"RENDY!"
Teriakan melengking seorang wanita paruh baya seketika memenuhi rumah mewah itu. Rendy Wang yang sedang mengepel lantai sontak mengerutkan kening melihat Ibu Mertuanya yang tampak marah. "Ada apa, Ma?" tanya pria 28 tahun itu, sopan. "Cepat kamu buang air kotor bekas cuci kaki aku dan istrimu! Dasar menantu sampah tak berguna! Mengepel saja begitu lamanya!" hina wanita yang sedang berbaring di Sofa Bed dengan anak gadisnya. Mendengar itu, Rendy pun bergegas mengambil baskom air bekas rendaman kaki ibu mertuanya, disusul baskom air bekas rendaman kaki istrinya. Tak tampak emosi di wajahnya meski diperlakukan tak manusiawi. Hal ini justru membuat Vera–sang mertua–semakin kesal. "Ck! Dasar pria memble! Beruntung Cindy mau menikahimu! Apa yang bisa dilihat dari penampilanmu yang lusuh itu, sih? Menyusahkan saja!" Kali ini, Rendy melihat ke arah Cindy. Ia ingin mengetahui reaksi istrinya itu yang ternyata … mengalihkan pandangan? Brak! "Ngapain kamu lihat-lihat? Cepat ganti baskom cuci kaki kami! Mual aku melihatmu lama-lama." Vera Huang memukul meja, lalu kembali menghujani cacian dan makian terhadap Rendy. Namun, Rendy tetap tak melawan. Pria itu justru menurut untuk melaksanakan tugasnya, seperti biasa. Sejak tiga tahun lalu, Rendy datang ke kediaman Huang. Dia langsung melamar Cindy Huang untuk menjadi istrinya. Tentu saja, Vera Huang tidak setuju kalau anak gadisnya yang cantik menikah dengan pemuda lusuh dan miskin seperti Rendy! Penampilan pria itu terlihat lusuh dan miskin. Tidak ada kelebihan apapun yang bisa membuat hati wanita glamour yang terkenal mata duitan dan selalu menghina orang miskin itu–melunak. Namun, Rendy tak menyerah. Ia bisa meyakinkan Vera saat itu kalau dia bisa membahagiakan Cindy. Janji yang pada waktu itu sangat meyakinkan, tapi seiring waktu Vera merasa tidak ada realisasi dari menantu sampahnya itu. "Dasar penipu! Emas dan permata, katamu?” ucap Vera, begitu kesal kala teringat kejadian itu, “sudah tiga tahun berlalu, tapi nasibmu masih saja begini. Lebih baik, Kau mat–” "-Ma!” potong Cindy tiba-tiba, “Rendy sudah berusaha, tapi dia hanyalah tamatan universitas yang tak terkenal sehingga sulit untuk mendapatkan jabatan yang empuk di perusahaan besar. Apa kita tidak bisa mempekerjakan Rendy, Ma? Perusahaan kita ‘kan masih butuh beberapa karyawan baru. Mungkin, Rendy bisa masuk ke sana." "APA?!!" Mertua Rendy berdiri tiba-tiba, hingga baskom air hangat yang telah diganti oleh Rendy terlempar menghantam wajah pemuda ini dengan kerasnya. Tapi, presiden komisaris Huang Corporation itu tak peduli dan justru kembali berteriak, "Kamu hendak memasukkan sampah ini ke dalam perusahaan keluarga kita? CEO macam apa kamu ini, Cindy? Rendy hanyalah sampah masyarakat yang pantas jadi pembantu saja di dalam rumah ini. Dia tidak pantas untuk kerja sebagai pegawai kantoran, terlalu bagus bagi dia!"Saat ini, Huang Corporation, perusahaan miliknya yang berada di Grade C, sedang mengalami krisis keuangan yang menggerogoti likuiditasnya.
Ia sangat memerlukan dukungan dari Serikat Dagang dan Industri untuk mendapatkan pinjaman modal besar agar bisa menutupi kerugian dan memberikan suntikan modal baru untuk pengembangan perusahaan jika tak ingin usahanya jatuh.
