Setelah Mega meninggalkan kamar, Maya berjalan perlahan menuju tempat tidur. Dia duduk di tepi ranjang, memandang sekeliling kamar yang akan menjadi tempat tidurnya. Meskipun Mega dan Athar telah meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja, Maya tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Dia tahu, tidak mudah bagi Amara untuk merelakan kamar ini, apalagi dengan sejarah dan kenangan yang ada di dalamnya.
"Mari kita bersaing, Amara. Siapa yang akan mendapatkan posisi ratu di rumah ini pada akhirnya." Maya bermonolog dengan senyuman sinis. Maya kemudian membaringkan diri di atas ranjang, mencoba untuk rileks. Namun pikirannya terus berputar. Bagaimana rasanya menjadi Amara? Apa yang sebenarnya Amara rasakan tentang situasi ini? Dan bagaimana hubungan mereka akan terpengaruh oleh semua ini? Di luar pintu kamar, Mega berjalan menjauh dengan senyum yang menyiratkan kepuasan. Dia tahu bahwa situasi ini akan menciptakan dinamika baru di dalam keluarga, dan dia ingin melihat bagaimana semuanya akan berkembang. Bagi Mega, masa depan cucunya adalah yang paling utama, dan dia akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa anak itu dilahirkan dalam kondisi terbaik. Amara yang baru saja selesai makan pun ingin kembali masuk ke kamar. Akan tetapi, langkah kakinya terhenti saat melihat barang-barangnya sudah ada di depan pintu. "Apa-apaan ini?" pekiknya kesal. "Kenapa barang-barang ku ada di luar semua?" tanyanya. Maya menoleh ke arah sumber suara, di mana Amara membuka pintu kamar dan meminta penjelasan atas semuanya. "Mulai sekarang, kamar ini akan menjadi kamarku." Maya berbicara dengan nada jumawa. Amara menatap Maya dengan mata membelalak, sulit percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksudmu? Ini kamarku! Kenapa kamu tiba-tiba ingin mengambilnya?" suara Amara terdengar penuh kemarahan dan kebingungan. Maya melipat tangannya di depan dada dan mengangkat dagunya, menunjukkan sikap tidak peduli. "Ayah dan Ibu sudah setuju. Mulai sekarang, kamu pindah ke kamar tamu. Kamar ini terlalu besar untukmu yang tidak bisa memberikan keturunan," katanya dengan nada mengejek. Amara merasakan panas di pipinya. Dia tahu Maya akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. "Ini tidak adil!" protesnya. "Aku sudah tinggal di sini selama bertahun-tahun! Kenapa aku harus pindah begitu saja?" Maya mendekat dengan senyum tipis di bibirnya. "Yah, mungkin mereka berpikir sudah waktunya kamu belajar berbagi. Lagipula, kamar tamu itu cukup nyaman, kan?" Dia berkata dengan nada manis namun sinis, membuat Amara semakin marah. Amara berbalik untuk mencari suami dan mertuanya. "Aku akan bicara dengan Ayah dan Ibu," katanya tegas. "Ini tidak bisa dibiarkan." Namun, sebelum Amara sempat melangkah lebih jauh, pintu kamar di sebelah terbuka dan ibu mertuanya muncul, wajahnya tampak tersenyum dengan nada mengejek. "Amara," katanya lembut namun tegas, "Kita sudah memutuskan ini bersama. Maya membutuhkan ruangan lebih besar agar anak dalam kandungannya merasa nyaman dan aman." Amara merasa hatinya mencelos. "Tapi, Bu..." suaranya mengecil, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ibunya menggeleng pelan. "Ini bukan tentang keadilan, Amara. Ini tentang kebutuhan. Kami harap kamu bisa memahami. Apalagi Maya juga istri sah dari suamimu." Amara terhenyak mendengar kata-kata Mega. Sejenak, dunia di sekitarnya terasa berputar, sulit baginya memahami apa yang barusan didengarnya. Rasa kesal kembali mencuat saat mengingat sang suami menikah tanpa sepengetahuannya, jelas-jelas pengkhianatan yang nyata. Mega menghela napas panjang, "Kami tahu ini berat untukmu, Amara. Tapi, jika kamu memang tidak mau berbagi, silakan saja kamu yang pergi dari rumah ini. Biarkan Athar hidup bahagia dengan keluarga barunya." Kata-kata itu menghantam Amara seperti pukulan keras di perut. