Arsela yang masih duduk di kursinya. Ia memang sengaja menunggu. "Maaf, karena saya, kamu sampai ditampar semalam," kata Arya pelan, memecah keheningan. Arsela menatapnya datar. "Saya minta Bapak datang ke rumah saya. Jelaskan semuanya. Karena Bapak bilang sering berkunjung ke kosan saya, sekarang orang tua saya tidak percaya lagi pada ucapan putri mereka sendiri." Suaranya dingin, penuh luka. Ia tidak terima kepercayaannya dihancurkan oleh seorang pria yang bahkan bukan siapa-siapanya. "Saya akan datang ke rumahmu, secepatnya. Dengan tujuan yang sama—untuk menikahimu." Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Arya. Arsela tidak habis pikir. Apakah pria ini benar-benar kehilangan akal? "Dasar gila!" katanya lantang. "Saya tidak akan pernah sudi menikah dengan Bapak! Saya masih ingin punya masa depan cerah. Saya tidak ingin hidup saya berakhir menjadi istri pria gila seperti Bapak!" lanjutnya, penuh kemarahan. Arya tidak berusaha menahan langkah Arsela yang beranjak pergi. Ia hanya berdiri kaku, menunduk, membiarkan tangan yang mengepal menahan luapan emosinya. Tamparan itu tidak berarti apa-apa. Tapi kata-kata Arsela—itulah yang benar-benar menghancurkan harga dirinya sebagai seorang pria. "Apa dia pikir... menikah denganku akan menghancurkan masa depannya?" gumam Arya pelan, sebelum akhirnya meninju meja dosen hingga retak.Tawa mereka belum juga reda saat langkah mereka hampir melewati ruang dosen. Secara tak sengaja, mereka melihat Bu Weni keluar dari ruangan dengan wajah yang berbeda dari biasanya—lebih dingin, lebih kaku. “Eh, itu Bu Weni,” bisik Flo pelan. Refleks mereka menunduk, pura-pura sibuk dengan langkah masing-masing. Bu Weni lewat begitu saja, tanpa senyum ramah seperti biasanya. Bahkan tidak menyapa, padahal biasanya beliau paling cerewet menyapa mahasiswa, apalagi yang cewek-cewek. Kali ini? Datar. Dingin. Seolah ada tembok besar yang dipasang di wajahnya. “Wah, vibes-nya beda ya,” gumam Intan pelan, setelah Bu Weni cukup jauh. “Dingin banget. Padahal biasanya kalau lihat kita langsung senyum-senyum,” timpal Dwi. “Pasti karena gosip itu, deh,” ucap Flo yakin. “Gue yakin Bu Weni tuh ada rasa sama Pak Arya.” Arsela hanya diam. Ada rasa tak nyaman, apalagi mengingat semua yang terjadi belakangan ini terasa makin rumit. Bukan cuma statusnya yang harus disembunyikan, tapi juga reaksi-rea
Paginya, Arsela terbangun dan masih berada dalam pelukan Arya. Perlahan, ia melepaskan tangan Arya yang melingkar di tubuhnya. Matanya menatap lekat wajah sang suami. “Alis tebal, hidung mancung... membuat dia terlihat gagah. Aku ingin menolakmu semalam, tapi entah kenapa... saat berada di pelukanmu, hati kecilku merasa nyaman,” ucap Arsela lirih, masih memandangi wajah Arya yang tertidur. Setelah itu, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuat Arya perlahan membuka matanya dan tersenyum sambil menatap pintu itu. “Astaga, jantung... untung dia nggak merasakannya,” gumam Arya sambil menyentuh dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Memang usia mereka terpaut jauh, tapi entah kenapa, bagi Arya, Arsela sangat menarik—lebih menarik dari wanita dewasa mana pun yang pernah ia temui. Arya percaya, takdir dan jodoh sudah ada yang mengatur. Pagi ini, karena Arya mengajar di kelas Arsela, mereka pun berangkat bersama ke kampus. T
