Plak!
Suara tamparan yang keras menggema di ruang makan. Adelia tersungkur di lantai marmer putih dengan corak berwarna abu-abu yang elegan. Adelia mendongakkan kepala, menatap Ibu Mertuanya. Sambil memegangi pipi kiri yang memerah, ia bertanya, "Ma, kenapa Mamaー" Ibu MertuanyaーDevina Widyantara, menyela, "Apa?! Kamu mau tahu, kenapa saya menampar kamu?!" Kedua mata Devina memancarkan kilatan emosi yang tidak tertahankan. Lalu, ia menunjuk anak bungsunya yang sedang terbatuk-batuk. "Lihat Samuel!" seru Devina. Tatapan Adelia tertuju pada suaminyaーSamuel Widyantara. Ia langsung mengerti duduk perkaranya. Setelah memuntahkan telur rebus, Samuel terbatuk-batuk. Ia sudah minum air hangat untuk meredakan batuknya. Namun, rasa mualnya tidak hilang juga. Belum lagi, tenggorokannya terasa gatal dan panas sangat mengganggunya. Adelia benar-benar telah membuat kesalahan yang fatal! Devina menarik rambut panjang bergelombang Adelia. "Kenapa telur rebusnya tidak matang, hah?!" Dengan tatapan memohon, Adelia berkata, "Ma, tolong lepaskan rambutku! Ini ... sakit, Ma." Tidak puas dengan tindakannya, Devina langsung mendorong tubuh Adelia hingga kepalanya menghantam guci keramik. Seketika, guci tersebut jatuh dan pecah. "Aaarrghh!" Adelia berteriak. Adelia merasakan darah segar mengalir dari pelipisnya. Namun, Devina tidak memedulikannya. Devina kembali berteriak, "Kenapa kamu bodoh sekali, Adel?! Kamu kan tahu, Samuel tidak bisa makan makanan berbau amis?!" Sejak menikah, Adelia tinggal di rumah mertua di kawasan elit Jakarta, perumahan Bukit Hijau. Setiap pagi, ia bangun lebih awal daripada siapapun. Ia menyiapkan sarapan, mencuci piring, mencuci pakaian hingga membersihkan kandang hewan peliharaan keluarga suaminya. Saat Devina masih berteriak karena marah, Kakak iparnya berkata, "Bagus kamu, Adel! Gara-gara kamu, guci mahalku pecah! Kamu tahu? Aku membelinya di acara lelang dengan harga fantastis." Kakak ipar berdiri. Ia berjalan menuju Adelia dan langsung menamparnya. Plak! "Aku tidak mau tahu, kamu harus ganti seharga Rp 25 juta," kata Kakak ipar. Meskipun semua orang di ruang makan tahu, bukan Adelia yang memecahkan guci. Namun, mereka seolah-olah buta. Tidak ada satupun yang memihaknya. "Kak Selly bukan aku yang memecahkanー" Merasa posisinya tidak aman, Devina kembali menyela, "Adel, kamu menuduh saya?! Kalau bukan karena kamu berulah, saya tidak akan marah sama kamu!" Sejak Adelia datang di rumah ini, tidak ada seorang pun anggota keluarga Widyantara yang mengakui statusnya sebagai Istri sah Samuel. Bahkan para pelayan enggan menyapa Adelia, apalagi menghormatinya. Siapa Adelia? Ia hanyalah seorang perempuan miskin yang terpaksa dinikahi Samuel. Tubuh Adelia kurus seperti seseorang yang mengalami gizi buruk, dan tidak wangi. Wajahnya tidak begitu cantik, dan nilai akademiknya biasa-biasa saja. Ia hanya lulusan SMA yang tidak terkenal. Jadi, tidak ada yang bisa dibanggakan memiliki Istri seperti Adelia. Sedangkan Samuel? Ia adalah seorang anak kesayangan keluarga Widyantara yang terhormat di kota Jakarta Selatan, Samuel lulusan luar negeri. Selain tampan dan cemerlang di bidang bisnis, di masa depan, Samuel akan menjadi pewaris perusahaan ayahnya bernama Portwidy Holdings. Di mata orang lain, perbedaan mereka berdua bagaikan langit dan bumi! Sungguh ironi, bukan? Devina berseru, "Bagaimana bisa kamu menjadi menantu di rumah ini?! Sungguh tidak pantas kamu berada di sini!" Adelia menatap Samuel. Adelia berharap, hati