Share

Kebangkitan Istri yang Kau Khianati
Kebangkitan Istri yang Kau Khianati
Author: Poepoe

1 - Selingkuh

Author: Poepoe
last update Last Updated: 2025-02-03 17:18:18

“Ugh, Mas…”

Marcella mendesah berat seraya tubuhnya yang setengah polos itu berguncang pelan di atas pangkuan Putra.

Suasana kabin mobil yang pengap tak menyurutkan kedua insan itu untuk tetap bercinta dengan panas.

Napas mereka menderu cepat saat kenikmatan datang, sampai-sampai mereka tak kuasa menjerit puas.

Masih dengan napas terengah, Putra memeluk erat tubuh Marcella, yang hanya dibalut pakaian dalam.

“Kamu benar-benar luar biasa,” puji Putra.

Marcella membalas dengan senyuman tipis karena wanita itu masih ingin menikmati ledakan-ledakan kecil yang mendera tubuhnya.

Rasanya sungguh menyenangkan, tapi sayangnya semua kenikmatan ini tak bertahan lama. 

Mereka harus segera berpisah.

“Mas, bisa enggak sih kita menghabiskan waktu bersama seharian?” Marcella pindah ke kursi samping lalu mengenakan kemeja kantornya kembali.

“Yah, aku juga pengennya begitu, Cella. Tapi, kamu tahu sendiri kan, pekerjaanku lagi banyak-banyaknya,” balas Putra.

Bibir merah Marcella mengerucut kecewa.

“Kalau ngambek gitu, kamu jadi tambah imut deh, Sayang,” goda Putra sambil kembali menyosor bibir ranum Marcella.

Namun kali ini Marcella mengelak.

“Udah deh Mas, jangan mulai lagi. Kita cuma punya waktu lima belas menit sebelum istirahat makan siang selesai,” tukas Marcella.

Kini giliran Putra yang nampak kecewa.

Tiba-tiba saja ponsel Putra berdering kencang.

Nama Hana muncul di layar. Putra pun menghela napas pelan.

“Dari istriku. Jangan bicara dulu ya,” pinta Putra pada wanita di sampingnya itu. 

Tak punya pilihan lain, Marcella hanya bisa bersedekap jengkel sambil memutar kedua bola matanya.

“Ya, Hanna. Kenapa kamu tiba-tiba nelpon?” Putra pun mengangkat teleponnya. 

“Ada masalah apa?” tanya Marcella setelah sambungan telepon itu berakhir.

“Dia minta aku menemaninya ke dokter kandungan besok,” jawab Putra.

“Jadi, kalian benar-benar akan menjalani semacam program bayi tabung?” Tanya Marcella.

Putra memang sudah menceritakan soal keadaan istrinya yang sulit hamil karena mengidap PCOS.

“Begitulah. Sudah tiga tahun kami menikah, jadi kurasa ini saat yang tepat. Lagi pula, ibuku sangat menginginkan seorang cucu,” balas Putra.

“Kurasa aku bisa memberikanmu seorang anak,” tandas Marcella tiba-tiba.

Bola mata Putra langsung melebar. “A-apa?”

Lantas, tawa Marcella berderai.

“Astaga, Mas. Wajahmu sampai kaget begitu. Memangnya kamu enggak mau anak dariku?” Marcella mengerlingkan matanya dengan menggoda.

“Ka-kamu enggak bercanda kan? Hubungan kita hanya sebatas–”

“Kamu bisa ceraikan istrimu itu, Mas. Beres,” sela Marcella cepat.

“Cerai? Oh, enggak mungkin, Cella. Hanna istri yang baik. Enggak ada alasan bagiku untuk menceraikannya,” Putra menggelengkan kepalanya.

Tak bisa dipungkiri, mendengar Putra memuji istrinya sendiri membuat hati Marcella panas.

Wanita itu mendengus.

“Sebaik apapun istrimu itu, tetap saja dia mandul,” ucap Marcella ketus.

“Dia enggak mandul, Cella. Hanya sulit hamil,” bela Putra.

“Hah, terserahlah.” Kali ini suara Marcella terdengar kesal.

