Beranda / Fantasi / Kebangkitan Klan Phoenix / Hukuman Sang Penyihir.

Share

Hukuman Sang Penyihir.

Penulis: Jimmy Chuu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-01 16:33:40

Sementara itu, jauh dari keramaian alun-alun ibu kota, Raja Thalion Stormrider berdiri di balkon tinggi istananya.

Teleskop perak di tangannya mengarah ke alun-alun kota, lensanya menangkap setiap detail dari kejauhan. Sorot matanya tajam, menembus jarak untuk memastikan sesuatu yang penting terjadi di sana.

"Dia sudah tiba," gumam Raja dengan suara rendah yang penuh kepuasan. "Semoga tubuh dan jiwanya terbakar habis, dan Raja Hersen memaafkan Qingchang."

Di sampingnya, Kanselir Agung Cedric Ironwood berdiri dengan sikap tenang. Wajahnya yang berkerut oleh usia dan pengalaman tampak ikut senang.

"Raja tak perlu khawatir," ujar Kanselir, suaranya halus namun penuh keyakinan. "Aku sudah memerintahkan Menteri Sihir dan Kepala Akademi Sihir untuk berjaga-jaga di alun-alun."

"Mereka telah menyiapkan pasukan sihir terbaik untuk menangkal segala serangan. Jika Klan Phoenix Merah muncul dan mencoba membuat kekacauan, mereka akan dihadapi dengan kekuatan yang tak tertandingi."

Raja menurunkan teleskopnya, wajahnya yang sempat tegang kini terlihat lebih rileks. Kepuasan terpancar dari sorot matanya. Namun, ia masih menatap ke arah alun-alun.

Suara teriakan dan amarah penduduk di alun-alun, samar-samar terdengar hingga ke balkon istana.

"Untuk keahlian sihir di ibu kota," lanjut Kanselir, "siapa yang bisa menandingi sihir ilusi Kepala Akademi, Akiko Yamazaki? Dia adalah yang terbaik dalam seni sihir mematikan. Tak ada yang bisa lolos dari ilusinya."

Raja mengangguk pelan, wajahnya semakin tenang mendengar penjelasan Kanselir. Ia memalingkan wajah dari balkon, langkahnya tenang saat menuruni anak tangga menuju aula istana. Kanselir mengikuti di belakangnya, langkahnya selaras dengan sang Raja.

"Siapkan pesta kecil," perintah Raja begitu tiba di aula. Suaranya menggema di ruangan megah itu. "Aku ingin minum anggur dan menyantap daging bakar."

Para pelayan segera bergegas, seperti semut yang bekerja dalam kesibukan yang teratur. Undangan pesta pun segera disebar ke seluruh kalangan istana, termasuk para bangsawan terkemuka.

Dalam undangan itu, tertulis dengan jelas: "Pesta Kesuksesan menghabisi cikal bakal kebangkitan Klan Phoenix Merah, dan ramalan kuno itu ternyata salah!"

Di alun-alun Kota Qingchang, Kiran berjalan terseok-seok.

Suara gemerincing rantai yang mengikat kaki dan tangannya menggema keras, mengalahkan keributan para penonton yang liar menatap ke arah panggung.

Setiap langkah Kiran terasa berat. Udara di sekitarnya terasa panas, dipenuhi oleh teriakan dan cemoohan dari kerumunan yang haus akan tontonan.

Saat itu, degup jantung Kiran terdengar kencang, bertalu-talu.

Meskipun dia seorang pejuang ulung, ahli dalam sihir, dan telah melewati banyak pertempuran berdarah, rasa takut tetap menyelinap ke dalam hatinya.

"Sepertinya inikah rasanya orang menjelang ajal?" batinnya saat ia didorong oleh tentara untuk menaiki anak tangga menuju panggung. Tangannya yang terbelenggu mencengkeram erat rantai yang melilit tangannya.

