“Mas! Mas Reza tunggu! Jangan seperti ini, Mas! Gak usah bawa-bawa polisi!” Lalu tubuh Mas Sandi sudah menghalangi langkah kami.
Loh, kenapa jadi dia yang panik? Bukannya Mas Reza yang katanya tersangka?“Biarin saja lah, San! Kamu itu kok aneh?” Bi Icah tampak tak suka dengan sikap Mas Sandi.“Aku cuma gak mau, nama keluarga kita jelek, Bu! Calm down, Mas! Yuk duduk dulu! Jangan bawa-bawa polisi, ya!” Mas Sandi menepuk-nepuk bahu Mas Reza.“Mas cuma mau buktiin, San. Itu uang yang Mas kasih ke Bu Ambar itu asli dan yang kamu bawa itu bukan uang Mas. Itu saja. Kalau nggak ke polisi, gimana kamu bisa percaya kalau itu uang asli.” Mas Reza bicara tenang. Wajah polosnya menatap pada Mas Sandi.“Oke-oke, demi nama baik keluarga! Aku percaya! Aku percaya itu uang asli! Yuk duduk, yuk!” Mas Sandi menggiring Mas Reza untuk balik lagi ke teras.“Jadi, kamu nggak minta ganti lagi lima belas jutanya ‘kan? Mas cuma tinggal bayarin sisanya yang lima juta?” tanya Mas Sandi lagi memastikan.“Iya-iya, gak usah, Mas! Sisanya saja lima juta!” tutur Mas Sandi kikuk. Saat sudah tiba di teras, dia menoleh pada jam tangannya lalu langsung saja berpamitan.“Maaf, Mang Muh, Wak, Sandi tinggal dulu! Tadi ada janjian meeting sama klien! Permisi!”Lalu dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari yang lain. Aku melongo melihat punggungnya yang menjauh. Dia berjalan tergesa. Lalu, meninggalkan begitu saja kekacauan ini. Bapak sama Mang Muh cuma geleng-geleng kepala. Mas Reza sendiri menghela napas kasar, lalu pergi kembali menimbang beras.Aku menoleh pada Bi Mae dan teman-temannya yang masih berkumpul tak jauh dari tempat duduk kami.“Bikin rusuh saja si Sandi itu. Sirik kayaknya sama Si Reza.”“Iya, aneh … dia yang sesumbar, pas mau diajak ke polisi malah dia yang gak mau.”“Kalian ngomongin apa? Udah bubar sana! Gak pada ada kerjaan, ya?” omel Bi Icah.Lalu kerumunan Ibu-ibu pun membubarkan diri. Aku ikut membantu mencatat hasil timbangan beras yang Mas Reza sama anak buah Mang Muh sedang buat.***Sore menjelang. Aku sudah mengatakan pada Ibu, kalau Mas Reza sudah membayarkan lima belas juta. Jadi sisa lima juta lagi utang Ibu pada Bu Ambar. Sore ini, rencananya kami akan ke rumahnya untuk membayar. Rumah kami masih satu desa, hanya beda kampung saja. Jaraknya tak terlalu jauh.Aku sibuk merapikan kerudung pashmina yang kupakai. Kupadu padankan dengan celana kulot warna hitam, cardigan warna army juga kerudungnya dengan warna senada. Aku duduk di depan meja rias baru yang siang tadi dibelikan Mas Reza. Aku yang asyik merapikan kerudung, baru sadar jika sepasang mata teduh milik Mas Reza sedang memandangku. Hanya saja, ketika manik cokelatku menatapnya dari cermin, dia berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Ponsel keluaran tahun berapa, entah. Tadi siang kulihat cuma ada applikasi warna hijau saja untuk bertukar pesan. Tak ada sosial media di dalamnya.“Ayo!” tukasku setelah selesai. Kuraih tas kecil yang berisi ponsel dan dompet lalu kuselempangkan.“Ayo, Dek!” Dia pun ikut bangun dan mengekoriku.Aku berpamitan pada Ayah dan Ibu yang sedang menonton tivi di ruang tengah. Ayah tampak tengah mencamili kacang rebus. Wajah lelahnya masih terasa usai hajatan yang menurutku membuang-buang waktu dan energi saja. Untungnya gak merugi, kata Ibu uang hasil amplopan dan jual beras bisa nutup. Padahal sama juga nanti harus dibayar, kalau tidak, ya siap-siap jadi bahan omongan.Mas Reza menyalakan sepeda motor jadulnya. Diselah beberapa kali hingga akhirnya nyala. Aku duduk diboncengan. Tak ada peluk-pelukan, tak ada pegang-pegangan. Jujur, aku masih canggung dengan dia.Sepeda motor melaju meninggalkan rumah dengan suara berisiknya. Kami mau ke ATM dulu. Jadinya kami menuju minimarket terdekat yang ada di dekat jalan raya. Di sana antri tak banyak. Mas Reza menarik uang dari ATM, sedangkan aku berbelanja camilan untuk di rumah nanti. Kukira dia tak paham ATM, ternyata dia bisa. Hanya saja memang dia tak punya e banking, sams banking dan sejenisnya. Dia adalah tipe manusia yang membeli yang perlu-perlu saja. Baru keluar dari minimarket terdengar adzan berkumandang. Kebetulan tak jauh dari sini, terlihat sebuah masjid jami di tepi jalan.