Dia segera turun dari mobil Putra dan membanting pintunya keras-keras.

“Cella, tunggu. Jangan ngambek begini dong, Sayang…”

Marcella menghempaskan tangan Putra yang hendak meraih lengannya. Wanita itu pun bergerak cepat memasuki area lobby basement, meninggalkan Putra yang hanya bisa garuk-garuk kepala dengan pasrah.

***

“Lho, Hanna? Kamu belum tidur?” Kening Putra sontak mengernyit begitu mendapati istrinya yang masih duduk di ruang tengah.

“Aku nungguin kamu, Mas.”

Jam dinding di ruangan itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

“Seharusnya kamu enggak usah nungguin aku. Aku sudah bilang bakalan lembur kan?”

Hanna bangkit. “Aku panasin makan malamnya ya? Kita makan sama-sama.”

“Jadi, kamu belum makan malam?”

Hanna menggeleng. “Sudah kubilang aku nungguin Mas.”

“Astaga, buat apa sih, Han? Kalau maag-mu kambuh gimana? Nanti aku lagi yang repot,” Putra terdengar sedikit marah.

“Sudah lama kita enggak pernah ngobrol, Mas.”

“Sudah, sudah, enggak usah dipanasin makanannya. Aku enggak laper.”

“Tapi, Mas–”

“Aku capek, Hanna. Lembur sampai malam begini. Aku lebih milih tidur daripada harus ngobrol sama kamu.”

Putra lantas berlalu begitu saja.

Tanpa Hanna sadari air matanya jatuh. Entah kenapa, omongan suaminya tadi terdengar sangat menyakitkan di kuping Hanna.

Tiga tahun pernikahan mereka kini semua terasa begitu dingin.

Apa mungkin karena dirinya belum bisa memberikan Putra seorang anak? Ya, mungkin saja.

Tapi besok mereka akan konsultasi bayi tabung untuk yang pertama kalinya. Dan Hanna berharap semua akan berjalan lancar.

***

“Delapan puluh juta?” Kedua mata Nena membulat tidak percaya. “Kamu harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk punya anak?”

“Iya, Bu. Itu masih kisaran awalnya dan belum tentu juga langsung berhasil,” balas Putra saat dia dan Hanna berkunjung ke rumah ibunya di akhir pekan.

Nena menatap sekilas ke arah menantunya yang tertunduk lesu.

Hanna pun merasa bersalah. Dirinya tidak bisa dengan mudah memberi keturunan bagi Putra.

Begitu Putra keluar, Nena langsung mendekati menantunya itu.

“Delapan puluh juta itu angka yang besar lho,” ucap Nena. “Kalau kalian mulai program itu, maka Putra harus memangkas uang bulanan untuk Ibu. Kamu tahu sendiri kan, Sarah masih kuliah?”

Hanna mengangguk pelan. “Maafkan aku, Bu. Tapi itu sudah jadi kesepakatan kami. Bayi tabung ini salah satu usaha kami untuk punya anak.”

Nena berdecak pelan. 

“Gini aja. Gimana kalau kamu kerja lagi, Han? Yah, hitung-hitung bantu suami kamu. Jangan terus-terusan jadi bebannya Putra,” terang Nena.

“Be-bebannya Mas Putra?” Hanna heran mendengarnya.

“Putra masih harus membiayai adiknya, Han. Kamu harus paham itu. Lagi pula, kamu ini kan lulusan sarjana. Sayang kalau gelarnya enggak dipakai. Nanti, kalau kamu punya gaji sendiri, kamu bisa membiayai program bayi tabung itu tanpa harus membebani suamimu.”

Kening Hanna mengernyit semakin dalam.

“Sejak awal menikah, Mas Putra enggak memperbolehkanku kerja. Dan Ibu tahu itu,” balas Hanna lagi.

“Yah, itu kan dulu. Ternyata sekarang kondisinya berbeda. Kamu sulit hamil, Hanna. Kalau saja dirimu baik-baik saja, Ibu enggak akan menyarankan ini.”

Hanna menelan ludahnya dalam-dalam.

Ucapan ibu mertuanya itu memang selalu menusuk hatinya.

