Juli mengerjapkan matanya ketika seberkas sinar matahari pagi masuk dari atas jendela kamar. Tirai berwarna coklat tua di jendela kamar itu masih tertutup rapat. Udara dingin dari AC membuat Juli masih enggan untuk beranjak dari posisi tidurnya. Sejurus ia nampak bingung dengan kondisi kamar yang ditempatinya, berbeda dengan kamar yang biasa ia tempati. Tapi kemudian ia baru sadar kalau saat ini ia sedang berada di rumah Nenek Zalma.
Dengan mata setengah terpejam ia menatap jam dinding di bagian atas tembok kamar. Jam delapan, gumamnya dalam hati. Tumben suasana rumah masih terasa sepi. Juli sudah hafal kebiasaan sang Nenek kalau mereka berlibur ke sini, biasanya sekitar jam tujuh pagi, Nenek sudah sibuk memasak bersama dengan Asih, asisten rumah tangganya untuk kemudian membangunkan ia dan Juni agar segera bersiap sarapan. Kalau sarapan tidak boleh terlalu siang, nanti bisa sakit maag, wanti-wanti Nenek Zalma mengingatkan kalau mereka masih bermalas-malasan bangun pagi untuk sarapan.
Tapi kemudian Juli baru teringat peristiwa malam sebelumnya ketika mereka sudah sampai di rumah sehabis makan malam di restaurant Nyiur Melambai. Nenek sudah bersiap menceritakan kisah yang mereka tunggu-tunggu di ruang keluarga yang terletak di rumah itu. Namun tiba-tiba, nafas Nenek tersengal-sengal, matanya mendelik menandakan ia kesulitan bernafas.
Juli menjerit panik melihat kondisi Nenek yang berubah secara drastis sementara Juni berteriak memanggil Asih. Mereka belum pernah melihat penyakit asma Nenek Zalma kambuh sampai separah itu.
Asih dengan sigap membawa tabung oksigen dan obat asma yang biasa diminum oleh Nenek Zalma. Tidak berapa lama kondisi Nenek perlahan membaik. Juni dan Juli akhirnya bisa bernafas lega.
Mereka memutuskan untuk tidak memaksa Nenek bercerita malam itu juga. Juni sempat berkata kepada Juli bahwa kemungkinan Nenek masih belum siap menceritakan kisah itu sehingga berpengaruh terhadap penyakit asmanya. Nenek Zalma kemudian pergi beristirahat di kamarnya sementara Juni dan Juli juga bergegas ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri, membereskan barang-barang dan beristirahat juga.
Apa mungkin Nenek masih sakit ?
Juli kemudian turun dari ranjang dan keluar dari kamarnya. Kamar Juni yang terletak di sebelahnya juga terasa senyap. Perlahan ia mengetuk.
“Jun..udah bangun belum?”
Tidak ada jawaban.
Ia kemudian membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci dan mendapati kamar itu kosong melompong.
Lah, kemana tuh anak, pikir Juli bingung.
Ia lalu segera menuruni tangga menuju ke lantai bawah. Kamar Juni dan Juli memang disediakan oleh Nenek di lantai dua, sementara kamar Nenek dan ayah ibunya kalau menginap berada di lantai bawah.
Sesampainya di lantai bawah, Juli segera menuju ke dapur yang juga kosong. Ia lalu memanggil Asih namun tidak ada yang menyahut.
Matanya melihat secarik kertas di meja makan di atas tutup saji. Ia lalu mengambilnya sambil membaca isinya.
Juli, kita pergi ke pasar sebentar, kalau mau makan ada pisang goreng di meja.
Pantes sepi, pada pergi semua, gumamnya dalam hati.
Juli lalu mengambil gelas dan diisi air putih untuk kemudian diminumnya. Tutup saji segera dibuka dan nampak sepiring penuh pisang goreng yang baunya harum membuat perut Juli seketika berbunyi minta diisi.
Sambil menikmati sepotong pisang goreng dengan lahap menggunakan tangannya, Juli melihat ke sekeliling ruangan makan yang menyatu dengan ruang keluarga itu. Dia sudah hafal seluk beluknya. Banyak kenangan yang luar biasa indah di ruangan ini. Dulu waktu kecil, ia dan Juni biasa berlarian di ruangan ini karena cukup besar. Suatu ketika ketika mereka sedang berlarian ke sana ke mari, tanpa sengaja Juni menyenggol vas bunga kesukaan Nenek sampai pecah, untung Nenek Zalma bukan tipe pemarah, ia hanya tertawa saja melihat ulah cucu-cucunya.
Juli tanpa sadar tersenyum sendiri mengingat kenangan masa lalu. Kesunyian suasana rumah pagi ini membuat kenangan manis terus bermunculan dan ia sangat menikmatinya.
Tanpa sengaja, matanya menatap ke jejeran foto-foto yang terletak di atas piano di ujung ruangan tengah. Ia menyipitkan matanya seolah ingin menajamkan penglihatannya. Ada sesuatu yang beda di sana.
Juli segera berdiri dan menghampiri piano itu.
