Emma menatap ke sekeliling, pikirannya berpacu mencari jalan keluar. Matanya tertuju pada aliran air yang berkilau di kejauhan—Sungai Cermin yang mengalir di bawah tembok perbatasan, satu-satunya bagian dari penghalang sihir yang memiliki celah."Kalian pikir bisa mengalahkanku dengan api?" Emma tertawa, suaranya lebih percaya diri dari yang ia rasakan. Dengan gerakan memutar kedua tangannya dalam lingkaran sempurna, ia menarik kelembaban dari udara dan tanah di sekitarnya, menciptakan kabut tebal yang dengan cepat menyelimuti area pertempuran."Di mana dia?" teriak salah satu pengendali api, matanya menyipit berusaha menembus kabut yang semakin tebal. Mereka menciptakan api lebih besar, namun justru membuat kabut semakin tebal karena panas yang mengubah air menjadi uap.Memanfaatkan penghalang visual yang ia ciptakan, Emma berlari sekuat tenaga menuju Sungai Cermin, kakinya yang terlatih melompati bebatuan dan reruntuhan dengan ketepatan seorang penari.Saat mencapai tepi sungai, ia
Pigenor, dengan ketenangan khas Elf, mengamati situasi dari atas pohon. Teman-temannya telah berpencar, dan kini giliran dirinya untuk menemukan jalan keluar.Namun, alih-alih menuju Zolia seperti yang lain, Pigenor memiliki rencana berbeda yang lebih berisiko namun menjanjikan."Terkadang, jalan teraman adalah kembali ke sarang musuh," gumamnya, melafalkan mantra kuno dalam bahasa Elf yang membuat tubuhnya perlahan menyatu dengan pohon.Kulitnya berubah menjadi seperti kulit kayu, dan rambutnya menyerupai dedaunan. Dalam wujud ini, ia bergerak turun dari pohon, berjalan melewati pasukan Qingchang yang bahkan tidak menyadari kehadirannya.Alih-alih menuju tembok perbatasan, Pigenor bergerak ke arah berlawanan, kembali ke dalam wilayah Qingchang.Tujuannya adalah Kota Xianyang, pusat perdagangan besar yang ramai dan penuh kesempatan untuk mengumpulkan informasi yang berharga bagi perjuangan mereka.+++Di langit, pertempuran sengit masih berlanjut. Eve Whitehouse, dengan wajah penuh am
Matahari pagi bersinar lembut di atas padang rumput yang membentang hingga kaki bukit di kejauhan, menyelimuti tanah dengan cahaya keemasan yang hangat.Embun pagi masih menggantung di ujung-ujung rumput tinggi, berkilauan seperti permata kecil saat tersentuh sinar matahari.Kiran berjalan dengan langkah berat, jubah perjalanannya yang dulu berwarna merah kini kotor oleh debu dan robek di beberapa bagian, berkibar lembut tertiup angin pagi yang sejuk.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam langit—tersarung rapat di punggungnya, tersembunyi di balik kain lusuh untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan.Energi sihir yang biasanya berpendar dari pedang itu kini diredam, hanya sesekali berkedut seperti detak jantung yang tertidur.Tiga hari telah berlalu sejak pertempuran dahsyat di Tembok Perbatasan. Tiga hari penuh kewaspadaan dan kekhawatiran yang menggerogoti pikiran Kiran seperti racun lambat.Setiap kali memejamkan mata, bayanga
