MasukHari ini Dalia diam-diam menyelinap keluar dari kediaman Perdana Menteri untuk menjual tusuk rambut emas pemberian Salsa sebelumnya.
Tidak ada alasan untuk menyimpan tusuk rambut tersebut, dia butuh dana untuk memperbaiki kediamannya dan membeli beberapa kebutuhan lain yang tak dilengkapi kediaman. Kepalanya mengenakan topi tudung menjuntai untuk menutup wajahnya, seorang wanita bangsawan tidak diperkenankan untuk memunculkan wajahnya di khalayak rakyat. Sebelum keluar dia sempat meminta Odine untuk menjemur beberapa karung bunga telang agar dapat diolah menjadi teh untuk mengelabui perhatiannya. Dalia juga membeli beberapa bahan makanan, selimut baru, dan beberapa pasang baju. Terakhir kali ia menerima pakaian baru--entahlah, dia sendiri pun lupa. "Nona sepertinya belakangan ini Anda mulai menjauhi Odine, apa aku salah?" tanya Hana tiba-tiba. Dalia melirik sekilas. "Bagaimana denganmu?" Mendengus kasar, Hana meremas belanjaannya. "Bahkan sejak awal melihatnya aku sudah mengatakannya, nona! Tetapi nona tidak mau mempercayaiku!" Dalia hanya terkekeh, kepalanya menggeleng pelan melihat tingkah Hana. Tetapi apa yang dikatakannya benar, dulu dia tidak percaya bahwa Odine mencurigakan. Diam-diam, rasa bersalah Dalia pada Hana kembali membalut erat. Dia akan menebusnya. "Nona, sepertinya ini sudah cukup. Apa kita perlu menyewa kereta kuda?" tanya Hana lagi. Dalia menggeleng pelan. "Tidak perlu, kediaman perdana menteri akan sadar jika kita kembali menggunakan kereta kuda." Hana hanya mengangguk, kemudian dia membantu Dalia untuk membawa barang belanjaannya. Ketika sedang menuju jalan pulang, mereka melewati Paviliun yang terlihat ramai. Dalia memeperhatikannya seperkian detik, lalu menatap Hana. "Kenapa ramai sekali di sana?" tanya Dalia, dia jarang keluar kediaman sebelumnya. Hana tersenyum tipis. "Itu Paviliun Seni, nona. Kaisar baru saja meresmikannya sebagai salah satu kunjungan resmi Kekaisaran, sejak dulu Paviliun Seni memang selalu ramai, ditambah Kaisar sudah meresmikannya sekarang." Dalia hanya mengangguk singkat. "Oh..." Dia tidak tertarik memberi respon lebih. "Apa Anda ingat? Mendiang nyonya sering mengunjungi Paviliun Seni dulu, bahkan menjadi penyumbang utama Paviliun Seni. Banyak seniman yang merasa terbantu dengan sumbangan mendiang nyonya," ucap Hana, membuat Dalia merasa tertarik untuk menatap Paviliun Seni lagi. "Ibu?" gumamnya, lalu perlahan kepingan ingatan kecil bersama mendiang ibunya dulu muncul. Benar, mendiang ibunya dulu sering mengajaknya kemari. Dalia tidak ingat karena bangunannya berubah total, Paviliun ini sudah menjadi sangat megah. "Nona ingin mampir?" tanya Hana saat menyadari raut wajah Dalia. Dalia mengangguk singkat. "Ya, mungkin sebentar." Mereka pun melangkah masuk bersama ke Paviliun Seni, harum bunga pulm tercium semerbak begitu mereka melangkah masuk. Bunga pulm adalah bunga kesukaan mendiang ibunya. Saat memeluk ibunya, maka harum bunga pulm akan muncul, karena ini kedua mata Dalia sedikit berkaca-kaca. Tiba di ruang utama Paviliun, Dalia tertegun melihat lukisan ibunya dipajang bersama karya seni besar lainnya. Dalia melangkah lebih dekat ke lukisan tersebut, bibirnya tersenyum tipis. Paviliun Seni ternyata sangat menghormati ibunya. "Ibu..." Gumam Dalia, kerongkongannya kembali terasa tercekat. Dia tidak bisa menahan rasa sedih jika teringat mendiang ibunya. Seandainya ibunya hidup lebih lama, apa kehidupan mengerikannya akan berubah menjadi lebih baik? Dalia menarik napas dalam, menunduk sebentar untuk kemudian menatap lukisan ibunya lagi. Dirinya sudah sampai di