LOGINSiang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria.
“Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, berdiri seorang pria bertubuh tinggi, rapi dengan kemeja hitam lengan digulung dan jam tangan mahal melingkar di pergelangan kirinya. Rambutnya tertata rapi, dagunya ditumbuhi janggut tipis yang dulu Melon bilang “gaya pura-pura dewasa.” Tatapannya tajam. Senyumnya tak berubah. Sama seperti dulu—beracun. “Lemonta Aksara,” ucap Melon datar, lebih sebagai konfirmasi, bukan sapaan. Pria itu tersenyum tipis. “Masih inget, ya?” “Sulit lupa kalau bekas luka masih berbekas,” balas Melon santai, sambil menyilangkan tangan di dada. Lemonta terkekeh, tapi matanya mengamati Melon dengan seksama. “Kamu... makin cantik sekarang. Gaya kamu beda. Tapi auranya... tetap sama.” “Lagi cari aura siapa di mall siang-siang begini?” tanya Melon cepat, dengan alis terangkat. “Santai. Aku cuma mampir sebentar, ada meeting di rooftop café,” jawab Lemonta, menunjuk ke atas. “Sendiri?” tanya Melon, menoleh ke kiri dan kanan, setengah berharap tidak ada wanita bersuara cempreng menempel di lengan Lemonta. “Ternyata kamu masih kepo, ya.” Ia tersenyum, lalu menambahkan, “Tapi iya, sendiri. Aku nggak suka bawa urusan pribadi ke tempat kerja.” Melon menahan komentar. Bukan karena tidak punya balasan, tapi karena malas membuka luka lama di depan tempat cuci tangan. Lemonta mendekat sedikit. “Kamu kelihatan bahagia. Beda dari terakhir kali aku lihat kamu... waktu itu kita—” “Putus, iya. Aku juga masih ingat, jangan khawatir,” potong Melon cepat, ekspresinya datar. Lemonta tertawa kaku. “Kamu nggak berubah. Tajam.” “Kamu juga nggak berubah. Masih hobi muncul tiba-tiba.” Mereka terdiam sejenak. Lalu Lemonta berkata, lebih pelan, “Aku dengar kamu... sekarang janda, ya?” Melon mendongak, menatapnya lurus-lurus. “Iya. Bangga?” Lemonta tampak terkejut dengan jawabannya yang tanpa filter. Tapi sebelum ia bisa bereaksi, Melon menyambung lagi, “Kalau kamu datang buat nostalgia, maaf. Aku udah nggak jual kenangan. Lagi diskon harga diri sekarang.” Sebuah keheningan menyusup. Tapi justru Melon yang tertawa pelan, membalikkan tubuhnya. “Makasih sudah menyapa. Tapi kayaknya ada sheet mask lain yang lebih menarik buat dilihat.” Ia berjalan pergi, langkahnya ringan. Tapi belum jauh, suara Lemonta terdengar lagi. “Melon!” Ia berhenti. Setengah malas, setengah penasaran. “Aku nggak nyangka kamu bisa jadi... sekuat ini.” Melon menoleh setengah, tersenyum miring. “Dulu aku lemah karena mencintaimu. Sekarang aku kuat karena mencintai diriku sendiri.” Lalu ia berjalan lagi, tanpa menoleh, meninggalkan Lemonta berdiri sendiri di depan toko—diapit lampu sorot dan sisa-sisa ego masa lalu. Melon melangkah cepat menuju eskalator, hatinya masih berdegup—bukan karena rindu, tapi karena geli. Ketemu mantan di mal? Klise. Mantan yang masih ganteng dan sok cool? Lebih klise. Tapi mantan yang sekarang pura-pura peduli? Ah, itu sudah level sinetron jam lima sore. Ia menatap pantulan dirinya di kaca lift, lalu mendesah. “Tadi harusnya aku jawab, ‘Iya, aku janda. Terus kenapa? Kamu masih duda yang nggak laku, kan?’” gumamnya sambil menahan tawa sendiri. Sambil menuruni eskalator, ponselnya bergetar. Notifikasi pesan dari Om Kiwi. Melon membuka, dan senyumnya langsung merekah membaca isi pesannya: > Om Kiwi: Gimana sheet mask-nya? Ada yang rasa alpukat buat aku? Ia tertawa kecil lalu membalas cepat: > Melon: Ada rasa durian juga. Tapi nanti mukamu bisa ditolak sensor TV nasional. Tak sampai dua detik, balasan masuk: > Om Kiwi: Yang penting jangan ditolak sama Jeruk. Sama kamu sih udah ikhlas kalau ditolak... asal ditolak dengan senyum. Melon tertawa sampai matanya menyipit. Suasana hatinya langsung pulih total. Lemonta siapa? Lupa. Yang jelas, sekarang dia tahu siapa yang layak diberi perhatian. Tapi belum sempat ia keluar dari mal, sebuah suara terdengar dari arah