“Kenapa murung, Mas?” Tanya Marcella pada Putra yang sedang memandangi langit malam dari jendela kamar apartemen Marcella.
Rambut wanita itu masih basah dan wangi sabun menyeruak begitu Marcella mendekati Putra.
Namun, Putra masih terdiam.
“Ada masalah apa sih? Kerjaan?” desak Marcella.
“Bukan, Cell. Tapi soal… Hanna.”
“Kenapa lagi dengan dia? Jangan-jangan dia mengetahui hubungan kita, Mas?” Tanya Marcella lagi.
Putra menggeleng. “Dia pengen kerja lagi. Katanya dia mau membiayai program bayi tabung itu dengan uangnya sendiri.”
Marcella menghempaskan tubuhnya yang hanya dibalut jubah mandi di samping Putra.
“Lho, bagus dong, Mas. Itu artinya dia tahu diri.”
“Aku enggak akan membiarkan dia kembali kerja, Cell.”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa. Sebagai suami, aku merasa bertanggung jawab penuh atas dirinya. Lagian, kata dokter dia juga enggak boleh capek.”
“Huh, aku beneran iri sama istrimu. Bisa punya suami yang bertanggung jawab kayak kamu, Mas. Kapan ya aku bisa ketemu laki-laki yang mau membiayaiku sepenuhnya? Sejujurnya, aku juga capek kerja.”
“Kupikir kamu tipe wanita mandiri, Cell, yang enggak bisa kalau enggak kerja.”
“Namanya juga wanita, Mas. Pada akhirnya mereka ingin dibiayai juga…”
Yang Marcella tidak tahu adalah, sebenarnya ada alasan khusus kenapa Putra tak mengizinkan istrinya kembali bekerja. Itu karena Putra takut karir Hanna akan melampaui karirnya.
Sebelum menikah dengan Putra, Hanna seorang wanita karir. Posisi terakhirnya adalah PR senior associate di sebuah media ternama.
Tapi karena Hanna begitu mencintai Putra, maka wanita itu rela melepas karirnya dan menjadi ibu rumah tangga sesuai keinginan Putra.
Putra lega dan berjanji akan selalu memenuhi kebutuhan Hanna. Walau pada kenyataannya, Hanna harus menurunkan standar hidupnya setelah menikah dengan Putra.
Walaupun gaji Putra sudah belasan juta, tapi pria itu masih harus memenuhi kebutuhan ibu dan adiknya.
Setiap bulan Hanna diberi uang lima juta untuk dikelola, nominal yang sedikit jika dibandingkan dengan gaji Hanna sebelumnya, yang hampir menyentuh dua puluh juta sebulannya.
Namun, Hanna ikhlas. Putra adalah segalanya bagi Hanna.
Putra mengisi kekosongan di hatinya.
Setahun menikah, kehidupan mereka sangat bahagia. Hanna merasa keputusannya tepat memilih Putra sebagai pendamping hidupnya.
Tetapi lambat laun, semua berubah.
Ibu mertuanya, Nena, mulai merecoki kehidupan mereka. Setiap saat Nena mendesak Hanna untuk cepat hamil.
Sampai akhirnya, Hanna mengetahui kalau dirinya mengidap PCOS.
Hanna tahu, raut kekecewaan itu tergambar jelas di wajah Putra.
Mereka berdua pun berusaha tegar, mencoba hamil dengan cara alami.
Dan tiga tahun berlalu tanpa membuahkan hasil.
Putra kini sampai di rumahnya. Pria itu berharap Hanna sudah tidur.
Entah mengapa, dia begitu kesal dengan Hanna akhir-akhir ini. Di mata Putra, kecantikan istrinya itu memudar, tergantikan oleh Marcella yang luar biasa di atas ranjang.
“Mas,” Hanna muncul dengan daster yang menerawang sambil menyunggingkan senyumnya.
“Astaga, kenapa kamu belum tidur sih?” Ucap Putra ketus.
Hanna merangkul mesra suaminya itu. Wangi parfum yang sensual pun tercium dari tubuh Hanna.
Tapi sungguh, Putra sudah lelah. Di apartemen Marcella, mereka sudah bercinta sebanyak dua ronde.
“Aku kangen sama, Mas…” ucap Hanna manja. “Kayaknya Mas capek banget? Mau aku pijitin dulu? Setelah itu kita bisa… bisa lanjut ke hal yang lebih intim,” ucap Hanna sedikit malu.
Kalau dipikir-pikir, mungkin sudah lebih dari enam bulan mereka tidak pernah lagi melakukan hubungan suami istri.
Putra melepas kancing kerah yang seakan mencekik lehernya.
“Maaf Hanna, aku lagi enggak mood. Sebaiknya kamu tidur saja. Aku mau berendam air hangat lalu istirahat. Besok, aku harus bangun pagi-pagi sekali. Ada meeting penting.”
“Mas–”
“Duh, apa lagi sih? Sudah kubilang aku capek, Hanna,” balas Putra jengkel.
