“Diam sedikit, Kak. Alisnya hampir sempurna,” kata Amelia. Wajahnya penuh konsentrasi seperti seniman di depan kanvas mahal. Tangannya bergerak hati-hati memegang spidol dan pensil alis.Adelia melirik pantulan cermin besar yang dikelilingi cahaya lampu bundar. “Kamu cocok buka salon, Amel. Sumpah, muka Kakak jadi beda banget. Glowing parah kayak artis.”Amelia terkekeh, tapi tetap fokus menyempurnakan garis halus di atas mata kakaknya. “Gak sia-sia kan aku belajar makeup dari YouTube dan latihan tiap malam.”Adelia mendesah pelan, “Padahal Mas Samuel udah nawarin kita pakai MUA profesional di Bali, Biar kamu nggak repot-repot begini dari subuh.”“Sayang ilmunya, Kak,” balas Amelia sambil tersenyum bangga. “Lagipula, ini momen yang pas buat coba-coba. Sekalian ngetes skill make up aku,”“Ooh...” Adelia mengerutkan keningnya. “Jadi Kakak ini... dijadikan bahan percobaan ya, ceritanya?”Amelia menahan tawa. “Tenang aja. Percobaan kali ini sukses besar. Kakak jadi kayak bridesmaid Korea.
"Ah...ha...." Adelia merintih, tubuhnya terus diguncang kencang dari belakang, Selesai menembak sekali, Samuel mengubah posisi, ia membalikkan tubuh istrinya, tepat di bawahnya, lalu kembali menguasainya lagi.Ciumannya turun perlahan ke bibir. Lembut pada awalnya, namun segera berubah menjadi lebih dalam—penuh hasrat tak tertahankan, Adelia membalas dengan lumatan-lumatan kecil, pelukan dan genggamannya menguat. "Aahh..." Kali ini Adelia men d esah lebih kencang, saat benda tumpul milik suaminya kembali masuk, rasanya penuh dan sesak dibawah sana. "Oh, sayang.... Milikmu sempit, buat aku ketagihan." e r an g Samuel, terus menggerakkan pinggulnya dengan kecepatan turbo. Dan semburan hangat kembali meluncur memenuhi rahim sang Istri. Setelah mencapai puncak kepuasan, mereka berbaring bersama, saling berpelukan di atas ranjang yang basah. Irama nafas mereka menjadi satu, dalam keintiman yang hangat, setelah melakukan hubungan yang penuh gairah. Samuel tersenyum riang, "Aku akan me
Saat Adelia hendak masuk ke dalam rumah, pengasuhnya datang menghampiri dengan senyum ramah. “Saya bantu, Buk.”Adelia mengangguk, sedikit lelah. “Iya, tolong bantu taruh Isabella di kamarnya, ya.”Pengasuh itu mengangguk sigap, lalu mengambil stroller dengan hati-hati. “Baik, Buk. Isabella pasti capek setelah jalan-jalan.”Adelia tersenyum lega, merasa terbantu. “Terima kasih ya.”Begitu masuk rumah, Adelia langsung melangkah ke arah lemari es di dekat bar dan meneguk air dingin penuh dahaga.Tiba-tiba, suara Samuel memecah keheningan. “Tumben, kok lama perginya...”Adelia hampir menyemburkan air dari mulutnya karena terkejut mendengar suara Samuel.Ia cepat-cepat menutup mulut dan menoleh, matanya berbinar malu. “Aduh, kamu bener-bener bikin aku kaget, Mas!”Samuel cuma tertawa, senang melihat reaksi lucu Istrinya. Lalu ia menghampiri Adelia, mengambil selembar tisu dari meja, dengan lembut mengelap sisa air di sudut mulutnya.Adelia menatapnya dengan mata berbinar, sedikit tersipu.
Satrio menyesap cappuccino-nya pelan, lalu menatap Adelia yang tampak ragu membuka percakapan. “Kamu kelihatan tegang. Aku bikin kamu nggak nyaman, ya?”Mereka berdua duduk berhadapan—Satrio mengajak Adelia ke sebuah Cafe di Mall, supaya bisa ngobrol santai dengan adik ipar yang baru ia kenal.Adelia menggeleng, tersenyum kaku. “Bu-bukan... hanya jarang ada yang ngajak ngobrol kayak gini. Apalagi dari keluarga Samuel.”Satrio tertawa pelan. “Wajar sih. Namaku di keluarga ini memang sudah terlanjur buruk. Tapi aku pulang ke Indonesia bukan untuk cari masalah, kok. Aku cuma kangen sama keluarga... dan sekalian pengin kenal lebih dekat sama adik iparku juga.”Adelia terdiam sejenak, menunduk. “Aku bukan siapa-siapa, Kak. Cuma perempuan biasa yang tamatan SMA, kebetulan saja bisa menikah sama Samuel dan jadi ibu untuk Isabella.”Satrio menggeleng pelan, lalu menatap Adelia dengan nada santai. “Aku nggak peduli kamu lulusan mana, Del. Waktu di Jerman, banyak temanku juga bukan dari perguru
"Huwaa!!" tangis Isabella pecah seketika. Suaranya nyaring, memenuhi ruangan klinik. Ia meringkuk di pelukan Adelia, tubuh kecilnya masih gemetar setelah disuntik imunisasi."Huhuhu... Akit, Mama!" rengeknya pilu, air mata membanjiri pipi bulatnya, bercampur dengan ingus yang meleleh tanpa henti.Adelia mengusap lembut punggung putrinya, "Tahan, sayang... sakitnya cuma sebentar kok. Setelah ini kita beli es krim favoritmu, ya," ujarnya pelan, menenangkan, sesekali mengecup kepala Isabella yang masih terisak.Dokter tersenyum hangat sambil menuliskan catatan di buku medisnya. "Kondisinya sangat baik, Bu Adelia. Berat badan dan tinggi badan Isabella sudah di atas rata-rata usianya. Tumbuh kembangnya juga sangat bagus."Adelia mengangguk lega, meski tangis Isabella masih terdengar lirih di pelukannya. Mendengar dokter menyatakan Isabella tumbuh sehat dan lebih dari cukup untuk anak seusianya membuat hatinya terasa hangat. Terlebih karena ia tahu—Isabella bukan anak kandungnya.“Yuk, kita
Satrio menatap Adelia beberapa detik lebih lama dari seharusnya, membuat suasana mendadak berbeda. Sorot matanya dalam, seolah ingin membaca isi hati perempuan di hadapannya."Jujur... kamu tuh jauh lebih cantik dari yang aku lihat di foto pernikahan Samuel.”Adelia menoleh, sedikit terkejut dengan tatapan itu. “Maksudnya…?”Satrio menyandarkan siku di meja, menatap Adelia dengan ekspresi yang tak bisa ditebak—antara heran, kagum, dan… mungkin sedikit terluka.“Jujur… kamu tuh jauh lebih cantik dari yang aku lihat di foto pernikahan Samuel.”Adelia sontak menoleh, sedikit terkejut. “Maksudnya…?”Satrio mengangkat alisnya sambil tersenyum miring. “Aku ini kakak suamimu. Masa gak tahu foto pernikahan adiknya sendiri? Mama dulu sering nunjukin sambil bilang, ‘Kasihan adikmu Samuel… terpaksa nikah sama gadis kampung.’Adelia menunduk pelan, ada semburat merah di pipinya—bukan karena pujian, tapi karena luka lama yang disentil kembali.Satrio melanjutkan, suaranya tetap tenang namun kali i