belakang. “Melon!” Melon langsung menghentikan langkah. Hatinya menolak berharap, tapi telinganya sudah hafal betul suara itu. Ia berbalik perlahan. Lemonta berdiri dengan napas sedikit terengah. “Maaf. Aku tahu ini tiba-tiba. Tapi... bolehkah kita ngobrol sebentar? Lima menit aja.” Melon melirik jam tangannya, lalu mengangguk kecil. “Oke. Lima menit. Di tempat ramai. Jangan dramatis.” Mereka akhirnya duduk di kursi panjang dekat air mancur indoor, dikelilingi suara cipratan air dan anak-anak yang bermain. Lemonta membuka percakapan dengan suara pelan, “Aku cuma mau bilang... aku nyesel.” Melon menyilangkan kaki, wajahnya datar. “Kamu nyesel karena ninggalin aku? Atau nyesel karena aku sekarang kelihatan bahagia?” Lemonta terdiam. Lalu menjawab pelan, “Dua-duanya.” Melon menatap lurus ke depan. “Terlambat, Lemonta. Kamu bukan tokoh utama di hidupku lagi.” Lemonta menarik napas panjang. “Tapi aku masih ingin jadi bagian... kalau kamu izinkan.” Melon berdiri. “Kamu tahu, hal paling indah dari jadi janda adalah... aku bisa milih siapa yang pantas masuk lagi ke hidupku.” Lemonta ikut berdiri, sorot matanya tetap berat. “Dan aku nggak pantas, ya?” Melon tersenyum lembut, tapi tegas. “Nggak semua yang dulu dicintai, harus diulang lagi kisahnya.” Ia melangkah pergi, tidak buru-buru. Tapi mantap. Ia keluar dari mal, menatap matahari yang kini sedikit lebih teduh, lalu membuka ponsel dan menekan ikon telepon. “Om Kiwi, kamu sibuk nggak?” Suara Kiwi terdengar ceria dari seberang, “Kalau kamu ngajak makan sore, aku mendadak cuti seharian!” Melon tertawa. “Kebetulan aku juga lagi butuh makan yang manis... tapi bukan mantan yang manisnya palsu.” Dan dengan langkah enteng, ia menuju parkiran, meninggalkan masa lalu di belakang, dan bersiap menyambut cerita baru yang jauh lebih segar—seperti jus melon tanpa biji: manis, segar, dan bebas drama.Pagi hari.Matahari baru merayap naik ketika suara ketukan lembut terdengar di pintu rumah Melon. Ia sedang menyiapkan sarapan Jeruk di dapur — roti panggang kesukaan anak itu — saat suara itu membuat tubuhnya menegang.Jeruk yang duduk di kursi kecilnya langsung menegakkan tubuh. “Mama, ada orang?” tanyanya polos.Melon mengusap kepala Jeruk cepat. “Iya, sayang. Mama cek dulu.”Langkah Melon pelan, nyaris ragu, sampai akhirnya ia membuka pintu.Dan di sanalah Kiwi berdiri.Dengan hoodie abu-abu, rambut sedikit berantakan, dan mata yang terlihat kurang tidur. Kiwi menelan ludah ketika tatapannya bertemu tatapan Melon—canggung, kaget, dan sedikit gugup. Udara pagi yang dingin tidak mampu mengalahkan rasa hangat yang tiba-tiba memenuhi dadanya.“Kiwi…” Melon hampir berbisik.“Aku… cuma mau lihat Jeruk,” jawab Kiwi pelan, suaranya serak seolah ia sendiri belum yakin berdiri di situ.Sebelum Melon sempat berkata apa pun, suara kecil meluncur dari ruang tengah.“Kiwi!!!”Jeruk berlari sece
Sore itu, cahaya matahari menembus kaca besar toko buku, memantulkan warna keemasan di lantai kayu. Suasana tenang—hanya ada suara lembut halaman yang dibalik dan tawa kecil Jeruk di pojok ruangan. Melon sedang menyusun buku-buku baru di rak tengah ketika Pak Bram datang menghampiri sambil membawa selembar kertas.“Bu Melon, ini daftar buku yang baru masuk minggu depan. Kalau mau, kamu bantu pilih mana yang cocok ditaruh di rak depan,” ujarnya.Melon menerima kertas itu. “Boleh, Pak. Saya senang bisa bantu.”Pak Bram tersenyum, lalu beranjak ke ruang belakang. Melon menatap daftar buku itu lama, memperhatikan judul-judulnya: kisah keluarga, perjalanan hidup, tentang orang-orang yang bangkit dari kehilangan. Tanpa sadar, senyum kecil terbit di wajahnya. “Lucu ya,” gumamnya pelan. “Buku pun kadang tahu apa yang kita butuh baca.”“Kalimat yang bagus,” suara tiba-tiba terdengar di belakangnya.Melon menoleh. Seorang pria berdiri di dekat rak. Wajahnya tenang, berusia sekitar akhir tiga pu