sini, berandai seperti itu tidak ada gunanya. Tatapan mata Dalia pun perlahan berubah penuh tekad, kedua tangannya memegang barang belanjaannya lebih erat. Dalia tidak pintar merayu Tuhan seperti ibunya, maka dia akan berusaha semaksimal mungkin agar rayuan ibunya pada Tuhan tidak berakhir sia-sia. Maka, ibu... Tolong rayu Tuhan lebih lama untuknya. Dalia tidak memiliki kekuatan lain selain ibunya. Di tengah ini, tiba-tiba suara keributan terdengar. Belum sempat Dalia menoleh, dia dibuat terkejut saat tangannya ditarik keras. Tubuh Dalia berputar, barang belanjaan yang ia pegang jatuh ke lantai. Hana spontan mundur dan menegang melihat leher majikannya disodori badan pisau. "Mundur kalian semua! Atau wanita ini akan aku bunuh!" "Nona!!" Teriak Hana histeris, jantungnya hampir berhenti berdetak, keringat dingin muncul, kedua matanya berkaca-kaca. "Jangan mendekat! Kamu ingin wanita ini aku bunuh, hah?!" Bentak pria yang menahan Dalia. Hana tertahan di posisinya, dia tidak berani mendekat, khawatir pria itu benar-benar akan membunuh nona-nya. Dalia tetap tenang, wanita itu melirik ke tangan pria yang menahannya. Dia gemetar? Tak lama pasukan patroli Kekaisran datang dan terkejut melihat pria itu menahan seorang wanita. Beruntung Dalia keluar mengenakan tudung wajah, kalau tidak wajahnya akan tersebar kemana-mana dan menjadi masalah baru. "Hei, dengar. Lepaskan wanita itu, dia tidak bersalah atau hukumanmu akan bertambah berat nanti," ucap salah satu pria yang tampaknya pemimpin pasukan patroli Kekaisaran. Dalia masih tenang, dia justru sibuk memperhatikan pria asing yang menahannya ini. Tangannya yang memegang pisau gemetar, suaranya pun terdengar menahan ketakutan. Bibirnya tersenyum samar di balik tudung, pria ini tidak memiliki nyali untuk membunuh. "Lepaskan nona saya! Dia adalah--!" "Tahan, Hana!" Potong Dalia, menahan Hana membongkar identitasnya. Hana menatap Dalia tidak mengerti, bukankah jika semua orang tahu dia putri Perdana Menteri pria asing itu akan berubah segan menyentuhnya? Tangan kanan Dalia perlahan menyentuh tangan pria tersebut yang memegang pisau, lalu menekannya sedikit. "Jika kamu ingin membunuhku, maka bunuh saja. Aku tidak takut mati," ucap Dalia, membuat semua orang terkejut. "Nona, sebaiknya Anda hati-hati!" ucap pria yang memimpin pasukan patroli. Dalia dapat merasakan dengan jelas, pria yang memegang pisau itu sedikit tersentak kaget. Dia dengan cepat menjauhkan tangannya sekilas dari leher Dalia. "Jangan bermain-main denganku! Aku benar-benar akan membunuhmu!" Ancam pria itu, raut wajahnya justru terlihat semakin ketakutan. Pria yang memimpin pasukan patroli mulai menyadari sesuatu dan memilih untuk mengamati Dalia serta pria gila tersebut. "Ya, silahkan, bunuh saja aku. Kenapa tidak segera membunuhku?" balas Dalia, lalu menekan tangan pria itu lagi. Kali ini badan pisau benar-benar menempel pada kulit leher Dalia, membuat goresan kecil. Terkejut, pria itu dengan cepat menarik tangannya lagi, membuat tudung Dalia tersingkap. Kemudian pria itu jatuh duduk di lantai dengan lemas. Sebelum kain tudungnya benar-benar lari dari wajahnya, Dalia juga dengan cepat berputar dan menutup wajahnya mengenakan lengan pakaian hanfu-nya. Hana meraih Dalia cepat dan memeluknya, kedua matanya sudah basah karena menangis. "Nona, Anda baik-baik saja?" tanya Hana dengan suara gemetar. Dalia hanya melirik sekilas. "Penutup wajah." Hana tersadar dan dengan cepat membongkar barang bawaan mereka dan mengeluarkan cadar dengan sulaman bunga mawar putih. Setelah selesai memakai cadar baru tersebut, Dalia melepas tudung