Share

Bab 6

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2024-02-08 06:40:29

“Mas! Mas Reza tunggu! Jangan seperti ini, Mas! Gak usah bawa-bawa polisi!” Lalu tubuh Mas Sandi sudah menghalangi langkah kami.

Loh, kenapa jadi dia yang panik? Bukannya Mas Reza yang katanya tersangka?

“Biarin saja lah, San! Kamu itu kok aneh?” Bi Icah tampak tak suka dengan sikap Mas Sandi.

“Aku cuma gak mau, nama keluarga kita jelek, Bu! Calm down, Mas! Yuk duduk dulu! Jangan bawa-bawa polisi, ya!” Mas Sandi menepuk-nepuk bahu Mas Reza.

“Mas cuma mau buktiin, San. Itu uang yang Mas kasih ke Bu Ambar itu asli dan yang kamu bawa itu bukan uang Mas. Itu saja. Kalau nggak ke polisi, gimana kamu bisa percaya kalau itu uang asli.” Mas Reza bicara tenang. Wajah polosnya menatap pada Mas Sandi.

“Oke-oke, demi nama baik keluarga! Aku percaya! Aku percaya itu uang asli! Yuk duduk, yuk!” Mas Sandi menggiring Mas Reza untuk balik lagi ke teras.

“Jadi, kamu nggak minta ganti lagi lima belas jutanya ‘kan? Mas cuma tinggal bayarin sisanya yang lima juta?” tanya Mas Sandi lagi memastikan.

“Iya-iya, gak usah, Mas! Sisanya saja lima juta!” tutur Mas Sandi kikuk. Saat sudah tiba di teras, dia menoleh pada jam tangannya lalu langsung saja berpamitan.

“Maaf, Mang Muh, Wak, Sandi tinggal dulu! Tadi ada janjian meeting sama klien! Permisi!”

Lalu dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari yang lain. Aku melongo melihat punggungnya yang menjauh. Dia berjalan tergesa. Lalu, meninggalkan begitu saja kekacauan ini.

Bapak sama Mang Muh cuma geleng-geleng kepala. Mas Reza sendiri menghela napas kasar, lalu pergi kembali menimbang beras.

Aku menoleh pada Bi Mae dan teman-temannya yang masih berkumpul tak jauh dari tempat duduk kami.

“Bikin rusuh saja si Sandi itu. Sirik kayaknya sama Si Reza.”

“Iya, aneh … dia yang sesumbar, pas mau diajak ke polisi malah dia yang gak mau.”

“Kalian ngomongin apa? Udah bubar sana! Gak pada ada kerjaan, ya?” omel Bi Icah.

Lalu kerumunan Ibu-ibu pun membubarkan diri. Aku ikut membantu mencatat hasil timbangan beras yang Mas Reza sama anak buah Mang Muh sedang buat.

***

Sore menjelang. Aku sudah mengatakan pada Ibu, kalau Mas Reza sudah membayarkan lima belas juta. Jadi sisa lima juta lagi utang Ibu pada Bu Ambar. Sore ini, rencananya kami akan ke rumahnya untuk membayar. Rumah kami masih satu desa, hanya beda kampung saja. Jaraknya tak terlalu jauh.

Aku sibuk merapikan kerudung pashmina yang kupakai. Kupadu padankan dengan celana kulot warna hitam, cardigan warna army juga kerudungnya dengan warna senada. Aku duduk di depan meja rias baru yang siang tadi dibelikan Mas Reza. Aku yang asyik merapikan kerudung, baru sadar jika sepasang mata teduh milik Mas Reza sedang memandangku. Hanya saja, ketika manik cokelatku menatapnya dari cermin, dia berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Ponsel keluaran tahun berapa, entah. Tadi siang kulihat cuma ada applikasi warna hijau saja untuk bertukar pesan. Tak ada sosial media di dalamnya.

“Ayo!” tukasku setelah selesai. Kuraih tas kecil yang berisi ponsel dan dompet lalu kuselempangkan.

“Ayo, Dek!” Dia pun ikut bangun dan mengekoriku.

Aku berpamitan pada Ayah dan Ibu yang sedang menonton tivi di ruang tengah. Ayah tampak tengah mencamili kacang rebus. Wajah lelahnya masih terasa usai hajatan yang menurutku membuang-buang waktu dan energi saja. Untungnya gak merugi, kata Ibu uang hasil amplopan dan jual beras bisa nutup. Padahal sama juga nanti harus dibayar, kalau tidak, ya siap-siap jadi bahan omongan.

