LOGINSore menjelang malam.
Angin berembus lembut menyapu pepohonan di halaman kecil rumah keluarga Endang. Suara motor berhenti di depan pagar, lalu suara langkah tergesa terdengar memecah kesunyian.
Dinda turun dari motor dengan wajah kusut. Matanya sembab, napasnya tersengal seperti habis menahan tangis dalam perjalanan. Tanpa menoleh ke arah siapa pun, ia membuka pintu rumah dengan kasar dan melangkah cepat masuk ke dalam.
Tanpa sepatah kata, Dinda langsung menuju kamarnya. Pintu kamarnya tertutup keras hingga bergema di seluruh rumah.
Endang yang sedang duduk di ruang tengah, mematung sejenak. Matanya menyipit, mengamati pintu kamar yang kini tertutup rapat.
“Halah, itu anak kenapa lagi?” gumam Endang lirih, mencoba menahan kekesalan yang bercampur cemas. Tapi sorot matanya tak bisa membohongi rasa khawatir yang mulai muncul.
“Dinda kenapa, Ya Allah...” batinnya gelisah.
Di dalam kamar, Dinda melempar tasnya ke lantai. Tubuhnya langsung ambruk ke atas ranjang. Ia membenamkan wajah ke bantal dan membiarkan tangisnya pecah sejadi-jadinya. Tak ada yang bisa menahan sesak di dada—rasa kecewa, marah, dan patah hati bercampur jadi satu.
Tangannya mengepal erat di atas seprai. Suara isakannya teredam, agar tidak terdengar sampai ke luar kamar. Karena ia tidak ingin saat ini membagi kesedihannya dengan mamanya.
“Gara-gara Mas Danang…” suaranya tercekat, nyaris tak terdengar.
Ia membalik tubuhnya, menatap langit-langit kamar sambil terus menghapus air mata yang terus saja mengalir.
“Aku sampai dipaksa putus sama Mas Rizal… Aku tuh salah apa?” Tangisnya semakin pecah. Napasnya memburu, bibirnya bergetar menahan sesal yang tak terbendung.
“Yang selingkuh itu Mas Danang, bukan aku! Tapi kenapa aku juga ikut disalahin? Kenapa aku yang harus korbanin perasaanku, cinta aku?”
Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya terguncang dalam tangis. Suaranya makin lirih, semakin menyayat.
“Aku sayang Mas Rizal… Tapi semuanya rusak. Rusak karena nama keluarga. Karena malu sama aib Mas Danang… kenapa mereka menghukum aku atas kesalahan Mas Danang ? Kenapa ??"
Hening...
Lama ia terdiam. Matanya memandangi dinding kosong, seperti mencari tempat untuk menyandarkan semua luka yang tak pernah ia minta. Air mata tetap mengalir, hening. Tak ada suara, hanya kesunyian yang memeluknya dalam luka.
Di luar kamar, Endang masih duduk, mulai tak tenang. Ia menoleh ke arah pintu kamar Dinda, hatinya terasa berat. Ia tak tahu pasti apa yang sedang terjadi, namun ia tidak mengetuk pintu kamar Dinda. Karena ia tahu, saat ini pasti Dinda tidak ingin membagi isi hatinya pada siapapun.
Beberapa jam sebelumnya…
Langit sore itu menggantung mendung. Awan gelap menutup langit, dan hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan tetesan air di dedaunan.
Dinda berdiri di depan sebuah kafe kecil di sudut jalan. Tempat itu dulu menjadi saksi banyak kenangan manisnya bersama Rizal.
Ia masuk perlahan. Suara lonceng di atas pintu berdenting pelan saat ia melangkah masuk. Sepi. Hanya ada satu meja kosong di dekat jendela, tempat favorit mereka. Ia duduk di sana, mencoba meredam kegugupan yang mencuat di dadanya.
Tangannya gemetar saat membuka syal dari lehernya. Nafasnya tidak stabil. Ada firasat buruk. Rizal tiba-tiba mengajaknya bertemu, setelah seminggu Rizal tidak pernah menghubunginya dan pesan Dinda tidak di bacanya.
Beberapa menit kemudian, Rizal datang. Wajahnya letih, rambutnya terlihat sedikit basah.
“Maaf, aku telat,” katanya pelan.
