Kiran teringat pada tatapan aneh Magister Farouk di toko alkemis."Alkemis itu," katanya, rahangnya mengeras. "Dia pasti melaporkan kita. Tidak ada orang biasa yang membeli dua puluh pot mana sekaligus."Suara langkah kaki semakin dekat, prajurit mulai memasuki perpustakaan dan memeriksa setiap pengunjung satu per satu. Kapten Bao sendiri memimpin pencarian, matanya yang tajam menyapu ruangan dengan teliti."Kita terjebak," bisik Roneko, tangannya bersiap untuk mengeluarkan cakra api jika diperlukan.Kiran menatap sekeliling, mencari jalan keluar. Perpustakaan dikepung dari segala arah, dan ilusi mereka tidak akan bertahan lama jika berhadapan langsung dengan Penyihir Lyra.Suara langkah kaki semakin mendekat, dan Kiran bisa merasakan energi spiritualnya mulai terkuras untuk mempertahankan penyamaran mereka."Mereka menuju ke sini," bisik Roneko, telinganya yang tajam menangkap suara langkah kaki yang semakin dekat ke bagian sejarah kuno. "Tuan Muda, apa yang harus kita lakukan?"Kira
Detak jantung Kiran bergema di telinganya seperti genderang perang kuno, sementara keringat dingin merayapi punggungnya bagai jemari es yang mengancam.Perpustakaan Nasional Zolia—tempat yang seharusnya menjadi kuil pengetahuan dan ketenangan—kini berubah menjadi arena pertarungan yang mematikan.Cahaya ungu dari tongkat Lyra menyinari wajah Kiran, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari di pipinya. Ilusi yang menutupi identitas aslinya berkedip-kedip seperti lilin di tengah badai, hampir padam di bawah tekanan sihir pengungkap kebenaran."Aku bisa melihatmu," bisik Lyra, matanya berkilat penuh kemenangan. "Topengmu hampir jatuh, penyusup."Kapten Bao berdiri dengan kaki terbuka lebar, tangannya mencengkeram gagang pedang dengan keyakinan seorang algojo yang telah menjatuhkan ribuan kepala. Wajahnya keras seperti batu granit, tanpa setitik pun belas kasihan."Tidak ada gunanya melawan," kata Kapten Bao, suaranya rendah dan mengancam."Menyerahlah, dan mungkin Kaisar akan berbai
Kabut asap melayang-layang di lorong sempit Zahranar seperti hantu-hantu kelabu yang enggan pergi. Rembulan telah mencapai puncak langit, menyinari jalanan kota dengan cahaya perak yang dingin. Suara derap kaki prajurit dan teriakan perintah masih bergema di kejauhan, namun kini terdengar lebih lemah, lebih putus asa.Di lorong tempat Kiran dan Roneko menghilang, sekelompok prajurit masih mengaduk-aduk setiap sudut, menyibak tumpukan sampah dan mengetuk dinding-dinding batu, mencari jalan rahasia yang mungkin terlewatkan.Wajah mereka kusut oleh kelelahan dan keringat, mata mereka nyalang oleh ketakutan akan kegagalan.Kapten Bao berdiri di tengah lorong, tubuhnya kaku oleh amarah yang nyaris tak terbendung. Darah telah mengering di pelipisnya, membentuk garis kecokelatan yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Matanya yang tajam menyapu setiap inci lorong, mencari petunjuk sekecil apapun."Tidak mungkin mereka menghilang begitu saja!" geramnya, suaranya rendah dan berbahaya sepert
