Kota Kartanesia, Khatulistiwa.
Seorang wanita cantik berumur awal 30-an yang menguasai roda perekonomian negara Khatulistiwa buru-buru membuka telepon genggamnya.
Setelah sekian lama, nomor rahasia yang hanya dimiliki “Empat Elemental Naga”--pengikut setia sang Naga Perang mengirimkan sebuah pesan. Katrin Chow langsung tersenyum membaca pesan yang tertera di layar ponselnya. Hanya 3 kalimat, tapi sudah cukup bagi Katrin memahami keinginan Naga Perang yang merupakan bos-nya selama ini. [Siap, Ketua! Tambang Emas di Jayanesia dan Tambang Minyak di Timornesia akan segera beralih nama menjadi milikmu.] [Jabatan CEO Perusahaan Wang Industries juga akan langsung diserahkan kepada Ketua.] [Proses balik nama untuk saham Perusahaan Wang Industries dan Sun City sebesar 75%, segera dilaksanakan] [Selamat datang kembali, Ketua] Tak lama, wanita yang terkenal akan kemampuan ilmu bela diri dan bisnisnya itu, langsung menelepon bawahannya. Ia juga meneruskan pesan sang ketua pada anggota “Empat Elemental Naga” yang berada di Underground City, Kepulauan Tropis, dan Pegunungan Andesia. Sama seperti Katrin, ketiganya begitu gembira. Akhirnya, sang Tuan Muda Wang yang merupakan penyelamat hidup mereka kembali! Mereka siap membantunya dan mulai menyiapkan kepulangannya. Begitu cepat, hingga hari itu juga kepulangannya membuat semua pengusaha ternama dunia terkejut! Di sisi lain, James Chung tiba di kediaman Huang yang terletak di Perumahan Paradise Hill, dengan penuh percaya diri. Pria dengan pakaian yang mencolok itu melangkah pasti di perumahan elite , Kota Buitenzorg yang hanya dihuni oleh keluarga pebisnis dengan perusahaan yang minimal berada di Grade C. Cindy Huang, wanita tercantik di kota ini yang diam-diam ia cintai, pasti akan didapatkan! Wajahnya semakin cerah kala Vera yang sudah kembali dari salon menyambut kedatangannya. “James!” “Halo, Tante Vera,” ucapnya dan diam-diam menatap nakal ke arah Cindy yang kini di samping ibunya. Hanya saja, tak jauh dari sana, mata James tak sengaja bersitatap dengan pria yang dianggapnya lalat pengganggu! "Hahaha... jadi ini suami sampahmu, Cin?" tanya James sambil menunjuk ke arah Rendy dengan tatapan meremehkan. Cindy merasa marah mendengar hinaan James terhadap suaminya. Namun, ia tak menyangka Rendy tiba-tiba menyahut, "Sampah masih bisa berguna kalau diolah dengan benar! Tapi pemalas sepertimu tidak berguna sama sekali bagi keluarga Chung!" Hal ini membuat semua orang tersentak kaget, terutama James. Bagaimana bisa Rendy mengetahui banyak tentang keluarganya? "Kurang ajar! Beraninya kamu menghinaku? Aku akan menyuruh orang untuk menghajarmu dan mematahkan kakimu agar tidak lancang padaku!" Wajah James memerah menahan amarah dan penghinaan. Ia hendak menampar Rendy, tetapi Vera sudah membentaknya, "Rendy, cepat minta maaf sama James! Tidak pantas kamu berbicara padanya!" "Aku hanya membela diri," tegas Rendy. Kemarahan Vera Huang memuncak mendengar calon menantu emasnya dipermalukan oleh menantu yang sangat dibencinya. "Kamu tetap salah! Menantu sampah sepertimu, sudah tidak pantas lagi berada di keluarga ini! Kenapa kamu tidak menceraikan Cindy saja?" bentaknya. "Ma, sudahlah!" kata Cindy mencoba meredakan kemarahan ibunya. Pandangannya lalu beralih ke Rendy. "Kamu juga, apa sih susahnya minta maaf? Aku tidak bisa melindungimu terus menerus!" Ya, Cindy kini begitu khawatir. Bagaimanapun juga, dia bukan siapa-siapa. Menghadapi ibunya saja sulit, apalagi jika harus menghadapi James Chung? Cindy khawatir suaminya itu dijebloskan ke penjara atau bahkan dihabisi! Rendy dapat merasakan itu. Ia ingin mengatakan bahwa penantian Cindy sudah berakhir, tapi dia belum bisa membongkar identitasnya sekarang. Setidaknya, ia harus membuat pembalasan setimpal pada penjilat dan sampah tak berguna. "Kalau kamu tidak minta maaf sama James, aku tidak mau