“Thanks ya, Mas!”
Marcella tersenyum lebar setelah memeluk Putra erat-erat.
“Kamu suka tasnya?” Tanya Putra, melirik ke paper bag besar yang ditenteng wanita itu
“Suka banget! Ini tas impianku sejak lama,” balas Marcella dengan nada manja.
“Syukurlah kalau begitu.”
Lantas, mereka bergandengan tangan, menyusuri selasar mall yang tak terlalu ramai.
“Kita harus segera kembali ke kantor. Ada meeting mendadak,” Putra melirik pergelangan tangannya.
“Oh, tadi bosmu yang nelpon?”
“Iya, makan siangnya kita take away aja ya, Sayang?” Pinta Putra, melempar senyum tipis.
Mau tak mau, Marcella hanya bisa mengedikkan bahunya pasrah.
Sementara itu, dari kejauhan dada Hanna terasa begitu sesak. Sedari tadi, tubuhnya gemetar hebat.
Sebisa mungkin, dia mengendalikan emosinya agar tidak menghambur dan menjambak rambut panjang wanita itu. Namun, matanya terus saja menggenang.
Langkahnya melambat saat melihat suaminya dan wanita itu masuk ke dalam restoran.
Dari luar restoran, Hanna terus memata-matai mereka.
Kepalanya panas karena sedari tadi wanita itu terus memandang suaminya dengan mesra. Tangan mereka saling berkaitan seolah tidak ada yang bisa melepasnya.
Hanna berharap semua ini mimpi.
Namun, keriuhan di sekitarnya menyadarkan dirinya bahwa ini nyata.
Putra selingkuh.
“Ti-tidak…” Hanna menggigit bibirnya keras-keras. Pipinya seketika basah.
Sambil sedikit sesenggukan, Hanna yang malang menyingkir agar tidak terlihat suaminya. Dia membiarkan Putra dan wanita itu berlalu begitu saja.
Dia tidak mau membuat keributan yang memalukan, walau hatinya terasa begitu sakit.
***
“Sepertinya Hanna marah padaku,” Putra menukas saat dirinya dan Marcella bersantai sejenak di rooftop gedung.
Putra lalu menyesap sekaleng kopi hitam dingin.
“Yah, biarkan saja,” tandas Marcella acuh setelah mengembuskan asap rokok ke udara. “Malah bagus dong. Jadi kamu enggak usah meladeni istrimu itu.”
“Tapi, dia jarang marah, Cell. Seumur-umur, Hanna enggak pernah mendiamkan aku seperti ini.” Putra menggaruk-garuk kepalanya.
Marcella menatap pria itu. Raut wajah Putra nampak gelisah. Hal itu membuat Marcella cemburu.
“Apa jangan-jangan selama ini aku terlalu dingin sama dia ya?” Tanya Putra lagi. Entah pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya atau Marcella.
Marcella mendengus keras, mematikan rokoknya dengan kesal.
“Mana kutahu?” Balas Marcella ketus. “Sebenarnya, aku muak mendengarmu menyebut-nyebut nama Hanna. Bisa enggak sih Mas kita ngomongin hal lain?”
“Lho, kenapa kamu jadi sewot begitu?” Kening Putra mengernyit.
“Hah! Sudahlah. Lebih baik aku kembali ke ruanganku.”
“Cella, tunggu–”
Saat Putra hendak mengejar selingkuhannya itu, langkahnya langsung terhenti karena ada beberapa orang yang memperhatikannya.
Dia harus main cantik. Hubungannya dengan Marcella tidak boleh terkuak.
***
Hanna memandangi selembar kertas hasil tes kesuburan suaminya. Dahinya nampak mengerut karena dia tidak memahami tulisan-tulisan itu.
Sampai akhirnya dokter di hadapannya berdeham pelan.
“Jadi, bagaimana, Dok?” Tanya Hanna. “Kapan kami bisa memulai program bayi tabung itu?”
“Sebenarnya saya berharap Bu Hanna datang dengan suami Ibu.”
“Saya juga berharap begitu, Dok. Tapi suami saya sibuk,” balas Hanna, meletakkan kertas hasil tes kesuburan Putra di atas meja.