Kaisar Darius mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Kapten Bao. Ia tidak perlu mendengar kelanjutannya. Semua orang tahu apa yang terjadi pada kerajaan-kerajaan yang berani menentang atau mengecewakan Warlock Hitam Oberon Kravit—kehancuran total."Kita harus menemukan mereka sebelum Kaisar Oberon mengirim pasukannya ke sini," kata Kaisar Darius akhirnya, suaranya tegas dan matanya menyiratkan kekhawatiran. "Kerahkan seluruh pasukan, sisir setiap sudut Zahranar. Temukan penyusup itu dan jaringan Klan Phoenix Merah yang mungkin bersembunyi di kota ini," Titah Kaisar Darius penuh otoritas."Baik, Yang Mulia," jawab Kapten Bao, bangkit dari posisi berlututnya. "Saya akan memimpin pencarian sendiri.""Dan Lyra," Kaisar Darius berpaling pada penyihir wanita itu, "hubungi Klan Zorya. Minta bantuan mereka untuk mendeteksi keberadaan penyihir asing di kota kita."Lyra mengangguk, wajahnya serius. Dia bersyukur tidak di jatuhi hukuman oleh kaisar."Saya akan melakukannya segera, Yang
"Siken," kata Sang Warlock, suaranya bergema di ruangan batu yang dingin, "Klan Phoenix Merah telah muncul kembali.""Mereka bersembunyi di Zolia seperti tikus di balik dinding. Aku ingin kau pergi ke sana, temukan mereka, dan hancurkan mereka. Tidak boleh ada yang tersisa—bahkan debu pun tidak."Siken mengangkat wajahnya, senyum dingin menghiasi bibirnya yang pucat seperti bulan di malam tanpa bintang. Mata birunya yang sedingin es lautan utara menatap tajam."Dengan senang hati, Tuanku. Apakah ada petunjuk khusus tentang mereka?" tanyanya, jari-jarinya yang panjang dan pucat memainkan belati perak di pinggangnya."Mereka memiliki Kyuubi berekor sembilan," jawab Sang Warlock. Keheningan mencekam melanda ruangan, seolah-olah suara Sang Warlock berasal dari dimensi lain yang menerobos masuk ke dunia fana. Bara api di obor-obor dinding bergoyang tanpa angin, seakan-akan takut."Dan kemungkinan besar, pemimpin mereka adalah penerus Sage Alaric. Dia adalah seorang pemuda bernama Kiran
Air bergemuruh laksana seribu kuda perang menerjang medan laga.Sungai Crystalline, dengan derasnya yang tak kenal ampun, membelah Hutan Terlarang di perbatasan dua kekaisaran besar—Qingchang dan Zolia.Airnya yang jernih berkilau kebiruan bahkan di bawah cahaya bulan, seolah ribuan kristal kecil menari-nari di permukaannya. Sungai ini tidak mengenal batas politik, mengalir bebas menembus tembok sihir yang memisahkan dua kekaisaran, sebuah jalur alam yang menentang kehendak manusia.Di tepi sungai yang berbatu, tersembunyi di balik semak belukar yang rimbun, Emma meringkuk dengan napas tertahan.Darah mengalir dari luka di bahunya, menciptakan aliran merah tipis yang bercampur dengan air sungai yang dingin. Matanya yang biru cerah kini redup oleh kelelahan dan ketakutan, mengawasi gerakan para penyihir dan tentara Qingchang yang menyisir area perbatasan."Cari di setiap sudut!" Suara komandan pasukan Qingchang memecah keheningan malam."Mereka tidak mungkin menghilang begitu saja!"Em
Emma menatap hasil perbuatannya dengan mata kosong. Ini bukan pertama kalinya ia membunuh, tapi rasa berat di hatinya tidak pernah berkurang. Setiap nyawa yang ia renggut adalah beban yang harus ia tanggung, setiap tetes darah adalah noda yang tak akan pernah hilang dari tangannya."Demi misi," bisiknya pada dirinya sendiri, sebuah mantra penghiburan yang semakin kehilangan maknanya setiap kali diucapkan. "Demi harapan."Dengan tangan gemetar, Emma mendorong tubuh-tubuh tak bernyawa itu ke dalam sungai, membiarkan arus deras membawa mereka pergi.Bukti kejahatannya, bukti keberadaannya, terhapus oleh air yang sama yang telah membantunya membunuh.Namun, penggunaan sihir terakhir itu telah menguras habis sisa-sisa energi spiritualnya.Emma merasakan kegelapan mulai menyelimuti pandangannya, tubuhnya terhuyung ke depan. Ia berusaha bertahan, berusaha tetap sadar, tapi kelelahan dan kehilangan darah akhirnya mengalahkannya.Saat kesadarannya mulai menghilang, Emma merasakan tubuhnya jatu