Dinda mengangguk singkat, tanpa senyum. “Nggak apa-apa, mas. Aku juga baru datang. Rambut mas basah, apa mas tidak bawa mobil?"
"Lagi ingin merasakan air hujan," jawab Rizal sambil tersenyum. Namun, Dinda melihat senyuman itu tidak seperti biasanya. Senyuman tipis yang terpaksa.
Pelayan datang membawakan satu cangkir cokelat panas dan satu kopi untuk Rizal yang sudah dipesan oleh Dinda terlebih dahulu tadi. Mereka berdua tidak menyentuhnya. Hanya saling diam, tenggelam dalam hening yang menyiksa.
Rizal menghela napas panjang, menatap cangkir kopi di depannya. Tangannya meremas sendok kecil di atas tatakan—gelisah yang tak bisa disembunyikan.
"Din..." suaranya keluar serak, hampir seperti bisikan yang tertahan.
"Ya?" sahut Dinda, pelan.
"Maaf... aku nggak menghubungi kamu selama seminggu ini."
Dinda mencoba tersenyum tipis.
"Mas sibuk, ya?"
Rizal tak menjawab. Ia hanya diam sejenak, lalu menyeruput kopi panasnya yang mulai mendingin, seperti butuh kekuatan untuk melanjutkan.
"Papa dan Mama bicara sama aku... soal hubungan kita."
Dinda terdiam, tubuhnya menegang.
"Bicara?" ulangnya dengan suara bergetar.
“Mereka tahu soal Mas Danang. Soal perceraiannya... dan penyebabnya.”
Dada Dinda langsung berdetak tidak karuan. Ia menunduk, kedua tangannya bergetar di atas meja.
“Mereka bilang, hubungan kita terlalu berisiko,” lanjut Rizal. “Kata mereka, keluarga kamu udah jadi bahan omongan. Mereka takut aku nanti ikut terlibat dalam drama dan masalah yang sama.”
Dinda mengangkat wajahnya, air matanya mulai menggenang.
“Jadi, karena Mas Danang... aku yang harus dihukum?”
“Bukan gitu, Din…” Rizal terdengar makin berat. “Aku tahu kamu beda. Tapi buat mereka... keluarga itu satu paket. Mereka takut luka Danang jadi luka kita juga nanti.”
Dinda menarik napas panjang, menahan isak yang nyaris pecah. “Aku bukan Danang, mas. Aku nggak pernah menyakiti kamu. Apa mas menganggap aku akan seperti Mas Danang? Aku akan selingkuh juga? Apa yang dilakukan oleh Mas Danang tidak mungkin aku lakukan mas ?" suara Dinda sedikit meninggi.
"Aku tahu Din. Kalian tidak sama."
"Lalu, kenapa orangtua mas ikut menghukum aku ?"
"Mereka tidak menghukummu Din. Mereka hanya tidak ingin apa yang dilakukan oleh Danang menjadi omongan dalam keluarga. Bagaimanapun, jika kita menikah, kedua keluarga akan menjadi satu. Apa yang telah dilakukan Mas Danang akan diketahui keluarga besar. Mas Danang akan menjadi pembicaraan dalam keluarga."
“Jadi kamu nyerah mas ? Kamu tidak mau berjuang untuk hubungan kita ?"
Rizal menunduk. Hening sesaat. “Aku bukan tidak mau berjuang. Tapi, kalau sudah menyangkut keluarga besar, aku bingung Din. Mungkin ini jalannya…”
Dinda tak sanggup lagi berkata-kata. Air matanya tumpah. Ia menggigit bibir, menahan tangis yang terasa menusuk dari dalam.
Rizal meraih tangan Dinda yang berada diatas meja, menggenggamnya. Hangat, tapi hampa.
“Kamu tetap yang terbaik, Din… Maaf…”
Dinda menarik tangannya pelan, seolah tak sanggup disentuh oleh seseorang yang melepaskannya.
“Kalau aku yang terbaik... kenapa kamu pergi? Kenapa tidak memperjuangkan hubungan kita ? Hubungan lima tahun kita, mas hempaskan begitu saja... ? Mas tidak sayang dengan hubungan kita ?"
"Aku sayang sama kamu, Din. Sungguh, aku sayang..." suara Rizal pelan, menahan gejolak di dadanya.