bicara denganmu lagi!" seru Cindy memberikan ultimatum kepada Rendy. Kali ini, wajah James terlihat senang melihat Cindy membelanya. "Begini saja!" ucapnya sambil maju dengan sombong. "Aku minta Cindy menemaniku saat acara jamuan makan malam menyambut Naga Perang! Anggap saja dia lebih berkelas ikut denganku daripada terus bersama suami sampah macam dirimu!" “Naga Perang? Kau bisa bertemu dengannya? Luar biasa sekali dirimu, James! Konon, dia masih muda tapi menguasai seluruh dunia dan kekayaannya tidak terbatas!" seru Vera senang, “jika kau bisa di dekatnya, Kau pasti bisa naik ke peringkat teratas!” Berbeda dengan Vera, sang putri justru tampak menghela napas. "Apa hebatnya Naga Perang? Katanya, dia hidup di suatu tempat dengan berpura-pura bodoh. Aku tidak suka pria seperti itu! Lebih baik, Rendy yang apa adanya tapi jujur padaku! Aku tidak suka pria pembohong seperti Naga Perang!" ucap Cindy dengan wajah kesal."Cindy! Naga Perang tidak bisa dibandingkan dengan suamimu yang sampah ini! Mana janjinya akan memberikanku berlian, emas, dan semua omongannya saat melamarmu? Dasar pembohong!" hina Vera Huang.
Mendengar perdebatan itu, Rendy diam-diam mengepalkan tangan. Tadinya, dia ingin memberitahukan mereka tentang identitas aslinya serta memenuhi janjinya kepada Vera Huang tiga tahun yang lalu. Tapi, penghinaan dari Vera–tak dapat dilupakannya. Ditambah, Cindy ternyata tidak menyukai Naga Perang. "Aku harus menunda munculnya diriku secara terbuka kepada publik! Aku tidak ingin Cindy membenciku!" pikir Rendy. Ia harus mengatur ulang strategi untuk mengaku pada istrinya itu. "Rendy, cepat minta maaf!" Teriakan sang mertua membuatnya tersadar dari lamunan. "Hahaha… Tidak perlu marah begitu, Tante Vera. Aku tidak sekejam itu,” timpal James yang kembali memasang wajah sombongnya saat menatap Rendy. “Hei, aku akan mengampunimu kalau kamu mencium ujung sepatuku dan menyembahku! Kalau tidak, kupastikan Naga Perang yang akan menjadi kolegaku di masa depan, ikut turun tangan nanti.” Kali ini, Rendy ingin tertawa. Menjadi kolega Naga Perang di masa depan? Sungguh, pewaris Chung ini terlalu sombong dan gegabah untuk menjual title Rendy tanpa tahu kebenarannya. Rendy saja tak yakin “Empat Elemental Naga” membiarkan James hidup lama. Pengikutnya itu bisa lebih kejam dari yang dibayangkan semua orang. “Cepat!” teriak James. "Tidak akan," tegas Rendy dengan tatapan tajam, "aku hanya mau berlutut pada Dewa saja."Di luar, Horizon City masih terus berdenyut. Tapi di dalam suite itu, waktu seolah melambat. Dua manusia duduk di ambang sesuatu yang belum mereka beri nama—lebih dari hubungan, lebih dari misi, lebih dari takdir.Rendy memandangi wajah Seruni dengan mata yang tak sekadar melihat—tapi mencoba menyelami. Setiap gurat halus, setiap bayangan yang jatuh di pipinya akibat cahaya lembut dari lampu meja, terasa seperti sebuah teka-teki yang ingin ia pahami sepenuhnya. Bukan karena ia mirip seseorang dari dunia lain. Bukan karena nostalgia atau takdir. Tapi karena sosok perempuan ini—di sini, malam ini—telah menggetarkan sesuatu yang lebih nyata dalam dirinya.“Seruni ...” suaranya rendah, nyaris bergetar, seolah kata-kata itu menuntut keberanian tersendiri. “Kalau aku menyentuhmu malam ini … itu bukan karena kamu mengingatkanku pada seseorang dari dunia paralel. Tapi karena aku ingin mengenalmu, benar-benar mengenalmu … sebagai perempuan yang berdiri di hadapanku sekarang.”Seruni tak segera
