Beranda / Romansa / Kecantol Cinta Janda / Bab 7 Bertemu Lemonta

Share

Bab 7 Bertemu Lemonta

Penulis: Author Receh
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 13:46:27

Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria.

“Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat.

Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping.

“Melon?”

Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang.

Ia menoleh pelan. Dan benar saja.

Di sana, berdiri seorang pria bertubuh tinggi, rapi dengan kemeja hitam lengan digulung dan jam tangan mahal melingkar di pergelangan kirinya. Rambutnya tertata rapi, dagunya ditumbuhi janggut tipis yang dulu Melon bilang “gaya pura-pura dewasa.” Tatapannya tajam. Senyumnya tak berubah. Sama seperti dulu—beracun.

“Lemonta Aksara,” ucap Melon datar, lebih sebagai konfirmasi, bukan sapaan.

Pria itu tersenyum tipis. “Masih inget, ya?”

“Sulit lupa kalau bekas luka masih berbekas,” balas Melon santai, sambil menyilangkan tangan di dada.

Lemonta terkekeh, tapi matanya mengamati Melon dengan seksama. “Kamu... makin cantik sekarang. Gaya kamu beda. Tapi auranya... tetap sama.”

“Lagi cari aura siapa di mall siang-siang begini?” tanya Melon cepat, dengan alis terangkat.

“Santai. Aku cuma mampir sebentar, ada meeting di rooftop café,” jawab Lemonta, menunjuk ke atas.

“Sendiri?” tanya Melon, menoleh ke kiri dan kanan, setengah berharap tidak ada wanita bersuara cempreng menempel di lengan Lemonta.

“Ternyata kamu masih kepo, ya.” Ia tersenyum, lalu menambahkan, “Tapi iya, sendiri. Aku nggak suka bawa urusan pribadi ke tempat kerja.”

Melon menahan komentar. Bukan karena tidak punya balasan, tapi karena malas membuka luka lama di depan tempat cuci tangan.

Lemonta mendekat sedikit. “Kamu kelihatan bahagia. Beda dari terakhir kali aku lihat kamu... waktu itu kita—”

“Putus, iya. Aku juga masih ingat, jangan khawatir,” potong Melon cepat, ekspresinya datar.

Lemonta tertawa kaku. “Kamu nggak berubah. Tajam.”

“Kamu juga nggak berubah. Masih hobi muncul tiba-tiba.”

Mereka terdiam sejenak. Lalu Lemonta berkata, lebih pelan, “Aku dengar kamu... sekarang janda, ya?”

Melon mendongak, menatapnya lurus-lurus. “Iya. Bangga?”

Lemonta tampak terkejut dengan jawabannya yang tanpa filter. Tapi sebelum ia bisa bereaksi, Melon menyambung lagi, “Kalau kamu datang buat nostalgia, maaf. Aku udah nggak jual kenangan. Lagi diskon harga diri sekarang.”

Sebuah keheningan menyusup. Tapi justru Melon yang tertawa pelan, membalikkan tubuhnya.

“Makasih sudah menyapa. Tapi kayaknya ada sheet mask lain yang lebih menarik buat dilihat.”

Ia berjalan pergi, langkahnya ringan. Tapi belum jauh, suara Lemonta terdengar lagi.

“Melon!”

Ia berhenti. Setengah malas, setengah penasaran.

“Aku nggak nyangka kamu bisa jadi... sekuat ini.”

Melon menoleh setengah, tersenyum miring.

“Dulu aku lemah karena mencintaimu. Sekarang aku kuat karena mencintai diriku sendiri.”

Lalu ia berjalan lagi, tanpa menoleh, meninggalkan Lemonta berdiri sendiri di depan toko—diapit lampu sorot dan sisa-sisa ego masa lalu.

Melon melangkah cepat menuju eskalator, hatinya masih berdegup—bukan karena rindu, tapi karena geli. Ketemu mantan di mal? Klise. Mantan yang masih ganteng dan sok cool? Lebih klise. Tapi mantan yang sekarang pura-pura peduli? Ah, itu sudah level sinetron jam lima sore.

Ia menatap pantulan dirinya di kaca lift, lalu mendesah. “Tadi harusnya aku jawab, ‘Iya, aku janda. Terus kenapa? Kamu masih duda yang nggak laku, kan?’” gumamnya sambil menahan tawa sendiri.

Sambil menuruni eskalator, ponselnya bergetar. Notifikasi pesan dari Om Kiwi. Melon membuka, dan senyumnya langsung merekah membaca isi pesannya:

> Om Kiwi:

Gimana sheet mask-nya? Ada yang rasa alpukat buat aku?

Ia tertawa kecil lalu membalas cepat:

> Melon:

Ada rasa durian juga. Tapi nanti mukamu bisa ditolak sensor TV nasional.

Tak sampai dua detik, balasan masuk:

> Om Kiwi:

Yang penting jangan ditolak sama Jeruk. Sama kamu sih udah ikhlas kalau ditolak... asal ditolak dengan senyum.

Melon tertawa sampai matanya menyipit. Suasana hatinya langsung pulih total. Lemonta siapa? Lupa. Yang jelas, sekarang dia tahu siapa yang layak diberi perhatian.

Tapi belum sempat ia keluar dari mal, sebuah suara terdengar dari arah belakang.