“Jadi, pertimbangkan saran Ibu, ya? Kerja lagi sana dan jangan cuma jadi beban buat suamimu.”

Kedua bibir Hanna hanya mengatup rapat. Jujur, dia tidak tahu harus membalas apa ucapan ibu mertuanya yang tajam itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kebangkitan Istri yang Kau Khianati   59 - Aku Hanna Julianto

    Di hari jadinya yang ke-30 tahun, suasana kantor Beauty Inc. memang terasa jauh berbeda dari biasanya.Balon-balon sudah menghiasi lobi utama, pita-pita emas menggantung di setiap sudut, ditambah banyaknya karangan bunga ucapan selamat yang berjejer menuju pintu masuk hall utama.Segala keriuhan ini menandakan pencapaian besar–tiga dekade perjalanan perusahaan kecantikan yang paling berpengaruh di negeri ini.Nena menggandeng tangan mungil Jordan, membuntuti Putra dan Marcella yang berjalan di depan mereka. Keadaan Nena sudah membaik dan bersikukuh ikut ke kantor Putra untuk melihat kesuksesan putra satu-satunya itu–sekalian menemani Jordan.“Wah, apa itu, Nek?” Jordan menunjuk ke sebuah sudut dengan antusias, sementara satu tangannya menggenggam mainan dinosaurus kesayangannya.“Itu playground baru, Sayang,” balas Marcella menatap kedua bola mata Jordan yang berbinar.Playground itu nampak menarik perhatian Jordan. Perosotan berwarna merah, ayunan kayu, hingga area mandi bola yang be

  • Kebangkitan Istri yang Kau Khianati   58 - Rumor

    Pagi itu matahari baru saja naik. Sinarnya memantul ke penjuru kaca-kaca gedung pencakar langit.Putra dan Marcella menikmati pagi mereka dengan duduk-duduk di rooftop kantor sebelum memulai aktivitas yang padat hari ini.Di tangan mereka ada secangkir kopi yang asapnya masih mengepul tipis.Dari ketinggian gedung, terdengar samar-samar keriuhan jalanan dari bawah sana.Marcella sibuk memeriksa e-mail melalui ponselnya, sementara Putra nampak menikmati aroma kopi hitam yang menyergap permukaan lidahnya.Namun tiba-tiba, suasana santai mereka terusik ketika dua orang dari divisi lain duduk di belakang mereka sambil membicarakan sesuatu.“Kamu tahu nggak? Minggu depan, pas ultah perusahaan ke-30, bakal ada pengumuman besar…” suara itu terdengar pelan tapi mampu ditangkap oleh telinga Putra dan Marcella.“Aku juga dengar soal itu. Komisaris baru mau diperkenalkan. Dan gosipnya…” suara orang itu kini setengah berbisik. “Orang itu adalah anak rahasia Abraham Julianto!”Perbincangan itu mem

  • Kebangkitan Istri yang Kau Khianati   57 - Kebenaran

    "Kamu seperti baru saja melihat hantu, Jordan..." Suara Hanna terdengar datar dan dingin.Namun, itu sudah cukup untuk membuat napas Jordan tercekat.Lampu jalanan yang redup dari ujung gang, memberi cukup cahaya untuk menyingkap sosok Hanna yang berdiri tegap di ambang pintu.Bayangan wajah Hanna bergoyang pelan karena cahaya lampu yang berkelap-kelip redup di kontrakan lusuh itu.“Ma-mau apa kamu ke sini, hah?” Jordan berusaha mengatur nada suaranya agar tak terdengar ketakutan. “Aku bisa saja mencelakaimu, Hanni.”Hanna mendengus sambil melempar senyum tipis. “Masih berani mencelakaiku?”“Aku bisa bertindak nekat,” sorot mata Jordan berubah nyalang.“Dan aku bisa langsung menghubungi polisi,” balas Hanna santai, memamerkan ponsel di tangannya.“Apa maumu? Kenapa kamu bisa menemukanku?” Suara Jordan nampak memelan.“Mudah bagiku untuk melacak keberadaanmu, Jordan. Aku tahu, kamu punya hubungan gelap dengan Marcella. Mengikuti Marcella sama juga mengikuti dirimu,” Hanna mengedikkan b