Tapi, Vera malah punya menantu tak berguna yang bagai parasit dan menumpang hidup saja!
Apa yang bisa pria gembel ini lakukan?
Ditatapnya kejam Rendy yang wajahnya kini agak bengkak terkena baskom air yang terlempar oleh hentakan kakinya.
Sementara itu, Cindy tampak tak nyaman.
Dia tidak kuasa melawan ibunya yang otoriter dan sangat membenci suaminya. Entah apa salah Rendy terhadap ibunya sehingga diperlakukan hina, seperti ini?
Hanya saja, Cindy kesal karena Rendy tampak menerima saja dengan pasrah perlakuan biadab dari ibunya, tanpa melawan sama sekali.
Suaminya ini bahkan masih bisa tersenyum, padahal sudut bibirnya kini sudah berdarah!Tangan Cindy mengepal. "Ma ... kenapa sih mama begitu benci sama Rendy? Memangnya dia salah apa terhadap mama?" tanyanya, memberanikan diri.
"Benci? Sampah macam suamimu ini, memang dilahirkan untuk dihina dan dibenci oleh setiap orang! Jadi, tak butuh alasan. Apa kamu paham sekarang, Cindy Huang?"
Vera mulai menyebutkan nama lengkap Cindy–kebiasaannya ketika marah besar.
Cindy menatap nanar ibunya. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi Rendy tersenyum padanya. "Tidak apa-apa, istriku ... aku tidak merasa dihina kok!"
"Siapa yang beri izin kamu bicara? Dasar sampah! Beraninya kamu menyela pembicaraanku dengan anakku?" Mata Vera mendelik dengan wajah masam menatap tajam Rendy Wang, seakan hendak menelan pria ini hidup-hidup.
"Gara-gara kamu, sekarang Cindy juga mulai berani melawanku! Apa yang telah kamu katakan terhadap istrimu, hah?"
Wajah Cindy kembali menunjukkan ketidaknyamanan. "Sudahlah, Ma. Bukankah hari ini ada perayaan pesta ulang tahun mama? Kenapa kita tidak pergi saja ke salon ternama untuk menata rambut?" ucapnya, berusaha mencari cara untuk menjauhkan sang ibu dari Rendy.
Dan untungnya, berhasil….
"Oh iya!” ucap Vera, tersadar, “coba, kamu minta James Chung untuk menjemput kita. Anak muda itu sepertinya mengenal orang seterkenal Naga Perang! Jika kita dekat padanya, pasti akan bermanfaat bagi keluarga kita. Terlebih, jika dia menjadi suamimu."
Chung Industries bergerak di bidang perkapalan dan pertambangan yang menjadi sumber utama penghasilan perusahaan dan berada di Grade B Serikat Dagang dan Industri– peringkat tertinggi di dalam dunia perdagangan dan industri.
Walau perusahaannya tidaklah Grade A, seperti perusahaan yang dipimpin oleh Naga Perang, tak apa.
Taipan muda itu memang terlalu jenius!
Bahkan, Ketua serikat dagang, sangat berhutang budi padanya.
Vera sungguh penasaran. Sayangnya, selain orang di circle sang Naga Perang, tidak ada yang tahu rupa dari pria yang mendadak hilang tiga tahun lalu itu.
Hebatnya, anak buah Naga Perang masih menguasai seluruh jaringan bisnis yang dibutuhkan perusahaan-perusahaan Grade B untuk meraih keuntungan.
Katrin Chow, tangan kanannya itu, bahkan menjadi sosok pebisnis yang sangat ditakuti oleh pebisnis di negara Khatulistiwa.
Sikapnya yang kejam dan tanpa ampun membuat gentar semua pemilik kerajaan bisnis di Khatulistiwa dan berbagai negara, termasuk Vera.
Sebab, wanita itu bisa membuat miskin satu kerajaan bisnis besar hanya dalam semalam saja!
Seandainya saja, putrinya bisa menikahi Naga Perang….
Vera menggelengkan kepala–memikirkan hal yang mustahil itu.