Samuel luluh dan berinisiatif membelanya. Pandangan semua orang beralih pada Samuel. Samuel berdiri. Kedua mata Adelia berbinar, mengira Samuel akan mendekati dan membelanya. Namun detik berikutnya, harapan Adelia pupus berganti dengan kekecewaan yang dalam. Entah sudah berapa ratus kali ia terlalu berharap pada suami seperti Samuel! Kakak ipar berteriak, "Samuel, kamu mau ke mana?!" Samuel melambaikan tangan sambil melangkah meninggalkan ruang makan. Samuel berkata dengan cuek, "Nafsu makan ku sudah hilang. Kalian didik saja dia!" Adelia terdiam. Air mata Adelia hampir terjatuh, tetapi ia mencoba menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan keluarga mertuanya. Selama hampir setahun, Adelia sudah terbiasa mendapatkan perlakuan buruk seperti ini. Bukan hanya dari Samuel, tetapi juga dari keluarga suaminya. Apa yang bisa diharapkan dari Suami dingin dan tidak berperasaan seperti Samuel? "Dasar perempuan miskin, tidak berguna!" hardik Devina, penuh kebencian.Pintu kamar VIP terbuka pelan. Seorang suster masuk, mendorong troli inkubator bening beroda yang di dalamnya terbaring seorang bayi mungil—terbungkus selimut lembut, wajahnya tenang, napasnya perlahan.“Bu Adelia…” suara suster lembut. “Ini putra Ibu.”Adelia yang masih berbaring setengah duduk langsung menoleh. Tatapannya tajam, matanya membesar, air mata langsung mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menatap bayi itu—kulitnya merah muda, kecil sekali, dengan selang oksigen tipis di hidungnya. “Boleh… aku lihat lebih dekat?” suara Adelia nyaris berbisik, lirih karena lemah, tapi juga penuh dorongan naluri.Suster tersenyum dan mendorong inkubator hingga tepat di sisi tempat tidur Adelia.Adelia mencondongkan tubuh sedikit, sambil menahan nyeri luka operasi. Tapi ia tak peduli. Pandangannya terkunci pada bayinya yang mungil. Samuel berdiri di sisi lain ranjang, meletakkan tangannya di bahu Adelia. ikut menatap ke dalam inkubator. “Dia kuat, sama seperti kamu.”Adelia mengangguk, air mat
"Dia selamat. Bayi kita kuat, sama seperti kamu. Lahir dengan berat dua koma tujuh kilo. Napasnya sempat lemah, tapi sekarang sudah stabil. Dokter bilang dia pejuang, sama seperti ibunya.”Air mata mengalir. Ia menutup mulut dengan tangan lemah, terisak pelan. “Aku mau lihat dia…” Samuel mengangguk. “Tentu saja. Begitu kamu sedikit lebih kuat, Suster akan bawa dia ke kamar. Tapi kamu harus pulih dulu ya…”Adelia tersenyum haru. “Dia mirip siapa, Mas?”Samuel tersenyum sumringah. “Wajahnya kecil dan halus… mirip kamu. Tapi bibir dan alisnya… kayaknya dapat dari aku.”Mereka tertawa pelan, penuh rasa syukur. Tak lama pintu ruangan terbuka. Dokter masuk diikuti dua perawat yang membawa alat-alat medis.“Maaf, kami perlu memulai tindakan perawatan intensif. Kami akan bersihkan luka operasi, cek tekanan darah, dan siapkan pemindahan ke ruang rawat VIP," ucap Sang dokter Samuel berdiri, mengangguk. “Silakan, Dok. Saya tunggu di luar.”Sebelum ia melangkah keluar, ia membungkuk sedikit dan