Langit Horizon City malam itu tampak seperti kanvas hidup—penuh warna, gerak, dan gemerlap cahaya yang berpendar seperti ribuan permata ditaburkan di angkasa. Jalan-jalan bersinar bak urat nadi kota yang berdetak tanpa henti, sementara gedung-gedung menjulang bagai penjaga malam yang menyimpan rahasia manusia modern.Dari lantai 49 Hotel Aurora Velaris, panorama itu terbentang megah. Jendela kaca raksasa di suite mewah mereka tak sekadar menampilkan pemandangan, melainkan menciptakan ilusi bahwa batas antara langit dan lantai telah lenyap.Di dalam, lampu-lampu sengaja diredupkan, hanya meninggalkan semburat hangat dari lampu meja dan sinar biru lembut yang memancar dari kolam jacuzzi pribadi di sudut ruangan. Aroma lavender samar dari diffuser bergelut pelan dengan uap teh dan jejak aroma sabun kayu dari kamar mandi.Seruni berdiri di dekat jendela, siluetnya menyatu dengan kerlip kota di belakangnya. Gaun satin putih yang ia kenakan jatuh mengikuti lekuk tubuhnya, membaur dengan caha
Suara gemuruh mesin pesawat semakin keras, menggulung udara seperti gelegar badai yang tak kunjung reda. Turbulensi kecil membuat kabin sedikit bergetar, menggoyangkan tirai-tirai jendela dan gelas-gelas plastik yang masih setengah berisi di baki penumpang. Lampu kabin meredup seiring malam yang kian merayap, menciptakan suasana samar yang mengaburkan batas antara realita dan bisikan perasaan.Di tengah kekacauan bunyi itu, Seruni hanya tersenyum—sebuah senyum yang tidak menjawab, tapi juga tidak menolak. Rendy sempat bertanya sesuatu, namun kata-katanya tertelan oleh bisingnya dunia. Gadis itu mendekat, tubuhnya sedikit condong ke arah Rendy, seperti sebuah rahasia yang hendak diungkapkan hanya untuknya.Nafas hangatnya menyentuh telinga Rendy, membawa aroma samar yang memabukkan—seperti bunga melati yang mekar diam-diam di malam hari, ketika tak ada mata yang memandang tapi keharumannya tak bisa dihindari.“Apa kamu benar-benar ingin cari tahu, Rendy?” bisiknya. Lembut. Menggoda. Pe
“Apa kamu yakin bisa pergi ke Khatulistiwa sendirian bersama para Srikandi Andalas?” tanya Rendy sambil menyipitkan mata, menahan terpaan angin yang berembus kencang di landasan bandara khusus itu. Suara mesinnya samar-samar terdengar, meski kedua jet pribadi Wang Industries yang terparkir megah di sana telah dimatikan. Cahaya senja memantulkan kilau keperakan di badan pesawat, menciptakan pemandangan yang seolah memotong langit jingga.Seruni mengibaskan rambut panjangnya yang tertiup angin. Matanya menatap tajam Rendy, dengan alis terangkat. “Loh, kamu mau ke mana?” suaranya terdengar ringan, tapi ada nada penasaran yang tak bisa disembunyikan.Rendy tersenyum samar, sudut bibirnya terangkat sebelah, tatapannya menerawang sejenak sebelum berlabuh ke mata Seruni. “Aku mau ke Aurora. Ada teman lama yang harus aku kunjungi,” ucapnya dengan nada santai, seolah perjalanan itu bukan apa-apa. Tangannya menyelip masuk ke saku jaket, sementara matanya menatap jauh ke landasan seakan membayan
Di sisi lain, Bara Sena tampak berlutut, satu tangan mencengkeram lantai yang retak, berusaha menopang tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga. Api yang sebelumnya menyelimuti tubuhnya kini meredup, menjalar mundur ke dalam pori-pori kulitnya. Wajahnya pucat, nafasnya tersengal, dan matanya membelalak seperti baru menyaksikan hal yang tak bisa diterima oleh akal sehat.“Ba … gaimana … bisa …” desisnya, suaranya serak, lebih mirip geraman binatang yang terluka. Matanya menatap Rendy seakan menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Langkah Rendy bergema di lantai rusak balairung. Tiap hentakan sepatunya mengeluarkan bunyi seperti palu yang memaku takdir. Ia berhenti tepat beberapa langkah di depan Bara Sena, menatapnya dari balik rambut acak-acakan dan darah yang belum sempat dibersihkan.“Aku tidak bertarung hanya untuk diriku sendiri,” ucapnya pelan, namun suaranya menggema seperti lonceng peringatan. “Aku membawa harapan dari seluruh Dunia Tengah. Mereka yang tak punya kekuatan, yang s