Lebih baik, ia berfokus pada James Chung yang merupakan pewaris tunggal Kerajaan bisnis Chung Industries.
Dia yakin ayah James yang merupakan anggota kehormatan Serikat Dagang dan Industri, bisa membantu perusahaan Vera menjadi anggota serikat bila Cindy menikah dengan James.
Setidaknya, jauh lebih baik dari Rendy Wang, menantu sampahnya ini!
Cindy juga merasa keberatan untuk minta pertolongan James menjemput mereka karena dia tahu kalau James sudah lama mengejar dirinya.
"Ma ... apa perlu minta James menjemput kita? Lebih baik kita pergi sendiri saja, jangan menganggu kerjanya," kata Cindy beralasan.
Vera berpikir sebentar kemudian menyetujui permintaan anak gadisnya ini, "Aku setuju. Kita tak boleh mengganggu pekerjaan calon menantuku itu. Tapi, jangan lupa, undang dia untuk datang ke pesta ulang tahunku! Kehadirannya jauh lebih penting dari suamimu ini."
"Hahaha....”
Wanita culas itu tertawa puas sebelum berlalu bersama Cindy menuju Salon terbaik untuk kalangan atas di kota.
Sayangnya, wanita itu tak tahu jika … diam-diam, tangan Rendy mengepal.
Pria yang biasanya tampak ramah dan tak berdaya ini, memberikan sotrot mata tajam dan begitu dingin tatapannya, serta tersenyum sinis. Rendy mengambil ponsel miliknya, lalu mengirimkan sebuah pesan yang akan membuat terkejut 4 wanita cantik dan paling berpengaruh di negara Khatulistiwa. [Penyamaranku berakhir. Segera siapkan semuanya. Aku ingin menunjukkan siapa Naga Perang yang sebenarnya.]“Apa kamu yakin bisa pergi ke Khatulistiwa sendirian bersama para Srikandi Andalas?” tanya Rendy sambil menyipitkan mata, menahan terpaan angin yang berembus kencang di landasan bandara khusus itu. Suara mesinnya samar-samar terdengar, meski kedua jet pribadi Wang Industries yang terparkir megah di sana telah dimatikan. Cahaya senja memantulkan kilau keperakan di badan pesawat, menciptakan pemandangan yang seolah memotong langit jingga.Seruni mengibaskan rambut panjangnya yang tertiup angin. Matanya menatap tajam Rendy, dengan alis terangkat. “Loh, kamu mau ke mana?” suaranya terdengar ringan, tapi ada nada penasaran yang tak bisa disembunyikan.Rendy tersenyum samar, sudut bibirnya terangkat sebelah, tatapannya menerawang sejenak sebelum berlabuh ke mata Seruni. “Aku mau ke Aurora. Ada teman lama yang harus aku kunjungi,” ucapnya dengan nada santai, seolah perjalanan itu bukan apa-apa. Tangannya menyelip masuk ke saku jaket, sementara matanya menatap jauh ke landasan seakan membayan
Di sisi lain, Bara Sena tampak berlutut, satu tangan mencengkeram lantai yang retak, berusaha menopang tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga. Api yang sebelumnya menyelimuti tubuhnya kini meredup, menjalar mundur ke dalam pori-pori kulitnya. Wajahnya pucat, nafasnya tersengal, dan matanya membelalak seperti baru menyaksikan hal yang tak bisa diterima oleh akal sehat.“Ba … gaimana … bisa …” desisnya, suaranya serak, lebih mirip geraman binatang yang terluka. Matanya menatap Rendy seakan menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Langkah Rendy bergema di lantai rusak balairung. Tiap hentakan sepatunya mengeluarkan bunyi seperti palu yang memaku takdir. Ia berhenti tepat beberapa langkah di depan Bara Sena, menatapnya dari balik rambut acak-acakan dan darah yang belum sempat dibersihkan.“Aku tidak bertarung hanya untuk diriku sendiri,” ucapnya pelan, namun suaranya menggema seperti lonceng peringatan. “Aku membawa harapan dari seluruh Dunia Tengah. Mereka yang tak punya kekuatan, yang s
