Share

Bab 3. Benarkah Mulai Berubah?

Gendis terkejut dengan apa yang telah ditemukannya. Wanita itu terperangah tak percaya saat melihat isi kotak berbahan beludru tersebut. Sebuah cincin berlian dengan desain yang terlihat berkelas, sangat indah menurut siapa pun yang melihat. Pasti, harganya sangat mahal sekali. Kira-kira benda itu milik siapa? Kenapa sampai ada di jas suaminya?

'Apa mungkin ...?'

‘Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Mas Damar tidak seperti yang kupikirkan, kok,' bantah Gendis dalam hati. Batinnya berkecamuk, perasaan tidak nyaman hampir menjejali hatinya. Gendis mulai curiga, tetapi ia tepis kembali pikiran itu.

“Sudah ketemu, Sayang?” tanya Damar dengan wajah memucat kala melihat istrinya telah menemukan barang yang dia rahasiakan. Jika, bukan untuk Gendis. Lantas untuk siapa benda tersebut?

Beberapa detik kemudian, Damar dapat menguasai dirinya kembali, menyembunyikan rasa panik serta gugupnya. Ia berpura-pura santai padahal hatinya sungguh tidak tenang. Jantungnya memompa lebih cepat seolah pria itu telah mengikuti lari maraton dengan jarak yang jauh.

“Ini punya siapa, Mas?” tanya Gendis dengan nada menyelidik. Tatapannya tajam meminta penjelasan. Sedangkan sang suami mulai menghampiri Gendis.

“Itu buat kamu, kok, Sayang. Mas sengaja beli. Tadinya Mas mau kasih kamu surprise, tapi malah ketahuan duluan,” jelas Damar dengan terbata-bata. Pria itu masih sibuk menenangkan ritme jantungnya yang berdetak tidak karuan.

“Really?” tanya Gendis? Dia menyipitkan matanya meminta kepastian sekali lagi.

“Sure, Honey.” Mendengar kata-kata Damar, Gendis tersenyum lebar. Matanya berbinar menatap wajah sang suami. Wanita itu seketika memeluk tubuh Damar dan mengucapkan terima kasih, pun mengecup bibir suaminya sekilas.

“Makasih, ya, Mas, atas kejutannya. Aku suka banget cincin ini. Mas mau pakaikan dijariku?” tawar Gendis yang langsung dibalas dengan anggukan suaminya.

Damar menyematkan cincin tersebut di jari manis Gendis, berdempetan dengan cincin pernikahan, mereka berdua.

“Iya, Sayang,” Damar mengangguk dengan sorot mata yang menatap kosong. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Seolah jiwanya sedang tidak bersama Gendis.

Karena ajakan istrinya itu, Damar baru tersadar dan mengikuti Gendis.

Damar, mentransfer sejumlah uang yang ibunya minta. Membuat Bu Retno kembali mengulas senyum bahagia.

**

“Aku baik-baik saja, Wid. Alhamdulillah. Kamu gimana di sana? Jangan lupa bawa oleh-oleh ya, dari Maldives.” Gendis senang sekali, Widya sahabatnya yang baru saja menikah beberapa Minggu lalu mengabarinya, kalau dia sedang bulan madu di Maldives.

Sebuah pulau impian kedua wanita itu. Gendis dan sahabatnya tersebut, pernah bercita-cita untuk pergi ke sana saat berbulan madu. Sayangnya, Gendis tidak dapat memenuhi impiannya dikarenakan mendapatkan kabar duka sehari setelah dirinya menikah dengan Damar.

Ayahnya yang sakit liver mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit pada hari kedua Gendis dan Damar baru saja sah menjadi suami istri. Itu yang membuat pasangan tersebut membatalkan rencana bulan madu mereka ke Maldives dengan alasan masih berkabung.

Pun, setelah suasana berkabung selesai, rencana mereka tidak kunjung terealisasi. Damar dengan seribu alasan selalu menolak keinginan istrinya. Ia mulai sibuk dengan urusan kantor dan ini itu. Apalagi, semenjak dirinya diangkat menjadi CEO di perusahaan milik Papa Gendis.

Wanita itu harus mengubur mimpinya untuk memenuhi impiannya. Bagi Gendis, kini yang terpenting bukan bulan madu yang membuat hubungan di antara suaminya dan dia semakin erat. Namun, saling mengerti satu sama lain, itu yang paling penting. Dan hal tersebut yang sedang Gendis lakukan.