Berjejer di sana foto-foto Neneknya dengan teman-temannya, ada juga foto Nenek dengan ayah ibunya, foto keluarga ketika berlibur ke Eropa beberapa waktu yang lalu dan satu foto hitam putih yang sebelumnya rasanya tidak ada.
Juli mengambil foto hitam putih itu dan mengamatinya.
Foto itu diambil dengan latar belakang gunung Tangkuban Perahu. Ada sosok dua pria dan dua wanita yang berjejer membelakangi gunung itu.
Pria pertama di sebelah kiri bertubuh lebih tinggi dari semuanya dan sedikit gemuk, memakai kaca mata hitam dan baju kemeja lengan panjang yang digulung dan dua kancing di atasnya dibiarkan terbuka serta bercelana cut bray. Di sampingnya berdiri seorang wanita berwajah cantik dengan tatanan rambut pendek, baju kemeja lengan pendek juga dengan celana cut bray menimbulkan kesan tomboy.
Di samping wanita itu berdiri seorang wanita lain dengan berpakaian mirip dengan wanita di sebelahnya itu, hanya rambut panjangnya yang diikat dan tubuhnya yang lebih kurus membuatnya berbeda. Di samping wanita itu berdiri seorang pria memakai kaos bergaris garis juga bercelana cut bray, tubuhnya gempal berotot dan memiliki tatapan tajam.
Juli hampir pasti menebak bahwa salah seorang dari pria itu adalah Kakeknya karena wanita tomboy di foto itu mirip sekali dengan Nenek. Kalau memang benar bahwa yang di foto itu adalah Kakeknya, maka ini adalah pertama kalinya Juli bisa melihat gambaran si Kakek yang tidak pernah diceritakan secara detail oleh Nenek.
Setiap kali Juli atau Juni bertanya tentang Kakek pasti selalu dijawab oleh Nenek kalau beliau sudah lama meninggal dunia dan foto-fotonya tertinggal ketika Nenek sibuk mengurusi pindahan rumah yang lama di kawasan Setiabudi ke Asia Afrika, rumahnya saat ini.
Nenek beralasan bahwa tidak banyak orang yang membantunya ketika pindah rumah sehingga banyak sekali barang yang memang sengaja ditinggal atau tertinggal. Anita, ibunya juga masih kecil saat itu sehingga tidak banyak membantu. Belum lagi saat itu, Nenek sedang merintis usaha pengolahan susu sapi segar dari peternakan warisan orang tuanya.
Kalah dong wanita karier masa kini, ledek Juli kepada Nenek waktu itu.
Juli mengembalikan foto itu ke tempatnya. Nanti akan kutanyakan sama Nenek, siapa saja orang di foto itu dan kenapa baru dipajang sekarang.
Baru saja Juli hendak duduk di sofa untuk menonton televisi tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
Juli segera menuju ke arah ruang tamu untuk membukakan pintu, tapi ia teringat bahwa pintu pasti terkunci dari luar dan ia tidak memiliki kunci cadangan.
Pintu kembali diketuk dengan perlahan.
Juli hendak berkata kepada tamunya untuk kembali lagi nanti karena pintu dikunci dan tidak ada orang di rumah kecuali dirinya tapi kemudian, ketika ia melihat ke bawah dekat pintu, tergeletak sebuah kunci, rupanya Nenek sengaja melemparkan kunci itu dari bawah pintu agar bisa dibuka olehnya nantinya.
Pintu kembali diketuk.
“Ya, sebentar,” seru Juli sambil mengambil kunci dan memasangnya di pintu.
Pintu pun terbuka.
Juli menatap seseorang yang berdiri di hadapannya sekarang dengan pandangan kaget. Mulutnya serasa kelu tidak mampu berkata apa-apa sementara wajahnya mendadak pucat pasi.
