Share

Chapter 4

Ingin tertawa, tapi takut dosa. Ampuh juga obat yang tadi aku masukin ke dalam sarapan wanita jalang itu. Siapa suruh ga mau bantuin didapur, jadi aku gampang bikin kamu semaput sekalian.

Syukurin!

Hari ini jatah kamu nongkrong di kamar mandi, bukan ke hotel. Dasar Pelakor!

"Hayo dek, kita bawa Fitri ke dokter, mas khawatir jangan-jangan dia hamil,"

 Allah itu Maha Baik, saat lisan fasih berbohong, tanpa sadar dia terpeleset sendiri mengucap kejujuran.

"Hamil? Fitri udah nikah?" tanyaku sambil menatap tajam Mas Arya.

"Eh ga, bukan maksud nya takut keracunan makanan," katanya meralat, tapi justru mengundang singa didalam sana terbangun.

"Maksud kamu aku meracuni Fitri gitu!!" pekikku. Sengaja, kadang pelaku memang lebih nyolot dari korban, iya kan? hehe

"Aduh, maaf maksudnya takut kenapa-kenapa Dek, makanya kita periksa Fitri kenapa, Maaf mas ga bermaksud apa-apa." 

Aku cemberut, kedua tangan terlipat didada.

"Aku kurang baik apa, Mas. Sepupu kamu nginap disini, makan disini, aku yang masakin, dia ga bantu apa-apa. Ga pernah aku masalahi. Sekarang kamu bilang aku memberi racun padanya," 

Aku mulai teriksak.

"Aduh..ya Allah, maafkan Mas sayang... Maafkan, mas ga sengaja, Mas ga ada maksud seperti itu, demi Allah,"

Mas Arya memelukku, dari sudut mata aku melihat Fitri baru saja keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian, wajahnya memerah, murka. Lalu kembali masuk ke kamar, dan membanting dengan kencang.

Aku menahan tawa, emang enak habis mencr*t di celana, keluar kamar lihat pemandangan yang menakjubkan. 

Mas Arya melepaskan pelukannya, dia mungkin baru sadar, Fitri cemburu.

Dengan terburu dia hendak menyusul Fitri. 

"Mas kamu ga kerja, sana kerja biar aku yang ngurus Fitri," 

Aku memegang lengan Mas Arya, hingga langkah nya terhenti.

"Paling masuk angin, biar aku kerikin. Nanti dia naik ojek online aja ke rumah temannya, biar aku yang bayarkan,"

Wajah Mas Arya terlihat kecewa, bayangan seharian di hotel pasti sedang menari-nari di pikirannya, rasain!

Drrttt Drrttt Drrttt

Telepon Mas Arya berbunyi.

"Pagi, pak! Baik pak, Baik. Saya akan segera berangkat!"

"Maaf pak, tolong saya mohon. Saya ngaku salah. InsyaAllah saya akan lebih disiplin lagi..!"

"Baik Pak, Siap... Terimakasih banyak Pak!"

Mas Arya mengakhiri panggilan itu dengan muka masam.

"Bos belagu, sia**n!" umpat nya.

Aku hanya menyeringai, tak salah Pak Idrus memilih orang untuk menjadi atasan baru Mas Arya.

"Dek, Mas Pamit. Si botak udah marah-marah karena Mas kesiangan,"

Laki-laki itu bergegas menuju mobilnya dan berlalu dengan cepat. Siap-siap sibuk hari ini ya Mas, bukan sibuk di hotel, tapi sibuk ngurusin pekerjaan. Biar tak makan gaji buta, hahaha

"Mbak, Mas Arya sudah berangkat?" tanya Fitri. Wanita itu masih memegang perut nya, pasti menahan mulas.

"Sudah!"kataku singkat.

Aku sedang mengetik pesan buat Pak Idrus, agar memberdayakan Mas Arya, jangan sampai dia ga ada pekerjaan, memberi list laporan yang harus dia kerjakan hari ini juga.

"Kenapa ga nungguin aku sih?" 

Wanita itu merutuk. Sebenarnya ingin tak sleding biar tau diri, tapi ah sabar dulu Dita.

"Kamu lagian lama banget di kamar mandi!" kataku cuek.

"Mbak, aku diare! mungkin aku ga cocok makan masakan Mbak?"

What? Aku ga salah dengar. 

"Bukan kamu yang ga cocok sama masakan Mbak, tapi masakan nya yang ga cocok sama kamu! masa makan spaghetti aja sampe mules-mules." 

Mataku tak beralih dari layar ponsel, lagi meeting online ini sebenarnya. 

Tuuuuuutttt! Preeeet!

"Aduh, maaf Mbak, aku ga sengaja! aduuh..." 

Fitri berlari lagi ke kamar mandi, satu tangan memegang perut dan satu nya lagi memegang pant*t nya. 

"hiyuuuuh ga sopan!" rutukku.

Kasian juga sebenarnya, tapi dia cuma sakit perut, bentar lagi pasti sembuh. Aku? aku dipecundangi oleh pecundang. Yang sakit bukan fisik. Tapi hati.