"Ayo cepat! Jangan berlama-lama!" bentak salah satu tentara dengan suara kasar. "Kamu sengaja mengulur waktu, ha? Apa kamu pikir akan ada dewa penolong untukmu, hai pendosa?" tambah tentara lainnya, suaranya penuh ejekan.

Kiran menggigit bibirnya keras-keras, menahan amarah yang membara di dadanya. Matanya yang tajam menatap kedua tentara itu dengan pandangan penuh kebencian.

Meski suaranya pelan, gumamannya cukup keras untuk didengar oleh orang-orang di dekatnya. "Jika saja aku tidak dirantai, dan kekuatanku tidak diblokir... kamu sudah lama menjadi abu!" desisnya.

Kata-kata Kiran terdengar seperti pisau, menusuk langsung ke jantung tentara yang berdiri di depannya. Dia bergidik, wajahnya pucat seketika.

Namun, tentara yang satunya justru semakin marah.

Dengan kasar, ia menyeret Kiran ke atas panggung. "Sudahi ancamanmu penyihir! Lebih baik kamu berdoa, agar jiwamu diampuni dewa, karena sudah berkhianat pada raja!" teriaknya, suaranya penuh kemarahan.

Sambil terhuyung-huyung, Kiran mengeraskan hatinya. Dia tidak lagi melawan, tidak lagi berbicara.

Langkahnya pasrah saat ia menaiki tumpukan kayu bakar yang disusun tinggi di tengah panggung.

Kayu-kayu itu terlihat sangat kering, siap menyala dalam sekejap.

Kiran berdiri tegak di atas tumpukan kayu bakar. Wajahnya keras bagai batu, dan di dalam hatinya badai emosi sedang mengamuk.

Pemandangan Kiran di panggung, terbelenggu rantai di tangan maupun kaki, membuat semua penonton terdiam. Menyaksikan hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup terlalu kejam, bahkan bagi mereka yang paling bengis.

Suasana yang semula riuh berubah sunyi, seolah waktu telah berhenti.

"Aku mengutuk Master Choo!” "Aku mengutuk Kota Qingchang!” "Aku mengutuk kalian semua!"

Mata Kiran berkilat-kilat, memancarkan cahaya dingin yang menusuk jiwa. Suaranya berbisik mengalir di antara keheningan.

Beberapa orang yang mendengar itu membuat bulu kuduk mereka berdiri. Rasanya setiap kata yang diucapkan Kiran seperti mantra kutukan.

Semua penonton terdiam.

Amarah dan kebencian yang semula membara di hati mereka mendadak lenyap, tergantikan oleh rasa ngeri yang tak terungkapkan. Beberapa orang bahkan menunduk, tak sanggup menatap mata Kiran yang penuh dengan kepedihan dan kemarahan.

"Diam kamu!" teriak algojo yang memegang obor, suaranya gemetar. "Kamu mencari simpati penonton dengan berpura-pura dikasihani! Lihat saja, sebentar lagi kamu akan binasa, tubuh maupun jiwamu!"

Pada zaman itu, hukuman bagi seorang penyihir adalah dibakar hidup-hidup. Namun, hukuman ini sudah lama sekali tidak dijalankan.

Para ahli sihir telah dianggap sebagai pejuang yang berperang untuk Kerajaan, dihormati dan diandalkan dalam pertempuran. Kiran adalah satu-satunya penyihir yang dianggap jahat, dihakimi dengan hukuman yang kejam ini.

Ketika keheningan melanda, tiba-tiba terdengar peluit yang sangat keras, memecah suasana.

PRIIIIIT!

"Hukuman bakar siap dijalankan! Algojo... lempar obor itu ke tumpukan kayu, biarkan penyihir itu binasa!"

Suara itu menggema, memerintahkan algojo untuk mengakhiri adegan ini. Obor di tangan algojo berkedip-kedip, siap mengakhiri hidup satu penyihir.