"Tapi aku nggak berani membantah perkataan keluarga. Apalagi... sekarang Kakek dan Nenek juga ikut campur."
Dinda menunduk, diam.
Rizal melanjutkan,
"Kakek yang pertama tahu soal Mas Danang. Katanya, beliau punya teman di pengadilan agama... dan dari situlah semua cerita tentang perpisahan Mas Danang terungkap."
"Mama dan Papa juga nggak bisa menentang keputusan Kakek, Din. Padahal Mama sangat menyayangimu... Tapi permintaan Kakek terlalu kuat untuk mereka bantah. Maaf, ya."
Dinda berdiri. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang dingin.
“Terima kasih, mas. Terima kasih udah pernah sayang aku. Anggap aja... ini akhir dari cerita kita. Semoga mas akan mendapatkan gadis yang keluarganya baik-baik saja."
Ia melangkah pergi. Setiap langkahnya seperti menginjak pecahan kaca yang berserakan. Rizal hanya bisa menatap punggung Dinda yang semakin menjauh, mulutnya tak mampu mengucap apa-apa lagi.
Di luar, hujan kembali turun. Rintik demi rintik jatuh ke bumi, mengiringi hancurnya dua hati yang pernah saling mencinta, namun tak bisa bersatu... bukan karena mereka tak ingin, melainkan karena luka yang ditinggalkan oleh kesalahan orang lain, kini menjerat hubungan percintaan mereka.
“Bun, uang dari mana?” tanya Dina memberanikan diri, suaranya bergetar menahan cemas yang menggelayuti pikirannya. Udara sore yang lembap semakin menekan dadanya. Ia menatap bundanya yang duduk di sudut ruang tamu sederhana mereka, dikelilingi tumpukan kain dan benang warna-warni. Bau lembut kain baru bercampur aroma kopi dingin di meja kecil di sebelah mesin jahit.Aini, yang serius memasang kancing pada baju yang baru saja dijahitnya dengan penuh ketelitian, menoleh perlahan. Gerakannya terhenti, jarum di tangannya melayang di udara. Keningnya berkerut, memperlihatkan garis-garis halus yang semakin jelas seiring bertambahnya usia. Tatapannya beralih ke wajah putrinya yang tampak gelisah.“Uang apa?” jawab Aini, nada suaranya datar namun terdengar ragu, seolah menimbang apakah pertanyaan itu perlu dijawab sekarang.“Untuk bayar rumah sakit?” Dina bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tetap gemetar. “Tadi… hampir enam puluh juta keluar, Bun. Uang dari mana? Apa bunda ber
Sore itu, udara di gang kecil itu terasa lembap dan berdebu. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya jingga di dinding-dinding rumah yang rapat berjejer. Danang berjalan di belakang Pak RT dengan langkah mantap tapi hati yang was-was. Di sampingnya, Yoga ikut melangkah pelan, menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu.“Rumahnya di ujung sana, Mas,” kata Pak RT sambil menunjuk sebuah rumah sederhana bercat hijau muda dengan pagar besi yang mulai berkarat. “Pemuda itu jarang keluar, tapi beberapa kali warga lihat dia belanja di warung depan.”Danang mengangguk. Hatinya berdebar pelan. Entah kenapa, ada harapan kecil yang tumbuh, semoga kali ini benar-benar Deni.Setelah mengetuk beberapa kali, pintu rumah itu terbuka. Seorang pemuda muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan sekilas... mirip sekali dengan Deni. Bahkan cara dia menatap membuat dada Danang bergetar sesaat.Namun, begitu pemuda itu berbicara, harapannya perlahan runtuh.“Iya, Pak? Ada perlu?” suaranya datar, d
