Share

Bab 7. Petunjuk Tersirat

Author: nanadvelyns
last update Last Updated: 2025-08-11 18:24:37

"Nona, dari mana Anda tahu bahwa racun itu disembunyikan di rumah para pejabat bangsawan?" tanya Hana penasaran, dia jarang melihat nona-nya banyak bicara terlebih di urusan orang asing.

Dalia hanya tersenyum tipis. "Karena aku tahu, itu saja."

Hana menghela napas tipis, menyadari Dalia enggan memberitahu dia tidak berani bertanya lagi.

Kemudian bibir Hana tersenyum lebih dalam. "Tetapi kenapa Anda tidak menjawab saat tuan tadi bertanya? Bukankah jika adipati Gara tahu Anda membantunya maka--"

"Maka kita tidak akan tahu bencana atau keberuntungan yang akan menunggu." Potong Dalia.

Hana menatap Dalia tidak mengerti. "Kenapa bisa tidak beruntung? Adipati Gara memiliki kekuatan besar yang bisa menguntungkan Anda, bukan? Bahkan lebih baik jika dia menikahi Anda."

Dalia melirik tajam. "Jika kamu ingin menikah dengannya maka silahkan saja, jangan bawa namaku."

Hana mengerucutkan mulutnya. "Aku kan hanya mendoakan hal baik untuk nona. Lagi pula adipati Gara juga belum menikah, tidak ada yang tahu alasannya."

Dalia tidak menjawab lagi, dia hanya tersenyum tipis melihat ekspresi Hana yang cemberut.

Adipati Gara memang memiliki kekuatan besar, saking besarnya Dalia tidak mau memiliki hubungan apa pun dengan pria itu.

Pria itu adalah adik beda ibu Kaisar, selain saudara, mereka merupakan partner politik yang sangat erat. Alasan yang membuatnya lebih ditakuti daripada Kaisar adalah kebebasannya dalam membunuh siapapun, berbeda dengan Kaisar yang memiliki gerak terbatas sebagai pemimpin Kekaisaran.

Meskipun demikian, hal tersebut tidak membuat Kaisar berarti adalah orang yang baik seperti malaikat. Mereka berdua justru tak ada bedanya, karena kemungkinan, sebagian besar pergerakan adipati Gara adalah perintah Kaisar.

Dalia hanya ingin membuat kediaman Perdana Menteri membayar perlakuan mereka padanya, lalu hidup damai setelah berhasil keluar.

Jika dia memiliki hubungan dengan adipati Gara, maka jalannya tidak akan sesederhana itu.

Dalia menatap Hana lagi. "Kedepannya jangan bahas pria itu lagi, lebih baik kita tidak memiliki banyak interaksi dengan mereka."

Hana hanya mengangguk polos, dia tidak tahu apa pun mengenai racun itu dan hanya patuh pada perintah Dalia.

Sementara itu di ruang VIP Paviliun Seni, seorang pria dengan postur tubuh proposional duduk tenang sambil sesekali menyeruput teh dari gelasnya.

Matanya tajam seperti elang, alis tebal berbentuk pedang, hidung mancung, dan memiliki bola mata berwarna biru.

Pria itu bahkan akan tetap mencolok meskipun dirinya mengenakan pakaian compang-camping sekalipun.

Adipati Gara yang memiliki nama asli Gara Abimayu.

"Siapa wanita itu?" Tanyanya, suaranya berat dan tenang, terdengar tidak ada emosi sedikitpun. Raut wajahnya pun datar saat bertanya.

Pria yang menjadi pemimpin pasukan patroli tadi menunduk dalam. "Wanita itu menolak menjawab, Wangye. Tetapi saya sudah meminta bantuan pada Bima untuk mengikutinya diam-diam."

Tepat di sini, pintu ruang VIP mendadak diketuk. Setelah diangguki oleh adipati Gara, pintu pun dibuka dan pria lainnya muncul, Bima.

"Saya sudah menyelidikinya, Wangye. Wanita yang bertemu Faqih tadi adalah nona pertama kediaman perdana menteri, Dalia Ishraq."