"Ah, seorang pengembara!" seru seorang wanita gemuk dengan gelang-gelang perak yang berdenting merdu di pergelangan tangannya setiap kali ia bergerak."Dan lihat wajahmu yang unik! Kau pasti dari Qingchang, bukan? Sangat jarang kami melihat orang Qingchang di sini."Kiran mengangguk kaku, menunggu reaksi negatif yang pasti akan muncul setelah identitasnya terungkap. Namun, yang ia dapatkan justru lebih banyak senyuman dan tatapan kagum, seolah ia adalah makhluk eksotis yang menarik untuk diamati."Sungguh menarik! Matamu seperti serigala—tajam dan penuh kewaspadaan," komentar seorang pedagang kain, mengamati Kiran dari atas ke bawah dengan tatapan menilai."Dan kulitmu yang putih kekuningan... sangat kontras dengan kulit kami yang kecokelatan. Kau pasti akan terlihat menakjubkan dengan kain sutra biru langit ini!" Ia mengangkat selembar kain berwarna biru cerah dengan bordiran perak."Kau harus mampir ke rumahku untuk makan siang!" ajak seorang ibu dengan antusias, menarik lengan Kira
Rumah Surya terletak di ujung desa, dikelilingi kebun bunga yang indah dan pohon-pohon yang rindang. Bangunannya lebih besar dari rumah-rumah lainnya namun tetap sederhana, dengan teras luas yang dihiasi tanaman merambat berbunga ungu.Ranya, istri Surya, menyambut Kiran dengan senyum hangat. Wanita itu memiliki wajah yang lembut dengan mata yang memancarkan kebijaksanaan, dan rambut hitamnya yang panjang digelung rapi dengan hiasan bunga kecil.Ia segera menyiapkan makanan berlimpah—nasi dengan kari daging yang mengepulkan aroma rempah menggoda, roti pipih yang disebut naan yang masih hangat dari tungku tanah liat, dan berbagai macam sayuran yang dimasak dengan rempah-rempah wangi yang tidak Kiran kenali."Makanlah yang banyak," kata Ranya dengan nada keibuan, terus menambahkan makanan ke piring Kiran meskipun ia sudah mengatakan cukup. Tangannya yang lincah terus menyendokkan lauk-pauk ke piring Kiran."Kau terlalu kurus. Perjalanan pasti sangat berat."Malam itu, setelah makan mala
Matahari siang bersinar terang di atas Kuil Hiranyakashipu, sinarnya menembus kaca-kaca berwarna pada jendela tinggi kuil, menciptakan pola-pola mistis di lantai marmer yang dingin.Kiran masih berlutut di depan altar, matanya tak lepas dari patung dewa yang baru saja berkedip padanya. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara takjub dan kebingungan."Tuan Rajagopal... Apa anda melihatnya?" bisik Kiran kepada Surya yang berlutut di sampingnya. Suaranya hampir tak terdengar di tengah gumaman doa para penduduk desa."Melihat apa?" tanya Surya, menoleh dengan alis terangkat. Cahaya lilin menyinari wajahnya yang kebingungan."Patung itu..." Kiran menunjuk ke arah patung Hiranyakashipu yang menjulang—sosok dengan empat tangan yang masing-masing memegang simbol kekuasaan berbeda."Matanya berkedip padaku."Surya menatap Kiran dengan pandangan heran, kemudian tertawa kecil."Ah, mungkin itu hanya pantulan cahaya matahari dari jendela kuil, anak muda. Atau mungkin kau terlalu lelah setela
Setelah berpikir kira-kira lima tarikan nafas... "Suku Devahari adalah legenda kuno," jawab Surya setelah jeda yang cukup panjang itu. Suaranya berubah lebih dalam."Konon, mereka adalah suku pertama yang mendiami Zolia, jauh sebelum Kekaisaran terbentuk. Mereka dikatakan memiliki hubungan khusus dengan para dewa, mampu melakukan sihir yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.""Mereka bisa memanipulasi elemen," tambah Ranya, matanya berkilat penuh keingintahuan."Air, api, tanah, udara—semua tunduk pada kehendak mereka. Beberapa cerita bahkan menyebutkan mereka bisa berbicara dengan hewan dan tumbuhan."Keheningan..."Tapi itu hanya cerita untuk anak-anak sekarang," lanjut Surya, suaranya sedikit lebih pelan."Tidak ada yang pernah bertemu dengan anggota Suku Devahari dalam beberapa generasi terakhir. Banyak yang percaya mereka telah punah, atau mungkin hanya mitos belaka."Kiran merasakan kekecewaan menyelimuti hatinya.Jika bahkan penduduk Zolia sendiri menganggap Suku Devahari
