Share

Bab 2 Nasib

Penulis: Lin shi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-03 16:31:27

Sore menjelang malam.

Angin berembus lembut menyapu pepohonan di halaman kecil rumah keluarga Endang. Suara motor berhenti di depan pagar, lalu suara langkah tergesa terdengar memecah kesunyian.

Dinda turun dari motor dengan wajah kusut. Matanya sembab, napasnya tersengal seperti habis menahan tangis dalam perjalanan. Tanpa menoleh ke arah siapa pun, ia membuka pintu rumah dengan kasar dan melangkah cepat masuk ke dalam.

Tanpa sepatah kata, Dinda langsung menuju kamarnya. Pintu kamarnya tertutup keras hingga bergema di seluruh rumah.

Endang yang sedang duduk di ruang tengah, mematung sejenak. Matanya menyipit, mengamati pintu kamar yang kini tertutup rapat.

“Halah, itu anak kenapa lagi?” gumam Endang lirih, mencoba menahan kekesalan yang bercampur cemas. Tapi sorot matanya tak bisa membohongi rasa khawatir yang mulai muncul.

“Dinda kenapa, Ya Allah...” batinnya gelisah.

Di dalam kamar, Dinda melempar tasnya ke lantai. Tubuhnya langsung ambruk ke atas ranjang. Ia membenamkan wajah ke bantal dan membiarkan tangisnya pecah sejadi-jadinya. Tak ada yang bisa menahan sesak di dada—rasa kecewa, marah, dan patah hati bercampur jadi satu.

Tangannya mengepal erat di atas seprai. Suara isakannya teredam, agar tidak terdengar sampai ke luar kamar. Karena ia tidak ingin saat ini membagi kesedihannya dengan mamanya.

“Gara-gara Mas Danang…” suaranya tercekat, nyaris tak terdengar.

Ia membalik tubuhnya, menatap langit-langit kamar sambil terus menghapus air mata yang terus saja mengalir.

“Aku sampai dipaksa putus sama Mas Rizal… Aku tuh salah apa?” Tangisnya semakin pecah. Napasnya memburu, bibirnya bergetar menahan sesal yang tak terbendung.

“Yang selingkuh itu Mas Danang, bukan aku! Tapi kenapa aku juga ikut disalahin? Kenapa aku yang harus korbanin perasaanku, cinta aku?”

Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya terguncang dalam tangis. Suaranya makin lirih, semakin menyayat.

“Aku sayang Mas Rizal… Tapi semuanya rusak. Rusak karena nama keluarga. Karena malu sama aib Mas Danang… kenapa mereka menghukum aku atas kesalahan Mas Danang ? Kenapa ??" 

Hening...

Lama ia terdiam. Matanya memandangi dinding kosong, seperti mencari tempat untuk menyandarkan semua luka yang tak pernah ia minta. Air mata tetap mengalir, hening. Tak ada suara, hanya kesunyian yang memeluknya dalam luka.

Di luar kamar, Endang masih duduk, mulai tak tenang. Ia menoleh ke arah pintu kamar Dinda, hatinya terasa berat. Ia tak tahu pasti apa yang sedang terjadi, namun ia tidak mengetuk pintu kamar Dinda. Karena ia tahu, saat ini pasti Dinda tidak ingin membagi isi hatinya pada siapapun.

Beberapa jam sebelumnya…

Langit sore itu menggantung mendung. Awan gelap menutup langit, dan hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan tetesan air di dedaunan.

Dinda berdiri di depan sebuah kafe kecil di sudut jalan. Tempat itu dulu menjadi saksi banyak kenangan manisnya bersama Rizal. 

Ia masuk perlahan. Suara lonceng di atas pintu berdenting pelan saat ia melangkah masuk. Sepi. Hanya ada satu meja kosong di dekat jendela, tempat favorit mereka. Ia duduk di sana, mencoba meredam kegugupan yang mencuat di dadanya.

Tangannya gemetar saat membuka syal dari lehernya. Nafasnya tidak stabil. Ada firasat buruk. Rizal tiba-tiba mengajaknya bertemu, setelah seminggu Rizal tidak pernah menghubunginya dan pesan Dinda tidak di bacanya.