Lantas, dokter itu menatap Hanna lekat sebelum akhirnya menghela napas panjang.
Saat dokter mulai menjelaskan, kedua mata Hanna melebar.
“Ti-Tidak mungkin…” Hanna berujar lirih sambil terkulai di atas kursi.
***
Hanna hanya bisa memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong.
Penjelasan dokter tadi masih terus berputar-putar di kepalanya.
Namun, sesaat kemudian kejadian di mall dua hari lalu kembali menyalip pikirannya.
Bayangan Putra bersama wanita itu… pelukan mesra mereka, tatapan mereka… terus saja berkelebat di benak Hanna.
Hatinya hancur berkeping-keping. Kenapa Putra begitu tega mengkhianatinya?
Sudah berapa lama hubungan mereka berlangsung?
Siapa wanita itu?
Sudah seberapa jauh hubungan mereka? Apa mereka pernah…?
“Tidak, tidak…”
Hanna menggelengkan kepalanya. Dia tak ingin berburuk sangka seperti ini.
Namun, pertanyaan-pertanyaan itu seolah tak mau lepas dari kepalanya begitu saja.
Tiba-tiba, ponsel miliknya berdenting. Ada satu pesan masuk dari suaminya.
“Lagi-lagi lembur…” gumam Hanna setelah membaca pesan itu.
Tadinya, Hanna ingin memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Putra saat dia bertemu dengan dokter tadi, tapi Hanna mengurungkan niatnya.
Ada hal yang lebih penting, pikir Hanna sambil menyipit tajam.
“Sebaiknya aku bertindak dan mengumpulkan bukti,” Hanna menggeram pelan.
Kemudian dia langsung menghubungi seseorang.
“Halo, Andin? Boleh aku pinjam motormu?”
***
Embusan angin malam menyapu wajah Hanna.
Motor bebek milik sahabatnya, Andin, kini melaju di tengah jalanan malam yang padat.
Sedari tadi, jantung Hanna berdetak kencang.
Sejujurnya, dia tidak ingin mendapatkan bukti bahwa suaminya selingkuh.
Bisa saja wanita itu temannya kan?
Tapi semakin Hanna menyangkal, semakin tidak masuk akal kedekatan suaminya dengan wanita itu.
Sampai akhirnya Hanna pun sampai di depan gedung Beauty Inc., tempat Putra bekerja sebagai asisten manajer operasional di sana.
Berkali-kali Hanna melirik ponselnya. Sudah pukul tujuh malam. Maka, Hanna memutuskan untuk menepi dan menunggu di pinggir trotoar.
Mata Hanna terus memperhatikan deretan mobil yang keluar dari gedung itu, sampai akhirnya dia melihat mobil suaminya!
Kacanya yang gelap tidak memungkinkan Hanna untuk melihat ke dalam.
Bergegas, Hanna mengenakan maskernya kembali, mengencangkan kaitan helm dan membuntuti mobil Putra dari belakang.
Dalam hati, perempuan itu berharap agar suaminya langsung pulang ke rumah. Kalau hal itu yang terjadi, maka dia akan memaafkan Putra, mengakhiri perang dingin dengan suaminya itu dan melupakan kejadian di mall itu.
Namun, mobil sedan hitam itu malah memutar arah, melenceng dari arah pulang.
Dada Hanna berdentum tidak karuan, tapi dia tetap fokus menjaga jarak aman dari mobilnya Putra.
Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil suaminya memasuki pelataran parkir sebuah apartemen.
“Apartemen?” Gumam Hanna.
“Maaf, ada keperluan apa?” Seorang petugas langsung mencegat motor Hanna saat hendak masuk ke pelataran parkir apartemen itu.
“I-Ini… saya… saya mau mengantarkan makanan,” balas Hanna.
“Oh, untuk ojek online silakan langsung ke depan lobi.”
“Tapi saya mau parkir di sana.”
“Tidak bisa. Itu khusus untuk penghuni.”
“Penghuni?” Alis Hanna sontak bertautan.