“Rendy!” Pria berkaos coklat muda, celana pendek hitam serta bersendal jepit yang dipanggil Randy itu hanya tersenyum memandang Juli yang seperti baru melihat hantu di pagi hari. “Kenapa Jul? Kok lu kayak kaget lihat gue.” Juli merasa wajahnya memerah menahan malu. “Ng-ngak apa-apa kok Ren.” “Sorry, tadi gue main nyelonong masuk aja, soalnya pintu pager gak dikunci.” “I-iya gak apa-apa kok.” Juli masih menahan rasa malu. “Juni ada?” “Juni lagi ke pasar sama Nenek, Ren.” Rendy mengangguk. “Kemarin malam dia telpon gue, ngabarin kalau udah sampai Bandung. Jadi gue pagi-pagi ke sini mau ajak dia ke ngopi bareng di coffee shop gue. Baru buka minggu lalu.” “Wah, congratz Ren.” Juli tersenyum simpul. Meski dia berusaha terlihat tenang di depan Rendy tapi hatinya masih bergejolak tidak karuan. Tiba-tiba Juli seperti teringat sesuatu. “Eh, masuk yuk, ngapain kita ngobrol
Jelita Maharani menatap tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya dengan pandangan kesal. Sesekali jari tangannya memijat dahi dan keningnya. Kacamatanya tampak sesekali dinaikkan, bukan karena tidak sesuai dengan ukuran wajah tapi karena perasaan gelisah yang tanpa sadar membuatnya melakukan gerakan itu.Jelita adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan namun wajahnya nampak lebih muda dari usia sebenarnya. Masih terlihat cantik dan menawan. Ia juga memiliki aura kelembutan dan ketegasan yang terpancar seperti dua medan magnet yang sebenarnya saling bertolak belakang tapi bisa disatukan dalam diri wanita itu.Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan pangan bernama PT. Pangan Cakrawala yang memiliki berbagai macam jenis usaha yang meliputi restaurant, penjualan daging mentah sampai wine mahal, Jelita harus mampu berpikir kreatif dan bertindak tepat dan tegas karena kalau tidak, perusahaannya tidak akan mampu bertahan sa
“Lu jadi ikut gak?”Sherly menatap jam dinding di tembok ruangan. Waktu menunjukkan pukul 03.30 sore.“Ya udah, gue ikut deh, tapi nanti gak apa-apa sama si Adrian kan?”Amel menggeleng.“Gak lah, kita cuma mau party bentar kayak biasa, gak lama juga, laki gue bisa curiga kalo gue pulang terlalu malem.”“Barusan laki lu telpon kan?”“Iya, ngabarin kalo dia ada meeting. Adrian juga baru kirim pesen, party nya mulai jam 6 di hotel biasa.”Sherly mengangguk.“Ya udah, gue mandi dulu deh.”Sementara Sherly menghilang di pintu kamar mandi, Amel membereskan pakaian senamnya dan memasukkannya ke dalam tas olahraga berwarna biru cerah. Beberapa perempuan menyapanya sebelum pergi beranjak dari ruangan itu.Amel dan Sherly adalah teman sejak masa SMA dulu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu olahraga. Berbagai macam olah
Dimas menghabiskan seporsi nasi goreng kambing kesukaannya dengan lahap. Setelah meeting dengan beberapa direktur anak perusahaan PT.Pangan Cakrawala, membuat tenaga dan pikirannya seperti tercurah habis. Ada beberapa masalah yang akhirnya bisa diselesaikan di dalam meeting itu. Dimas bersyukur.Hotel Ribza yang terletak di kawasan Jakarta Selatan ini memang kerap digunakannya untuk mengadakan meeting. Ia merasa nyaman dengan suasana dan pelayanannya. Terlebih lagi, salah satu pemilik hotel bintang lima ini adalah temannya semasa SMA dulu sehingga ia bisa mendapatkan harga khusus pada saat mengadakan kegiatan di sana.Setelah meeting selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di restaurant dalam hotel ini. Makanan yang disajikan sungguh luar biasa enak, menurut Dimas. Terkadang, ia juga sering makan di sana, bersama keluarganya atau sendiri. Ia lalu melihat ke jam di tangannya. Waktu menunjukkan puku
Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu. JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitm
“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”Rama mengangguk.“Kami sedang c
Tepat jam lima sore, Dino menjemput Rama di lobby Rumah Sakit Flamboyan tempat Amel di rawat. Mobil berjenis minibus itu kemudian langsung tancap gas masuk ke dalam jalan tol menuju ke kota Bandung.Rama memang bersahabat erat dengan Dino. Selain karena satu jurusan di bangku kuliah, ada banyak persamaan di antara mereka, salah satunya adalah mereka berdua sangat menyukai musik. Bagi Rama dan Dino, hidup tanpa musik itu ibarat makan sayur tanpa garam, hambar rasanya.Dino bukan asli Jakarta, keluarganya lama bermukim di Bandung sebelum memutuskan pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat promosi dari tempatnya bekerja untuk menjadi kepala cabang perusahaannya yang berada di Jakarta.Awalnya Dino menolak pindah ke Jakarta, ia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Bandung, lagipula ia juga sudah dua tahun menjalani perkuliahannya di sebuah universitas ternama di kota ini. Tapi, karena bujuk rayu ayah dan ibunya juga Rio, adiknya, akhirn
Zalma mengompres lebam di wajah Juni dengan perlahan, sesekali tangannya membersihkan sisa-sisa darah yang masih terlihat mengalir di ujung bibirnya dengan selembar tissue untuk kemudian diberikan obat luka. Sandra sedang membuatkan teh manis hangat di dapur sementara Juli sibuk menginterogasi Juni.“Gimana ceritanya sih Jun sampai lu bisa babak belur kayak gini?”Juni nampak meringis, lukanya terasa perih setelah diberikan obat oleh Zalma.“Tar aja deh gue baru cerita, masih sakit ini.”“Tapi lu tahu kan siapa yang mukulin lu? Maksud gue, lu kenal kan sama orangnya?”“Gue sih gak terlalu kenal sama orangnya.”“Loh kok bisa gak kenal terus dipukul? Lu nyenggol mobil dia? Apa lu nyalip dia?” Juli masih pantang menyerah.Sandra yang baru keluar dari dapur segera menyahut. “Dipukul sama Rama, Jul.”“Rama? Rama siapa?” Juli terlihat bingung, setahun