Kiran menatap bunga yang cantik, secantik namanya... “Popy”Dengan hati-hati, ia memetik beberapa kuntum bunga popy yang paling mekar, memilih dari berbagai warna—merah darah yang menyala seperti api, ungu kebiruan yang dalam seperti langit senja, dan putih murni bagai salju pertama.Kelopak-kelopak tipis itu terasa lembut di antara jemarinya, namun ia bisa merasakan getaran aneh—hampir seperti denyut kehidupan—dari bunga-bunga tersebut. Ia memasukkan bunga-bunga itu ke dalam kantong kecil di balik jubahnya, memastikan tidak ada yang melihat tindakannya."Tuan, apa yang kau lakukan?" bisik Kon, mengintip dari tas Kiran dengan mata besarnya yang berkilau cemas. "Bukankah mereka bilang bunga itu berbahaya?""Kadang-kadang kita perlu mengambil risiko untuk mendapatkan jawaban," jawab Kiran pelan, matanya terus mengawasi keadaan sekitar."Jika bunga ini bisa membantuku berkomunikasi dengan dewa mereka, mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk tentang Suku Devahari.""Tapi bagaimana cara meng
Jasper bisa merasakan kekuatan sihir yang mengalir dari tongkat itu, berbeda dari sihir yang ia kenal, lebih liar dan terikat dengan alam."Mendekatlah, anak muda," perintah Patriark dengan suara dalam yang bergema di dalam tenda.Jasper melangkah maju, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia tahu ini adalah saat yang menentukan. Udara di dalam tenda terasa berat dengan energi, membuat kulitnya meremang."Siapa namamu?" tanya Patriark."Jasper," jawabnya. "Dari Klan Moonfire.""Klan Moonfire telah musnah bertahun-tahun lalu," kata pria tua dengan tongkat berukir—yang Jasper duga adalah dukun klan. "Dibantai oleh Klan Stormhowl dalam Perang Bulan Berdarah."Jasper menundukkan kepala, berpura-pura sedih."Tidak semua dari kami terbunuh. Beberapa berhasil melarikan diri dan hidup tersembunyi. Keluargaku adalah salah satunya." Ia mengangkat wajahnya, memperlihatkan luka-luka di tubuhnya. "Tapi mereka akhirnya menemukan kami. Aku satu-satunya yang selamat."Patriark menatapnya lama, seola
Jasper terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya yang terbaring di atas dedaunan lembap.Selama beberapa saat, ia hanya menatap kanopi pohon-pohon tinggi yang menghalangi langit, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang tercerai-berai.Sudah berapa lama ia berlari? Tiga hari? Empat? Waktu terasa kabur sejak pertempuran mematikan di tembok perbatasan Qingchang dan Zolia.Ingatan tentang serangan itu masih segar dalam benaknya: teriakan Emma, mantra-mantra Chen, dan tatapan terakhir Kiran sebelum mereka terpisah dalam kekacauan. Bayangan api dan asap masih menari di belakang kelopak matanya setiap kali ia memejamkan mata."Aku harus terus bergerak," gumamnya pada diri sendiri, memaksakan tubuhnya yang lelah untuk bangkit. Setiap otot memprotes, menjerit kesakitan setelah hari-hari berlari tanpa henti.Hutan di sekitarnya terasa berbeda dari hutan manapun yang pernah ia masuki. Pohon-pohon menjulang dengan batang segelap obsidian, dedaunan begitu rimbun hingga ha