Kristal-kristal biru berkilauan memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan ribuan pelangi kecil yang menari di sepanjang jalan-jalan Kota Crystalline. Bangunan-bangunan yang terbuat dari kristal biru menjulang dengan anggun, menciptakan pemandangan yang memukau namun juga mengintimidasi. Di balik keindahan itu, Emma merasakan bahaya yang semakin nyata setiap harinya.Sudah dua minggu berlalu sejak ia terdampar di tepi Sungai Crystalline dan diselamatkan oleh Madam Elyra. Dua minggu yang diisi dengan kewaspadaan konstan dan kepura-puraan yang melelahkan. Dua minggu tanpa kabar tentang teman-temannya, tanpa tahu apakah mereka masih hidup atau telah tertangkap.Emma berdiri di ambang jendela toko alkemis milik Madam Elyra, matanya mengawasi jalanan dengan seksama. Akhir-akhir ini, aktivitas tentara dan penyihir Hersen semakin meningkat. Hari ini saja, ia telah melihat tiga kelompok penyihir pemanggil api berpatroli di sekitar pasar, jubah merah mereka berkibar seperti lidah api ya
"Kiran bisa diajak bicara," Chen bersikeras. "Dan jika kau benar-benar menyesal...""Tidak semudah itu, Chen," Lila memotong lembut. "Beberapa kesalahan tidak bisa dimaafkan begitu saja."Keheningan kembali menyelimuti kereta. Chen ingin membantah, ingin mengatakan bahwa pengampunan selalu mungkin, tapi ia tahu Lila benar. Pengkhianatan adalah luka yang sulit disembuhkan, bahkan oleh waktu.Setelah hampir satu jam perjalanan melalui hutan, kereta mulai melambat. Di kejauhan, siluet Tembok Sihir menjulang tinggi, berkilau kebiruan dalam kegelapan. Benteng raksasa itu membelah daratan seperti bekas luka pada kulit bumi, memisahkan Kekaisaran Qingchang dari Kerajaan Zolia."Kita hampir sampai," Lila berbisik, matanya waspada mengamati jalan di depan. "Pos penjagaan perbatasan ada di belokan berikutnya."Chen menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. "Apa rencanamu?""Aku akan menggunakan otoritasku untuk melewati pos," jawab Lila."Jika ditanya, aku sedang dalam misi rahasia ke Zolia.
Roda kereta berderit pelan melawan jalanan berbatu Kota Begonia. Dua ekor kuda hitam melangkah dengan irama stabil, napas mereka mengepul dalam udara malam yang dingin.Cahaya bulan sabit nyaris tak mampu menembus awan kelabu yang menggantung rendah, menjadikan malam itu lebih gelap dari biasanya.Kereta itu bergerak perlahan, hampir tanpa suara selain detak sepatu kuda dan gemeretak roda kayu. Lambang Kekaisaran terukir di sisi kereta, berkilau samar dalam keremangan.Seorang kusir berjubah tebal duduk di depan, wajahnya tersembunyi di balik tudung yang ditarik rendah.Jalanan kota tampak kosong. Jam malam telah diberlakukan sejak matahari terbenam, memaksa penduduk mengunci diri di rumah-rumah mereka yang rapuh.Hanya sesekali terlihat bayangan prajurit patroli dengan obor di tangan, memeriksa sudut-sudut gelap dengan tatapan waspada.Kereta berbelok ke jalan utama yang mengarah ke gerbang kota. Di sana, sebuah pos penjagaan berdiri dengan obor-obor menyala terang. Enam prajurit ber