“Iya, Bu. Hanya yang memiliki kartu akses saja yang bisa parkir di basement. Lagian, ibu ini kan hanya mengantar makanan saja. Jadi silakan parkir di depan lobi.”
‘Sejak kapan Mas Putra punya apartemen?’ Batin Hanna. ‘Kenapa dia menyembunyikannya dariku?’
Mata Hanna memicing, memperhatikan mobil suaminya yang menghilang dari pandangan.
Kini batin Hanna benar-benar berkecamuk.
Sudah bisa dipastikan suaminya memiliki simpanan di apartemen itu.
Marcella mematung di tempat. Kalimat yang barusan meluncur dari mulut suaminya itu masih menggantung di kepalanya. Namun sebagian dari dirinya berusaha untuk tak mempercayainya.“Ha-Hanna? Kamu bilang kamu dijebak oleh Hanna?” Marcella tercekat.Putra mengangguk dengan sorot mata yang tak tergoyahkan.Satu alis Marcella naik sebelah. “Tapi kamu bahkan menyangkal kalau Hanna masih hidup, Mas.”“Awalnya memang begitu, tapi…”“Tapi apa?” Desak Marcella.“Tapi sekarang aku yakin kalau Hanni adalah Hanna. Dia masih hidup, Cella. Dan dia sedang merencanakan sesuatu pada kita,” Putra memicingkan matanya tajam.***Marcella menutup pintu ruangannya. Dirinya langsung melempar tasnya ke atas meja.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” Wanita itu menyugar rambutnya.Putra berjalan sambil bersedekap menuju ke jendela. Matanya memandang ke hamparan langit biru.“Untuk saat ini, kita harus berhati-hati pada wanita itu. Hanni–atau Hanna,” tandas Putra. “Dan juga Erik.”“Erik?”Putra lantas mencerit
“Katakan, Cella. Apa kamu ada hubungannya dengan penyekapan Hanni?” Desak Putra tajam.Dengan satu gerakan cepat, Marcella melepaskan dirinya dari cengkraman Putra.Wanita itu mendengus keras, mendongakkan dagunya sambil memandang suaminya dengan tatapan tak percaya.“Pelecehan? Penyekapan Hanni??” Kedua alis Marcella bertautan. “Aku bahkan enggak mengerti dengan ucapanmu. Tapi satu yang pasti, kamu sudah berbohong, Mas. Ternyata kamu membuntuti wanita sialan itu! Hah, kamu bahkan menuduhku yang enggak-enggak!”“Aku yakin seratus persen pria itu adalah teman SMA-mu. Aku ingat betul, Cella.”“Lantas?” Kedua bola mata Marcella melebar, menantang ucapan suaminya tadi. “Jika memang pria itu temanku, bukan berarti aku terlibat, Mas!”Marcella tertawa sinis. “Jangan-jangan, semalam kamu tidur dengan wanita sialan itu kan? Oh, astaga! Ternyata seleramu memang rendahan, Mas…”Putra hanya mematung. Kenapa Hanni tega mengirim foto-foto itu pada istrinya, pikir Putra. Untuk apa wanita itu menje
“Ayo, buka pakaian dalammu, Hanna. Boleh kan aku memanggilmu dengan sebutan itu?” Sepasang mata Putra menyorot penuh gairah ke arah tubuh indah itu.Lantas, Hanna berjalan ke arah Putra, mendorong tubuh pria itu.“Tapi sebelumnya,” tangan Hanna bergerak pelan membuka satu per satu kancing kemeja Putra, “kamu juga harus menanggalkan pakaianmu.”Putra menyeringai begitu Hanna mulai melempar kemejanya ke sembarang arah, lalu lanjut melepas ikat pinggangnya.Hanna melirik nakal, melihat sesuatu yang menyembul di antara kedua kaki Putra.“Apa istrimu enggak pernah melakukan ini?” Tanya Hanna, menarik celana Putra. “Apa dia kurang menarik di atas ranjang?”“Sebenarnya dia cukup liar, tapi akhir-akhir ini kami sering bertengkar. Hubungan kami jadi dingin,” napas Putra mulai terdengar berat.Seketika, Putra menguap lebar. Sementara Hanna merangkak naik ke atas pangkuan Putra.Dada Hanna berdebar begitu kencang sekarang. Dia hanya bisa berharap obat tidur itu segera bekerja.“Duh, kok aku jadi
