Share

Bab 4. Foto Bersejarah

Juli mengerjapkan matanya ketika seberkas sinar matahari pagi masuk dari atas jendela kamar. Tirai berwarna coklat tua di jendela kamar itu masih tertutup rapat. Udara dingin dari AC membuat Juli masih enggan untuk beranjak dari posisi tidurnya. Sejurus ia nampak bingung dengan kondisi kamar yang ditempatinya, berbeda dengan kamar yang biasa ia tempati. Tapi kemudian ia baru sadar kalau saat ini ia sedang berada di rumah Nenek Zalma.

Dengan mata setengah terpejam ia menatap jam dinding di bagian atas tembok kamar. Jam delapan, gumamnya dalam hati. Tumben suasana rumah masih terasa sepi. Juli sudah hafal kebiasaan sang Nenek kalau mereka berlibur ke sini, biasanya sekitar jam tujuh pagi, Nenek sudah sibuk memasak bersama dengan Asih, asisten rumah tangganya untuk kemudian membangunkan ia dan Juni agar segera bersiap sarapan. Kalau sarapan tidak boleh terlalu siang, nanti bisa sakit maag, wanti-wanti Nenek Zalma mengingatkan kalau mereka masih bermalas-malasan bangun pagi untuk sarapan.

Tapi kemudian Juli baru teringat peristiwa malam sebelumnya ketika mereka sudah sampai di rumah sehabis makan malam di restaurant Nyiur Melambai. Nenek sudah bersiap menceritakan kisah yang mereka tunggu-tunggu di ruang keluarga yang terletak di rumah itu. Namun tiba-tiba, nafas Nenek tersengal-sengal, matanya mendelik menandakan ia kesulitan bernafas.

Juli menjerit panik melihat kondisi Nenek yang berubah secara drastis sementara Juni berteriak memanggil Asih. Mereka belum pernah melihat penyakit asma Nenek Zalma kambuh sampai separah itu.

Asih dengan sigap membawa tabung oksigen dan obat asma yang biasa diminum oleh Nenek Zalma. Tidak berapa lama kondisi Nenek perlahan membaik. Juni dan Juli akhirnya bisa bernafas lega.

Mereka memutuskan untuk tidak memaksa Nenek bercerita malam itu juga. Juni sempat berkata kepada Juli bahwa kemungkinan Nenek masih belum siap menceritakan kisah itu sehingga berpengaruh terhadap penyakit asmanya. Nenek Zalma kemudian pergi beristirahat di kamarnya sementara Juni dan Juli juga bergegas ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri, membereskan barang-barang dan beristirahat juga.

Apa mungkin Nenek masih sakit ?

Juli kemudian turun dari ranjang dan keluar dari kamarnya. Kamar Juni yang terletak di sebelahnya juga terasa senyap. Perlahan ia mengetuk.

“Jun..udah bangun belum?”

Tidak ada jawaban.

Ia kemudian membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci dan mendapati kamar itu kosong melompong.

Lah, kemana tuh anak, pikir Juli bingung.

Ia lalu segera menuruni tangga menuju ke lantai bawah. Kamar Juni dan Juli memang disediakan oleh Nenek di lantai dua, sementara kamar Nenek dan ayah ibunya kalau menginap berada di lantai bawah.

Sesampainya di lantai bawah, Juli segera menuju ke dapur yang juga kosong. Ia lalu memanggil Asih namun tidak ada yang menyahut.

Matanya melihat secarik kertas di meja makan di atas tutup saji. Ia lalu mengambilnya sambil membaca isinya.

Juli, kita pergi ke pasar sebentar, kalau mau makan ada pisang goreng di meja.

Pantes sepi, pada pergi semua, gumamnya dalam hati.

Juli lalu mengambil gelas dan diisi air putih untuk kemudian diminumnya. Tutup saji segera dibuka dan nampak sepiring penuh pisang goreng yang baunya harum membuat perut Juli seketika berbunyi minta diisi.

Sambil menikmati sepotong pisang goreng dengan lahap menggunakan tangannya, Juli melihat ke sekeliling ruangan makan yang menyatu dengan ruang keluarga itu. Dia sudah hafal seluk beluknya. Banyak kenangan yang luar biasa indah di ruangan ini. Dulu waktu kecil, ia dan Juni biasa berlarian di ruangan ini karena cukup besar. Suatu ketika ketika mereka sedang berlarian ke sana ke mari, tanpa sengaja Juni menyenggol vas bunga kesukaan Nenek sampai pecah, untung Nenek Zalma bukan tipe pemarah, ia hanya tertawa saja melihat ulah cucu-cucunya.