Ruangan pun hening, Bima beralih melirik Faqih dan mereka berdua saling menggeleng pelan bingung.

"Putri sulung perdana menteri?" ucap adipati Gara, mata elangnya menyipit sekilas selagi kepalanya sibuk berpikir.

Mata biru tajamnya pun kembali menatap Bima. "Apa wanita itu memiliki kaitan dengan racun Huanghou?"

Bima menggeleng. "Dalia Ishraq tidak pernah keluar kediamannya sejak mendiang ibunya meninggal dan Perdana Menteri mengadopsi putri baru."

"Ini aneh..." gumam Faqih, membuat Bima dan adipati Gara menoleh ke arahnya.

"Kenapa?" tanya Bima penasaran.

Faqih menghela napas tipis. "Menurut rumor yang beredar, dulunya Dalia Ishraq senang menyakiti saudari tirinya hingga tak sengaja sering mempermalukan diri sendiri di depan umum. Sejak ibunya meninggal, wanita itu mulai menimbulkan banyak masalah sehingga dikurung Perdana Menteri dan perlahan namanya cukup dilupakan oleh orang-orang Kekaisaran. Kepribadiannya sampai sekarang terkenal buruk meskipun sudah tak pernah lagi muncul ke permukaan, namun aku juga mendengar rumor bahwa sekarang dia tumbuh menjadi wanita yang sangat pemalu."

"Lalu di mana keanehannya?" tanya Bima tak mengerti.

Faqih berdecak kesal. "Tentu saja aneh, tadi di depan umum dia secara berani menggertak mata-mata yang menyelundupkan racun. Dia bahkan dengan cerdas memberi saran pada penyelidikan kita."

"Saran?" Adipati Gara sedikit menautkan ujung alisnya.

Faqih mengangguk. "Nona pertama Ishraq memberi saran agar melakukan penyelidikan pada rumah para pejabat bangsawan tinggi."

Bima menaikkan alis kirinya sekilas. "Tentu saja kita akan melakukan hal tersebut, bukan?"

Faqih mengangguk sekali lagi. "Benar, namun--"

"Awasi kediaman Perdana Menteri." Adipati Gara mendadak bicara, membuat Bima dan Faqih menoleh cepat.

"Kediaman Perdana Menteri?" tanya keduanya bersamaan.

Adipati Gara melirik dingin ke luar jendela. "Dalia Ishraq adalah putri perdana menteri dan dia mengusulkan untuk mengawasi kediaman pejabat bangsawan besar, bukankah dia juga anak dari pejabat bangsawan besar itu sendiri?"

Bima tertegun. "Jadi wanita itu meminta kita untuk mengawasi kediamannya sendiri? Apa dia tahu sesuatu?"

Faqih mengerutkan keningnya lebih dalam. "Tapi bagaimana jika ini jebakan, Wangye?"

Bima menggeleng pelan. "Jebakan atau tidak, kasus penyelidikan kita buntu. Tidak ada salahnya untuk coba mengikuti kalimat wanita itu, bukan?"

Bima dan Faqih pun kembali menatap adipati Gara.

"Bagaimana, Wangye?" tanya Bima.

Adipati Gara menatap dingin dua bawahannya. "Perhatikan gerak-gerik wanita itu, jika terbukti mengelabui kita, bunuh."

Bima dan Faqih dengan cepat membungkuk. "Baik, Wangye. Kami mengerti."

Setelah dua bawahannya pamit pergi, adipati Gara kembali menyeruput teh-nya dengan tenang.

Dalia Ishraq, dia sudah lama sekali tidak mendengar nama itu.

Mendiang ibu Dalia dekat dengan ibunya karena mereka sama-sama menyukai seni. Tetapi jika Dalia terbukti memiliki niat menyesatkan, dirinya tidak akan segan menyingkirkan Dalia.

Entah mereka sekarang tengah berdiri di pihak yang sama atau sebaliknya. Politik sekarang terbagi dua karena harem, sampai sekarang pihak Perdana Menteri belum terlihat jelas berada di pihak siapa. Entah Huanghou atau Kaisar.