Beberapa menit kemudian, Rizal datang. Wajahnya letih, rambutnya terlihat sedikit basah.

“Maaf, aku telat,” katanya pelan.

Dinda mengangguk singkat, tanpa senyum. “Nggak apa-apa, mas. Aku juga baru datang. Rambut mas basah, apa mas tidak bawa mobil?"

"Lagi ingin merasakan air hujan," jawab Rizal sambil tersenyum. Namun, Dinda melihat senyuman itu tidak seperti biasanya. Senyuman tipis yang terpaksa.

Pelayan datang membawakan satu cangkir cokelat panas dan satu kopi untuk Rizal yang sudah dipesan oleh Dinda terlebih dahulu tadi. Mereka berdua tidak menyentuhnya. Hanya saling diam, tenggelam dalam hening yang menyiksa.

Rizal menghela napas panjang, menatap cangkir kopi di depannya. Tangannya meremas sendok kecil di atas tatakan—gelisah yang tak bisa disembunyikan.

"Din..." suaranya keluar serak, hampir seperti bisikan yang tertahan.

"Ya?" sahut Dinda, pelan.

"Maaf... aku nggak menghubungi kamu selama seminggu ini."

Dinda mencoba tersenyum tipis.  

"Mas sibuk, ya?"

Rizal tak menjawab. Ia hanya diam sejenak, lalu menyeruput kopi panasnya yang mulai mendingin, seperti butuh kekuatan untuk melanjutkan.

"Papa dan Mama bicara sama aku... soal hubungan kita."

Dinda terdiam, tubuhnya menegang.  

"Bicara?" ulangnya dengan suara bergetar.

“Mereka tahu soal Mas Danang. Soal perceraiannya... dan penyebabnya.”

Dada Dinda langsung berdetak tidak karuan. Ia menunduk, kedua tangannya bergetar di atas meja.

“Mereka bilang, hubungan kita terlalu berisiko,” lanjut Rizal. “Kata mereka, keluarga kamu udah jadi bahan omongan. Mereka takut aku nanti ikut terlibat dalam drama dan masalah yang sama.”

Dinda mengangkat wajahnya, air matanya mulai menggenang.

“Jadi, karena Mas Danang... aku yang harus dihukum?”

“Bukan gitu, Din…” Rizal terdengar makin berat. “Aku tahu kamu beda. Tapi buat mereka... keluarga itu satu paket. Mereka takut luka Danang jadi luka kita juga nanti.”

Dinda menarik napas panjang, menahan isak yang nyaris pecah. “Aku bukan Danang, mas. Aku nggak pernah menyakiti kamu. Apa mas menganggap aku akan seperti Mas Danang? Aku akan selingkuh juga? Apa yang dilakukan oleh Mas Danang tidak mungkin aku lakukan mas ?" suara Dinda sedikit meninggi.

"Aku tahu Din. Kalian tidak sama."

"Lalu, kenapa orangtua mas ikut menghukum aku ?"

"Mereka tidak menghukummu Din. Mereka hanya tidak ingin apa yang dilakukan oleh Danang menjadi omongan dalam keluarga. Bagaimanapun, jika kita menikah, kedua keluarga akan menjadi satu. Apa yang telah dilakukan Mas Danang akan diketahui keluarga besar. Mas Danang akan menjadi pembicaraan dalam keluarga."

“Jadi kamu nyerah mas ? Kamu tidak mau berjuang untuk hubungan kita ?"

Rizal menunduk. Hening sesaat. “Aku bukan tidak mau berjuang. Tapi, kalau sudah menyangkut keluarga besar, aku bingung Din. Mungkin ini jalannya…”

Dinda tak sanggup lagi berkata-kata. Air matanya tumpah. Ia menggigit bibir, menahan tangis yang terasa menusuk dari dalam.

Rizal meraih tangan Dinda yang berada diatas meja, menggenggamnya. Hangat, tapi hampa.

“Kamu tetap yang terbaik, Din… Maaf…”

Dinda menarik tangannya pelan, seolah tak sanggup disentuh oleh seseorang yang melepaskannya.

“Kalau aku yang terbaik... kenapa kamu pergi? Kenapa tidak memperjuangkan hubungan kita ? Hubungan lima tahun kita, mas hempaskan begitu saja... ? Mas tidak sayang dengan hubungan kita ?"