Keduanya sarapan dalam keheningan. Arya tidak mengizinkan Arsela menyentuh piring kotor sebelum ia berangkat kerja. Dan pagi ini, seakan kurang repot, Arya malah menambah beban: menyuruh Arsela ini-itu sebelum pamit. "Aku nggak mau! Kalau kamu mau pergi kerja, ya pergi aja! Jangan bikin repot!" seru Arsela setengah kesal. Bagaimana tidak, Arya minta pamitan dengan pelukan perpisahan dan ciuman di kening. Sederhana, memang. Tapi bagi Arsela, itu sulit. Masih untung ia sudah cukup legowo menerima pernikahan ini, mau belajar beradaptasi. Tapi lihatlah—si tukang paksa itu, selalu menuntut lebih. "Apa? Mau nyium?" tantang Arsela saat melihat Arya mendekat. Pagi ini, kepercayaan dirinya seolah bangkit, tak gentar sedikit pun. "Ya udah, sini." Arya menarik pinggang Arsela dengan satu tangan, lalu menatap bibir mungil istrinya. "Ini bibir, kalau udah ngoceh, seperti ibu beranak sepuluh," godanya. "Lepas! Aku gak mau. Dasar mesum!" ucap Arsela tegas, meski tahu dirinya tak akan menang dal
Selesai makan malam, Arsela tidak ingin dibantu membersihkan piring kotor. Ia menyuruh Arya menjauh. Ya, Arya pun tak memaksa.“Kalau mau dibantu, bilang ya,” ucap Arya.“Nyuci piring aku bisa, nggak akan minta bantuan kamu,” jawab Arsela. Arya pun berlalu, membiarkan istrinya bergelut dengan piring kotor itu.Setelah itu, mereka kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Arsela melanjutkan tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Tapi, bukan di kamar—Arya memilih duduk di ruang tamu.“Akhirnya selesai juga,” ucap Arsela, merebahkan tubuhnya di sofa. Arya sempat melirik, tapi kembali fokus.“Kalau mau tidur, tidur aja dulu. Nggak perlu nungguin aku,” ucap Arya sambil tetap menatap layar laptopnya.Arsela tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama.“Pak Arya?” panggil Arsela, membuat sang empunya nama menoleh, lalu meletakkan laptop di meja dan memiringkan tubuh menghadap istrinya.Arya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. “Sebelum kita lanjut
Arsela hanya mengaduk-aduk nasi goreng buatan suaminya. Bukan tidak enak, tapi ucapan Bu Ningsih tadi membuat dirinya berpikir, takut pernikahannya dengan Arya terbongkar dalam waktu dekat."Arsela, kamu kenapa? Masakan mama kamu tidak enak? Atau ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Dwi. Tapi, jika nasi goreng itu tidak enak, Dwi yakin itu tidak benar. Dari baunya saja sudah membuat Dwi tergoda."Bukan gitu, Dwi. Hanya saja ada yang mengganggu pikiranku," ucap Arsela, memasukkan sesendok nasi goreng itu ke mulutnya."Arsela... mmm, boleh minta nasi goreng kamu nggak?" tanya Dwi, tidak bisa menahan godaan dari wanginya. Persetan dengan malu, yang penting ia bisa mencicip nasi goreng Arsela yang berani menggoda mulutnya."Eh, boleh. Ini." Arsela sedikit mendorong bekalnya agar lebih dekat dengan Dwi.Mata Dwi bersinar tatkala nasi goreng tersebut menari di lidahnya. Sekali dua kali suapan rasanya Dwi tidak puas, tapi dia masih tahu diri bahwa nasi goreng buatan mamanya Arsela it
Berada di kamar yang sama seharusnya membuat Arsela merasa tidak nyaman—apalagi bersama pria yang dulu hanya ia pandang sebagai sosok terhormat di kampus. Tapi kini, pria itu bukan hanya dosennya. Dia adalah suaminya. Suami sah yang menyandang status baru di hidup Arsela.Kalau boleh jujur, awalnya Arsela canggung berbagi ruang dengan Arya. Tapi karena Arya tidak melakukan hal-hal yang membuatnya risih, perlahan rasa tak nyaman itu menghilang. Ia mulai terbiasa.Ya, walaupun pria itu pernah mengambil ciuman pertamanya—mirisnya, tanpa izin pula. Jika dulu kamar adalah wilayah kekuasaannya, sekarang tidak lagi. Kini ia berada di kamar Arya.Sejak tadi, mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Arsela tenggelam dalam tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Dari tempat tidur, Arsela melirik ke arah meja kerja, memperhatikan sosok Arya yang serius mengetik, sesekali membetulkan letak kacamatanya.“Dia pekerja keras,” gumam Arsela dalam hati, mengagumi dalam diam.Arya men