Share

Bab 6

“Mas! Mas Reza tunggu! Jangan seperti ini, Mas! Gak usah bawa-bawa polisi!” Lalu tubuh Mas Sandi sudah menghalangi langkah kami.

Loh, kenapa jadi dia yang panik? Bukannya Mas Reza yang katanya tersangka?

“Biarin saja lah, San! Kamu itu kok aneh?” Bi Icah tampak tak suka dengan sikap Mas Sandi.

“Aku cuma gak mau, nama keluarga kita jelek, Bu! Calm down, Mas! Yuk duduk dulu! Jangan bawa-bawa polisi, ya!” Mas Sandi menepuk-nepuk bahu Mas Reza.

“Mas cuma mau buktiin, San. Itu uang yang Mas kasih ke Bu Ambar itu asli dan yang kamu bawa itu bukan uang Mas. Itu saja. Kalau nggak ke polisi, gimana kamu bisa percaya kalau itu uang asli.” Mas Reza bicara tenang. Wajah polosnya menatap pada Mas Sandi.

“Oke-oke, demi nama baik keluarga! Aku percaya! Aku percaya itu uang asli! Yuk duduk, yuk!” Mas Sandi menggiring Mas Reza untuk balik lagi ke teras.

“Jadi, kamu nggak minta ganti lagi lima belas jutanya ‘kan? Mas cuma tinggal bayarin sisanya yang lima juta?” tanya Mas Sandi lagi memastikan.

“Iya-iya, gak usah, Mas! Sisanya saja lima juta!” tutur Mas Sandi kikuk. Saat sudah tiba di teras, dia menoleh pada jam tangannya lalu langsung saja berpamitan.

“Maaf, Mang Muh, Wak, Sandi tinggal dulu! Tadi ada janjian meeting sama klien! Permisi!”

Lalu dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari yang lain. Aku melongo melihat punggungnya yang menjauh. Dia berjalan tergesa. Lalu, meninggalkan begitu saja kekacauan ini.

Bapak sama Mang Muh cuma geleng-geleng kepala. Mas Reza sendiri menghela napas kasar, lalu pergi kembali menimbang beras.

Aku menoleh pada Bi Mae dan teman-temannya yang masih berkumpul tak jauh dari tempat duduk kami.

“Bikin rusuh saja si Sandi itu. Sirik kayaknya sama Si Reza.”

“Iya, aneh … dia yang sesumbar, pas mau diajak ke polisi malah dia yang gak mau.”

“Kalian ngomongin apa? Udah bubar sana! Gak pada ada kerjaan, ya?” omel Bi Icah.

Lalu kerumunan Ibu-ibu pun membubarkan diri. Aku ikut membantu mencatat hasil timbangan beras yang Mas Reza sama anak buah Mang Muh sedang buat.

***

Sore menjelang. Aku sudah mengatakan pada Ibu, kalau Mas Reza sudah membayarkan lima belas juta. Jadi sisa lima juta lagi utang Ibu pada Bu Ambar. Sore ini, rencananya kami akan ke rumahnya untuk membayar. Rumah kami masih satu desa, hanya beda kampung saja. Jaraknya tak terlalu jauh.

Aku sibuk merapikan kerudung pashmina yang kupakai. Kupadu padankan dengan celana kulot warna hitam, cardigan warna army juga kerudungnya dengan warna senada. Aku duduk di depan meja rias baru yang siang tadi dibelikan Mas Reza. Aku yang asyik merapikan kerudung, baru sadar jika sepasang mata teduh milik Mas Reza sedang memandangku. Hanya saja, ketika manik cokelatku menatapnya dari cermin, dia berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Ponsel keluaran tahun berapa, entah. Tadi siang kulihat cuma ada applikasi warna hijau saja untuk bertukar pesan. Tak ada sosial media di dalamnya.

“Ayo!” tukasku setelah selesai. Kuraih tas kecil yang berisi ponsel dan dompet lalu kuselempangkan.

“Ayo, Dek!” Dia pun ikut bangun dan mengekoriku.