“Lusa, kita harus ke dokter lagi. Mas, ingat kan? Hasil tes kesuburan Mas sudah keluar,” Hanna mengingatkan.
Putra mendengus keras. “Kamu sajalah yang ke sana. Toh cuma ambil hasilnya aja kan? Aku enggak bisa izin terus. Banyak kerjaan.”
Hanna terdiam. Kekecewaan menguar di hatinya begitu suaminya melewatinya begitu saja.
Tiba-tiba saja Hanna mengendus sesuatu.
Wangi parfum yang manis.
Hanna sontak menoleh, memperhatikan punggung suaminya.
Namun kali ini, Hanna menatap Putra dengan curiga.
***
“Jadi Putra enggak mengizinkan kamu kerja lagi?” Tanya Andin yang duduk di hadapan Hanna saat mereka sedang makan siang di sebuah restoran yang ada di mall.
“Dia enggak ingin aku kecapekan. Tapi ibu mertuaku menganggap aku sebagai bebannya Mas Putra, Ndin…”
“Hah, lagi-lagi ibu mertuamu yang menyebalkan itu,” keluh Andin sambil mengaduk-aduk minuman dingin miliknya. “Enggak usah didengerin deh ucapannya. Lagian, selama ini Putra enggak keberatan kan membiayai kamu? Eh, tapi itu kan udah jadi kewajibannya.”
“Tapi ucapan mertuaku ada benarnya juga, Ndin. Biaya bayi tabung itu lumayan mahal. Kalau aku kerja lagi, anggaplah aku mulai dari staf biasa, seenggaknya aku bisa punya gaji di atas UMR dan bisa membiayai setengah dari program bayi tabung itu.”
Andin langsung menggelengkan kepalanya. “Kalau suamimu enggak keberatan, maka kamu enggak usah mikirin biaya itu. Lagian, gaji Putra juga lumayan kan? Jabatannya sekarang udah level asisten manajer kan?”
Kepala Hanna mengangguk pelan.
Setelah selesai makan siang, Andin harus kembali ke kantornya. Sementara Hanna menghabiskan waktu cuci mata di mall.
Sampai tiba-tiba Hanna menyipitkan matanya. Dari kejauhan dia menangkap sosok yang begitu dikenalnya.
“Mas Putra?” Gumam Hanna heran.
Punggung lebar nan tegap milik Putra berdiri di depan sebuah butik mahal.
Dada Hanna seketika berdebar kencang begitu seorang wanita cantik keluar dari butik itu sambil menenteng sebuah paper bag besar dan tersenyum lebar ke arah suaminya.
Pupil mata Hanna mendadak melebar begitu mereka berpelukan erat.
“Astaga, Mas Putra…”
Tubuh Hanna pun gemetar hebat. Rasanya dia tidak ingin mempercayai apa yang sedang dilihatnya sekarang.
Marcella melangkah ke dalam rumahnya dengan sedikit gugup. Dia berharap suaminya belum pulang dari kantor.Satu tangan wanita itu menenteng kantong plastik berisi barang belanjaan yang sengaja dia siapkan sebagai alibi.“Cella, dari mana saja?” Suara Putra di ruang tengah sontak menghentikan langkahnya. Pria itu duduk di sofa sambil menatap tajam ke arah istrinya.“Kamu sudah pulang, Mas? Kupikir masih lembur,” Marcella memaksakan senyumnya walaupun jantungnya kini berdetak keras.“Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat,” tandas Putra, masih memperhatikan Marcella yang kini menaruh belanjaannya di atas meja.“Oh, baguslah…”“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” sela Putra. Marcella menarik napasnya pelan. Sebisa mungkin dia memasang ekspresi wajar dan tenang. “Kamu tahu kan, ini hari terakhirku di bekerja. Jadi… yah, aku menghibur diriku sendirian, makan di restoran sekalian cuci mata. Aku juga mampir ke supermarket sebentar.”“Sampai pukul sepuluh malam?” Satu alis Putra naik
Mobil Marcella masih terparkir di pinggir jalan yang sepi.Lampu jalan yang remang mulai menyala, menerangi malam yang merayap datang.Sementara itu, Jordan memamerkan deretan giginya saat dia tertawa lepas setelah mendengar ucapan Marcella yang akan membunuhnya.“Ck, ck, ck… Marcella, sebelum kamu membunuhku, aku pastikan suamimu sudah mengetahui kebenarannya bahwa dia mandul dan Jordan ternyata anakku!”Jordan kembali tertawa, tawa melengking yang semakin membuat amarah Marcella mendidih.“Akui saja, sekarang akulah yang memegang kendali,” lanjut Jordan dengan jumawa.Marcella tertunduk dalam dengan kedua tangan yang mengepal erat. Ingin rasanya dia mencekik leher Jordan, tapi tubuh pria itu jauh lebih besar darinya.Tiba-tiba pundak Marcella berguncang sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Terdengar isakan pelan dari mulutnya.“Jordan, tolong…” suara Marcella bergetar, nyaris tak terdengar. “Jangan ganggu kehidupan anak itu. Biarkan dia tumbuh tanpa tahu siapa ayah kandungnya. It