"Aku sayang sama kamu, Din. Sungguh, aku sayang..." suara Rizal pelan, menahan gejolak di dadanya.  

"Tapi aku nggak berani membantah perkataan keluarga. Apalagi... sekarang Kakek dan Nenek juga ikut campur."

Dinda menunduk, diam.

Rizal melanjutkan,  

"Kakek yang pertama tahu soal Mas Danang. Katanya, beliau punya teman di pengadilan agama... dan dari situlah semua cerita tentang perpisahan Mas Danang terungkap."

"Mama dan Papa juga nggak bisa menentang keputusan Kakek, Din. Padahal Mama sangat menyayangimu... Tapi permintaan Kakek terlalu kuat untuk mereka bantah. Maaf, ya."

Dinda berdiri. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang dingin.

“Terima kasih, mas. Terima kasih udah pernah sayang aku. Anggap aja... ini akhir dari cerita kita. Semoga mas akan mendapatkan gadis yang keluarganya baik-baik saja."

Ia melangkah pergi. Setiap langkahnya seperti menginjak pecahan kaca yang berserakan. Rizal hanya bisa menatap punggung Dinda yang semakin menjauh, mulutnya tak mampu mengucap apa-apa lagi.

Di luar, hujan kembali turun. Rintik demi rintik jatuh ke bumi, mengiringi hancurnya dua hati yang pernah saling mencinta, namun tak bisa bersatu... bukan karena mereka tak ingin, melainkan karena luka yang ditinggalkan oleh kesalahan orang lain, kini menjerat hubungan percintaan mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 115 Satu Doa' untuk tiga malaikat kecil

    Halaman rumah Dina sejak pagi sudah ramai. Tenda sederhana berdiri di depan rumah, kursi-kursi plastik tertata rapi, aroma masakan dari dapur bercampur dengan wangi daging kambing yang sedang diolah. Suara obrolan para tetangga saling bersahutan, diselingi tawa kecil dan sapaan ramah.Namun di balik keramaian itu, Dina berdiri di dalam kamar, menatap ketiga buah hatinya yang tidur nyenyak di boks bayi.Rayan Aldama.Revan Aldamar.Alya Adeline.Tiga nama yang selalu ia sebutkan setiap ia berdoa.Tangannya bergetar saat membenarkan selimut Alya. Dina menarik napas panjang. Hari ini seharusnya menjadi hari yang penuh kebahagiaan. Hari akikah. Hari syukur. Hari ketika seorang ayah berdiri di samping ibu, menyebut nama anaknya dengan lantang.Namun hari ini… Ia sendiri.“Ya Allah…” bisiknya pelan. “Aku lakukan ini sendirian. Tapi Engkau tahu, aku tidak sendirian, ada orang-orang yang menyayangiku. Kuatkan aku Allah..."Aini masuk ke kamar, melihat wajah Dina yang terlihat tegang.“Din…” s

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 114 Harapan

    “Mas Dito!”Suara Aini terdengar bergetar saat matanya menangkap sosok yang sudah lama tak ia lihat. Tubuhnya refleks berhenti bergerak, seolah tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya.Pria bertubuh tinggi itu tersenyum lebar. “Surprise!” serunya sambil membuka kedua tangan.Aini menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. “Ya Allah… Mas Dito beneran datang?”Ia langsung melangkah mendekat dan memeluk abang tertuanya itu erat-erat, seakan takut kalau sosok itu hanya bayangan.Dari samping, Amar tertawa kecil melihat reaksi adiknya. “Gimana? Kaget, kan?”Aini melepaskan pelukan, lalu menoleh ke Amar. “Mas Amar tahu?” tanyanya setengah protes, setengah senang.Amar mengangguk santai. “Tahu dong. Kalau enggak, mana mungkin kejutan ini berhasil.”Belum sempat Aini menimpali, seorang perempuan anggun melangkah mendekat. Wajahnya ramah dengan senyum hangat yang familiar.“Mbak Ami,” ucap Aini cepat.“Iya, Aini,” jawab Aminah sambil merentangkan tangan. “Apa kabar?”Aini langsung memelu