Lila!Si Pengkhianat yang menyebabkan penangkapannya. Pengkhianat yang memisahkannya dari teman-temannya. Pengkhianat yang bekerja sama dengan Kekaisaran untuk menjebak Kiran dan kelompoknya di perbatasan.Darah Chen mendidih.Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan mantra paling mematikan yang ia tahu. Tapi ia menahan diri, menunggu dengan sabar seperti predator mengintai mangsanya.Lila berjalan melalui barisan pasien, sesekali berhenti untuk berbicara dengan para penyihir terluka. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang tampak tulus, tapi Chen tahu lebih baik. Ia telah melihat topeng itu sebelumnya, telah mempercayainya, dan telah membayar harganya yang mahal.Saat Lila mendekat ke arahnya, Chen berbalik dan berjalan cepat menuju ruang obat di belakang balai. Ia tidak bisa menghadapinya sekarang, tidak di depan semua orang. Ia membutuhkan waktu, tempat, dan kesempatan yang tepat.Kesempatan itu datang saat senja mulai turun.Ch
Mentari muncul dengan enggan di atas Kota Begonia, cahayanya yang pucat merayap perlahan melewati puing-puing bangunan yang rusak.Chen berdiri di ambang jendela sempit Balai Pengobatan Perbatasan Qingchang, mengamati kota kelahirannya yang kini hampir tak dikenali. Udara pagi terasa dingin dan lembab, membawa aroma obat-obatan, darah, dan keputusasaan yang telah menjadi teman setianya selama berminggu-minggu.Begonia dulu adalah permata kecil di tepi perbatasan, dengan pasar-pasar ramai dan taman bunga yang indah.Kini, separuh kota telah berubah menjadi lautan puing. Rumah-rumah penduduk biasa diperbaiki seadanya dengan kayu dan kain, menciptakan labirin jalan-jalan sempit yang suram. Atap-atap miring dan dinding retak menjadi pemandangan umum di distrik bawah, tempat rakyat biasa berjuang untuk bertahan hidup.Namun, di kejauhan, di balik tembok tinggi yang memisahkan distrik kumuh dari bagian kota lainnya, menara-menara megah dengan atap keemasan berdiri angkuh.Distrik bangsawan
"Serahkan dirimu," Rustam memerintah. "Hadapi pengadilan klan.""Kita semua tahu pengadilan itu hanya formalitas," Jasper menjawab. "Kalian sudah memutuskan hukumanku.""Kau membunuh putraku!" Rustam berteriak, kesedihannya berubah menjadi kemarahan murni. "Kau pantas mati!"Dengan geraman marah, Rustam berubah menjadi serigala besar dengan bulu keperakan. Ia melompat ke arah Jasper, diikuti oleh beberapa anggota klan lainnya.Jasper tidak punya pilihan. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan kekuatan barunya.Api biru keemasan menyembur dari kedua tangannya, membentuk dinding api yang mengelilinginya. Para serigala berhenti mendadak, mundur dari panas yang membakar."Aku tidak ingin membunuh siapapun lagi," Jasper berteriak di atas suara api yang berderak."Biarkan aku pergi, dan aku tidak akan pernah kembali.""Tidak akan!" Faris mengangkat tongkatnya, menggumamkan mantra kuno. Angin kencang bertiup, berusaha memadamkan api Jasper.Jasper merasakan kekuatan Faris mendorong apinya,
Reyna - gadis itu mundur, menggelengkan kepalanya."Kau... kau membunuh mereka. Kau membunuh Zahir.""Aku tidak bermaksud," Jasper mencoba menjelaskan, suaranya penuh keputusasaan. "Kekuatan ini baru. Aku tidak bisa mengendalikannya.""Kau seorang penyihir," bisik Reyna, masih mundur. "Kau berbohong pada kami semua.""Reyna, kumohon," Jasper melangkah maju, tapi gadis itu berbalik dan berlari, menghilang di antara pepohonan.Jasper tahu ia tidak punya banyak waktu. Reyna akan kembali ke perkampungan dan memberitahu semuanya. Ia harus sampai ke rumah Saraya, mengambil barang-barangnya, dan pergi sebelum seluruh klan mengejarnya.Dengan kecepatan barunya, Jasper berlari melalui hutan, melewati pohon-pohon dan semak belukar dalam gerakan kabur. Ia sampai di tepi perkampungan dalam waktu singkat, berhati-hati menyelinap di antara rumah-rumah untuk menghindari perhatian.Rumah Saraya tampak tenang saat ia masuk. Wanita itu sedang menyiapkan makanan di dapur, dan menoleh dengan terkejut saa