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah pergi dari rumah ini!" cetusnya. Amara bukan wanita bodoh yang mau begitu saja memberikan kebebasan pada setiap orang yang telah menyakitinya. Mega tersenyum sinis. "Mau sampai kapan kamu akan bertahan? Sedangkan suamimu... dia butuh anak, dan Maya bisa memberinya itu." Amara merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh. Semua kejadian selama beberapa bulan terakhir kini terasa masuk akal. Perubahan sikap suaminya, ketidakjelasan dalam setiap percakapan, dan pertemuan-pertemuan rahasia di belakangnya. Namun, mengetahui pengkhianatan ini masih terlalu menyakitkan untuk diterima. "Dan aku?" suara Amara hampir seperti bisikan. "Apa yang terjadi denganku?" Mega akhirnya memberikan pilihan. "Kamu bisa tinggal di rumah ini, tapi kamu harus bersikap baik pada Maya dan anaknya. Jangan karena kamu istri pertama bisa melakukan seenaknya." Namun, kata-kata itu hanya memperparah rasa sakit di hati Amara. Dia melangkah mundur, menjauh dari mertuanya, merasa tercekik oleh pengkhianatan yang begitu dalam. "Kalian sudah mengambil segalanya dariku," ucapnya pelan, suaranya dipenuhi dengan kesedihan dan kepahitan. "Rumahku, kamarku, suamiku...." Maya, yang sedari tadi mendengarkan di ambang pintu dengan tatapan tak bersalah, kini melangkah maju. "Amara," katanya dengan nada lembut namun menusuk, "Kamu akan selalu menjadi bagian dari keluarga ini. Hanya saja, sekarang kamu harus menerima perubahan ini.""me ngakulah Maya, bahwa anak yang kamu kandung itu anak ku" cecar lelaki berperawakan tinggi, dan manis berdiri di depan Maya. dadanya bergemuruh sangat lah hebat. Dia sangat ketakutan, dan ingin pergi dari tempat itu. Semenjak di Bali, Athar dan Maya tinggal di kontrak kecil dan kumuh. Berbanding terbalik, dengan kehidupan mewah nya dulu. Sementara Athar, Luntang Lantung mencari pekerjaan di kota orang, untuk membuat ekonomi nya membaik, tapi nyatanya dia tidak menemukan kontrak kerja dengan siapapun. Mantan CEO itu masih tidak putus asa untuk mencari pekerjaan yang layak, dan dia ingin memulihkan ekonomi nya. Dia berjanji akan merebut apartemen mewah Amara dengan apapun caranya, karena dia telah bosan hidup dengan serba kekurangan. Mega sang ibu pun begitu, dia selalu meneror Athar untuk mengirimkan uang kepadanya. Karena uang untuk makan sudah habis. Maya tertegun sangat lama, Angga Pratama Wijaya, kekasih sewaktu berpacaran dengan Athar. Bahkan keduanya, sudah kumpul kebo dalam b
" aku tidak menyuruh mu, masuk. jangan mimpi kamu tinggal disini, Athar!" tatapan mata Amara begitu tidak suka terhadap Athar, yang mendesak nya untuk tinggal bersamanya. "jelas lah, aku suamimu. Kamu lupa itu, hartamu juga hartaku. terus, dari segi mana aku salah?" ucap nya menekan kan, Amara begitu muak dengan pernyataan dari Athar. perasaan nya kembali pudar terhadap Athar, padahal sebenarnya Amara masih mencintai Athar. karena dia tahu, Athar adalah seseorang yang penyabar dan penuh kasih sayang. Sebelum mertuanya meracuni hati dan pikiran dari suaminya tersebut. Bahkan Athar lupa, bahwa persidangan cerainya pada tahap akhir, dan akan menyandang status janda dan duda. bagaimana biasa, Athar datang ke Bali, dan menuntut nya untuk tinggal serumah lagi. "jangan gila kamu, aku bisa melaporkan kamu ke pihak berwajib. karena kamu mengancam keselamatan ku." tegas Amara, berlari mengejar Athar dan Maya masuk kedalam apartemen mewahnya. "wau... aku suka mas, aku suka." teriak Maya, se