“Melon!”

Melon langsung menghentikan langkah. Hatinya menolak berharap, tapi telinganya sudah hafal betul suara itu. Ia berbalik perlahan.

Lemonta berdiri dengan napas sedikit terengah. “Maaf. Aku tahu ini tiba-tiba. Tapi... bolehkah kita ngobrol sebentar? Lima menit aja.”

Melon melirik jam tangannya, lalu mengangguk kecil. “Oke. Lima menit. Di tempat ramai. Jangan dramatis.”

Mereka akhirnya duduk di kursi panjang dekat air mancur indoor, dikelilingi suara cipratan air dan anak-anak yang bermain.

Lemonta membuka percakapan dengan suara pelan, “Aku cuma mau bilang... aku nyesel.”

Melon menyilangkan kaki, wajahnya datar. “Kamu nyesel karena ninggalin aku? Atau nyesel karena aku sekarang kelihatan bahagia?”

Lemonta terdiam. Lalu menjawab pelan, “Dua-duanya.”

Melon menatap lurus ke depan. “Terlambat, Lemonta. Kamu bukan tokoh utama di hidupku lagi.”

Lemonta menarik napas panjang. “Tapi aku masih ingin jadi bagian... kalau kamu izinkan.”

Melon berdiri. “Kamu tahu, hal paling indah dari jadi janda adalah... aku bisa milih siapa yang pantas masuk lagi ke hidupku.”

Lemonta ikut berdiri, sorot matanya tetap berat. “Dan aku nggak pantas, ya?”

Melon tersenyum lembut, tapi tegas. “Nggak semua yang dulu dicintai, harus diulang lagi kisahnya.”

Ia melangkah pergi, tidak buru-buru. Tapi mantap. Ia keluar dari mal, menatap matahari yang kini sedikit lebih teduh, lalu membuka ponsel dan menekan ikon telepon.

“Om Kiwi, kamu sibuk nggak?”

Suara Kiwi terdengar ceria dari seberang, “Kalau kamu ngajak makan sore, aku mendadak cuti seharian!”

Melon tertawa. “Kebetulan aku juga lagi butuh makan yang manis... tapi bukan mantan yang manisnya palsu.”

Dan dengan langkah enteng, ia menuju parkiran, meninggalkan masa lalu di belakang, dan bersiap menyambut cerita baru yang jauh lebih segar—seperti jus melon tanpa biji: manis, segar, dan bebas drama.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 10 Nasehat Lengkuas atau Lele

    Sore datang dengan langit kelabu. Melon duduk di teras rumahnya dengan rambut dikuncir asal dan setelan santai, memeluk bantal kecil di pangkuan. Di atas meja, dua gelas teh hangat mulai mendingin, dan sepiring pastel yang ia goreng sendiri masih utuh tak tersentuh. Sesekali matanya melirik ke arah gerbang, berharap motor Kiwi muncul seperti biasanya. Namun yang datang justru suara notifikasi dari ponselnya. Melon buru-buru meraih ponsel dan membuka pesan. > Kiwi: Maaf, Melon. Aku nggak bisa datang sore ini. Ada sesuatu yang harus aku urus mendadak. Maaf banget ya. Jantung Melon seolah terjatuh ke lantai. Tangannya yang tadi memegang ponsel mulai gemetar halus. Ia membaca pesan itu berkali-kali, berharap ada kalimat lain yang menyusul… tapi tidak ada. Hanya satu pesan dingin, tanpa penjelasan, tanpa janji baru. Ia mengetik balasan, lalu menghapus. Mengetik lagi, lalu menghapus lagi. Akhirnya ia hanya meletakkan ponsel ke atas meja, lalu mengambil pastel dan menggigitnya pelan—m

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 9 Kedatangan Ayah dan Ibu Kiwi

    Sementara Melon sibuk menenangkan diri di dapur dengan membuat teh hangat, di sisi lain kota, suasana rumah Kiwi jauh dari hangat. Hening. Sepatu kerjanya masih tercecer di dekat pintu, jaket tergantung asal di sandaran kursi, dan motor yang baru saja ia kendarai terparkir miring di garasi. Kiwi duduk di sofa ruang tamu dengan baju yang belum sempat diganti. Ia menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara, memainkan ulang acara masak sore hari. Namun pikirannya tak berada di sana. Masih tertinggal di depan rumah Melon—pada tatapan hening yang tak membalas, pada ucapan yang tak sempat terlontar. Tiba-tiba, suara bel rumah terdengar nyaring, memecah keheningan. Ding-dong! Kiwi mengerjap, berdiri dengan malas, lalu berjalan ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung terperangah. "Ibu? Ayah?" Sang ibu, Bu Nayla, masuk lebih dulu tanpa basa-basi. “Ya ampun, rumahmu kok kayak kapal pecah, Nak!” Di belakangnya, Pak Wiryo masuk dengan langkah pelan, membawa kantong pl

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 8 Pertengkaran Melon dan Kiwi

    Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama. Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-lap

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 7 Bertemu Lemonta

    Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria. “Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, be

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 6 Gombalan Kiwi

    Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka. Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 5 Bijaknya Kiwi

    Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai. Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong. Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?” Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.” “Serius banget. Sampai nggak berkedip.” Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.” Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status