Aku berpamitan pada Ayah dan Ibu yang sedang menonton tivi di ruang tengah. Ayah tampak tengah mencamili kacang rebus. Wajah lelahnya masih terasa usai hajatan yang menurutku membuang-buang waktu dan energi saja. Untungnya gak merugi, kata Ibu uang hasil amplopan dan jual beras bisa nutup. Padahal sama juga nanti harus dibayar, kalau tidak, ya siap-siap jadi bahan omongan.

Mas Reza menyalakan sepeda motor jadulnya. Diselah beberapa kali hingga akhirnya nyala. Aku duduk diboncengan. Tak ada peluk-pelukan, tak ada pegang-pegangan. Jujur, aku masih canggung dengan dia.

Sepeda motor melaju meninggalkan rumah dengan suara berisiknya. Kami mau ke ATM dulu. Jadinya kami menuju minimarket terdekat yang ada di dekat jalan raya. Di sana antri tak banyak. Mas Reza menarik uang dari ATM, sedangkan aku berbelanja camilan untuk di rumah nanti. Kukira dia tak paham ATM, ternyata dia bisa. Hanya saja memang dia tak punya e banking, sams banking dan sejenisnya. Dia adalah tipe manusia yang membeli yang perlu-perlu saja. Baru keluar dari minimarket terdengar adzan berkumandang. Kebetulan tak jauh dari sini, terlihat sebuah masjid jami di tepi jalan.

“Adek, mampir masjid dulu, ya!” tuturnya setelah sepeda motor dilajukan.

“Pulangnya saja, Mas! Isya ‘kan panjang waktunya!” tuturku. Malas untuk berhenti lagi. Padahal jaraknya cuma ada sekitar seratus meteran dari minimarket tadi.

“Jangan gitu, Dek! Emang Adek bisa menjamin, kalau umur kita sampai pulang? Ayo, shalat dulu!” tuturnya pasti. Lalu, dia menepikan sepeda motornya tanpa menunggu persetujuanku.

Aku terpegun. Kalimatnya sederhana, tapi aku tak bisa menyangkalnya. Ya, aku tak bisa memastikan apakah umurku masih lama. Akhirnya, meskipun malas, aku pun ikut juga mengambil wudhu. Masjid jami tepi jalan ini memiliki pelataran yang luas. Tampak juga beberapa mobil terparkir di pekarangannya.

“Mas, shalatnya gak usah jamaah, ya! Lama!” tukasku sebelum masuk ke masjid. Kebetulan kulihat baru sedang mengatur shaf.

“Shalat itu cuma sepuluh menit paling lama, Dek! Itu untuk akhirat yang kekal. Sehari itu ada dua puluh empat jam. Jadi Adek, cuma menghabiskan sekian persen saja untuk menyiapkan bekal di alam kekal. Terus, pahala jamaah itu dua puluh tujuh derajat, Dek! Kenapa Adek mau melewatkan yang banyak untuk yang sedikit dan fana. Adek nilai matematikanya berapa, sih?” kekehnya sambil mengusap pucuk kepalaku, lalu pergi ke dalam masjid karena sudah iqamah.

Aku melongo sendirian menatap punggung Mas Reza yang sudah mengambil shaft paling kanan. Lalu aku pun bergegas mengambil mukena di rak yang disiapkan dan ikut shalat berjamaah juga pada akhirnya. Rupanya suamiku seperti punya dua kepribadian. Penampilannya yang kelihatan kampungan, tapi isi otaknya rupanya cemerlang. Apakah ada lagi hal yang akan membuatku takjub lagi padanya?

Usai shalat, aku duduk menunggunya di teras. Dia masih ikut berzikir, sepertinya. Karena bosan menunggu, aku memilih jajan dulu. Kubeli camilan di pedagang tepi jalan. Aku baru kembali ke pekarangan masjid dan kulihat Mas Reza tengah mengobrol dengan seorang lelaki dengan pakaian perlente. Lelaki itu tampak memakai kemeja rapi, jas dan dasi.

Mereka mengobrol tampak akrab. Lalu sepertinya obrolan mereka selesai dan lelaki itu mengangguk hormat pada Mas Reza lalu berjalan menuju mobil yang terparkir di pekarangan masjid. Seketika mataku mengikuti langkahnya. Rupanya sebuah mobil Alphard hitam yang gagah terparkir di sana.

Tunggu! Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa orang yang terlihat keren saja berlaku begitu hormat padanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status