Kamar rawat Dina siang itu terasa lebih hidup dari biasanya. Suara tawa kecil dan obrolan riuh memenuhi ruangan. Hanum duduk di sisi ranjang sambil mengupas buah, sementara Seno sibuk menyiapkan kursi tambahan untuk tamu dari kampung, Paman Amar dan istrinya, Bik Sarti, yang baru saja tiba.“Ya Allah, Din, kamu kurusan, tapi cantiknya tetap aja nggak ilang,” ucap Bik Sarti sambil menepuk lembut tangan Dina. “Anak tiga sekaligus, kamu harus banyak makan, biar kuat.”Dina tersenyum lemah tapi hangat. “Iya, Bik... capeknya memang dobel, tapi waktu lihat mereka bertiga, semua rasa letih langsung hilang.”Hanum menimpali sambil menatap Dina dengan bangga. “Iya, mereka kuat... sama seperti ibunya.”Dina hanya tersenyum tipis. Ada cahaya lembut di matanya, kelegaan sekaligus rindu, sebab hingga kini ia belum bisa memeluk bayi-bayinya. Mereka masih dirawat di ruang NICU, di balik kaca tebal yang memisahkan dunia kecil mereka dari dekapan ibunya.Tawa ringan pun terdengar. Setelah cukup lama b
Suasana malam di toko jahit “Rumah Busana” masih ramai oleh tawa tiga wanita: Tatik, Rani, dan Yuni. Meskipun mesin jahit sudah lama dimatikan, suasana ceria yang mengisi ruangan tidak kunjung pudar. Mereka duduk melingkar di sekitar meja kerja, dikelilingi oleh tumpukan kain berwarna-warni dan alat jahit yang berserakan. Perbincangan hangat dan tawa yang mengalun seolah menjadi soundtrack malam itu, menandakan betapa akrabnya persahabatan mereka.Malam ini, mulut mereka belum bisa berhenti membahas kejadian lucu yang terjadi siang tadi, saat Dinda datang secara tiba-tiba mencari Dina. Rani, yang masih terpengaruh oleh tawa, mengingat kembali momen itu dengan rasa geli. “Yun… aku masih nggak habis pikir,” kata Rani sambil mengusap air mata karena terlalu banyak tertawa. “Kok kamu bisa-bisanya bilang kalau toko ini udah dijual ke Haji Imron segala? Siapa lagi tuh Haji Imron?”Yuni, yang duduk di sebelah Rani, langsung nyengir lebar, pipinya merah karena malu. “Ya ampun, Ran… itu spont
Malam itu, ruang keluarga rumah Danang terasa hangat. Di atas meja masih ada sisa teh hangat dan piring kue kering yang belum habis. Dinda duduk bersandar santai di sofa, sementara Mamanya duduk di sebelah Danang dengan wajah penasaran.“Jadi, gimana hasil pencarianmu tadi?” tanya Mamanya sambil menyeruput teh pelan.Danang menghela napas, lalu menatap mereka berdua. “Kalian nggak bakal percaya apa yang aku alami tadi.”Dinda langsung duduk tegak. “Apa mas ?" Wajahnya penasaran.Danang menghela napas panjang. “Kalau yang aku temuin tadi sih... namanya memang mirip. Tapi bentuknya—” ia berhenti sebentar, mengatur napas. “Bentuknya... beda jauh!”Mama menaikkan alis. “Beda jauh gimana maksudmu, Dan?”Danang memijit pelipisnya, seolah masih terbayang kejadian aneh yang baru saja dialaminya. “Begitu pintu rumahnya kebuka, aku berharap Dina yang keluar. Namun, yang keluar seorang wanita... bajunya merah nyala, rambutnya keriting panjang kayak mie instan tumpah, bibir merah kayak cabe setan
Pintu rumah itu perlahan terbuka.Danang menahan napas, jantungnya berdegup seperti genderang perang. Dalam pikirannya, ia sudah membayangkan Dina dengan wajah lembut dan senyum yang dulu selalu menenangkannya.Namun, begitu pintu benar-benar terbuka...Danang terpaku.Mulutnya nyaris terbuka tanpa suara.Seorang wanita muncul atau lebih tepatnya, seseorang dengan dandanan yang tak bisa dijelaskan dengan logika manusia biasa.Rambut keriting panjang menutupi separuh wajah, bibir merah menyala, bulu mata tebal melambai-lambai seolah bisa menepis angin badai. Bajunya merah terang, dan wanginya... menusuk hidung, entah wangi bunga, entah wangi pom bensin.“Mas ganteng…” suara berat itu keluar pelan, seperti suara pria pilek bercampur manja.“Mas ganteng... cari eike ya? Masuk yok…” katanya sambil menggigit bibir merah menyala itu.Danang spontan mundur setapak. Merinding!Suara itu bukan suara perempuan biasa. Ada nada… bass di dalamnya, membuat Danang mengambil sikap waspada.“E-eh, anu