Kesibukan Damar semakin menjadi, kala pria itu menyatukan perusahaan miliknya dan Gendis menjadi satu perusahaan yang besar. Awalnya, Gendis pun memiliki jabatan yang cukup tinggi di perusahaan mereka. Menjadi seorang CFO atau bisa disebut manajer keuangan. Seseorang yang bertanggung jawab atas seluruh aktivitas keuangan di perusahaan.

Namun, seiring program kehamilan yang direncanakan pasangan itu, membuat Damar meminta istrinya untuk berhenti bekerja. Ia ingin Gendis fokus untuk mengurus diri sendiri dan keluarga, terutama dirinya sebagai suami.

Damar pikir, Gendis susah hamil karena terlalu lelah bekerja. Padahal, bagi wanita itu, pekerjaan rumah lebih melelahkan dari pada bekerja di perusahaan. Akan tetapi, Gendis tidak ingin membantah ucapan sang suami. Dia ingin memanjakan Damar mulai sekarang dan mengurus keluarganya secara maksimal. Pun, berharap program kehamilannya berjalan dengan sukses.

Di luar dugaan, ternyata tiga bulan kemudian, Gendis dinyatakan positif hamil. Hal itu membuat wanita tersebut semakin yakin dengan ucapan suaminya.

Ia mulai mempercayai dan menyerahkan segala urusan kantor secara penuh kepada sang suami. Toh, ia tahu Damar seorang pebisnis yang pandai. Pria itu pasti bisa mengurus segalanya tanpa dirinya. Gendis hanya ingin menjadi ibu rumah tangga yang diimpikan sang suami.

Kembali kepada percakapan antara Gendis dan Widya, sahabatnya itu tentu saja mengiyakan permintaan Gendis.

“Iya, babe. Tenang saja, aku dan Mas Aris pasti bawakan kamu sesuatu. Oleh-oleh yang paling spesial. Oh iya, Dis. Gimana kesehatan keponakanku? Sehatkan?”

“Alhamdulillah baik, Wid. Kata dokter semuanya normal dan sehat.”

“Syukur deh, Dis. Aku tadinya sempat khawatir lho sama keadaan kamu. Apalagi setiap hari kamu mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga sendiri. Kenapa enggak pakai asisten rumah tangga aja, sih? Si Damar itu, ya. Tega banget, masa istrinya yang lagi hamil disuruh kerja berat sendiri?”

Gendis menggeleng membantah ucapan sahabatnya itu. Dia tidak suka kalau Widya menyalahkan Damar, suaminya.

“Wid. Ini bukan salah Mas Damar, kok. Aku yang mau sendiri. Lagi pula, sekarang susah sekali cari asisten rumah tangga yang bisa dipercaya. Kami sudah mencarinya dari pas aku ketahuan hamil. Tapi, sampai sekarang belum nemu juga,” bantah Gendis membuat Widya hanya bisa menghela napas gusar.

“Iya, deh, iya. Awas saja jaga kesehatanmu, ya. Aku mau bermesraan lagi dengan Mas Aris. See you,” pamit Widya sambil nyengir di layar ponsel.

“Beuh. Yah lagi kasmaran dan masih anget-angetnya jadi pengantin baru. Sana gih jagain suaminya jangan sampai jauh-jauh. Nanti malah kecantol cewek cantik tahu rasa,” goda Gendis dengan wajah jahilnya. Apalagi setelah melihat reaksi sahabatnya itu yang cemberut membuat wanita itu tertawa lepas.

“Aku suka Gendis yang tertawa lepas seperti ini. Sudah lama sekali aku enggak lihat kamu kek gini, seperti bukan Gendis yang dulu.” Mendengar ucapan Widya gendis seketika terdiam. Apa iya dia berubah?

Wanita itu mengingat kapan saja terakhir kali ia tertawa lepas tanpa beban. Saat obrolan sudah mulai tidak nyaman. Widya segera pamit dan menutup panggilan videonya dengan salam.

Sejenak Gendis berpikir. Kata-kata Widya sahabatnya kembali berdengung dan diputar berulang-ulang bagai sebuah kaset. Namun, seketika lamunan Gendis buyar kala ponsel milik wanita itu kembali bergetar. Ia menggeser tombol hijau di ponsel tersebut.

“Apa benar ini dengan ibu Gendis?” tanya seseorang di seberang sana.

“Iya benar. Saya sedang berbicara dengan siapa, ya?”

“Mohon maaf, Bu. Kami dari rumah sakit Citra Medika ingin mengabarkan kalau suami ibu bernama Damar Putra Prasetyo mengalami cedera dan sedang di rawat di Rumah Sakit kami.”

Gendis bergeming mengingat kabar yang baru saja dia dengar.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status