“Adek, mampir masjid dulu, ya!” tuturnya setelah sepeda motor dilajukan.“Pulangnya saja, Mas! Isya ‘kan panjang waktunya!” tuturku. Malas untuk berhenti lagi. Padahal jaraknya cuma ada sekitar seratus meteran dari minimarket tadi.“Jangan gitu, Dek! Emang Adek bisa menjamin, kalau umur kita sampai pulang? Ayo, shalat dulu!” tuturnya pasti. Lalu, dia menepikan sepeda motornya tanpa menunggu persetujuanku.Aku terpegun. Kalimatnya sederhana, tapi aku tak bisa menyangkalnya. Ya, aku tak bisa memastikan apakah umurku masih lama. Akhirnya, meskipun malas, aku pun ikut juga mengambil wudhu. Masjid jami tepi jalan ini memiliki pelataran yang luas. Tampak juga beberapa mobil terparkir di pekarangannya.“Mas, shalatnya gak usah jamaah, ya! Lama!” tukasku sebelum masuk ke masjid. Kebetulan kulihat baru sedang mengatur shaf.“Shalat itu cuma sepuluh menit paling lama, Dek! Itu untuk akhirat yang kekal. Sehari itu ada dua puluh empat jam. Jadi Adek, cuma menghabiskan sekian persen saja untuk menyiapkan bekal di alam kekal. Terus, pahala jamaah itu dua puluh tujuh derajat, Dek! Kenapa Adek mau melewatkan yang banyak untuk yang sedikit dan fana. Adek nilai matematikanya berapa, sih?” kekehnya sambil mengusap pucuk kepalaku, lalu pergi ke dalam masjid karena sudah iqamah.Aku melongo sendirian menatap punggung Mas Reza yang sudah mengambil shaft paling kanan. Lalu aku pun bergegas mengambil mukena di rak yang disiapkan dan ikut shalat berjamaah juga pada akhirnya. Rupanya suamiku seperti punya dua kepribadian. Penampilannya yang kelihatan kampungan, tapi isi otaknya rupanya cemerlang. Apakah ada lagi hal yang akan membuatku takjub lagi padanya?Usai shalat, aku duduk menunggunya di teras. Dia masih ikut berzikir, sepertinya. Karena bosan menunggu, aku memilih jajan dulu. Kubeli camilan di pedagang tepi jalan. Aku baru kembali ke pekarangan masjid dan kulihat Mas Reza tengah mengobrol dengan seorang lelaki dengan pakaian perlente. Lelaki itu tampak memakai kemeja rapi, jas dan dasi.Mereka mengobrol tampak akrab. Lalu sepertinya obrolan mereka selesai dan lelaki itu mengangguk hormat pada Mas Reza lalu berjalan menuju mobil yang terparkir di pekarangan masjid. Seketika mataku mengikuti langkahnya. Rupanya sebuah mobil Alphard hitam yang gagah terparkir di sana.Tunggu! Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa orang yang terlihat keren saja berlaku begitu hormat padanya?Tunggu! Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa orang yang terlihat keren saja berlaku begitu hormat padanya? Aku pun mendekat sambil membawa satu bungkus keripik singkong seharga lima ribuan. Sudah kubuka dan kumakan setengah tadi. Mas Reza tersenyum ketika melihatku datang. “Loh, Mas kira, Adek masih di dalem, lagi zikir.” Aku hanya tersenyum saja. Bingung mau komentar apa. Selama ini, aku lagi rajin zikir kalau ada maunya saja, biasanya. Tepatnya kalau lagi susah saja. “Lagi jajan, Mas. Hmmm … siapa yang tadi?” tanyaku sambil menunjukkan keripik singkong di tangan. Hanya menunjukkan, tapi tak menawarinya. Cuman dikit soalnya. “Oh itu, teman lama, Dek.” Dia bicara santai. Seketika aku kecewa, padahal tadi sudah berharap-harap kalau ternyata Mas Reza adalah orang kaya yang lagi menyamar, misalnya.Duh, kebanyakan baca novel di KBM jadi halunya kebawa ke dunia nyata. Bukannya sudah jelas, Mas Reza memang gak ada kerjaan tetap, katanya.Ya sudahlah, aku gak mau bahas lagi. Yang penting,