Malam makin larut, tapi suasana di teras rumah Melon terasa tenang. Angin lembut mengusap kulit, membawa aroma hujan yang tertinggal di dedaunan. Di tangannya, secangkir teh yang sudah mulai dingin, tapi rasanya tetap menenangkan. Lampu-lampu jalan menyorot lembut, membuat bayangan pohon bergerak pelan di dinding rumah.“Masih bangun aja?” suara familiar terdengar dari pagar. Aruna datang membawa dua gelas plastik berisi kopi susu dingin. “Kupikir kamu udah tidur, tapi lampu terasnya nyala terus.”Melon menoleh dan tersenyum. “Kamu nggak pernah gagal baca situasi, ya? Ayo masuk. Duduk sini.”Aruna membuka pagar kecil dan duduk di kursi rotan di sebelah Melon. “Aku tadi lewat depan toko buku yang kamu ceritain. Tempatnya lucu, ya. Klasik, tapi nyaman.”“Iya,” jawab Melon pelan. “Aku dan Jeruk betah di sana. Entah kenapa, tempat kayak gitu selalu bikin aku tenang.”Aruna menatapnya sekilas. “Tenang setelah drama pagi itu, maksudmu?”Melon tersenyum samar. “Hmm. Mungkin iya. Mungkin juga
Siang mulai merambat ketika Melon dan Jeruk tiba di rumah. Matahari menyinari halaman depan, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Melon membuka pintu rumah dengan perasaan yang entah kenapa lebih ringan dari biasanya.Jeruk bergegas ke ruang tamu, meletakkan pensil warna dan buku gambarnya di meja besar. “Bu, aku gambar adegan ibu dan aku yang lagi ke toko buku, ya!”Melon tersenyum kecil. “Hmm. Coba tambahin juga satu tokoh laki-laki pakai mobil biru di belakang. Biar ceritanya lebih dramatis.”Jeruk mengerling. “Yang mukanya lagi nyesel, gitu?”“Pintar.”Jeruk terkikik sebelum duduk bersila dan mulai menggambar. Sementara itu, Melon membuka pintu kaca dapur, membiarkan udara siang masuk. Ia menyeduh teh chamomile, aroma hangatnya membungkus dapur seperti pelukan lembut.Ponselnya bergetar. Kali ini, bukan dari grup wali murid. Sebuah pesan masuk dari nomor yang ia hapal tapi berusaha untuk dilupakan.Kiwi:Aku ngerti kamu nggak mau diganggu. Tapi ka
Pagi itu udara terasa cerah, matahari bersinar malu-malu di balik awan tipis. Melon dan Jeruk baru saja selesai sarapan. Meja makan telah dirapikan, dan Jeruk sibuk merapikan ransel untuk berangkat sekolah. “Ibu, aku masuk siang hari ini, ya,” kata Jeruk sambil membuka jadwal pelajaran. “Katanya guru lagi rapat dulu.” Melon mengangguk. “Kalau begitu, kita sempatin ke toko buku dulu, kamu kan mau beli pensil warna baru.” Jeruk berseru, “Yay!” Setelah berganti pakaian dan siap, Melon menggandeng tangan Jeruk keluar rumah. Mereka berjalan santai ke arah jalan utama kompleks. Tapi baru lima langkah dari gerbang, seseorang menghentikan langkah mereka. “Melon?” Melon menoleh. Di depannya berdiri seorang perempuan muda dengan dandanan modis dan riasan tipis. Rambutnya dicat cokelat lembut dan kulitnya tampak terawat. Senyumnya ramah, tapi matanya menyiratkan maksud yang tidak ringan. “Lele?” tanya Melon pelan. Lengkuasa Astari—atau Lele—mengangguk. “Akhirnya kita ketemu juga.” Melon
Sore mulai turun perlahan, cahaya matahari melembut di antara sela pepohonan. Melon duduk di dapur rumah Bu Rika bersama dua ibu tetangga lainnya—Bu Rumi dan Bu Leli. Tangan mereka sibuk membungkus lumpia dengan isian rebung dan wortel, tapi obrolan yang mengalir justru jadi hiburan paling segar. “Melon ini, ya,” kata Bu Rumi sambil tertawa. “Baru ditinggal cowok sebentar aja, langsung bangkit kayak bunga yang disiram pupuk super.” “Kalau bukan karena niat sendiri, nggak bakal bisa, Bu,” sahut Melon sambil melipat lembaran kulit lumpia dengan rapi. “Soalnya kalau berharap orang lain terus, ya capek.” Bu Leli yang dari tadi lebih banyak diam, ikut menimpali, “Aku dengar-dengar, si Kiwi itu anak orang berada, ya? Ibunya sering pakai kalung mutiara ke pengajian?” Melon tertawa kecil. “Entahlah, Bu. Yang jelas, kalungnya bukan jaminan hatinya bersih dari keraguan.” Ketiga ibu itu tertawa serempak. Setelah lumpia selesai dibungkus, mereka mulai menggoreng bersama. Aroma harum memenuh