"Aku dimana?" seru Adelia, dalam kegelapan hampa.Gelap. Sunyi. Tubuh Adelia melayang entah ke mana. Tak ada rasa, hanya lelah yang terasa menyesakkan.Lalu…“Bangun, Adel! Kamu harus hidup!”Suara tegas itu menusuk hening. Suara yang tak asing."Arabella."Adelia menoleh ke kanan ke kiri tapi tak melihat siapa-siapa. “Aku di sini…” suara itu kembali terdengar, lembut tapi mendesak.Adelia memejamkan matanya sejenak, mencoba fokus. Di antara kehampaan dan kegelapan yang membungkusnya, suara itu seperti nyala senter di tengah badai. Ia merentangkan tangannya, berjalan perlahan di ruang hampa yang tak berbentuk, tak berujung.“Arabella? Di mana kamu?” serunya pelan.Sekilas, bayangan Arabella muncul. Sosok berpakaian putih berdiri di kejauhan, rambutnya tergerai. “Kamu belum boleh menyerah, Adel,” kata suara itu. “Kamu masih harus berjuang.”Adelia memeluk tubuhnya sendiri. “Tapi aku lelah… sangat lelah…”Lantai hampa di bawahnya retak. Suhu di sekitarnya perlahan mendingin. Angin ent
“Pak Samuel, presentasi Anda tadi siang, luar biasa sekali, saya sangat antusias mendengarkan penjelasan Anda,” puji salah satu klien sambil mengangkat gelasnya.Samuel tersenyum sopan. “Terima kasih, Pak Rudy. Mudah-mudahan kolaborasi ini jadi langkah awal yang baik untuk hubungan jangka panjang antara perusahaan kita.”Suara gelas beradu dengan tawa basa-basi, bercampur dengan aroma seafood panggang. Samuel duduk di samping ayahnya, Jusuf. Restoran tepi danau bernuansa kayu di tengah kota Kalimantan,Namun baru saja Samuel hendak menyendok sup asparagus. Ponselnya bergetar tiba-tiba di atas meja. Nama yang tak dikenal muncul di layar. Sekilas, Samuel coba mengabaikan. Tapi getaran itu datang lagi dan lagi.Samuel melirik ayahnya sejenak, lalu berdiri perlahan dengan gerakan pelan. “Maaf, sepertinya ada panggilan darurat yang harus saya terima dulu.”Ia berjalan menjauh dari meja, menuju balkon kecil di dalam restoran.Samuel : Halo?Petugas Medis : Selamat malam dengan pak Samuel?S
“Mama…”Suara kecil itu terdengar lirih dari ambang pintu.Isabella, dengan mata masih setengah mengantuk, berdiri terpaku melihat ibunya tergeletak di lantai dapur. Matanya membesar saat melihat darah menggenang dan tubuh Adelia yang menggigil sambil memegangi perutnya.“Ica... sayang, tolong Mama...” suara Adelia bergetar, penuh tangis, namun tetap berusaha tenang. “Dengar Mama, ya nak… dengarkan baik-baik…”Isabella mendekat beberapa langkah, tampak kebingungan dan ketakutan. “Mama sakit...?”Adelia menggelengkan kepala, lalu memaksakan senyum meski tubuhnya sedang kesakitan. “Iya, Mama sakit… tapi kamu bisa bantu Mama, sayang. Bisa, ya?”Isabella mengangguk cepat.“Ambilkan tas Mama… di ruang tamu. Cepat, ya? Di dalamnya ada ponsel. Tolong bawain sini, Sayang…” suara Adelia bergetar.Isabella langsung berlari keluar dapur, sambil bergumam. "Tas Mama… tas Mama…” gumamnya panik, menoleh ke kanan dan kiri, lalu mulai memeriksa setiap sudut sofa.Ia menyingkirkan bantal, “Di mana sih…
"Apa maksudmu?” tanya Devina, tergagap, tapi wajahnya mencoba tetap tenang.Adelia melangkah maju, menatap lurus ke wajah mertuanya. “Jangan main sandiwara lagi, Mama. Aku tahu jamu itu bukan buat kesehatan. Dokter menemukan sesuatu yang bisa membahayakan kandungan aku!”Wajah Devina pucat pasi.Adelia melanjutkan perkataannya. “Aku bukan gadis bodoh dan naif seperti dulu. Mama pikir aku bakal langsung minum jamu itu? Dari warnanya saja aku sudah curiga—jelas itu bukan jamu biasa, tapi racun!”“Adel… kenapa kamu bilang begitu? Mama selama ini cuma khawatir… Mama nggak pernah berniat jahat… Mama cuma khawatir. Adel, tolong… jangan buka luka lama itu lagi." suara Devina mulai lirih.“Khawatir? Tapi Mama mau bunuh aku dan anakku. Maksud Mama apa, hah?!”Suara Adelia bergema di dapur yang sunyi. Kata-katanya seperti tamparan keras yang membuat Devina terdiam seketika.Devina menggigit bibir. Tangannya yang tadi menggenggam apron, mulai gemetaran.“Apa Mama pikir aku ini bodoh? Apa Mama pi