Meskipun Huanghou dan Kaisar adalah suami istri, tetapi kekuatan di belakang Huanghou sangat besar.

Jika tidak berhati-hati, maka Kaisar akan jatuh dan menjadi boneka politik keluarga Huanghou. Keluarga mereka sangat terobsesi untuk mengendalikan Kekaisaran.

Kasus racun ini di luar masalah politik, namun mereka bergerak atas perintah Kaisar untuk melindungi selir kesayangannya.

Meskipun memiliki latar belakang yang saling mencurigai, Huanghou tetap terobsesi pada cinta Kaisar. Wanita itu tidak segan menyingkirkan siapapun yang berani mencuri perhatian Kaisar.

Tetapi pada dasarnya tetap kembali pada ketamakan kekuasaan. Huanghou hanya ingin menyingkirkan bibit ancaman bagi posisinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 116. Bayangan Dewi Di Barat

    Kursi putih berlapis emas itu tampak begitu megah, memantulkan cahaya dari lampu minyak yang tergantung di dinding kamar kerajaan. Namun kemegahan itu seakan sia-sia, karena sosok yang duduk di atasnya hanyalah seorang pemuda dengan sorot mata dingin—Rangga Tirta. Rambut peraknya jatuh menutupi sebagian wajah tegasnya, sementara tatapannya tertuju pada ranjang besar di hadapannya. Di atas ranjang itu, Kaisar Barat—ayahnya sendiri—terbaring lemah.Kaisar Barat, yang dulu dikenal sebagai penguasa dengan bola mata ungu secerah batu amethyst, kini hanyalah bayangan dari kejayaannya. Tatapannya kosong menembus langit-langit, seolah waktu berhenti di sana. Kulitnya yang keriput menunjukkan betapa usia dan penyakit telah merenggut seluruh wibawa. Sorot matanya sayu, napasnya naik turun berat, dan tubuhnya dilingkupi aroma obat serta dupa.Di samping tempat tidur itu, Bram berdiri tegak. Pria berwajah tenang, dengan sikap s

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 115. Tata Ulang Kekaisaran, Dalia Menjadi Kandidat Permaisuri Baru?

    Di ruang kerja Kaisar, suasana tegang terasa kental. Aroma dupa lembut yang mengepul dari wadah perunggu tak mampu menutupi hawa serius yang mendominasi. Tirai sutra berwarna emas pucat menutupi sebagian cahaya matahari sore, menyisakan bayangan samar di dinding. Di meja besar dari kayu cendana, gulungan-gulungan laporan menumpuk, di atasnya tertempel segel merah Kekaisaran.Kaisar duduk di kursi utamanya, wajahnya tenang, namun kedua matanya tajam menatap satu persatu orang yang hadir. Di hadapannya berdiri tiga tokoh penting yang kini menjadi pilar Kekaisaran, Adipati Gara dengan sorot dingin khasnya, Giandra Ishraq yang baru saja menyandang jabatan Perdana Menteri sekaligus Jenderal Muda, serta Jenderal Besar Maneer, pria paruh baya dengan tubuh kekar dan suara berat yang bergema setiap kali ia bicara.“Sejak keluarga Wanda ditumbangkan,” ucap Kaisar membuka pembicaraan, suaranya datar tapi jelas, “tujuh puluh persen pegaw

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 114. Hadiah Kenangan Di Pavilliun Seni

    Kereta kuda melaju pelan di jalanan berbatu ibu kota. Roda-rodanya berdecit halus, meninggalkan jejak roda di debu musim semi yang mulai mengering. Dari dalam kereta, Dalia duduk dengan wajah tertutup tudung tipis. Jemarinya yang ramping menggenggam erat kain sutra di pangkuannya, seakan-akan menyembunyikan getaran kecil di hatinya. Sejak Cahya melangkah pergi meninggalkannya di halaman kediaman Ishraq, ucapan pria itu terus berputar di telinganya—tentang hadiah, tentang puisi, tentang lukisan yang katanya sudah dipajang di Paviliun Seni.Hana yang duduk di hadapannya menatap majikannya itu dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Nona besar, Anda tampak gelisah. Apakah karena tuan muda Sudiro?”Dalia hanya menoleh sebentar, matanya menenangkan meski bibirnya masih terdiam.Rasa ingin tahu terhadap hadiah yang dimaksud Cahya benar-benar menuntunnya hingga kini duduk di kereta, melaju menuju Paviliun Seni.“T