Juli tanpa sadar tersenyum sendiri mengingat kenangan masa lalu. Kesunyian suasana rumah pagi ini membuat kenangan manis terus bermunculan dan ia sangat menikmatinya.

Tanpa sengaja, matanya menatap ke jejeran foto-foto yang terletak di atas piano di ujung ruangan tengah. Ia menyipitkan matanya seolah ingin menajamkan penglihatannya. Ada sesuatu yang beda di sana.

Juli segera berdiri dan menghampiri piano itu.

Berjejer di sana foto-foto Neneknya dengan teman-temannya, ada juga foto Nenek dengan ayah ibunya, foto keluarga ketika berlibur ke Eropa beberapa waktu yang lalu dan satu foto hitam putih yang sebelumnya rasanya tidak ada.

Juli mengambil foto hitam putih itu dan mengamatinya.

Foto itu diambil dengan latar belakang gunung Tangkuban Perahu. Ada sosok dua pria dan dua wanita yang berjejer membelakangi gunung itu.

Pria pertama di sebelah kiri bertubuh lebih tinggi dari semuanya dan sedikit gemuk, memakai kaca mata hitam dan baju kemeja lengan panjang yang digulung dan dua kancing di atasnya dibiarkan terbuka serta bercelana cut bray. Di sampingnya berdiri seorang wanita berwajah cantik dengan tatanan rambut pendek, baju kemeja lengan pendek juga dengan celana cut bray menimbulkan kesan tomboy.

Di samping wanita itu berdiri seorang wanita lain dengan berpakaian mirip dengan wanita di sebelahnya itu, hanya rambut panjangnya yang diikat dan tubuhnya yang lebih kurus membuatnya berbeda. Di samping wanita itu berdiri seorang pria memakai kaos bergaris garis juga bercelana cut bray, tubuhnya gempal berotot dan memiliki tatapan tajam.

Juli hampir pasti menebak bahwa salah seorang dari pria itu adalah Kakeknya karena wanita tomboy di foto itu mirip sekali dengan Nenek. Kalau memang benar bahwa yang di foto itu adalah Kakeknya, maka ini adalah pertama kalinya Juli bisa melihat gambaran si Kakek yang tidak pernah diceritakan secara detail oleh Nenek.

Setiap kali Juli atau Juni bertanya tentang Kakek pasti selalu dijawab oleh Nenek kalau beliau sudah lama meninggal dunia dan foto-fotonya tertinggal ketika Nenek sibuk mengurusi pindahan rumah yang lama di kawasan Setiabudi ke Asia Afrika, rumahnya saat ini.

Nenek beralasan bahwa tidak banyak orang yang membantunya ketika pindah rumah sehingga banyak sekali barang yang memang sengaja ditinggal atau tertinggal. Anita, ibunya juga masih kecil saat itu sehingga tidak banyak membantu. Belum lagi saat itu, Nenek sedang merintis usaha pengolahan susu sapi segar dari peternakan warisan orang tuanya.

Kalah dong wanita karier masa kini, ledek Juli kepada Nenek waktu itu.

Juli mengembalikan foto itu ke tempatnya. Nanti akan kutanyakan sama Nenek, siapa saja orang di foto itu dan kenapa baru dipajang sekarang.

Baru saja Juli hendak duduk di sofa untuk menonton televisi tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.

Juli segera menuju ke arah ruang tamu untuk membukakan pintu, tapi ia teringat bahwa pintu pasti terkunci dari luar dan ia tidak memiliki kunci cadangan.

Pintu kembali diketuk dengan perlahan.

Juli hendak berkata kepada tamunya untuk kembali lagi nanti karena pintu dikunci dan tidak ada orang di rumah kecuali dirinya tapi kemudian, ketika ia melihat ke bawah dekat pintu, tergeletak sebuah kunci, rupanya Nenek sengaja melemparkan kunci itu dari bawah pintu agar bisa dibuka olehnya nantinya.

Pintu kembali diketuk.

“Ya, sebentar,” seru Juli sambil mengambil kunci dan memasangnya di pintu.

Pintu pun terbuka.

Juli menatap seseorang yang berdiri di hadapannya sekarang dengan pandangan kaget. Mulutnya serasa kelu tidak mampu berkata apa-apa sementara wajahnya mendadak pucat pasi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status