Emma bergerak cepat namun hati-hati melalui toko yang gelap, mengambil beberapa potong roti dan keju dari dapur untuk perbekalan perjalanan. Ia berhenti sejenak di ambang pintu depan, mendengarkan suara-suara dari luar.Jalanan tampak sepi, namun ia tahu pasukan Hersen berpatroli sepanjang malam, terutama sejak kabar tentang penyusupan di ibukota menyebar.Dengan satu tarikan napas dalam, Emma membuka pintu dan melangkah keluar ke dalam malam. Udara dingin menyapu wajahnya, membawa aroma kristal dan es yang khas Kota Crystalline. Ia menarik tudung jubahnya lebih rendah, menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapapun yang mungkin berpapasan dengannya.Jalanan kota berkilau dalam cahaya bulan, kristal-kristal biru memantulkan sinar keperakan yang menciptakan pemandangan seperti di negeri dongeng.Namun bagi Emma, keindahan itu hanyalah topeng yang menyembunyikan bahaya. Setiap bayangan bisa menyembunyikan penjaga, setiap sudut bisa menjadi tempat penyergapan.Ia bergerak dari satu baya
Suara Madam Elyra memecah keheningan, lembut namun penuh keterkejutan.Emma berbalik perlahan, mendapati wanita tua itu berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah tidur berwarna biru tua. Wajahnya yang biasanya ramah kini dipenuhi kebingungan dan kekecewaan."Madam," kata Emma, suaranya tercekat. Botol eliksir booster terasa berat di tangannya, bukti pengkhianatannya yang tak terbantahkan."Kau... mencuri ramuanku?" tanya Madam Elyra, matanya beralih pada tas kain yang kini setengah penuh dengan botol-botol ramuan. Suaranya bergetar, bukan oleh kemarahan, melainkan oleh luka pengkhianatan.Emma menelan ludah, merasakan rasa bersalah yang menusuk hingga ke tulang. "Aku bisa menjelaskan.""Menjelaskan apa?" Madam Elyra melangkah masuk ke ruangan, matanya tidak lepas dari tas berisi ramuan curian."Bahwa kau memanfaatkan kebaikanku? Bahwa kau berpura-pura selama ini?""Bukan seperti itu," kata Emma, suaranya hampir memohon. "Aku harus pergi, Madam. Teman-temanku dalam bahaya.""Teman?" Ma
Bulan purnama mengintip dari balik awan tipis, menyinari Kota Crystalline dengan cahaya keperakan yang dingin. Bangunan-bangunan kristal biru berkilau seperti permata raksasa, menciptakan pemandangan yang hampir ajaib di tengah keheningan malam.Di dalam toko alkemis Madam Elyra, Emma duduk tegang di tepi tempat tidurnya, mendengarkan dengan seksama setiap suara di sekitarnya.Detak jantungnya terasa seperti genderang perang yang bertalu-talu di dadanya. Keputusan telah dibuat. Ia harus pergi ke Zahranar, harus menemukan Kiran dan Roneko. Tidak ada pilihan lain.Emma menunggu hingga suara dengkuran halus Madam Elyra terdengar dari kamar sebelah. Wanita tua itu selalu tidur nyenyak setelah minum teh chamomile favoritnya.Dengan langkah seringan kucing, Emma bangkit dan mengambil tas kain yang telah ia siapkan di bawah tempat tidur."Sekarang atau tidak sama sekali," bisiknya pada diri sendiri.Lorong toko terasa panjang dan mengintimidasi dalam kegelapan. Lantai kayu berderit pelan di
Madam Elyra menatapnya sejenak, seolah menimbang kebenaran kata-katanya, sebelum kembali fokus pada ramuannya. "Ya, ada kemiripan. Alkimia dan sihir adalah dua cabang ilmu yang berasal dari akar yang sama. Keduanya berusaha memahami dan memanipulasi alam, hanya dengan cara yang berbeda."Percakapan mereka terhenti ketika pintu toko terbuka, lonceng kecil di atasnya berdenting nyaring. Dua tentara Hersen berseragam hitam dan merah melangkah masuk, wajah mereka keras dan angkuh."Selamat pagi, Tuan-tuan," sapa Madam Elyra dengan sopan, meskipun Emma bisa melihat ketegangan di bahunya. "Ada yang bisa saya bantu?""Kami membutuhkan ramuan penambah stamina," kata salah satu tentara, suaranya kasar dan tidak ramah. "Yang terkuat yang kau miliki.""Tentu," jawab Madam Elyra, berjalan ke rak di belakangnya. "Saya memiliki elixir stamina tingkat menengah yang baru saja saya buat kemarin."Sementara Madam Elyra melayani para tentara, Emma mundur ke sudut toko, berusaha tidak menarik perhati