Tak tega melihat Fitri yang sudah lemas, akupun memberikan sebuah obat padanya. Bukan karena aku baik hati, tapi aku tak mau dia mati di sini karena dehidrasi, repot nanti. hahaha

******

Malam itu Mas Arya pulang telat, wajah nya lelah sekali. Bos botak pasti ngasih pekerjaan banyak hari ini padanya.Namanya Om Binsar, dia masih saudara jauhku. Badan nya yang tinggi tegap, dengan kepala botak membuat tampangnya kian sangar. Ilmu dan keahliannya jangan ditanya. Dulu dia yang merintis usaha ini dengan ayah, karena merasa sudah usia beliau mengajukan pensiun dini, dan beralih membuka usaha restoran yang sekarang juga sudah sangat maju. 

Tapi berkat rayuanku, beliau mau lagi terjun mengurus perusahaan. Tentu saja hanya sebagai formalitas. Tetap aku yang mengendalikan. Terpaksa aib rumah tanggaku, kuceritakan padanya. Dan berjanji jangan memberitahu Papa.

"Lelah banget sepertinya, Mas?"kataku sambil menyerahkan secangkir teh pada Mas Arya yang duduk di sofa dengan wajah sangat  letih.

Dia meraih teh yang aku berikan dan menyesapnya.

"Iya Dek, Pak Binsar atasan baru Mas memang kebangetan, semua laporan harus direvisi lagi, bikin yang rapi. Berikut data-data yang ada harus disesuaikan dengan bukti, invoice serta laporan dilapangan. Itu kan sama saja ngerjain Mas, Dek. Bolak balik bagian dokumen dan memilah-milah satu-satu."

Aku menggenggam tangan nya, walau dalam hati berucap "good job Om!"

"Sabar ya Mas,!" 

"Mas mau nyari kerja lain Dek, Mas ga sanggup punya atasan galak dan tempramental seperti dia, bentar-bentar marah, gebrak meja, jantung rasanya ngap-ngapan seharian,"

Aku tak sengaja ketawa, kebayang ekspresi Om Binsar yang punya darah Batak itu bicara dengan logat Medan nya memarahi Mas Arya.

"Kok kamu ketawa!" 

"Maaf Mas, aku ga sengaja. Habis kamu bilang ngap-ngapan, aku jadi kebayang ikan dalam kolam yang kering," 

Duh, plis deh, imajinasi jangan liat banget. Ga enak ketawa di atas penderitaan orang lain kan, takut kualat hihi

"Oya, Fitri kemana? Sudah sembuh belum?"

Tawa dibibir lenyap seketika.

"Udah, ada tuh di kamar."jawabku cuek.

"Bilangin Fitri, dia diterima di kantor Mas."

Hebat banget kan aktingnya, padahal tadi siang dia udah kissing-kissing virtual mengabarkan itu kepada wanita itu.

"Ya Mas, nanti aku kasih tau," kataku pahit.

"Mas mau mandi dulu, belum sholat isya juga,"

"Ya sudah sana Mas, aku lagi ga sholat jadi aku tidur duluan ya..."

Dia mengecup puncak kepalaku sesaat dan melangkah masuk ke kamar.  

Tak kupungkiri, aku masih sangat mencintainya, rasa itu masih sama jika saja dia tak mencurangiku seperti ini. Toh aku bukan wanita pembenci syariat Poligami, tapi kalau caranya seperti ini, siapa yang sudi.

Aku menatap pesan dari Fitri kepada Mas Arya yang tercopy di gawaiku.

[Mas, kita ini suami istri, kenapa begitu sulit hanya untuk mendapatkan hak ku sebagai istri mu, aku juga wanita Mas punya syahwat, aku juga istrimu, hak ku juga sama dengan Mbak Dita. Kita ini juga masih pengantin baru kan mas? aku sakit melihat kenyataan ini, sampai kapan kita kucing-kucingan seperti ini.]

Pesan yang  hanya dibalas dengan emoticon menangis yang begitu banyak oleh Mas Arya.

Aku menekan dada kuat-kuat, Sesak. Biarlah malam ini aku ijinkan mereka mendapatkan haknya.

Mas Arya keluar dari kamar mandi, melihatku tertidur dia bergerak pelan membuka pintu kamar kami.

Dan dengan sangat hati-hati dia menutup kembali, hingga bayangan tubuhnya hilang dibalik kamarku yang terasa begitu sepi.

Aku membuka mataku perlahan, air itu memberondong mengaliri pipi. Begitu berat rasanya berbagi. 

Ya Allah... Apa ini ujian kenikmatan yang selama ini Engkau berikan.

Bolehkah aku menyerah, atau harus bertahan dengan luka yang pasti akan aku rasakan berkali-kali.

Bayangan mereka yang memadu kasih membuatku kian terhenyak. Berusaha meyakinkan hati bahwa mereka suami istri, apa yang mereka lakukan halal dalam agama ini. Tapi sakit nya itu tak terperi.

Aku melangkah ke kamar Alisa dan Alif yang sudah tertidur lelap, wajah mereka begitu polos tanpa dosa.

Mama siap menjadi janda Nak, tapi mama tak sanggup melihat kalian hidup dengan keluarga yang tak lagi sempurna.

Ya Allah..

kenapa aku begitu rapuh..

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tari Emawan
kocak kamu thor haha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status