Mas Reza menyalakan sepeda motor jadulnya. Diselah beberapa kali hingga akhirnya nyala. Aku duduk diboncengan. Tak ada peluk-pelukan, tak ada pegang-pegangan. Jujur, aku masih canggung dengan dia.

Sepeda motor melaju meninggalkan rumah dengan suara berisiknya. Kami mau ke ATM dulu. Jadinya kami menuju minimarket terdekat yang ada di dekat jalan raya. Di sana antri tak banyak. Mas Reza menarik uang dari ATM, sedangkan aku berbelanja camilan untuk di rumah nanti. Kukira dia tak paham ATM, ternyata dia bisa. Hanya saja memang dia tak punya e banking, sams banking dan sejenisnya. Dia adalah tipe manusia yang membeli yang perlu-perlu saja. Baru keluar dari minimarket terdengar adzan berkumandang. Kebetulan tak jauh dari sini, terlihat sebuah masjid jami di tepi jalan.

“Adek, mampir masjid dulu, ya!” tuturnya setelah sepeda motor dilajukan.

“Pulangnya saja, Mas! Isya ‘kan panjang waktunya!” tuturku. Malas untuk berhenti lagi. Padahal jaraknya cuma ada sekitar seratus meteran dari minimarket tadi.

“Jangan gitu, Dek! Emang Adek bisa menjamin, kalau umur kita sampai pulang? Ayo, shalat dulu!” tuturnya pasti. Lalu, dia menepikan sepeda motornya tanpa menunggu persetujuanku.

Aku terpegun. Kalimatnya sederhana, tapi aku tak bisa menyangkalnya. Ya, aku tak bisa memastikan apakah umurku masih lama. Akhirnya, meskipun malas, aku pun ikut juga mengambil wudhu. Masjid jami tepi jalan ini memiliki pelataran yang luas. Tampak juga beberapa mobil terparkir di pekarangannya.

“Mas, shalatnya gak usah jamaah, ya! Lama!” tukasku sebelum masuk ke masjid. Kebetulan kulihat baru sedang mengatur shaf.

“Shalat itu cuma sepuluh menit paling lama, Dek! Itu untuk akhirat yang kekal. Sehari itu ada dua puluh empat jam. Jadi Adek, cuma menghabiskan sekian persen saja untuk menyiapkan bekal di alam kekal. Terus, pahala jamaah itu dua puluh tujuh derajat, Dek! Kenapa Adek mau melewatkan yang banyak untuk yang sedikit dan fana. Adek nilai matematikanya berapa, sih?” kekehnya sambil mengusap pucuk kepalaku, lalu pergi ke dalam masjid karena sudah iqamah.

Aku melongo sendirian menatap punggung Mas Reza yang sudah mengambil shaft paling kanan. Lalu aku pun bergegas mengambil mukena di rak yang disiapkan dan ikut shalat berjamaah juga pada akhirnya. Rupanya suamiku seperti punya dua kepribadian. Penampilannya yang kelihatan kampungan, tapi isi otaknya rupanya cemerlang. Apakah ada lagi hal yang akan membuatku takjub lagi padanya?

Usai shalat, aku duduk menunggunya di teras. Dia masih ikut berzikir, sepertinya. Karena bosan menunggu, aku memilih jajan dulu. Kubeli camilan di pedagang tepi jalan. Aku baru kembali ke pekarangan masjid dan kulihat Mas Reza tengah mengobrol dengan seorang lelaki dengan pakaian perlente. Lelaki itu tampak memakai kemeja rapi, jas dan dasi.

Mereka mengobrol tampak akrab. Lalu sepertinya obrolan mereka selesai dan lelaki itu mengangguk hormat pada Mas Reza lalu berjalan menuju mobil yang terparkir di pekarangan masjid. Seketika mataku mengikuti langkahnya. Rupanya sebuah mobil Alphard hitam yang gagah terparkir di sana.

Tunggu! Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa orang yang terlihat keren saja berlaku begitu hormat padanya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
asik bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 51-End

    Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 50

    Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 49

    “Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 48

    Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 47

    Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol

  • Kejutan Suami Lugu   Bab 46

    “Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status