Kristal-kristal biru berkilauan memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan ribuan pelangi kecil yang menari di sepanjang jalan-jalan Kota Crystalline. Bangunan-bangunan yang terbuat dari kristal biru menjulang dengan anggun, menciptakan pemandangan yang memukau namun juga mengintimidasi. Di balik keindahan itu, Emma merasakan bahaya yang semakin nyata setiap harinya.Sudah dua minggu berlalu sejak ia terdampar di tepi Sungai Crystalline dan diselamatkan oleh Madam Elyra. Dua minggu yang diisi dengan kewaspadaan konstan dan kepura-puraan yang melelahkan. Dua minggu tanpa kabar tentang teman-temannya, tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau telah tertangkap.Emma berdiri di ambang jendela toko alkemis milik Madam Elyra, matanya mengawasi jalanan dengan seksama. Akhir-akhir ini, aktivitas tentara dan penyihir Hersen semakin meningkat. Hari ini saja, ia telah melihat tiga kelompok penyihir pemanggil api berpatroli di sekitar pasar, jubah merah mereka berkibar seperti lidah api ya
Emma menatap hasil perbuatannya dengan mata kosong. Ini bukan pertama kalinya ia membunuh, tapi rasa berat di hatinya tidak pernah berkurang. Setiap nyawa yang ia renggut adalah beban yang harus ia tanggung, setiap tetes darah adalah noda yang tak akan pernah hilang dari tangannya."Demi misi," bisiknya pada dirinya sendiri, sebuah mantra penghiburan yang semakin kehilangan maknanya setiap kali diucapkan. "Demi harapan."Dengan tangan gemetar, Emma mendorong tubuh-tubuh tak bernyawa itu ke dalam sungai, membiarkan arus deras membawa mereka pergi.Bukti kejahatannya, bukti keberadaannya, terhapus oleh air yang sama yang telah membantunya membunuh.Namun, penggunaan sihir terakhir itu telah menguras habis sisa-sisa energi spiritualnya.Emma merasakan kegelapan mulai menyelimuti pandangannya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ia berusaha bertahan, berusaha tetap sadar, tapi kelelahan dan kehilangan darah akhirnya mengalahkannya.Saat kesadarannya mulai menghilang, Emma merasakan tubuhnya jatu
Air bergemuruh laksana seribu kuda perang menerjang medan laga.Sungai Crystalline, dengan derasnya yang tak kenal ampun, membelah Hutan Terlarang di perbatasan dua kekaisaran besar—Qingchang dan Zolia.Airnya yang jernih berkilau kebiruan bahkan di bawah cahaya bulan, seolah ribuan kristal kecil menari-nari di permukaannya. Sungai ini tidak mengenal batas politik, mengalir bebas menembus tembok sihir yang memisahkan dua kekaisaran, sebuah jalur alam yang menentang kehendak manusia.Di tepi sungai yang berbatu, tersembunyi di balik semak belukar yang rimbun, Emma meringkuk dengan napas tertahan.Darah mengalir dari luka di bahunya, menciptakan aliran merah tipis yang bercampur dengan air sungai yang dingin. Matanya yang biru cerah kini redup oleh kelelahan dan ketakutan, mengawasi gerakan para penyihir dan tentara Qingchang yang menyisir area perbatasan."Cari di setiap sudut!" Suara komandan pasukan Qingchang memecah keheningan malam."Mereka tidak mungkin menghilang begitu saja!"Em