“Maaf, ya, Mas! Itu, Mas! Aku mau nagih janji, Mas. Katanya mau cerita!” tuturku sambil menatapnya. “Oh, iya, iya, yang tadi siang, ya? Maaf kalau Mas kelupaan.” Dia terkekeh sendiri lalu membetulkan duduknya. Aku sudah bersiap mendengarkan penuturannya.“Jadi, gini, Dek ….” Akhirnya, dia mulai bercerita juga. Aku sudah siap untuk mendengarkan dengan seksama. “Uang yang Mas pakai beli perabotan itu uang tabungan, Mas. Terus yang dipakai buat bayar utang Ibunya Adek ke Bu Ambar juga, uang tabungan Mas.” Dia bicara, terus menjeda. Aku masih bersiap mendengarkan. Mas Reza bangun. Lalu menggeliatkan badan. Aku menatapnya, masih sambil menunggu lanjutan ceritanya.“Sudah malam, Dek. Tidur dulu.” Dia bicara sambil beranjak pindah ke karpet. Seketika aku terbengong, jadi, cuma ini yang dia jelaskan? “Mas, kok malah tidur?” tanyaku spontan. Seketika dia mendongakkan wajah dan menautkan alisnya padaku. “Ahmmm … memangnya Adek sudah siap?” tanyanya dengan sepasang mata itu menatapku lekat
Pagi-pagi sekali, aku dan Mas Reza sudah berangkat. Rupanya dia mengajakku ke pasar induk. Pantas saja tadi sampai pinjam helm dulu. Perjalanan cukup jauh, jadi kami tiba di sana pas matahari sudah menghangat. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil memarkirkan sepeda motor supra X jadul di pelataran parkir. “Mas mau beli apa, si? Jauh-jauh ke sini?” tanyaku lagi.“Mumpung Adek masih cuti. Kita jalan-jalan.” Dia tersenyum sambil menunduk. Tanpa kusangka, dia meraih jemariku lalu digenggamnya. Aku masih melongo ketika dia menarik lenganku dan bergerak menuju ke dalam pasar.Jalan-jalan katanya. Ya ampuuun? Apa dia kira pasar tempat jalan-jalan? Namun, aku tak enak kalau membantah. Aku ikut saja. Hingga dia berhenti di sebuah toko yang cukup besar. “Silakan gamisnya kakak! Ada yang model terbaru kakak! Ini bahan import, modelnya bagus-bagus, bahannya adem-adem!” Seorang penjaga toko sibuk menggiringku dan Mas Reza ke arah koleksi gamis-gamisnya. “Adek pilih, ya! Nanti mau ada pertemuan di kelua
“Loh, loh, loh? Bukannya tadi cuma beli satu set baju, ya? Kok kenapa Mas Reza bawa tentengan sebanyak itu?” “Maafin lama ya, Dek. Packingnya lama tadi.” Mas Reza meletakkan tiga kantong belanjaan yang sepertinya penuh semua.“Mas, itu bawa apaan? Banyak banget?” tanyaku sebelum duduk diboncengannya. “Ini, itu, Dek. Baju.” Dia menjawab singkat. Lalu segera naik ke atas sepeda motor setelah barang-barang bawaannya dia tata. “Baju?” tanyaku masih bingung. “Iya.” Dia menjawab singkat. Lalu segera melajukan sepeda motornya. Tiba di rumah, Mas Reza menurunkan barang-barang yang dibawa. Tampak Bi Mae yang sedang menyapu teras rumahnya melongokkan kepala. “Habis dari mana, Rin?!” Suaranya kencang terdengar lantang.“Pasar, Bi!” Aku menjawab sambil turun. “Wah mborong lagi, Mas?” Tanpa kuharapkan, Bi Mae sudah muncul dan ikut-ikutan membantu menurunkan barang belanjaan dari motor butut Mas Reza. “Iya, Bi. Cuma beli baju-baju buat Dek Arin. Pas nikah nggak sempet bikin seserahan lengka