Bara Sena menarik napas panjang, lalu melemparkannya dalam pekikan perang yang menggetarkan langit-langit balairung.“AARRRGHHH!!!”Kedua tangannya bersatu di depan dada, dan seketika api melonjak liar, melingkar membentuk mandala raksasa berwarna merah keemasan yang menyelubungi tubuhnya. Api itu berkilau dengan pola-pola kuno yang menari seperti cap naga, masing-masing garisnya seperti ditulis dengan darah para leluhur.“Api Leluhur Andalas!” raungnya.Langit-langit Balairung Matahari berdetak dengan gema mantra yang terpatri di ukiran-ukiran dinding. Pilar-pilar tua yang menopang bangunan itu tiba-tiba bersinar terang, garis-garis sihir purba menyala, mengalirkan kekuatan suci dari akar sejarah Andalas. Aura mereka menyalakan seluruh balairung, menyulut langit dalam ruangan itu menjadi nyala abadi yang mendesis pelan.Api itu bukan hanya panas—ia menyengat jiwa, menusuk kesadaran, membawa kilasan ribuan tahun sejarah dan darah yang telah tertumpah demi kerajaan ini. Bara Sena kini t
Benturan pertama mengguncang dunia seakan langit dan bumi menolak keberadaan pertarungan itu. Lantai kayu Balairung Matahari retak dalam pola menjalar seperti akar pohon purba, suara kayu pecah menggemuruh dari bawah kaki mereka. Getarannya menjalar hingga ke pilar-pilar penyangga yang mulai bergoyang pelan, menebarkan debu yang turun seperti hujan abu dari langit-langit.Bara Sena, dengan tubuh kekarnya yang dipenuhi tato suci, menghantam pusaran kabut merah yang membungkus tubuh Rendy. Tinju apinya menyala menyilaukan, semburan panasnya membuat udara di sekeliling bergetar seperti fatamorgana di tengah gurun.Namun, dari balik kabut merah itu, seekor naga merah transparan meraung—raungan panjang dan purba yang menggema ke seluruh penjuru ruangan. Nafasnya menguarkan hawa panas bercampur aroma darah dan belerang. Pusaran kabut berubah menjadi pusaran angin liar yang meliuk, membelokkan hantaman Bara Sena seolah waktu itu sendiri membelanya.Bara Sena menyeringai, giginya menyeringai t
Seruni duduk tegak, tubuhnya bersandar pada kursi kayu yang tebal. Wajahnya terpelintir sedikit, matanya menyipit tajam menatap Rendy yang berdiri di hadapannya. Di udara, terasa ketegangan yang mencekam, seperti listrik yang siap meledak. Perlahan, ia menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti peringatan, namun dibalut dengan rasa penasaran.“Elemental Naga Baru?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar, seolah kata-kata itu berat dan penuh beban. “Kau tahu, Rendy, gelar itu bukan sekadar sebutan. Itu berarti mengguncang seluruh Andalas—menyentuh setiap sudut dunia ini.”Rendy menatapnya tanpa berkedip, setiap helaan napasnya semakin dalam, menyusup ke dalam dadanya yang berdenyut. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara penuh tekad yang menggetarkan udara. “Dan aku tahu, aku tidak akan mendapatkan persetujuan itu hanya dengan kata-kata.”Dengan langkah perlahan namun penuh keyakinan, ia berdiri tegak. Ketegangan yang terbangun begitu kental, terasa seolah waktu berhenti sejenak. Tangan ka
Perempuan itu menghentikan kudanya beberapa meter di depan Rendy. Udara di antara mereka seolah menjadi lebih berat. Kenangan akan masa lalu—pertarungan sengit di Horizon City, perdebatan tentang kehormatan dan tujuan, dan kekaguman diam-diam yang tak pernah sempat diutarakan—kembali mengapung di udara."Kau datang sendiri, Rendy?" Seruni akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Apa kau pikir aku akan lupa bahwa kau pernah hampir mengalahkanku di Horizon City?"Rendy tersenyum tipis. "Aku tidak lupa... dan aku juga tidak datang untuk mengulang masa itu. Aku datang membawa kabar yang bisa menyelamatkan Andalas—atau membinasakannya jika diabaikan."Seruni turun dari kudanya, lalu berjalan mendekat dengan langkah penuh percaya diri. Srikandi Andalas tetap berjaga di belakang, tangan mereka sudah menyentuh gagang senjata, bersiap untuk segala kemungkinan."Jika kau datang dengan niat baik," ucap Seruni sambil menatap lurus ke dalam mata Rendy, "mengapa tidak mengirim utus