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    113 Tamu kejutan

    Malam itu, Danu duduk di ruang keluarga rumahnya. Badannya bersandar ke sofa, kedua tangannya saling mengait, sementara pandangannya kosong menatap lantai. Di kepalanya masih terngiang kalimat terakhir yang ia ucapkan di kantor siang tadi, surat pengunduran diri. Itu adalah satu keputusan besar yang akhirnya benar-benar ia ambil.Endang keluar dari dapur sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kecil di depan Danu, lalu duduk di seberangnya. Sejak tadi, ia memperhatikan anak laki-lakinya itu dengan perasaan campur aduk, bangga, khawatir, sekaligus penuh harap.“Minum dulu,” kata Endang pelan.Danu mengangguk, meraih gelasnya, lalu menghela napas panjang sebelum menyesap teh itu.“Ma… Senin nanti aku resmi jadi pengangguran,” ucapnya, mencoba bercanda, tetapi suaranya tetap terdengar berat.Endan

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 112 Keputusan besar

    Sejak hari Danu resmi mengajukan resign dari perusahaan, kabar itu menyebar lebih cepat dari yang ia perkirakan. Bukan hanya rekan kerja, tetapi juga orang-orang yang pernah mengenalnya, yang dulu hanya sekadar saling sapa mulai mengetahui keputusan itu. Setiap kali bertemu, pertanyaan yang sama selalu muncul, dengan nada yang berbeda-beda.“Kenapa keluar, Dan?”“Sudah dapat tempat baru?”“Atau ada masalah?”Danu hanya tersenyum tipis. Ia menjawab seperlunya, singkat dan tanpa emosi berlebih. Baginya, tidak semua orang berhak mengetahui alasan hidupnya berubah arah. Ia sudah terlalu lelah menjelaskan, apalagi membela diri.Namun, bukan hanya pertanyaan langsung yang harus ia hadapi. Ada selentingan yang sampai ke telinganya, cerita yang beredar diam-diam, disampaikan setengah berbisik namun terasa lebih bising dari suara keras.

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 111 Keputusan berani

    Aini tiba di rumah menjelang magrib. Wajahnya terlihat lelah, namun sorot matanya menyimpan kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan. Setiap langkahnya menuju pintu terasa berat, tetapi semangat di dalam hatinya membuatnya terus melangkah. Begitu pintu terbuka, aroma masakan Dina yang menguar dari dapur menyambutnya, menambah kehangatan suasana.Dina, yang sedang memberi susu Alya, langsung menoleh ketika mendengar suara pintu. Senyum lega menghiasi wajahnya saat melihat Aini. "Cepet sampe, Bun?” tanyanya, suaranya lembut dan penuh kasih.“Nggak macet. Nggak ada pasar tumpah,” jawab Aini sambil meletakkan tasnya di sudut ruangan. “Capek, tapi alhamdulillah… ada kabar baik.” Suara Aini bergetar, mencerminkan perasaan campur aduk antara kelelahan dan kebahagiaan.Deni, yang baru keluar dari kamar, langsung mendekat dengan wajah penuh rasa ingin tahu. “N

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 110 Minta maaf

    Menjelang sore, suasana di rumah Dina berubah menjadi lebih ramai, namun bukan karena suara tawa. Tangisan kecil bersahut-sahutan, tidak keras, dan tidak juga histeris, lebih seperti rengekan panjang yang membuat hati siapa pun terasa diremas pelan. Rayan meringkuk di pelukan Aini. Pipinya memerah, dan tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya. Ia merengek kecil setiap kali Aini mencoba menurunkannya ke kasur. “Sebentar saja, Nak… bentar ya,” bujuk Aini lembut. Namun, begitu punggung Rayan menyentuh kasur, tangisnya kembali pecah.Di sisi lain, Dina menggendong Alya. Bayi perempuan itu tidak menangis keras; ia hanya merengek pelan, dengan alis yang berkerut seolah merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Setiap kali Dina duduk, Alya akan menggeliat, kakinya menendang-nendang kecil, tanda bahwa ia tidak mau dilepas dari dekapan. “Badannya anget, Bun,” kata Dina lirih, cemas tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Ia menyentuh kening Alya lagi untuk memastikan. “Tapi tidak panas ting

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status