“Ya Allah, kenapa suami kamu bisa punya uang sebanyak itu, Rin?” tanya Ibu menatap heran. “Katanya dia sudah nabung dari usia dua puluh tahunan, Bu.”Aku mengedik dan menjawab seperti yang Mas Reza bicarakan kemarin. Hanya saja, besok adalah kesempatanku untuk mencari tahu, seperti apa sebetulnya kehidupan Mas Reza di gunung sana? Huh, gimana kalau dia ternyata bandar narkoba, kan katanya tanaman ganja itu harganya mahal-mahal, ya? Atau dia pesugihan, kan kalau orang-orang di pegunungan itu biasanya masih kental sama hal-hal mistis. Ya Allah, kenapa aku jadi takut gini, ya? Gimana kalau salah satu tebakanku benar? Soalnya kalau memang dia orang kaya, kenapa harus jadi bujang lapuk segala? Empat puluh tahun gak nikah-nikah karena gak ada yang mau, katanya. “Ya Allah, Rin. Alhamdulilah … Bapak gak salah pilihkan suami buat kamu. Reza sayang banget sama kamu.” “Iya. Bu. Cuma Arin sendiri sebetulnya masih takut … Mas Reza itu sebenernya kerjaannya apa. Kok bisa belanja was wis wus saja
“Ke kebun? Lama, Mas? Aku boleh ikut?” tanyaku sambil menatap penuh harap. “Hmmm … Mas takut Adek gak nyaman. Kebunnya di lereng gunung rungkingnya, Dek. Jalannya masih jelek. Di sana banyaknya cowok-cowok semua, nggak apa?” tanyanya tampak ingin memastikan. “Gak apa, Mas.” Aku lekas bangun sebelum Ibu Mertua atau kakak iparku melarang. Bisa mati kutu aku di sini. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil bergegas menuju sepeda motor. Aku mengangguk, lekas berpamitan pada Mbak Rena dan Ibu. Setelah itu, lekas duduk diboncengan Mas Reza. Sepeda motor butut supra X jadul itu melaju pelan. Semilir angin pegunungan terasa menyapu wajah. Aku tak memakai helm. Mas Reza bilang tak ada polisi di sana. Iya lah, di gunung mana ada polisi. Berkendara sekitar dua puluh menitan dengan medan turun naik, akhirnya Mas Reza tiba di sebuah area datar. Sebuah kaki gunung di balik bukit. Akses mobil sudah bisa, hanya saja jalannya memang masih berbatu. Tadi hanya beraspal sampai area wisatanya saja. Tampak hamp
Sore harinya, Mas Reza dan Bapak Mertua pergi. Mereka cuma bilang ada urusan. Namun, aku yakin pasti mereka akan lihat tanah yang akan dijual itu. Karena mereka pergi boncengan, terpaksa … aku gak ikut. Rencananya malam ini, kami akan menginap. Jadinya, bakda ashar, aku sibuk membantu Ibu Mertua memasak. Gak banyak yang dimasak. Hanya menghangatkan semur daging dan masakan lainnya yang pagi tadi dimasak. Ibu Mertua masak banyak, jadi sorenya gak masak lagi. Mbak Rena juga duduk manis di dapur sambil membantu mengupas bawang. Kebetulan Ibu Mertua baru beli tadi pagi dari pasar, belum sempat dibuang kulit luarnya. Kami hanya mengobrol ringan saja. Rupanya, keluarga Mas Reza menyenangkan. Meskipun secara ekonomi, Mbak Rena lebih kaya, tapi dia gak sombong. Padahal aku sudah takut, dia seperti ipar-ipar jahat di novel-novel kbm. Julid, nyebelin dan suka ngihena, eh ternyata enggak. “Waktu nikahan itu, kami minta maaf, alakadarnya banget, Neng. Tiba-tiba saja, Bapak sibuk ngajak buru-b
Puk! Puk! Puk!“Dek sadar, Dek! Dek!”“Astaghfirulloh!” Aku tiba-tiba merasa benda dingin menempel di pipiku. "Astaghfirullah!" Rupanya tangan Mas Reza. Dia menepuk-nepuk pipiku dengan tangannya yang dingin. Eh, aku kenapa? Kesadaranku seperti baru kembali. Tadi aku kelewat kaget. Pikiranku lari entah ke mana dan rasanya mendadak aku tak mendengar apapun selain melihat bayangan uang yang beterbangan. Ya ampuun, sekatro ini aku. “Adek gak usah shock gitu, dipanggil sampe gak nyahut, Mas gak bakal suruh Adek jadi tukang kebun, kok.” Mas Reza malah terkekeh santai. Dia mengacak pucuk kepalaku sekilas. “Yang urus kebun Reza sudah banyak, kok, Rin. Kamu gak usah cemas,” timpal Bapak Mertua. Sepertinya dia pun berpikiran sama.Lalu, obrolan pun mengalir lagi di antara mereka. Hanya aku saja yang masih sibuk menghitung-hitung, seberapa kira-kira tabungan Mas Reza selama dua puluh tahun ini. Duh, payahnya aku?*** Kunjungan singkat dari rumah Ibu Mertua, cukup memberikan kesan mendalam