Kiran menatap obor itu, wajahnya tetap keras, tak menunjukkan ketakutan.

Penonton menahan napas, menunggu detik-detik terakhir yang akan menentukan nasib Kiran. Udara terasa berat, alam pun seperti tak sanggup menyaksikan kekejaman ini.

Dan di tengah keheningan itu, obor pun melayang, menghantam tumpukan kayu. Api mulai menjilat, perlahan tapi pasti. Suara api terdengar berderak saat menggerogoti kayu-kayu kering.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pengorbanan Terakhir.

    Kiran meraung, suara yang tidak lagi manusiawi. Suara yang penuh kesakitan, kemarahan, dan kesedihan yang tak terbendung.Api keemasan meledak dari tubuhnya, menyapu ruangan dalam gelombang panas yang membakar segala sesuatu yang disentuhnya.Para Knight Qingchang terpental ke belakang, beberapa dengan jubah yang terbakar, jeritan kesakitan memenuhi udara.Eadric Windmere berlindung di balik perisai sihir, wajahnya yang tadi penuh kemenangan kini dipenuhi ketakutan. "Kendalikan dia!" teriaknya pada para penyihir. "Sekarang!"Siken dan Eve Whitehouse bergerak serentak, es dan api putih melesat ke arah Kiran yang kini berlutut di antara tubuh kedua orang tuanya, kepalanya tertunduk dalam kesedihan yang tak terucapkan.Namun, sebelum serangan mereka mencapai sasaran, sosok besar menerobos masuk, menghalangi jalan mereka. Roneko, dalam wujud sempurnanya, berdiri protektif di depan Kiran.Kesembilan ekornya terangkat tinggi, api keemasan berkobar semakin terang hingga menyilaukan mata, men

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Harga Sebuah Kesepakatan.

    Kiran mengangguk pelan, gerakan yang penuh kekalahan. Perlahan, ia menurunkan Crimson Dawn. Pedang itu menghantam lantai marmer dengan dentang keras, suara yang seolah menandai berakhirnya harapan.Api keemasan yang tadi berkedip lemah kini padam sepenuhnya, meninggalkan bilah logam yang dingin dan tak bernyawa."Aku milikmu," kata Kiran, mengangkat kedua tangannya dalam gestur menyerah."Kiran, tidak!" teriak Pigenor, berusaha bergerak maju tapi ditahan oleh dinding es Siken yang muncul di hadapannya. Es itu berkilau kebiruan, hampir transparan namun sekeras baja."Ini keputusanku," kata Kiran tegas, matanya menatap satu per satu teman-temannya, menyimpan wajah mereka dalam ingatannya. "Aku tidak akan membiarkan siapapun mati untukku lagi."Eadric tersenyum puas, senyum kemenangan yang membuat wajahnya tampak lebih kejam. "Bijaksana," katanya, perlahan menurunkan pedangnya dari leher Kora. Wanita itu terhuyung lemah, tangannya menyentuh luka di lehernya."Kau boleh berbicara dengan i

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Sebuah Keputusan.

    Debu mengambang lambat di udara Shab-e-Hazar Khayal, berkilau keemasan tertimpa cahaya api yang masih menjilat sisa-sisa furnitur mewah.Suara-suara pertempuran yang tadi memenuhi ruangan kini lenyap, digantikan keheningan mencekam yang hanya sesekali dipecahkan oleh derak kayu terbakar dan rintihan pelan dari mereka yang terluka.Asap mengepul dari berbagai sudut, menciptakan kabut tipis yang memberi kesan mistis pada pemandangan kehancuran.Di tengah reruntuhan yang dulunya adalah restoran termewah di Zahranar, waktu seolah berhenti. Semua mata tertuju pada drama yang tengah berlangsung di pusat ruangan.Kora Wang berlutut di lantai marmer yang retak, rambut hitamnya yang kini dipenuhi uban terurai berantakan di sekitar wajahnya yang lebam.Matanya, meski diselimuti ketakutan, memancarkan ketegaran yang hanya dimiliki seorang ibu. Darah mengalir tipis di lehernya, tempat ujung pedang Eadric Windmere menekan kulitnya.Di sampingnya, Arhun Wang duduk di benda sederhana, kalau bisa dik

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Dua Sandera.