topinya dan kembali menatap ke para petugas patroli Kekaisaran. "Aku tidak tahu apa pun tentang racun itu! Aku hanya diperintahkan untuk membawa masuk barang tersebut!" "Tuan, Anda boleh tidak mengampuni saya, tetapi mohon jangan sentuh keluarga saya. Saya melakukan ini agar anak dan istri saya dapat makan dengan layak, saya tidak memiliki pilihan lain." Pria itu menangis sambil berlutut, Dalia menaikkan alis kirinya sekilas. Racun? "Bawa pria ini pergi! Tahan dia!" Perintah pemimpin pasukan patroli. "Baik!" Setelah pria itu diseret kasar, pria yang memimpin pasukan patroli pun menghampirinya. "Nona, apa Anda baik-baik saja? Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian hari ini, semua ini adalah kelalaian kami," ucap pria itu sambil membungkuk ke arah Dalia. Dalia mengangguk sekilas. "Bukan masalah, tuan. Saya senang bisa membantu, pria itu juga tidak memiliki keberanian untuk membunuh." Pemimpin pasukan patroli terdiam beberapa saat, terlihat sedang berpikir sesuatu. Tetapi Dalia tidak peduli, dia kembali bicara. "Jika saya boleh tahu, kenapa pria tadi membahas tentang racun, tuan?" tanya Dalia. Pemimpin pasukan patroli itu terlihat ragu menjelaskan, namun pada akhirnya ia tersenyum tipis. "Ah... Baru-baru ini ada penjahat di Kekaisaran yang menyelundupkan mata-mata dari negara asing untuk mengantar racun masuk. Menurut prediksi, racun itu akan digunakan pada petinggi Kekaisaran." Dalia mengerutkan keningnya, apa maksudnya adalah racun yang dipegang Salsa untuk Nadine Guifei? Dalia mengangguk singkat. "Saya harap tugas Anda berjalan sukses, tuan." Lalu sebelum benar-benar melangkah pergi Dalia melirik pemimpin pasukan patroli sekali lagi. "Saran saya, coba Anda awasi tempat-tempat besar. Jika targetnya adalah petinggi Kekaisaran, maka tempat penyimpanannya adalah wilayah yang tidak bisa digeledah pihak Kekaisaran sembarangan tanpa izin Kaisar." Pemimpin pasukan patroli tertegun, keningnya terlipat. "Tempat besar seperti apa maksud nona?" "Rumah para pejabat dan bangsawan tinggi," jawab Dalia. Pria itu kembali tertegun, kemudian ia membungkuk lagi ke arah Dalia. "Terima kasih banyak, nona. Adipati Gara pasti akan sangat menghargai bantuan Anda. Jika nona tidak keberatan, siapa nama nona?" Mendengar Adipati Gara disebut, raut wajah Dalia sedikit berubah. Adipati Gara? Pria itu bahkan lebih ditakuti dari Kaisar, Dalia tidak tertarik terlibat banyak hal dengannya. Dalia menatap pemimpin patroli itu dengan ragu, lalu ia tersenyum tipis. "Saya tulus membantu." Kemudian dia berbalik pergi tanpa peduli dengan tatapan bingung pria tersebut.Perayaan besar kekaisaran masih berlangsung meriah, seolah seluruh daratan Timur dan Barat bersatu dalam satu harmoni kemenangan. Dari aula utama yang dipenuhi lampu kristal hingga halaman luar yang dipadati rakyat biasa, setiap sudut Istana dipenuhi gelak tawa, musik, tepuk tangan, dan doa-doa hangat yang dipersembahkan untuk Kaisar baru Timur—Gara Abimayu. Nama itu bergema di mana-mana, diagungkan tidak hanya karena kejeniusannya sebagai pemimpin, tetapi karena keberaniannya menyatukan dua daratan besar yang sebelumnya hidup saling curiga.Namun bagi Dalia, hiruk pikuk itu justru terasa semakin menjauh dan samar. Lagu-lagu ceria yang dimainkan musisi kerajaan terdengar bagai gema yang tak mampu menyentuh pikirannya. Sejak Cahya meninggalkan aula dengan langkah tergesa yang berusaha disamarkan, hati Dalia terasa seperti ditarik-tarik oleh sesuatu yang tidak ia pahami.Ia masih duduk di samping kakaknya, Giandra, dengan punggung tegap dan senyum sopan yang diajarkan sejak kecil.