Angin pagi membelai rambut panjang Sheila Tanoto saat ia berdiri di tepi landasan bandara jet pribadi di pinggiran Dark City. Suasana masih gelap karena waktu baru menunjukkan pukul 02.00 pagi. Matahari buatan masih mati digantikann oleh bulan buattan yang memiliki energi gravitasi bulan seperti di Khatulistiwa. Di belakangnya, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang jatuh, sementara deru mesin pesawat pribadi Rendy menggeram pelan, siap untuk lepas landas. Bau logam dan bahan bakar memenuhi udara, menambah ketegangan yang terasa seperti benang halus yang siap putus kapan saja.Wajah Sheila disinari remang lampu bandara, menunjukkan keraguan yang dalam di matanya."Aku akan segera menyusulmu ke Khatulistiwa," ucapnya, suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran. "Dan aku akan memerintahkan Empat Penjuru Angin untuk menemanimu ke Negeri Andalas. Setidaknya, mereka bisa menjadi pelindungmu dari pengkhianatan yang tak terduga."Rendy menoleh, siluetnya tegap dalam bayang pesawat. Mat
Udara di apartemen terasa berat, hampir pekat, seolah setiap molekul udara merapat, menahan napas mereka dalam pusaran hasrat yang menggetarkan. Di antara gemuruh jantung yang berdetak terlalu keras, tubuh Rendy dan Sheila melebur dalam tarikan naluriah—sebuah pencarian yang tak membutuhkan kata, hanya desakan naluri yang tak terbantahkan.Sheila, dengan mata berkilat dalam cahaya remang, meraih tangan Rendy. Genggamannya kecil, namun panasnya menembus kulit hingga ke nadi. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya melewati ruang tamu menuju kamar tidur.Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas dengan jendela kaca setinggi langit-langit, menghadap langsung ke hamparan Dark City yang bermandikan cahaya malam. Lampu-lampu kota berkedip seperti bintang patah yang jatuh ke bumi, menciptakan lukisan malam yang sendu sekaligus memabukkan.Langkah-langkah mereka terhenti di tepi ranjang. Sheila berbalik perlahan. Rambut hitamnya berkilau di bawah lampu gantung, mengalir seperti ti
Mata Sheila menyipit, bibirnya membentuk senyum penuh misteri. "Oh begitu? Jadi... kamu sudah tahu semua tentang tubuhku, ya?" Nadanya melengking manis, tapi ada sesuatu yang membuat udara di antara mereka mendadak terasa lebih panas. "Apa kita pernah... bercinta di sana?"Uhuk!Rendy tersedak kopi, buru-buru menahan batuknya dengan tisu. Wajahnya memerah, entah karena panas kopi atau pertanyaan lugas yang sama sekali tidak ia duga."Hihihi..." Sheila terkikik geli, menatapnya dengan tatapan jahil. Ia menyender santai di sofa, memperlihatkan leher jenjangnya dengan sangat disengaja. "Kenapa? Kaget mendengar pertanyaanku? Bukankah aku... kekasihmu?" godanya dengan suara manja, hampir berbisik."A-aku..." Rendy berusaha menguasai diri, tapi lidahnya terasa kelu. Matanya berusaha fokus ke cangkir di tangan, tidak berani menatap langsung ke mata Sheila yang berbinar penuh rasa ingin tahu.Melihat Rendy gugup justru membuat Sheila semakin bersemangat. Ia mendekat sedikit, memperkecil jarak