Suara sorak sorai serta tepukan yang meriah dari para tamu terdengar begitu, Hanna dan Putra berciuman setelah sah menjadi suami istri.Hanna tak bisa menyembunyikan pipinya yang merona saat ciuman manis itu usai.Putra yang berdiri di depannya, menatap Hanna hangat. Raut wajah bahagia terpancar karena akhirnya dia sah memiliki Hanna sepenuhnya.“Istriku…” panggil Putra pelan. “Akhirnya kamu menjadi istriku, Hanna.”Hanna menyunggingkan senyumnya, mengangguk. Dadanya berdebar bahagia. Bagi Hanna, menikah dengan Putra adalah impiannya.Dia sangat mencintai pria ini. Di matanya, Putra adalah sosok yang sempurna, pekerja keras dan penyayang.Tiga tahun mereka pacaran, banyak rintangan yang harus dilalui, termasuk penolakan keras dari ibunya Hanna, Lidya.Tapi kini rintangan itu sudah mereka lewati. Sambil memegang buku nikah, mereka akan mengarungi hidup baru yang menyenangkan.“Sekarang, hadap ke kamera ya. Buku nikahnya tunjukkin,” titah fotorgrafer itu. “Jangan lupa senyum. Satu, dua,
Erik menggeram kesal.Sudah seminggu setelah kejadian itu, tetapi pihak berwajib belum juga menemukan keberadaan Jordan.Yang membuat Erik tambah naik pitam adalah kemungkinan besar keterlibatan salah satu anak buahnya, Marcella.“Haruskah kita menyewa orang sendiri untuk mencari keberadaan pria sialan itu?” Erik melempar kedua tangannya ke udara. “Atau aku akan introgasi Marcella?”“Jangan, Erik.” Sergah Hanna. “Biarkan Marcella merasa bahwa dirinya aman, sampai Jordan tertangkap dan menyeret namanya.”“Tapi aku bahkan enggak tahan untuk melabraknya, Hanna,” geram Erik. “Dan plis, Hanna. Selalu beri tahu aku kalau kamu punya rencana. Aku enggak mau hal seperti ini terjadi.”“Maafkan aku, Erik…”Erik menghela napas pelan, berdiri di depan wanita itu. “Aku mencemaskamu. Apa… aku batalkan saja perjalananku kali ini?”“Hei!” kedua mata Hanna melebar. “Ini perjalanan dinas penting, Erik. Lagian, aku baik-baik saja kok.”“Tapi kalau aku enggak ada, kamu harus pulang-pergi sendiri. Gimana k
“Uh..” Jordan mendesah pelan. “Aku enggak menyangka tubuhmu seindah ini, Hanni…”Sebelum menarik turun pakaian dalam bagian bawah itu, ujung hidung Jordan menyentuh paha Hanna menyesap tubuh wanita itu dalam-dalam.Mau tak mau, Hanna menggeliat takut.“Pantas saja Marcella cemburu padamu…” tukasnya lagi. “Kamu tenang saja, Hanni. Aku akan memperlakukanmu dengan lembut kok. Aku ahli dalam hal ini.”Jordan mendongak sambil melempar senyum nakal ke arah Hanna.Hanna terus saja terisak, berharap keajaiban datang.Jordan mengecup pinggul Hanna, menjilatnya pelan. “Hanni, Sayang… kamu enggak akan menyesal, karena aku akan membuatmu melayang…”Dada Hanna terasa begitu sesak. Napasnya tersengal berat saat merasakan pakaian dalam bagian bawah itu perlahan turun.Pipinya benar-benar basah sekarang.Sampai tiba-tiba…BRAK!Suara pintu yang mendobrak keras itu terdengar.‘Erik!’ Kedua mata Hanna membelalak penuh harap. “Hei! Brengsek!!!” Suara lelaki itu menggelegar.Jordan tersentak dan langsun