  • Kebangkitan Istri yang Kau Khianati   56 - Malam Terakhir

    Brak!Marcella membanting pintu mobilnya dengan kencang. Dia melangkah tergesa dan langsung menarik lengan Jordan ke dalam mobilnya.“Brengsek!” Marcella memekik tertahan. “Ngapain kamu di sini, hah? Seharusnya kamu sembunyi! Polisi masih memburumu! Dasar bodoh!”Deru mesin mobil Marcella terdengar. Dengan cepat, dia melajukan mobilnya menjauh dari rumah.“Hei, kita mau kemana?” Jordan terdengar bingung. “Jauh-jauh aku datang ke rumahmu, Cella.”“Itu tindakan bodoh! Untung aku pulang sendirian. Gimana kalau sampai Putra tahu?! Dia bahkan mengingat wajahmu, Jordan!” Marcella menggenggam erat setir mobilnya. “Kamu bisa ditangkap polisi!”Jordan menghela napas pelan. “Tadinya aku malah ingin menyerahkan diri ke polisi.”“Apa?! Jangan bertindak bodoh!” Pekik Marcella lagi. Astaga, rasanya kepalanya mau pecah dengan masalah yang datang bertubi-tubi seperti ini. “Kamu harus segera pergi dari sini! Aku akan mengurusnya.”“Kamu nggak usah memikirkan hal itu,” lanjut Jordan sambil bersedekap.

  • Kebangkitan Istri yang Kau Khianati   55 - Hampir Saja

    Embusan angin malam langsung menyambut Marcella ketika wanita itu keluar dari ruang rawat inap ibu mertuanya, membiarkan Putra menemani ibunya.Saat berjalan menyusuri lorong, kepala Marcella terasa begitu berat.Hanna, Hanna, Hanna. Nama dan sosok wanita itu terus saja berkelebat di benaknya.“Sialan,” desis Marcella pelan. Seharusnya dia membunuh wanita itu sejak awal, melindasnya sekali lagi agar wanita itu benar-benar mati.Kini pikiran Marcella melanglang buana ke kejadian malam itu, di saat dia sengaja menabrak Hanna demi menghilangkan barang bukti.Andai saja Putra tak mencegahnya malam itu, pasti kesialan tak menimpa mereka sekarang ini.Sambil mengembuskan napas berat, Marcella memasuki kafetaria rumah sakit. Secangkir teh hangat setidaknya bisa menenangkan kegelisahannya untuk sementara.Saat Marcella menatap kosong ke luar jendela kafetaria, tiba-tiba saja dia menangkap sosok yang mencurigakan, yang sedang berjalan tergesa di lorong rumah sakit.Jaket abu-abu gelap itu memb

  • Kebangkitan Istri yang Kau Khianati   54 - Bukan Mimpi Buruk

    Kedua mata Nena membuka perlahan. Cahaya lampu menyorot, menusuk pandangannya yang membuatnya harus berkedip berkali-kali.Suara detak jantung dari monitor di sampingnya terdengar. Lantas Nena juga menyadari selang infus yang menggantung di pinggir ranjangnya.“Akhirnya, Ibu sadar juga…” suara Sarah langsung menyambut wanita tua itu. Sarah pun meletakkan ponselnya dan mendekat.“Astaga…” Nena berucap lirih. Kepalanya masih sedikit pening. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi. “Jordan… di mana dia?”“Tenang, Bu,” sahut Sarah. “Sebaiknya, Ibu istirahat dulu. Jangan banyak gerak.”Namun Nena tak menghiraukan saran anaknya. Kedua bola matanya bergerak liar mencari keberadaan cucu kesayangannya.“Di mana Jordan?!” Suara Nena sedikit meninggi. Dia bakal menyalahkan dirinya seumur hidup kalau terjadi hal buruk pada Jordan.“Dia baik-baik saja, Bu. Aku menitipkannya ke tetangga sebelah. Hanya ada luka kecil di sekitar kakinya,” terang Sarah. “Mas Putra dan Mbak Marcella akan pulang malam i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status