Share

Kebangkitan Istri yang Dikhianati
Kebangkitan Istri yang Dikhianati
Penulis: Poepoe

1 - Notifikasi Email

Ting.

Satu notifikasi email muncul di layar HP Mira. Keningnya langsung mengernyit begitu mendapati keterangan booking hotel atas nama suaminya, Bima Maharaja.

“Mas Bima nginap di hotel?” Mira berujar dalam hati. “Atau jangan-jangan dia mau mengajak aku sama Kiran menginap di sana? Tapi apa dia enggak baca pesanku yang bilang kalau Kiran tiba-tiba demam?”

“Ma…” suara Kiran terdengar parau.

Seketika Mira bangkit dari kursi meja rias dan menghampiri putri semata wayangnya itu. Dia menatap Kiran dengan sendu sambil mengusap keningnya.

“Iya, Sayang?”

“Mama tidur sama Kiran ya? Kiran takut tidur sendirian,” tukas anak berumur empat tahun itu.

Mira menyunggingkan senyumnya. Telapak tangannya bisa merasakan panas dari kening Kiran.

“Mama pasti temani Kiran kok. Setelah Papa pulang, kita ke dokter ya?” Mira menarik selimut Kiran sampai menutupi dadanya.

Kiran mengangguk pelan. Setelah itu, Mira beringsut pelan di samping Kiran. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang sambil memperhatikan layar ponselnya.

Kedua matanya memicing, menelusuri setiap tulisan yang tertera di email itu.

Hati Mira kini ketar-ketir karena ada notifikasi booking hotel untuk malam ini sampai dua hari ke depan yang masuk ke emailnya.

“Hotel Princeton?” ulangnya dalam hati. “Bukannya itu hotel bintang lima yang tarifnya selangit?”

Lantas, Mira menekan nomor suaminya. Terdengar nada sambung dari seberang sana.

“Nomor yang Anda hubungi tidak menjawab. Silakan tinggalkan pesan setelah nada berikut.”

Mira mendesah pelan. Tapi dia tidak menyerah untuk menghubungi suaminya lagi.

Jam dinding di kamar Kiran sudah menunjukkan pukul delapan malam. Seharusnya jam segini suaminya itu sudah sampai rumah, apalagi Mira sudah mengirim pesan kalau Kiran demam.

Nada sambung dari HP suaminya itu terus terdengar sampai akhirnya suara berat itu menyapa dirinya dengan sedikit ketus.

“Ada apa sih, Mir?! Aku masih sibuk kerja,” jawab Bima dengan kesal.

“Kamu di mana, Mas?” Tanya Mira tanpa basi-basi. “Apa kamu enggak baca pesanku?”

Bima mendengus keras. “Sudah kubilang aku lagi sibuk.”

“Sampai malam begini?”

“Ya, mau bagaimana lagi? Proyek kali ini begitu penting bagiku." Terang Bima.

“Kiran sakit. Dari tadi demamnya enggak turun-turun,” jawab Mira. “Sebaiknya kamu cepat pulang dan antar kami ke rumah sakit.”

“Kamu bisa kan naik taksi,” keluh Bima. 

“Lho, kamu sendiri yang bilang aku enggak boleh naik taksi malam-malam,” balas Mira lagi.

“Kalau lagi emergency enggak masalah, Mir. Jangan saklek begitu deh,” tukas Bima sambil menggeleng pelan. “Lagian, kok bisa Kiran sampai sakit begitu?”

“Entahlah, Mas. Sepulang sekolah dia enggak enak badan. Dan sore tadi dia mulai batuk-batuk dan sekarang deman,” lirih Mira.

“Hah, kamu ini gimana sih? Enggak becus jagain Kiran,” semprot Bima yang kini berujar dengan nada tinggi.

“Maafkan aku, Mas. Mungkin Kiran tertular dari temannya di preschool,” ucap Mira lesu.

“Halah, kamu ini banyak alasan. Malah nyalahin temannya Kiran segala. Seharusnya kamu itu bisa menjaga Kiran dengan baik. Aku sudah bekerja keras lho untuk kalian. Masa menjaga Kiran supaya sehat saja kamu enggak bisa sih?”

Mira menarik napasnya dalam-dalam. “Aku juga enggak pengin Kiran sakit, Mas.”

“Makanya kamu harus ekstra menjaga Kiran. Seharian di rumah ngapain saja sih? Sampai anak bisa sakit begitu,” keluh Bima. “Ya sudah, sekarang aku izinin kamu ke rumah sakit naik taksi. Terus catat nomor taksinya. Nanti kabari aku soal Kiran.”

“Mas,” sergah Mira sebelum Bima mengakhiri sambungan telepon. 

“Duh, apalagi sih, Mir?”

“Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan.” Mira menggigit bibirnya keras-keras.

“Soal apa? Kamu enggak punya uang cash? Kan bisa ambil di ATM dulu?”

“Bukan soal itu. Aku mendapat email notifikasi booking hotel atas namamu untuk malam ini,” ujar Mira.

