Pusat perbelanjaan dipenuhi hiruk-pikuk suara orang ramai, namun perhatian Azizah tertuju pada sosok familiar di depan gerai jam tangan. Darino berdiri di sana, benda pipih dengan casing berwarna hitam itu menempel ditelinga kanan, seperti sedang membicarakan hal serius.
Azizah berhenti sejenak, matanya menyipit, mencoba memastikan bahwa yang dilihatnya bukanlah ilusi.
"Ma, kenapa berhenti?" tanya Arlin dengan mata yang penasaran menatap Azizah.
Azizah menarik napas dalam-dalam, memberikan senyuman tipis kepada putrinya. "Tidak apa-apa, Sayang. Mama hanya melihat sesuatu." Tanpa menunggu lebih lama, Azizah menggandeng tangan Arlin dan berjalan menuju Darino, langkahnya tegas namun terjaga.
Darino menutup teleponnya, wajahnya menunjukkan sekilas keterkejutan saat melihat Azizah mendekat. "Azizah? Arlin?" suaranya terdengar sedikit tersendat.
"Darino, kamu sedang apa disini? Bukankah seharusnya kamu ada jadwal kelas sekarang?" suara Azizah lembut namun penuh dengan pertanyaan yang tak terucap.
Darino tersenyum, meskipun ada ketegangan yang terlihat di matanya. "Ya, benar. Aku seharusnya mengajar. Tapi ada sesuatu yang mendadak, jadi aku harus ke sini."
Azizah mengangkat alis, tatapannya penuh dengan keingintahuan. "Sesuatu yang mendadak? Apa itu?"
Darino menggaruk kepalanya dengan gugup, namun berusaha tetap tenang. "Aku harus mengambil jam tangan yang dipesan untuk ulang tahun rekan kerja. Seharusnya kemarin aku ambil, tetapi aku lupa untuk mengambil kemarin. Jadinya, hari ini aku baru bisa mengambilnya."
Azizah mendengarkan penjelasan Darino, hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Namun, ia memilih untuk percaya, setidaknya untuk saat ini. "Baiklah, tapi lain kali, beritahu aku jika ada hal seperti ini."
Darino mengangguk cepat, senyumnya terlihat lebih lega. "Tentu, Azizah. Maaf membuatmu khawatir."
Azizah menghela napas, kemudian tersenyum kecil. "Ayo, Arlin. Kita lanjutkan belanja kita."
Arlin mengangguk, mengikuti langkah mamanya dengan riang. Namun, pikiran Azizah masih melayang-layang, mencoba mencari kepastian di balik penjelasan Darino yang terdengar masuk akal namun meninggalkan banyak pertanyaan.
Interaksi yang singkat namun penuh dengan ketegangan dan emosi ini meninggalkan kesan mendalam di hati Azizah, menunjukkan betapa kompleksnya kepercayaan dan komunikasi dalam hubungan mereka. Kejadian ini menambah lapisan baru dalam cerita mereka, yang terus berkembang di tengah bayang-bayang masa lalu dan ketidakpastian masa depan.
*
Setelah berkeliling di sejumlah toko, Azizah dan Arlin memutuskan untuk berhenti sejenak dan makan siang di salah satu restoran yang ada. Arlin menggenggam tangan mamanya, menariknya dengan semangat ke arah resto favoritnya.
"Mama, aku lapar. Kita makan di sini saja ya?" Arlin menunjuk ke sebuah resto dengan senyuman ceria.
Azizah tersenyum dan mengangguk, mengikuti langkah Arlin yang riang. Mereka menemukan meja kosong di sudut yang agak tenang. Begitu duduk, perhatian Azizah sejenak tertuju ke arah jendela besar di belakang restoran. Di sana, terhalang oleh pilar, Carisa duduk sendirian, tenggelam dalam pikirannya. Tas hitam elegan tergeletak di sebelahnya, mencuri perhatian Azizah.
Azizah menegakkan bahunya, berusaha fokus pada menu di tangannya. Tapi matanya terus melirik ke arah Carisa. Pilihan untuk duduk di tempat yang agak menjauh dari Carisa, namun tetap bisa mengawasi gerak-geriknya, adalah keputusan yang tak sepenuhnya sadar namun penuh dengan waspada.
