BUK!"Itu bayaran kalian, cepat jauhi ibu kota sebelum fajar." Bram melempar sekantung emas ke arah pria misterius berjubah hitam. Tanpa banyak bicara, keduanya pun berbalik, meninggalkan posisi masing-masing. Masuk ke dalam salah satu ruangan megah untuk tamu Kekaisaran, Bram berhenti dan membungkuk dari balik tirai. Seorang pria dengan bola mata ungu dan rambut perak merendam tubuhnya di bak mandi besar penuh uap. "Sudah saya serahkan, yang mulia," ucap Bram. Kedua mata Rangga yang semula tertutup, perlahan terbuka dan melirik dingin. "Bagaimana kondisi di luar?""Adipati Gara mulai bergerak melakukan penyelidikan, sepertinya... Pria itu tahu bahwa kelompok yang menyerang adalah Gihu," jawab Bram.Rangga menyeringai tipis, timbul raut kepuasan yang sulit dijelaskan dari wajahnya. Gihu, kelompok pembunuh bayaran elite yang hanya dapat disewa oleh orang-orang tertentu. Mereka memandang status dan materi calon penyewanya, bahkan tidak semua bangsawan mampu membeli jasa mereka.
Setelah pertempuran berakhir, kelompok pria berjubah hitam berhasil dipukul mundur. Dalia kembali bersama Giandra. "Masih terasa dingin?" tanya Giandra dari belakang, mereka menaiki kuda yang sama. Mantel hitam tebal adipati Gara masih bertengger di tubuhnya, sementara pemiliknya masih berada di lokasi sebelumnya. Memasuki area penonton perburuan, semua orang mulai menatap kembalinya Dalia penuh ricuh. Sosok Dalia yang kotor tanpa alas kaki berhasil menyita banyak simpati. Giandra turun lebih dulu dari kuda, kemudian mengangkat tubuh Dalia dan memapahnya kehadapan Kaisar. Melihat suasananya yang tegang, Giandra mengeratkan pegangannya pada bahu Dalia. "Bicaralah dengan jujur pada Kaisar, kakak akan selalu melindungimu." Dalia menatap Giandra, tersentuh. Bibirnya tersenyum samar. "Iya."Dalia berlutut di hadapan Kaisar dan Huanghou, Giandra pun mulai menepi dengan raut wajah tegang. Mengacaukan acara perburuan, tidak peduli apa pun dalihnya, pelakunya tetap akan mendapatkan hu
"Nona! Tidak perlu takut! Aku akan mindungimu!" Rangga masih terus meneriakinya. Dalia dikepung banyak panah, memblokir posisinya untuk tidak pindah ke tempat lain. "Aku akan menolongmu, nona! Percaya padaku!" Seru Rangga lagi. Menoleh ke arah adipati Gara, pria itu hanya menatapnya dingin namun penuh penekanan. Di sana, Faqih dan Bima memperhatikan adipati Gara yang hanya diam memperhatikan Rangga selalu maju membujuk Dalia. "Yang mulia, Anda tidak mau berseru apa pun?" tanya Faqih. Adipati Gara melihat pria itu sekilas, lalu terbatuk pelan. "Wanita bodoh! Cepat kemari!" Faqih dan Bima mengusap wajahnya kasar saat mendengar seruan adipati Gara. Kalimat membujuk apa seperti itu?Dalia kesal, dua pria aneh itu hanya terus meneriakinya perintah. Tidak bisakah mereka melihat langkahnya diblokir oleh puluhan panah? Jika dirinya nekat berlari, panah-panah itu bisa saja menghujani tubuhnya!Suara teriakan perlawanan terdengar, Dalia melihat pasukan berjubah hitam itu kembali bangki
Di lokasi penonton, semua orang bersorak karena dua kelompok berburu telah kembali. Mereka meneriaki adipati Gara dan putra mahkota kekaisaran Barat secara bersamaan. Saat kasim pribadi kaisar hendak mengumumkan sesi berburu terakhir, yaitu penimbangan hasil buruan, suara teriakan terdengar. Semua orang menoleh, seorang nona bangsawan histeris menatap ke arah gerbang masuk dan keluar area penonton. "DARA!" Jenderal besar Maneer melompat turun dari kudanya, menatap penuh keterkejutan pada sosok putrinya yang kembali dengan pakaian berlumuran darah, lengan wanita itu terluka cukup parah. "APA YANG TERJADI?!" tanya Jenderal besar Maneer. "SIAPA YANG BERANI-BERANINYA MELAKUKAN INI PADAMU?!"Jenderal besar veteran militer itu murka, namun kedua matanya tampak berkaca-kaca menatap putrinya. Dara jatuh ke pelukan Ayahnya, busur panah berlumuran darah di tangannya rusak total. Jenderal besar Maneer gemetar, suasana pun berubah riuh. "Da-- Dalia... Ayah... Dalia..." ujar Dara dengan b
Hari besar perburuan musim dingin tiba. Di dalam ruang tertutup, kaisar, adipati Gara, Giandra, dan Cahya berdiri mengelilingi meja diskusi. "Perburuan adalah media bebas untuk bertransaksi, namun jangan ada satupun yang bergerak lebih dulu jika belum ada perintah dariku atau pun adipati Gara," ujar kaisar. Semua orang di ruangan itu mengangguk, membuat kaisar puas dan raut wajah seriusnya kembali tersenyum ramah. "Baiklah, ini sudah cukup," ucapnya lagi, lalu melirik ke arah Cahya. "Apa pun yang terjadi di acara perburuan nanti, jangan melakukan tindakan apa pun. Tetaplah terlihat tak memihak siapapun, dekati Huanghou perlahan. Wanita itu terlihat terpesona dengan permainan kecapinya saat acara penyambutan utusan." "Saya mengerti, yang mulia," jawab Cahya cepat. Setelahnya, kaisar mempersilahkan mereka kembali pada posisi masing-masing. Tetapi, begitu adipati Gara hendak pamit pergi, kaisar menahannya. "Kamu tidak merasa terganggu?" tanyanya. Adipati Gara menaikkan alis kirin
Di dalam ruang kerja pribadinya, Dalia tidak sengaja tertidur di meja. Dikelilingi tumpukkan buku mengenai kediaman perdana menteri, wanita itu terlelap setelah menuntaskan seluruh pekerjaannya. Sementara keadaan ibu kota sedang sibuk mempersiapkan acara berburu musim dingin untuk merayakan kedatangan utusan. Tak lama, suara jendela yang dibuka pelan terdengar. Angin dingin masuk. Siluet putih muncul dari luar, jendela pun kembali tertutup cepat. Pria dengan rambut perak dan jubah putih brokat emas berdiri tepat di hadapan meja kerja Dalia, memperhatikan wanita itu yang sedang tertidur kelelahan. Mata ungunya seolah enggan bergeser dari Dalia, tubuhnya pun sedikit condong ke depan, memperhatikan wajah Dalia lebih dekat. Bibir merah muda alami miliknya tersenyum dalam. Ah... Dewi yang dia cari-cari. Dewi yang selama ini mengusik tidurnya dan sekarang berhasil menariknya datang menginjakkan kaki di tanah Timur. Jari-jari lentiknya dengan ragu bergerak, menyingkap lembut helai r