Hari perayaan besar itu akhirnya tiba.Seluruh daratan, dari ujung Timur hingga batas paling jauh di Barat, bersinar dengan warna yang sama—warna kejayaan Kekaisaran Timur. Tidak peduli mereka bangsa asli atau pendatang, rakyat biasa atau bangsawan, semuanya larut dalam arus kebanggaan. Spanduk berwarna merah marun dan emas berkibar di setiap sudut kota, menandakan hari kemenangan besar setelah perang panjang yang mengubah sejarah dua daratan.Kaisar Gara Abimayu menjadi nama yang dielu-elukan, disebut dengan doa, dikagumi dengan nyanyian, bahkan dipuja dengan air mata syukur oleh rakyat yang menganggapnya pahlawan penutup zaman kelam. Ia bukan hanya Kaisar muda dengan kekuatan luar biasa di medan perang, tetapi juga simbol harapan baru—sebuah lambang perdamaian yang lahir dari luka yang mendalam.Di dalam Aula Utama Istana, cahaya ribuan lentera berpantulan di dinding-dinding batu putih mengilap. Lantai marmer yang terhampar sejauh mata memandang berkilau seperti permukaan air ya
Kereta Dalia bergerak perlahan di sepanjang jalan berbatu yang membelah taman istana. Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, awan tipis berarak lembut seperti kapas terbakar mentari. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan suara gemerincing lonceng kecil di leher kuda terdengar ritmis, menenangkan.Dalia menyingkap sedikit tirai jendela kereta, membiarkan angin sore menerpa wajahnya. Setelah seharian penuh berbicara dengan Dara mengenai urusan keluarga kekaisaran dan rencana perayaan besar yang akan digelar dua hari lagi, hatinya terasa lebih ringan. Dara, dengan segala ketegasannya sebagai Ibu Suri, tetaplah Dara yang dikenalnya—hangat, penuh canda, namun diam-diam membawa beban besar sebagai penjaga kestabilan kekuasaan Timur.Dalia tersenyum kecil. “Dara... siapa sangka kau akan sejauh ini,” gumamnya pelan.Namun pikirannya tak lama diam. Saat kereta berbelok ke arah jalan utama menuju kediamannya, Hana, pelayan muda yang duduk di hadapannya, mencondongkan tubuh.“Nona, se
Suara pintu besar berlapis emas itu berderak berat, mengeluarkan gema panjang di seluruh aula megah yang berhiaskan ukiran naga dan phoenix di pilar-pilarnya. Dua penjaga yang mengenakan zirah hitam berukir merah membungkuk dalam saat sosok pria berwajah teduh dan berpenampilan elegan melangkah masuk. Cahya Sudiro. Tuan muda keluarga bangsawan pedagang paling berpengaruh.Langkah kakinya mantap, berirama lembut, namun setiap langkah mengandung rasa percaya diri yang tajam seperti pedang terasah. Mata cokelatnya menatap lurus ke arah singgasana naga emas di ujung ruangan. Di sana, duduk seorang pria dengan aura yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya seakan menegang.Gara Abimayu. Kaisar Timur.Pria yang dulu hanya dikenal Cahya sebagai saingan dalam urusan hati, kini duduk di takhta tertinggi kekuasaan.Cahya berhenti di jarak tiga meter dari singgasana, menunduk sopan dengan sedikit senyum basa-basi di bibirnya.“Bawahan kecil ini menyapa Yang Mulia Kaisar,” ujarnya dengan su
Suara tawa Dara tiba-tiba pecah memenuhi ruangan. Suara itu bergema ringan, tetapi cukup membuat Cahya tersadar dari keterkejutannya yang belum reda sejak tadi. Ia masih menatap Dara dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan ekspresi tidak percaya, seolah otaknya belum benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang dulu sering meminjam uang darinya untuk membeli permen kini duduk di atas kursi emas berukir phoenix sebagai seorang Ibu Suri Kekaisaran Timur.“Dara Maneer…” gumam Cahya pelan, nada suaranya seperti seseorang yang baru saja disadarkan dari mimpi panjang. “Jangan bilang… ini semua sungguhan?”Dara mengangkat dagunya anggun, senyum kecil masih bermain di bibirnya. “Apa aku terlihat sedang bercanda sekarang?”“Ya, sebenarnya iya,” sahut Cahya cepat, nada suaranya masih dipenuhi nada tidak percaya. “Karena tidak mungkin aku baru pulang sebentar dan dunia tiba-tiba jungkir balik seperti ini.”Dara menautkan kedua
Dalia menyingkap sepenuhnya tirai jendela keretanya. Udara ibu kota sore itu lembut dan sejuk, langit biru memantulkan warna keemasan yang lembut dari matahari yang mulai turun ke barat. Di antara lalu lintas kuda dan pedagang yang bersliweran, mata Dalia tertuju pada sosok yang berdiri tegak di samping kereta yang menabraknya. Senyumnya merekah—senyum yang jarang muncul belakangan ini.“Cahya,” ucapnya pelan, seperti mengulang sebuah nama dari masa silam.Pria itu menundukkan kepala sedikit, membalas senyum lembut Dalia dengan keteduhan yang selalu ia miliki sejak dulu. “Lama tidak bertemu, Dalia. Kau masih sama seperti dulu. Anggun, tapi tetap menatap orang dengan tatapan yang membuat jantung berhenti sepersekian detik.”Dalia terkekeh kecil, “Kau tidak berubah. Masih suka berbicara dengan kata-kata yang terlalu manis untuk seorang pedagang.”Cahya menaikkan bahunya sambil menahan senyum, “Aku belajar berbicara sepe