Bunker Quantix itu terasa jauh lebih hangat dari biasanya, meskipun AC berdesis halus di sudut ruangan. Raven duduk di kursi kerjanya, layar monitor memantulkan wajahnya yang tenang namun penuh kepuasan. Ia membuka sambungan video call, dan tak butuh lama sebelum wajah Santoso muncul di layar. Latar belakangnya menunjukkan ruang kerjanya yang rapi, namun senyum yang ia bawa jelas mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang menarik baginya.Raven mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Sepertinya Anda belum sepenuhnya percaya pada kami, Pak Santoso,” ucapnya pelan, nada suaranya seolah menimbang kata demi kata. “Tapi kami bisa memberi sedikit informasi… bahkan belum dua puluh empat jam sejak pertemuan tadi pagi, Cybershield sudah gagal.”Di seberang, Santoso menatapnya sepersekian detik, lalu meledak tertawa. Tawanya panjang, berat, dan benar-benar terbahak. “Anak muda,” katanya sambil menggelengkan kepala, “kau benar-benar gila.” Ia menepuk meja kerjanya sendiri, masih menahan sisa tawa.
Markas besar CyberShield malam itu terasa tegang. Lampu-lampu kantor lantai atas masih menyala terang, memantulkan kilau dingin di dinding kaca. Radja berdiri di ujung ruang rapat besar yang biasanya digunakan untuk menerima klien penting, mengumpulkan enam orang programmer terbaik mereka. Di layar utama terpampang source code yang baru saja dikirimkan Santoso. “Aku mau kalian bongkar ini,” suara Radja berat dan penuh tekanan. “Cari kelemahannya. Kalau tidak ada, ciptakan. Buat versi yang lebih baik. Kalian punya 24 jam.”Seorang programmer bernama Kurnia, yang dikenal paling cepat mengetik di antara mereka, menggerakkan kursinya mendekati meja. “Kodenya rapi… terlalu rapi malah. Ini udah lewat standar industri.”Dani, yang duduk di sebelahnya, menambahkan sambil menelusuri script. “Ya, tapi bukan mustahil kita tingkatkan. Mereka pakai metode enkripsi berlapis, tapi gue bisa ganti algoritma hash-nya dengan versi kita yang lebih efisien.”“Aku malah lihat ini nggak terlalu istimewa,
"Anak muda," katanya dengan nada yang campuran antara kagum dan waspada, "Anda baru saja memberikan presentasi bisnis paling jujur dan paling menakutkan yang pernah saya lihat." Santoso akhirnya tersenyum, senyum pertama yang tampak tulus sejak mereka masuk ke ruang rapat. Ia berdiri perlahan, mengulurkan tangannya pada Raven. Genggamannya mantap, matanya menatap langsung. Raven membalas genggaman itu dengan tenang. "Terima kasih, Pak," ucapnya singkat, memilih menahan semua komentar lain yang sempat melintas di kepalanya.Santoso menarik napas sebelum melanjutkan. "Presentasi tadi sangat mengesankan, Tuan Adyatama. Sangat berani." Nada suaranya berubah sedikit lebih formal. "Tapi TransGlobal tidak mengambil keputusan berdasarkan pertunjukan. Kami akan mempertimbangkannya baik-baik. Tim saya akan menghubungi Anda."Kalimat itu jatuh pelan, tapi jelas. Sebuah penolakan yang dibungkus kesopanan. Kemenangan kecil yang sempat mereka rasakan beberapa menit lalu mendadak terasa rapuh. Cl
Programmer junior yang menyebabkan insiden itu duduk membeku. Kedua tangannya masih di atas keyboard, namun jarinya kaku. Wajahnya pucat, dan tatapan matanya tak berani bertemu siapa pun. Indra menoleh padanya dengan tatapan yang bisa memaku orang di tempat. Tidak ada kata keluar dari mulutnya, hanya desahan napas berat yang penuh teguran. Lalu ia menoleh pada Raven, suaranya tajam."Apa ini? Semacam jebakan?"Raven mengangkat kepalanya, menatap Indra tanpa berkedip. Di seberang meja, Santoso tidak mengeluarkan suara. Ia bersandar di kursi, jemarinya saling terkait, memandangi Raven seperti sedang mempelajari pola pikirnya. Mata itu bukan mata yang sekadar mencari kebenaran, tapi juga menghitung untung-rugi dari setiap kata yang akan keluar.Raven mengangguk pelan, gerakannya tenang, seolah semua yang terjadi memang sudah ia perhitungkan. "Bukan jebakan, Pak Indra," ucapnya datar. "Itu adalah fitur."Ia berdiri. Kursinya bergeser mundur dengan suara halus, lalu ia berjalan perlahan k
“Selamat pagi,” ucap Santoso, suaranya datar tapi setiap kata terasa terukur. Semua mata terfokus pada pertemuan ini. Raven dan Clara duduk berseberangan dengan jajaran direksi. Sementara Freya duduk di meja konsol terpisah. Di ujung meja, Bapak Santoso duduk tegak, kedua tangannya bertaut di atas meja.“Seperti yang Anda tahu, kami juga akan bertemu dengan CyberShield hari ini. Waktu kami terbatas. Jadi, silakan, yakinkan kami.”Clara menegakkan punggung. “Baik, Pak.” Suaranya tenang, tanpa getaran ragu. “Quantix lahir dari kebutuhan mendesak akan sistem keamanan siber yang bukan hanya reaktif, tetapi proaktif. Saat ini, industri keamanan siber terlalu sibuk memadamkan kebakaran, bukan mencegahnya. Kami menciptakan sistem yang dapat mengantisipasi ancaman, bukan sekadar meresponsnya. Dengan itu, klien mendapatkan rasa aman yang nyata. Dan rasa aman itu selalu menjadi alasan utama terjadinya penutupan kontrak.”Beberapa direksi bertukar pandang. Santoso tidak menanggapi, hanya meng
Monitor raksasa di dinding memantulkan wajah-wajah yang tegang. Kursi-kursi ditarik mendekat, meja kerja berubah fungsi menjadi meja taktis. Kabel berseliweran di lantai, laptop-laptop terbuka menampilkan potongan kode, simulasi jaringan, dan grafik keamanan yang berdenyut seperti detak jantung. Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik, hanya suara kipas pendingin server di ruang sebelah.Clara memecah keheningan.“Kita nggak bisa cuma nunjukkin barisan kode,” katanya sambil melirik layar penuh teks hijau. “Mereka bukan programmer. Mereka adalah dewan direksi. Mereka butuh sesuatu yang wow.” Tangannya mengetuk meja, ritmenya cepat, seolah mendorong otak semua orang untuk bergerak lebih cepat.Tirta mencondongkan tubuh.“Bag