Bara Sena menarik napas panjang, lalu melemparkannya dalam pekikan perang yang menggetarkan langit-langit balairung.“AARRRGHHH!!!”Kedua tangannya bersatu di depan dada, dan seketika api melonjak liar, melingkar membentuk mandala raksasa berwarna merah keemasan yang menyelubungi tubuhnya. Api itu berkilau dengan pola-pola kuno yang menari seperti cap naga, masing-masing garisnya seperti ditulis dengan darah para leluhur.“Api Leluhur Andalas!” raungnya.Langit-langit Balairung Matahari berdetak dengan gema mantra yang terpatri di ukiran-ukiran dinding. Pilar-pilar tua yang menopang bangunan itu tiba-tiba bersinar terang, garis-garis sihir purba menyala, mengalirkan kekuatan suci dari akar sejarah Andalas. Aura mereka menyalakan seluruh balairung, menyulut langit dalam ruangan itu menjadi nyala abadi yang mendesis pelan.Api itu bukan hanya panas—ia menyengat jiwa, menusuk kesadaran, membawa kilasan ribuan tahun sejarah dan darah yang telah tertumpah demi kerajaan ini. Bara Sena kini t
Benturan pertama mengguncang dunia seakan langit dan bumi menolak keberadaan pertarungan itu. Lantai kayu Balairung Matahari retak dalam pola menjalar seperti akar pohon purba, suara kayu pecah menggemuruh dari bawah kaki mereka. Getarannya menjalar hingga ke pilar-pilar penyangga yang mulai bergoyang pelan, menebarkan debu yang turun seperti hujan abu dari langit-langit.Bara Sena, dengan tubuh kekarnya yang dipenuhi tato suci, menghantam pusaran kabut merah yang membungkus tubuh Rendy. Tinju apinya menyala menyilaukan, semburan panasnya membuat udara di sekeliling bergetar seperti fatamorgana di tengah gurun.Namun, dari balik kabut merah itu, seekor naga merah transparan meraung—raungan panjang dan purba yang menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nafasnya menguarkan hawa panas bercampur aroma darah dan belerang. Pusaran kabut berubah menjadi pusaran angin liar yang meliuk, membelokkan hantaman Bara Sena seolah waktu itu sendiri membelanya.Bara Sena menyeringai, giginya menyeringai t
Seruni duduk tegak, tubuhnya bersandar pada kursi kayu yang tebal. Wajahnya terpelintir sedikit, matanya menyipit tajam menatap Rendy yang berdiri di hadapannya. Di udara, terasa ketegangan yang mencekam, seperti listrik yang siap meledak. Perlahan, ia menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti peringatan, namun dibalut dengan rasa penasaran.“Elemental Naga Baru?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar, seolah kata-kata itu berat dan penuh beban. “Kau tahu, Rendy, gelar itu bukan sekadar sebutan. Itu berarti mengguncang seluruh Andalas—menyentuh setiap sudut dunia ini.”Rendy menatapnya tanpa berkedip, setiap helaan napasnya semakin dalam, menyusup ke dalam dadanya yang berdenyut. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara penuh tekad yang menggetarkan udara. “Dan aku tahu, aku tidak akan mendapatkan persetujuan itu hanya dengan kata-kata.”Dengan langkah perlahan namun penuh keyakinan, ia berdiri tegak. Ketegangan yang terbangun begitu kental, terasa seolah waktu berhenti sejenak. Tangan ka
Perempuan itu menghentikan kudanya beberapa meter di depan Rendy. Udara di antara mereka seolah menjadi lebih berat. Kenangan akan masa lalu—pertarungan sengit di Horizon City, perdebatan tentang kehormatan dan tujuan, dan kekaguman diam-diam yang tak pernah sempat diutarakan—kembali mengapung di udara."Kau datang sendiri, Rendy?" Seruni akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Apa kau pikir aku akan lupa bahwa kau pernah hampir mengalahkanku di Horizon City?"Rendy tersenyum tipis. "Aku tidak lupa... dan aku juga tidak datang untuk mengulang masa itu. Aku datang membawa kabar yang bisa menyelamatkan Andalas—atau membinasakannya jika diabaikan."Seruni turun dari kudanya, lalu berjalan mendekat dengan langkah penuh percaya diri. Srikandi Andalas tetap berjaga di belakang, tangan mereka sudah menyentuh gagang senjata, bersiap untuk segala kemungkinan."Jika kau datang dengan niat baik," ucap Seruni sambil menatap lurus ke dalam mata Rendy, "mengapa tidak mengirim utus