Arlin yang duduk di seberang Azizah, memandangi mamanya dengan kebingungan. "Mama, kenapa? Kok lihat-lihat terus ke sana?" tanya Arlin sambil membuka-buka menu.
Azizah menghela napas pelan, berusaha memberikan senyuman tenang kepada putrinya. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Mama cuma lihat-lihat saja."
Sesekali, Azizah mencuri pandang ke arah Carisa, memperhatikan setiap gerakan kecilnya. Keraguan yang tak sepenuhnya terucap menari di benaknya, namun ia berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkannya kepada Arlin.
Di tengah riuh rendah suasana resto, Azizah berjuang keras untuk tetap tenang dan fokus pada makan siang bersama putrinya, meskipun pikirannya terus terganggu oleh kehadiran Carisa.
Azizah seketika terdiam saat melihat sosok pria yang duduk di sebelah Carisa. Perasaan lega menyapu dirinya, mengusir sejenak kecurigaan, kekhawatiran, dan kegelisahan yang sempat menghantui. Carisa dan pria berambut sedikit ikal itu keluar dari resto, membuat Azizah bisa lebih fokus kepada putrinya.
Arlin menatap mamanya dengan mata berbinar. "Mama, boleh aku pesan es krim?" tanyanya sambil menggoyangkan menu di tangannya.
Azizah tersenyum hangat. "Tentu, sayang. Pilih yang kamu suka."
Setelah memesan, Azizah memberitahu Arlin untuk menunggu sebentar karena ia ingin ke kamar mandi. Sambil berjalan menuju kamar mandi, perasaannya kembali terganggu oleh bayangan Carisa. Di dalam kamar mandi, Azizah membasuh wajahnya dengan air dingin, berusaha menenangkan diri.
Ketika berdiri di depan pintu toilet wanita, matanya tertuju pada sebuah kartu nama yang tergeletak di lantai. Dengan alis berkerut, ia mengambilnya dan terkejut melihat nama suaminya tercetak di atasnya. Hatinya berdebar kencang, perasaannya menjadi tidak karuan.
Azizah mengedarkan pandangan, kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab, tetapi ia tahu harus bersikap tenang karena Arlin sedang menunggunya. Dengan napas yang berat, memasukkan kartu nama itu ke dalam tasnya dan kembali ke meja.
Sesampainya di meja, senyum yang dipaksakan muncul di wajahnya saat melihat Arlin sedang memainkan ponsel. Azizah duduk bersebrangan dengan Arlin yang menaikkan pandangan kepadanya, “Kamu lagi main game?” Dijawab dengan anggukkan kepala antusias..
Arlin memperlihatkan layar ponselnya yang sedang menampilkan barbie yang akan dihias, “Bagusnya pakai ini atau ini? Untuk acara promnight,” ocehnya, menunjuk dua pakaian yang berbeda, lalu menatap
“Hmm … menurut Mama sih bagusan yang ini,” ucap Azizah, menunjuk pakaian yang sedikit tertutup berwarna biru polos, tetapi terlihat elegan karena terdapat manik-manik di sekitar lengan yang seperti balon.
Arlin mengangguk-anggukkan kepala, memilih pakaian yang ditunjuk oleh Azizah. Azizah tersenyum memperhatikan Arlin yang sedang bermain game, setidaknya dia bisa mengalihkan sejenak fikirannya yang penuh.
Di tengah hiruk-pikuk restoran, Azizah berusaha keras untuk tetap fokus pada kebersamaan dengan Arlin. Namun, bayangan kartu nama suaminya terus mengusik pikirannya, menambah lapisan baru dalam kompleksitas emosional yang harus dihadapinya.
*
Jantung Azizah seketika berhenti saat menemukan sebuah pulpen merah yang dilapisi dengan stiker motif bunga-bunga di kantong celana Darino. Setahu Azizah, Darino tidak memiliki pulpen tersebut. Perasaannya menjadi campur aduk, mencerminkan perasaan kecurigaan dan kebingungan yang mendalam.
Azizah menggenggam pulpen tersebut, matanya menatap tajam ke arah Darino yang sedang duduk di sofa. "Mas, ini pulpen siapa?" suaranya tenang namun tegas, menyembunyikan gejolak di dalam hatinya.