    Roneko menggigit leher Mandrasath dengan gerakan cepat, taringnya yang setajam belati menembus sisik hitam naga itu yang konon sekeras baja.Mandrasath meraung kesakitan, suaranya menggetarkan jendela-jendela di seluruh kota, tapi dengan cepat membalas dengan pukulan ekor berduri yang menghantam sisi tubuh Roneko dengan kekuatan yang mampu menghancurkan tembok benteng.Kedua makhluk raksasa itu terpisah oleh momentum serangan, melayang berhadapan di udara seperti dua dewa perang kuno. Roneko melepaskan semburan api keemasan dari mulutnya, api yang begitu terang hingga bayangan-bayangan di bawah menghilang untuk sesaat.Mandrasath membalas dengan hembusan es biru yang membekukan awan-awan di sekitarnya. Kedua serangan bertemu di tengah udara kosong, menciptakan pilar energi yang menjulang tinggi ke langit seperti mercusuar supernatural, terlihat dari seluruh penjuru kota hingga ke pelosok terjauh.Langit Zahranar kini dipenuhi cahaya spektakuler, api keemasan Roneko dan es biru Mandras

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pertarungan Para Penyihir.

    "Kau masih belum menguasai kekuatan penuhmu, Phoenix," kata Siken, suaranya tetap tenang meski situasi kacau di sekitar mereka, seolah mereka sedang bercakap di taman yang damai."Kau tidak akan bisa mengalahkanku.""Mungkin," Kiran mengakui, matanya waspada mengamati setiap gerakan lawan. "Tapi aku akan mencoba."Kiran melesat maju dengan gerakan yang telah ia latih selama berbulan-bulan, Crimson Dawn terayun dalam sabetan horizontal yang meninggalkan jejak api di udara seperti goresan kuas seorang pelukis.Siken menghindar dengan gerakan mulus yang hampir tak terlihat mata, tubuhnya seolah mengalir seperti air yang tidak bisa ditangkap. Ia membalas dengan tendangan berselimut es ke arah rusuk Kiran, gerakan yang begitu cepat hingga hampir tak terlihat.Kiran menangkis dengan lengan kirinya, meringis saat es menggigit kulitnya seperti ribuan jarum kecil. Ia memutar tubuhnya, mengayunkan pedang dalam serangan beruntun yang semakin cepat, setiap gerakan mengalir ke gerakan berikutnya s

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Ketika Langit Ibukota Terbakar.

    Auman Roneko menggetarkan seluruh Zahranar, gelombang suara purba yang merambat melalui batu dan kayu, begitu dahsyat hingga kaca-kaca jendela Shab-e-Hazar Khayal bergetar dan retak dalam pola-pola seperti jaring laba-laba.Para tamu yang masih berusaha melarikan diri terhenti di tengah langkah, wajah mereka pucat pasi mendengar suara yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya—suara yang membangkitkan ketakutan primordial dalam darah mereka."Apa itu?" bisik salah seorang prajurit Zolia, busurnya gemetaran di tangannya yang basah oleh keringat dingin. Matanya menatap langit malam dengan ketakutan yang tak tersembunyi.Jawabannya datang dalam bentuk ledakan dahsyat saat atap restoran mewah itu hancur dalam sekejap.Serpihan kayu dan kaca berterbangan ke segala arah bagai hujan mematikan saat sosok raksasa berwarna merah keemasan menerobos masuk dari langit.Roneko, dalam wujud sempurnanya yang jarang terlihat, berdiri di tengah kehancuran dengan sembilan ekor berapi yang menjulang ting

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status