Share

Bab 6. Terus Berdusta

Berulang kali Gendis memanggil suaminya dan mengetuk pintu ruangan kantor yang tertutup, ia mulai kesal. Lalu, wanita itu segera memutar hendel pintu, dan ternyata tidak dikunci. Gegas ia membukanya dan menampilkan sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Mas ...,” panggil Gendis sambil menghampiri Damar.

“Lho, kamu ke sini, Sayang? Kenapa enggak kabari Mas dulu sih?” sahut Mas Damar dengan mimik muka yang seolah sedang terkejut. Ia mulai memainkan sandiwaranya.

“Kan tadi aku udah ngasih tahu di rumah. Kalau akan membawakan Mas makan siang. Mas Damar juga harus minum obat juga, kan? Aku tahu lho, Mas suka abai kalau disuruh minum itu. Oh iya, Mas. Dari tadi aku ketuk pintu sama manggil, kenapa Mas enggak nyahut sih? Barusan juga sekilas kudengar suara perempuan ada di dalam?” tanya Gendis ingin memastikan.

“Maaf, ya, kamu kan tahu, Mas tadi baru keluar kamar mandi. Kalau suara perempuan, emang suara siapa? Di sini enggak ada siapa-siapa. Mas hanya sendirian dari tadi,” jawab Damar sambil memainkan jarinya dan terbata-bata, membuat alis Gendis mengernyit karena merasa aneh dengan sikap sang suami.

Berulang kali pula, Damar sering mengedipkan matanya dan menekan pipi seperti menghilangkan kegugupan.

Sedangkan Gendis, setelah mereka duduk di sofa, ia menyiapkan makanan untuk suaminya. Saat hendak berdiri mengambil piring yang terletak di rak dekat toilet, Damar mencekal tangannya.

“Mau ke mana, Sayang?” tanya Damar mulai panik melihat istrinya akan beranjak.

“Mau ambil piring, Mas. Sama ke wastafel buat cuci tangan,” jawab Gendis.

“Kan pakai sendok, kamu tunggu di sini, biar Mas yang ambil piringnya. Kamu jangan capek-capek. Jaga kesehatan bayi kita, Sayang. Biar Mas juga yang suapi. Kamu belum makan siang juga, kan?” Mendengar pertanyaan dari suaminya Gendis mengangguk. Ia memang belum sempat untuk mengisi perut sejak tadi pagi.

Dengan detak jantung yang tidak karuan, Damar beranjak dari tempat duduknya. Ia segera mengambil piring dan sendok dari rak penyimpanan. Pria itu juga membawakan botol minum. Ketika berbalik ke arah kamar mandi, Damar dapat melihat Vivian menampakkan kepalanya hendak keluar. Gegas ia meletakkan kembali piringnya itu dan masuk ke dalam kamar mandi dengan alasan akan mencuci tangan.

“Vi, kamu mau ngapain? Jangan macam-macam, nanti kita ketahuan,” bisik Damar panik ketika Vivian hendak melakukan hal nekat.

“Tapi aku jenuh, Mas menunggu di sini. Kamu sih enak-enakan mau suapin Mbak Gendis segala.” Kembali Vivian merajuk dengan wajah yang cemberut. Membuat Damar tersenyum dan langsung menyergap bibir gincu sang kekasih. Ciuman itu semakin dalam, tetapi segera terlepas ketika Gendis mulai memanggil Damar yang lama tidak kembali.

“Mas, kok lama cuci tangannya?”

“Iya, Sayang bentar. Mas lagi rapihkan rambut dulu tadi sempat berantakan.” Lagi-lagi Damar mencari alasan untuk menutupi kebohongannya. Memang benar, sekali orang menutupi sesuatu pasti ia akan terus menerus menciptakan alasan agar tidak ketahuan.

“Sabar, ya, Sayang. Jangan khawatir, nanti Mas kasih hadiah buat kamu waktu panjang bersama, okay. Mas keluar dulu,” tutur Damar sambil berbisik di telinga Vivian.

Gegas ia keluar menemui istrinya. Menyuapi dirinya sendiri dan sang istri. Mungkin, bagi Gendis dan orang yang melihat, Damar sosok yang manis. Namun, wanita itu tidak tahu saja kenapa suaminya melakukan hal itu dan alasan dibalik sikap manisnya.

Damar dengan halus meminta Gendis untuk kembali pulang setelah selesai makan dan memastikan suaminya telah meminum obat dengan benar. Sebenarnya Gendis heran dengan sikap aneh sang suami yang terkesan tidak biasa. Dari gestur tubuhnya seolah pria itu sedang gelisah dan menutupi sesuatu. Namun, ia tidak tahu apa itu.

Selanjutnya, Gendis pamit dan pulang sesuai keinginan Damar. Mendengar Gendis pulang, Vivian segera keluar dari kamar mandi, dengan muka yang kesal.

“Kenapa cemberut lagi, sih?” tanya Damar ketika melihat muka masam kekasihnya.

“Pokoknya Mas harus ganti ini semua dengan makan malam romantis malam ini.”

“Iya, Sayang. Makasih, ya, sudah membantu Mas dengan tidak membocorkan hubungan kita. Apa pun keinginan kamu Mas akan penuhi,” jawab Damar. Selanjutnya mereka melanjutkan kemesraan yang sempat tertunda dengan tidak tahu adab, sampai-sampai lupa kalau itu adalah kantor tempatnya bekerja.

**

Damar pulang tengah malam setelah menghabiskan waktu dengan Vivian di apartemen sewaannya. Melihat suaminya yang baru pulang, Gendis merasa heran serta kasihan. Heran karena tidak seharusnya sang suami lembur sampai jam begini. Selain itu pula rasa kasihan bersarang di hatinya melihat kerja keras Damar.

“Mas, kenapa sih akhir-akhir ini semakin sering lembur dan pulang malam?” tanya Gendis. Ia mulai heran dengan jadwal kerja sang suami yang mulai berantakan. Gendis khawatir ada sesuatu yang tidak baik di kantornya, pun kesehatan sang suami.

“Mas kan lembur buat kita semua, Sayang.”

“Iya, tapi Mas. Aku tuh khawatir sama kamu. Apa kantor sedang mengalami masalah?” tanya Gendis dengan tatapan menyelidik.

Mendengar pertanyaan sang istri, sebuah ide cemerlang terlintas di benar Damar. Ia tersenyum licik sekilas. Bahkan, istrinya tidak bisa melihat.

“Sebenarnya ... kondisi keuangan perusahaan kita sedang tidak stabil. Perusahaan mengalami kerugian cukup besar saat ada salah satu klien membatalkan proyek kerja sama. Tapi, Mas coba menyelesaikan meski hasilnya belum ada,” papar Damar mulai bersandiwara. Ia tahu, mendengar kabar seperti ini, istrinya tidak akan tinggal diam.

“Apa ada yang harus aku lakukan buat bantu Mas?” tanya Gendis merasa iba terhadap suaminya.

“Mas hanya butuh suntikan dana sebesar satu milyar. Apa kamu bisa mengusahakannya dengan meminjam kepada Kak Edo?” pinta Damar dengan mengiba.

Ya, Edo adalah kakak sulung Gendis. Selama ini, ialah saudara yang paling dekat dengan wanita itu. Makanya, Damar memanfaatkan kebaikan Gendis dan kedekatan bersama saudaranya.

Kira-kira akankah Gendis menyanggupi permintaan Damar? Lalu, untuk apa sebenarnya yang tersebut?

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status