Mulut Marcella menganga lebar. Tangannya yang sedari tadi menggenggam setir kini gemetar saat menangkap jelas sosok di balik kaca mobilnya.“Jo-Jordan?!” Dada Marcella menggebu dalam kepanikan.Pria itu menatap tajam kedua bola mata Marcella yang membelalak. Wajahnya mengeras dengan jenggot yang menghiasi sekitar dagunya.“Buka,” titahnya.Marcella menelan ludah dalam-dalam. Dia bisa saja langsung tancap gas, tapi tidak. Bisa-bisa Jordan melakukan hal bodoh, misalnya menampakkan diri di depan Putra.Tok, tok! Kali ini Jordan mengetuk kaca mobil dengan keras dan mendesak.Mau tak mau, Marcella menurunkan kaca mobilnya. “Mau apa kamu ke sini?!” Bisik Marcella sambil celingukkan. Jordan menunduk sambil mengusap-usap dagunya. “Ada hal penting yang harus kubicarakan.”“Apa lagi?! Seharusnya kamu sudah keluar dari negara ini! Ingat, aku sudah memberimu uang, brengsek!” Mata Marcella melotot sambil berbisik. “Sekarang, cepat pergi!”Namun Jordan bergeming. Pria itu terus menatap Marcella de
Putra melemparkan pandangan penuh tantangan ke arah Hanna. Senyum licik membingkai wajah pria itu sambil hendak merobek lembaran demi lembaran gugatan cerai.“Apa yang akan kamu lakukan, kalau aku nggak mau bercerai?” Mata Putra menyipit tajam. “Kurasa sah-sah saja kan punya dua istri?”Putra tak sabar ingin melihat Hanna yang akhirnya terjebak dalam permainan kotor yang dia buat sendiri.Tetapi, bukannya terpojok, tawa Hanna malah berderai panjang. Wanita itu bersandar di kursinya sambil menatap Putra tak percaya.“Dua istri?” Hanna masih tertawa kecil. “Kamu bahkan masih berharap aku jadi istrimu, setelah apa yang sudah kamu lakukan padaku? Ingat, Putra, aku masih menyimpan video mesum kalian dengan sangat baik.”Senyum di wajah Putra mendadak hilang. Rahangnya mengeras, mengingat ancaman itu. Ya, video perselingkuhannya dengan Marcella. Dia hampir saja melupakannya.Putra lantas menghentakkan dengan kasar dokumen itu ke atas meja. Bibirnya nyaris menggertak kesal.“Aku nggak menyan
Tamparan itu sontak mengagetkan beberapa orang yang melintas di lobi.Putra yang sedang menggendong Jordan nampak tersentak tak percaya, begitu pula Nena yang kedua bola matanya kini melebar.Hanna masih berdiri tegap dengan tatapan nyalang, sementara Marcella memegang pipinya yang memanas dengan bibir yang bergetar.Butuh waktu beberapa detik bagi wanita itu untuk menyadari bahwa Hanna telah menamparnya.Lantas, bola mata Marcella membelalak. “Berani sekali kamu menamparku, dasar wanita sialan…” satu tangan Marcella hendak melayang membalas tamparan tadi.Namun, gerakan itu langsung ditepis Hanna tanpa ragu.Hanna mengcengkram pergelangan Marcella begitu erat sehingga wanita itu kini nampak sedikit meringis.“Kamu nggak ingat, Marcella? Aku sekarang atasanmu. Aku bisa memecatmu kapan saja,” Hanna berujar dengan nada rendah namun dingin.Sambil mendengus keras, Marcella menghempaskan tangannya. Kini mereka saling bertukar pandang penuh kebencian.“Kamulah wanita rendahan itu, Marcella
Lampu-lampu di hall padam, menyisakan cahaya LED yang mulai memutarkan video.Napas Hanna tertahan. Kehadiran bocah kecil itu tak ada dalam rencananya. Astaga, apa yang harus dia lakukan?! Semuanya sudah terlambat. Tak mungkin dia berlari ke belakang panggung lalu menyuruh teknisi membatalkan semuanya!Dada Hanna berdebar semakin kencang, menunggu dengan pasrah video mesum itu muncul di layar.Namun yang terjadi adalah kemunculan wajah Abraham Julianto yang tersenyum lebar saat meresmikan pabrik pertamanya, dilanjutkan dengan potongan-potongan foto dan video perjalanan Beauty Inc. dari masa ke masa.Kening Hanna mengernyit heran. Cengkraman tangannya di lengan kursi kini berangsur terkulai. Terselip rasa lega yang begitu besar di hatinya. Sebenci-bencinya dia dengan Putra dan Marcella, dia tak mungkin menyakiti bocah itu.Video lantas diakhiri dengan tatapan Abraham Julianto ke arah kamera sambil berujar, “Untuk tahun-tahun ke depan, Beauty Inc. akan terus memancarkan cahayanya!”Hall