“A-apa?”

Kedua alis Mira bertautan mendengar suara suaminya yang nampak tergagap. “Memangnya kamu ada rencana untuk menginap malam ini?”

“I-itu pasti salah,” sambar Bima cepat.

“Salah gimana? Jelas-jelas booking-an hotel itu atas nama kamu, Mas.”

Terdengar suara Bima yang sedang mengembuskan napas panjang. “Sebenarnya, malam ini aku memang berencana enggak pulang. Banyak kerjaan yang harus kukerjakan. Tapi kurasa asistenku berinisiatif memesankan hotel untukku agar aku enggak perlu pulang jauh-jauh ke rumah.”

“Benar begitu? Tapi kenapa pakai akun pribadimu, Mas?” cecar Mira.

“Asistenku itu memang ceroboh, Mir. Kamu tahu sendiri kan?”

“Ceroboh? Maksudmu kamu, aspri kamu itu tahu akun yang biasa kamu pakai untuk booking hotel? Mas, itu kan akun pribadimu. Kalau disalahgunakan sama dia bagaimana?”

“Haduh, kamu cerewet banget sih. Enggak mungkinlah asisten aku menyalahgunakannya. Lagian, aku punya banyak poin di akun itu, Mir. Dulu kita kan sering menginap sama Kiran. Sayang kan kalau poinnya hangus.”

“Tapi Mas—“

“Begini saja, secepat mungkin aku akan menyelesaikan pekerjaannku dan pulang ke rumah. Lagian, gara-gara kamu Kiran jadi sakit. Aku enggak tenang kalau begini.”

“Ya sudah, Mas. Nanti aku kabari keadaan Kiran setelah dia diperiksa dokter.”

“Hm, oke.”

Tanpa basa-basi Bima memutuskan sambungan teleponnya padahal Mira ingin mengucapkan selamat tinggal.

Kini Mira kembali menoleh ke arah Kiran. Gadis mungil itu mendengkur pelan. Dahinya masih saja panas saat Mira mengeceknya.

Mira menghela napas pelan. Seketika omongan suaminya itu terlintas di kepalanya. Dia jadi merasa bersalah karena tidak becus menjaga Kiran.

*

“Kenapa Sayang?” Kedua lengan Vania merangkul pundak Bima sembari melayangkan kecupan kilat di pipi pria itu.

Bima mendesah pelan. “Kamu ceroboh.”

Vania mengernyitkan dahinya. “Kok kamu bilang gitu sih?”

Bima memutar tubuhnya. Dia menatap tubuh Vania yang begitu menggoda dengan lingerie merah berpotongan minim. Kedua dadanya menyembul indah, membuat jantung Bima berdebar kencang.

“Kamu pesan hotel ini dengan akun pribadiku. Dan akun itu tersambung langsung ke emailnya Mira,” terang Bima, menyugar rambutnya.

Vania membekap mulutnya. “Astaga, Sayang! Kamu kok enggak bilang sih? Tahu begitu aku booking hotel ini pakai akun aku aja. Apa Mira curiga?”

“Tentu saja, wanita itu punya insting yang kuat. Tapi tenang, aku berhasil mengelak kok.” Balas Bima lalu merangkul pinggul ramping Vania.

Vania mendekatkan tubuhnya pada dada bidang Bima. “Jadi, kamu akan tetap bersamaku malam ini kan?”

Bima menggeleng pelan. “Sayangnya, aku harus pulang.”

Kedua bibir Vania langsung melengkung ke bawah. “Sayang,” rengeknya. “Sudah lama kita enggak berduaan seperti ini. Lagian, aku sudah menantikan malam ini begitu lama.”

Bima mengelus rambut hitam Vania yang berkilau. “Aku juga sudah menantikan malam ini, Sayang. Tapi apa daya, Kiran sakit.”

Vania melepaskan rangkulan Bima. Dia menyeret kakinya ke pinggiran ranjang. Sontak Bima langsung menghampiri wanita itu. Pria itu mencium pelan pundak Vania.

“Maafkan aku ya?” pinta Bima sambil memohon. “Aku janji minggu depan aku akan meluangkan waktu untukmu.”

Vania hanya terdiam. Pandangannya tertuju pada jendela kamar hotel yang menawarkan pemandangan pencakar langit di kota Jakarta.

“Baiklah. Aku juga enggak tega kalau Kiran sakit,” ujar Vania kemudian.

Lantas, Bima menautkan bibirnya pada bibir Vania. “Makasih ya. Kamu memang pengertian. Hal itu membuatku tambah jatuh cinta padamu.”

Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Bima itu membuat kedua pipi Vania merona. Tangan Vania lalu membelai dagu Bima yang lancip.

“Aku juga mencintaimu, Bima.” timpal Vania sambil tersenyum tipis.

Kemudian mereka kembali berciuman dengan mesra sampai akhirnya dengan berat hati Bima melepaskan bibirnya dan meninggalkan Vania sendirian di kamar hotel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status