Darino terkejut, tatapannya sekejap mengarah ke pulpen di tangan Azizah. "Aku... tidak tahu," jawabnya dengan nada bingung, terlihat jelas ketidaknyamanan di wajahnya.
Azizah memperhatikan gelagat suaminya yang tidak seperti biasanya. Tangannya gemetar sedikit saat menyodorkan pulpen itu.
"Kamu pasti tahu, Mas. Ini bukan pulpen yang biasanya kamu pakai."
Darino menggaruk kepala, tatapannya menghindari mata Azizah. "Sayang, aku benar-benar tidak tahu dari mana itu berasal," jawabnya dengan suara yang terdengar canggung dan tidak meyakinkan.
Perasaan ketidakpercayaan semakin kuat di hati Azizah. Ia menatap Darino dengan mata yang penuh kekecewaan. "Aku butuh waktu untuk berpikir," katanya pelan. "Aku dan Arlin akan pergi ke rumah orangtuaku malam ini."
Darino mengangkat kepala, ekspresi terkejut terpancar dari wajahnya. "Azizah, kamu tidak perlu melakukan ini. Aku bisa jelaskan.”
“Jangan datang untuk menemuiku atau Arlin, sebelum kamu memiliki bukti kalau pulpen ini memang bukan milikmu.”
Fernandra tersenyum manis menatap sosok wanita yang sudah ia tunggu satu jam yang lalu. Azizah, wanita itu datang seorang diri ke sebuah restaurant yang lokasinya dibagikan oleh Fernandra.Setibanya di restaurant, Azizah seperti seseorang yang terkena hipnotis. Hanya diam tanpa bersuara, bahkan ia lupa akan tujuannya bertemu dengan Fernandra saat ini.Fernandra menaikkan sebelah alisnya, “Azizah … kamu baik-baik saja, kan? Tidak ada halangan selama perjalanan?” tanyanya penuh khawatir.“Ya ….” Azizah tersadar, lantas berdeham lalu menegakkan tubuhnya. Fokusnya terkunci hanya kepada Fernandra yang duduk berhadapan dengannya dengan gaya santai, dan bisa dilihat dari pakaian pria itu, sangat formal. Sudah jelas, Fernandra belum kembali ke rumah.“Kamu tahu di kampus tempat suamiku mengajar itu ada masalah?” tanyanya to the point, mengingat tidak ada waktu untuk basa-basi. “Aku rasa, kamu tahu tentang itu,” imbuhnya karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari pria yang sedang bersamanya s
Azizah mengirim pesan kepada Fernandra, mengatakan bahwa dirinya ingin bertemu sebelum suaminya bertemu dengan Fernandra nanti malam. Ia tidak tenang dihantui oleh rasa penasarannya tentang kecurangan di salah satu universitas tempat suaminya mengajar.Tidak butuh waktu lama, Azizah mendapatkan balasan dari Fernandra, masalalunya itu mengirimkan lokasi sebuah restaurant yang letaknya cukup jauh dari rumahnya saat ini. Lebih tepatnya, restauran terdekat dari rumah Fernandra.Wanita itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11:00, menggigit bibir bawahnya dan berfikir ulang. Haruskah ia pergi sekarang disaat Darino sedang menjemput Arlin? Sedangkan waktunya sangat mepet.“Tidak, bukan sekarang. Nanti aku hubungi,” monolognya dengan jari lentik yang menari pada layar ponsel yang menampilkan room chat antara dirinya dan Fernandra yang sedang online.Azizah benar-benar menunggu balasan Fernandra, karena ia memanfaatkan waktu yang ada. Fernandra bukan pria yang banyak waktu luang, jadi