"tidak apa-apa, pak." senyum mengembang Rendi, ketika pak Hendra menyetujui semuanya. " papah yakin, kamu mampu untuk itu. Dan kamu pasti bisa, membuat perusahaan kita berkembang begitu pesat! jangan sia-sia kan, kepercayaan papah kepadamu" puji pak Hendra kepada putra semata wayangnya. Keluarga Catur tergolong orang yang sangat kaya Raya, perusahaan nya ada dimana-mana. Bahkan restoran yang terkenal di Bali adalah milik dari keluarga Catur, investasi nya dimana-mana. Dan Catur masih tetap sama, dan berpenampilan sederhana tidak semewah orang kaya pada umumnya. "papah jadi mau nginep disini? atau langsung balik?"tanya Catur memastikan. "papah mau menginap disini, dulu. dan papah ingin tahu, perkembangan bisnis yang kamu geluti sekarang" senyum mengembang pak Hendra. muka Catur sangat khawatir, dia tidak ingin rencananya terbongkar begitu saja, sebelum dia mendapatkan Amara seutuhnya. karena jika papah nya ikut campur, pasti akan terbongkar siapa Catur sebenarnya. misi nya belu
Catur duduk dengan tenang, di ruang tamu apartemen Amara. Dia ingin sekali menanyakan perihal tentang Marvel. dan jujur dia sangat lah kepo, apakan benar-benar Marvel menyatakan cintanya kepada Amara. pikiran Catur semakin tidak karuan. ~ pak gawat, bos besar sedang menuju ketempat pak Catur kali ini~ sebuah pesan singkat, membuat dada Catur semakin tidak karuan. keringatnya mengucur dengan deras, dia mondar-mandir tidak menentu. langkah nya di percepat, rencananya bisa gagal jika ayahnya datang saat ini. ~jangan kesini Ren, biar aku yang menghampiri mu. Bisa-bisa gagal rencana ku, jangan sampai papah tahu soal ini. perlambat waktumu, sekiranya aku sudah sampai ketempat yang kamu tuju~ pinta Catur dengan pesan singkatnya. dengan tergesa-gesa Catur menuju ketempat, yang Catur atur untuk menemui papahnya. Selama perjalanan pikirannya tidak tenang sama sekali. "silahkan duduk, pak!" pinta Rendi, dengan menggeret kursi kebelakang. "Catur mana, Ren?" tanya Hendra dengan mene
"siapa dia, Amara?" tanya Marvel keheranan. "mantan suami" entengnya, seraya masuk kedalam mobil Marvel. "untuk apa dia, kesini?" tanya Marvel memastikan, dia tidak ingin rencananya gagal gara-gara mantan suaminya hadir kembali. Saingannya bertambah kali ini. "aku juga tidak tahu, tidak usah di pikirkan. dia bukan siapa-siapa" ucapnya, seraya menatap sebuah layar ponsel nya. "yang aku takutkan, dia akan merebut mu kembali"ucap Marvel, dan masih fokus menatap kearah Amara. " terus, apa masalahmu Marvel?" tanya Amara keheranan, seraya mengernyit heran dengan ucapan Marvel kali ini. "sebenarnya, tujuan ku malam hari ini adalah ingin menyatakan cinta, Amara. apakah kamu mau?" ucap Marvel dengan menggenggam tangan Amara dengan erat. Amara tidak menjawab dan masih menatap dalam kearah Marvel, sebenarnya dia tidak suka dengan sikap Marvel yang terburu-buru untuk menyatakan cintanya. Karena Amara tahu, Marvel adalah orang yang terkenal saat ini. "kamu sadar? kamu itu artis, da
Catur terkesima melihat penampilan Amara kali ini, sangat cantik dan anggun. Siapapun yang melihat pasti jatuh cinta dan tertarik kepadanya. "kamu sudah kalah" celetuk Marvel dengan mengece keberadaan Catur yang masih melihat kearah Amara. Amara berjalan di samping Catur dengan muka datar, karena Amara merasa kesal dengan ulah Catur yang tidak terbuka mengenai asal usul Catur. Amara dengan anggun Menaiki mobil Marvel, dengan santai Amara naik mobil Marvel dengan sangat cantik, Marvel dengan sombong menatap Catur dengan tatapan yang sangat lah dingin sekali. "mari masuk, tuan putri" senyum Marvel menggema. Amara hanya menyunggingkan senyum, tanpa banyak bicara kepada Marvel. pilihan nya sangat terpaksa menyetujui permintaan Marvel, karena dia sangat lah risih setiap hari Marvel mengganggu aktivitas nya. Amara ingin menyampaikan unek-unek hatinya, dan sekarang waktu nya sudah pas untuk itu. "aku ingin kamu menutup mata Amara" pinta Marvel seraya fokus menyetir mobilnya, lalu Am