"Edo, bagaimana obrolanmu tadi pagi?" Tidak lama setelah aku kembali ke kantor, Kiki datang dan menanyakan bagaimana obrolanku dengan ayahnya Agnes.Aku berkata sambil tersenyum, "Bagus sekali. Aku sudah memahami informasi Winston secara garis besar. Selanjutnya, aku tinggal menunggu Winston datang.""Aku nggak akan mengurus toko dua hari ini. Kamu yang mengurusnya. Aku akan fokus mempersiapkan diri untuk pelanggan dari Kota Jilin."Kiki duduk di sofa, lalu berkata, "Tentu saja. Agnes bilang kalau kita mengobati pelanggan ini dengan baik, itu akan sangat membantu perkembangan Aula Juve di masa depan."Kiki sangat gembira. Dia tampak memiliki harapan serta kerinduan yang kuat terhadap masa depan. Namun, aku merasa perlu untuk mengingatkannya."Aku pikir sebaiknya kamu nggak terlalu berharap.""Oh? Kenapa?" tanya Kiki sambil menatapku dengan bingung.Aku menunjukkan informasi yang aku temukan pada Kiki. "Winston punya kemampuan yang luar biasa. Dia adalah pemimpin yang langka. Tapi, di s
Aku mengerti perasaannya.Khususnya saat seseorang sakit, pikirannya sangat rapuh. Dia rentan mempunyai pikiran liar.Sekarang, yang dibutuhkan Helena adalah perhatian dan kepedulian. Namun, kemunculan Larto bagaikan tamparan di wajahnya. Hal ini pun menyadarkannya kembali ke dunia nyata.Segala macam emosi yang rumit muncul dalam hatinya. Tidak dapat dielakkan bahwa emosinya akan menjadi tidak terkendali.Aku memijat titik akupunkturnya untuk membantu Helena menenangkan suasana hatinya.Setelah beberapa saat, akhirnya emosi Helena tenang.Aku berbalik, lalu menatap Larto. "Kamu pergilah sekarang, aku juga akan pergi. Biarkan Nona Helena beristirahat sebentar."Larto berkata sambil mengerutkan keningnya, "Pak Tiano memintaku untuk menjaga Nona Helena di sini.""Nggak perlu, pergi dari sini!" teriak Helena dengan ekspresi jijik.Merawat apanya? Dia ingin mengawasi Helena.Helena ingin menendang Larto pergi.Ekspresi Larto menjadi makin masam.Aku berkata, "Kalau kamu tetap di sini, dia
Larto berdiri di sana dengan dingin dan wajah tanpa ekspresi. Larto bagaikan robot tanpa emosi.Sekarang, Helena sakit, jadi emosinya tidak stabil. Melihat ekspresi Larto yang agresif, dia tidak bisa menahan diri untuk marah.Namun, dia juga tahu bahwa Tiano tidak akan muncul. Dia tidak bisa melakukan apa pun pada Tiano.Dia hanyalah simpanan Tiano. Identitasnya ditakdirkan untuk tidak menerima perhatian dan ketulusan yang layak.Setelah Helena melampiaskan amarahnya, dia merasa tubuhnya makin lemah.Ketidakberdayaan semacam itu disebabkan oleh kelelahan dan ketidakberdayaan terhadap kehidupan yang tidak kasatmata.Tubuh Helena lemas hingga dia langsung terjatuh ke sofa.Pada saat bersamaan, aku dan Larto bergegas menghampiri Helena. Larto menangkap tubuh Helena dulu.Aku langsung menarik Helena ke arahku.Larto melotot ke arahku dengan tatapan marah. "Lepaskan!"Aku berkata, "Kamu yang seharusnya melepaskannya. Kamu pikir siapa kamu? Apa kamu berani menyentuhnya?"Mata Larto berkedip
"Tapi, aku nggak tahu bagaimana cara minum obatnya.""Kamu ... kamu bohong, 'kan? Kamu sudah dewasa. Aku nggak percaya kamu bahkan nggak bisa minum obat." Aku menatap Helena dengan curiga.Helena menatapku dengan sedih. "Apa yang aku katakan itu benar. Dulu, saat aku sakit, Tiano yang menyuapiku obat."Sialan.Wanita ini sungguh dimanja.Aku tidak punya pilihan selain duduk.Aku menyiapkan obatnya. Aku bahkan menuangkan air untuknya."Ah ...."Helena membuka mulut dan memintaku menyuapinya.Aku melemparkan obat itu ke mulutnya dengan marah, lalu menyerahkan secangkir air padanya. "Aku bukan Tiano, aku nggak akan memanjakanmu seperti itu selamanya. Kamu seharusnya nggak memperlakukanku seperti pelayan.""Setelah makan, cucilah piring sendiri. Aku benar-benar harus pergi.""Edo!" panggil Helena tiba-tiba.Aku menatapnya dengan tidak sabar, "Ada apa?""Terima kasih!" Kali ini, Helena tidak menggodaku. Sebaliknya, dia menatapku dengan sangat serius.Sialan. Aku hampir tidak bereaksi.Aku m
Aku benar-benar merasa tidak berdaya."Kalau nggak mau masak, buat apa beli sayur banyak-banyak? Mubazir, 'kan?" kataku sambil mengambil sayur, tomat dan telur dari kulkas.Helena berbaring di sofa dengan malas, "Aku berharap ada pria yang bisa memasak untukku. Tapi, Tiano bukanlah orang seperti itu. Aku hanya bisa berharap."Aku mengerti. Dia hanya ingin mencari ketenangan batin.Aku tidak berkata apa-apa lagi. Aku pergi ke dapur, lalu mulai memasak untuknya.Setelah beberapa saat, Helena juga mengikuti.Aku berkata, "Cepatlah berbaring. Kamu belum makan atau minum obat apa pun. Jangan sampai pingsan."Helena bersandar di kusen pintu dan menatapku sambil tersenyum. "Kamu tahu, aku sudah berfantasi tentang adegan ini selama bertahun-tahun. Aku nggak menyangka fantasi itu akan menjadi kenyataan dalam dirimu.""Ada apa? Kamu nggak senang? Kalau kamu nggak senang, aku akan pergi sekarang," kataku. Namun, aku tidak punya niat untuk pergi.Helena tahu jika aku sedang bercanda dengannya. Dia
[Eh, kamu duduk di sana sendirian sampai lewat jam 3 pagi? Sekalipun kamu memikirkan sesuatu, jangan merusak tubuhmu.][Siapa yang peduli?] Nada bicara Helena tampak sangat tidak berdaya.Aku menjawab tanpa berpikir panjang, [Aku peduli.]Setelah aku mengirim pesan, aku menyesalinya. Bukankah ini akan menyebabkan Helena salah paham padaku?Aku segera menghapus pesan itu.Helena tersenyum dan membalasku, [Nggak ada gunanya, aku sudah melihatnya. Edo, sebenarnya kamu juga peduli padaku, 'kan?]Aku segera menjelaskan, [Jangan salah paham. Aku hanya ingin menghiburmu.]Helena membalasku, [Aku nggak percaya!]Aku membalas, [Terserah kamu percaya atau nggak. Aku hanya menyapamu. Baguslah kamu baik-baik saja.]Helena membalas, [Aku nggak baik-baik saja. Aku flu berat. Aku merasa lemah dan nggak nyaman. Tolong bawakan aku obat.]Aku membalas, [Kamu flu, bukan lumpuh. Beli saja sendiri.]Helena membalas, [Aku sudah bilang aku kelelahan. Bagaimana aku bisa membelinya? Edo, kamu sengaja seperti i