Beberapa hari kemudian ….Darino menghela nafas setibanya di rumah. Ia menyandarkan kepala pada sandaran sofa dengan kedua mata yang terpejam. Hanya beberapa detik, karena merasakan sofa yang ada di sisinya bergerak.Ketika pria itu membuka kedua mata, terlihat sosok perempuan yang tersenyum manis kepadanya. Darino menegakkan tubuhnya, membalas senyuman sang istri.“Tidak bilang kalau pulang cepat?” tanya Azizah dengan wajah bingung, tetapi masih tetap mempertahankan senyumannya, karena ia tahu mood suaminya sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari ekspresi wajah sang suami yang murung, dan tidak cerah seperti biasanya.“Ada masalah sedikit tadi di kampus, jadinya semua dosen dan mahasiswanya dipulangkan,” jelas Darino, menatap Azizah dengan tangannya yang mengusap punggung tang sang istri.Azizah bergeming, mencoba untuk mencerna apa yang dikatakan oleh suaminya. Berusaha untuk menerka-nerka, masalah apa yang sedang terjadi di sebuah universitas sehingga mengharuskan dosen dan maha
Azizah terdiam, menatap barang-barang yang berada di bagasi mobilnya. Ia benar-benar membawa barang-barang tersebut ke rumah orangtuanya, karena Fernandra memaksa dan mengancamnya. Tidak ada pilihan lain selain meng-iya-kan apa yang dikatakan oleh Fernandra, daripada merusak suasana atau memperburuk keadaan.“Maaf ….” gumamnya penuh penyesalan, menunduk dan mencengkram kuat kardus tersebut. Tanpa disadari olehnya, air matanya turun membasahi pipi. Seketika saat itu juga ia tersadar, lalu mengangkat kardus itu masuk ke dalam rumah lewat pintu samping.“Sayang … kok ke sini?”Azizah mengulas senyumnya saat berpapasan dengan mommynya di ruang tengah, “Ada barang yang harus aku taruh di gudang, Mom.” Atensinya melirik kardus yang berada dalam dekapannya, sehingga membuat mommynya mengikuti lirikannya.Mommy menaikkan sebelah alisnya, kembali menatap Azizah yang tersenyum lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah katapun. Rasa penasarannya tinggi, membuatnya mengikuti langkah putrinya
Fernandra tersenyum lebar menyambut kedatangan Azizah, walaupun ia sangat tahu wanitanya itu datang dengan perasaan yang marah, karena melihat wajah Azizah yang memerah. Tetapi itu bukan masalah untuknya.“Mau kamu apa sih?!”Fernandra bergumam pelan, sedikit membungkukkan punggungnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Azizah yang menatap tajam kepadanya. “Kalau aku bilang, memangnya kamu akan memberikannya?” tanyanya dengan nada lembut, tersenyum penuh arti kepada Azizah.Azizah berdecak kesal, melipat kedua tangannya di depan dada. “Kamu ingin bermain-main denganku?” tanyanya penuh penekanan. Tidak ada raut wajah takut disaat tidak ada orang lain disekitarnya.“No. Aku sedang berusaha,” balas Fernandra, menaikkan dagu Azizah dengan jari telunjuknya. Ia menelisik wajah Azizah, lalu tersenyum dan kembali berkata, “Mengambil kembali yang seharusnya milikku.”Azizah menepisnya, membuat Fernandra terkekeh dan menegakkan kembali punggung pria itu. Ia bedecih, “Kamu belum sembuh, Nandra.
Azizah membuka pintu rawat yang tidak ada penjaganya. Lorong kosong, membuat keningnya mengkerut dan kedua alisnya bertaut. Sudah dicurigai olehnya bahwa telah terjadi sesuatu, dan kecurigaannya bertambah saat masuk ke dalam ruang rawat VIP, tidak menemukan Carisa di brankar.“Di kamar mandi, mungkin,” ucap Darino, berusaha untuk memberikan positif viber terhadap istrinya yang sudah berfikiran negatif.“Fernandra … kamu yakin dia ada di rumahnya?” tanya Azizah, menatap suaminya yang menganggukkan kepala, lantas memberikan ponsel miliknya. Tanpa pikir panjang, ia mengotak-ngatik ponselnya dan terhenti pada roomchat Fernandra.Tanpa pikir panjang, wanita itu menekan icon ‘panggilan suara’, seketika membuat Darino melebarkan kedua mata. Pria itu telat melarang Azizah untuk tidak menghubungi Fernandra. Dan yang bisa dilakukan oleh Darino hanya terdiam, diam-diam menghela nafasnya perlahan dengan kedua kaki yang menyisir setiap sudut ruang rawat ini.“Carisa hilang,” ucap Azizah setelah pa