Jasper mengendap di balik semak belukar tebal, mengamati cekungan di hadapannya. Zahir dan lima pemburu lain berkumpul di sana, masih dalam wujud serigala mereka.Mereka tampak lelah setelah semalaman berburu tanpa hasil. Beberapa telah kembali ke wujud manusia, termasuk dua teman Zahir yang membantu menjebaknya.Tanduk perak Wendigo tergenggam erat di tangan Jasper. Bukti kemenangannya, bukti bahwa ia berhasil bertahan hidup dari rencana keji mereka.Kemarahan menyala dalam dadanya, bersama dengan energi baru yang mengalir dalam pembuluh darahnya."Kita sudah mencari sepanjang malam," salah satu pemburu yang telah kembali ke wujud manusia berkata."Tidak ada tanda-tanda Wendigo."Zahir, masih dalam wujud serigala hitamnya, menggeram rendah. Ia berputar dalam lingkaran kecil, tampak gelisah dan frustrasi."Mungkin kita harus kembali," pemburu lain menyarankan. "Patriark akan kecewa, tapi selalu ada perburuan berikutnya."Zahir berubah kembali ke wujud manusianya dalam gerakan mulus. T
Jasper tidak berhenti.Ia terus mengalirkan energi ke dalam apinya, membuat tornado itu semakin besar dan panas. Wendigo berputar dalam kesakitan, mencoba memadamkan api, tapi sia-sia.Api keemasan Jasper terlalu kuat, terlalu lapar.Dalam hitungan menit, tubuh Wendigo mulai runtuh menjadi abu. Tanduk peraknya jatuh ke tanah dengan dentingan keras, diikuti oleh sesuatu yang berkilau merah dari dalam tubuhnya yang terbakar.Saat api padam, yang tersisa hanyalah tumpukan abu dan dua benda: tanduk perak yang menjadi target Perburuan Malam, dan sebuah kristal merah sebesar ibu jari yang berkilau seperti bara api.Jasper merangkak mendekati sisa-sisa Wendigo, mengabaikan rasa sakit di kakinya.Ia mengambil tanduk perak itu, merasakan beratnya yang tidak wajar untuk ukurannya. Tapi perhatiannya lebih tertarik pada kristal merah yang berdenyut seperti jantung."Monster core," bisiknya, mengenali benda itu dari pelajarannya di Institut Sihir Magentum. "Inti api."Inti monster adalah kristalis
Sepasang mata putih tanpa pupil menatap Jasper dari kegelapan terowongan.Cahaya dari bola api kecil di tangannya menyinari sosok tinggi kurus yang perlahan melangkah maju. Kulitnya pucat seperti tulang yang lama terkubur, dengan tekstur kasar bagai kulit pohon mati. Tanduk perak mencuat dari kepalanya, berkilau dingin di bawah cahaya api.Wendigo Perak. Makhluk legenda yang menjadi target Perburuan Malam."Jadi kau nyata," bisik Jasper, mundur hingga punggungnya menyentuh dinding lubang.Makhluk itu menggeram, suaranya seperti angin musim dingin yang menyapu tulang-tulang kering. Ia membuka mulutnya, menampakkan deretan gigi setajam jarum yang tersusun dalam tiga baris.Lengannya yang panjang dan kurus berakhir dengan cakar melengkung yang tampak mampu mengoyak baja.Jasper menggenggam belati Reyna erat-erat, meski tahu senjata sekecil itu tidak akan banyak membantu. Kakinya yang terluka berdenyut nyeri, mengingatkannya bahwa ia tidak dalam kondisi untuk bertarung, apalagi melarikan