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 113. Janji Yang Tertinggal

    Satu minggu telah berlalu sejak hari eksekusi besar itu. Balairung, istana, dan bahkan seluruh ibu kota masih menyimpan bayang-bayang darah keluarga Wanda. Rakyat membicarakannya di kedai-kedai teh, para pejabat berbisik di aula kementerian, dan para prajurit menceritakan ulang momen itu di barak-barak mereka. Kekaisaran Timur benar-benar mengalami pergeseran besar.Kaisar bekerja siang dan malam, tangannya tak pernah berhenti menulis, memeriksa, dan memutuskan nama-nama pejabat baru untuk mengisi kursi kosong yang ditinggalkan keluarga Wanda. Ia ingin menghapus setiap sisa pengaruh mereka. Tidak boleh ada celah sekecil apa pun.Ratusan ribu pasukan keluarga Wanda—yang dahulu menjadi kebanggaan keluarga itu—kini secara sah diserahkan ke bawah komando Jenderal Besar Maneer, ayah Dara. Sosok tua yang berwibawa itu menerima mandat dengan wajah tegas, menunduk dalam-dalam, berjanji bahwa pasukan yang kini menjadi milikn

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 112. Akar Dendam Dalia

    Balairung agung kekaisaran dipenuhi para bangsawan, pejabat tinggi, dan perwakilan keluarga besar yang duduk berjejer rapi. Di bagian depan, kursi Kaisar menjulang tinggi, bagaikan singgasana yang memandang semua dari atas dengan wibawa yang tak tergoyahkan. Suasana sunyi, hanya terdengar gesekan kain sutra dan napas tertahan. Hari itu, persidangan yang menentukan masa depan keluarga Wanda akan digelar, dengan bukti salinan buku besar kediaman perdana menteri sebagai pusat perhatian.Adipati Gara berdiri di sisi kiri, pedangnya tersarung namun aura tajamnya tetap menusuk. Giandra, Gibran, dan Dalia berada tidak jauh di belakang, wajah mereka dingin, menyimpan luka dan kebencian. Di barisan kanan, keturunan keluarga Wanda duduk terikat, wajah-wajah yang dulu berkuasa kini dipenuhi ketegangan, kebencian, dan sebagian lagi keputusasaan.Kasim agung mengumumkan dengan suara lantang, “Persidangan monopoli garam keluarga

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 111. Pada Akhirnya Kita Seperti Ini

    Langkah-langkah Kaisar bergema pelan di lorong panjang yang membelah kediaman Permaisuri. Malam itu, ia datang tanpa pengawal, tanpa dayang, tanpa utusan—hanya dirinya sendiri. Keputusannya mengejutkan para kasim yang menjaga pintu utama, namun tak seorang pun berani mencegah. Karena dari sorot matanya saja, semua orang tahu, malam ini bukan sekadar kunjungan biasa. Malam ini adalah penentuan akhir.Pintu kayu besar berukir naga emas terbuka dengan suara berat. Kaisar melangkah masuk, membiarkan udara dingin luar ikut menghembuskan sisa salju ke dalam ruangan. Aroma dupa tipis bercampur wangi teh hangat menyeruak.Di dalam, seorang wanita duduk tenang. Rambutnya disanggul rapi, hanfu sutra ungu tua membalut tubuh rampingnya. Lina Wanda. Wanita yang selama ini duduk di sisi Kaisar, menyandang gelar tertinggi, Permaisuri Timur.Namun malam ini, aura yang terpancar darinya berbeda.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status