Sore itu juga Irish pergi bersama Nyonya Wina. Ia menurut saja ketika diminta memasuki mobil hitam yang tampak mewah nan mengilat. Bajunya juga telah berganti, bukan lagi seragam putih hitam. Ya, Irish menerima tawaran sang pemilik toko.
Roda-roda mobil bergerak meninggalkan area toko cake. Kedua tangan Irish saling meremas di atas pangkuan. Wanita itu masih menimbang dalam hati apakah keputusannya tepat. "Saya melakukan ini demi Darren. Dia kehilangan penglihatan sejak kecelakaan tiga bulan lalu," ujar Nyonya Wina tanpa ditanya. "Tapi kenapa Ibu memilih saya?" "Karena secara fisik kamu sangat mirip dengan Thea." Demi kepercayaan Irish, Nyonya Wina mengambil ponsel dari dalam handbag dan membuka galeri. Tampak foto-foto wanita yang berpose sendirian dan juga bersama seorang pria. Irish berasumsi jika pria itulah putra Nyonya Wina. "Lihat ini." Nyonya Wina mengarahkan ponsel dengan layar menampilkan foto Thea. Benar, ia dan Thea sangatlah mirip. Yang membedakan hanyalah model rambut mereka. "Ini kebetulan yang aneh," ujar Irish tanpa sadar. "Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan, Irish," sanggah wanita paruh baya itu. "Kita dipertemukan agar kamu bisa menolong saya." "Apa yang harus saya lakukan?" "Bujuk Darren agar mau menerima donor mata. Saya sudah kehabisan cara agar dia mau dioperasi." Nyonya Wina menghembuskan napas berat, terlihat lelah. "Tapi di mana Thea?" Akhirnya Irish melontarkan pertanyaan yang tersimpan sejak mereka keluar dari ruangan lantai dua toko cake. "Thea ... tewas dalam kecelakaan itu ...." Pembicaraan mengenai Thea terhenti. Namun Nyonya Wina terus memberi pengarahan tugas-tugas apa yang harus Irish lakukan. Untuk langkah pertama, si Nyonya mengajak Irish ke salon terbaik di kota untuk menata rambut. "Bu, apa ini tidak apa-apa?" Irish tidak yakin untuk masuk mengingat salon itu bukan salon biasa. "Tentu saja, ayo kita masuk," ajak wanita paruh baya itu. Irish menatap sayang pada rambut panjangnya yang harus dipotong bawah bahu. Tak hanya itu, rambut yang semula hitam kelam dalam satu jam telah berubah menjadi coklat gelap. "Bagus, ini yang saya mau," puji Nyonya Wina pada hair stylish berwajah oriental. Selanjutnya, dua wanita berbeda generasi itu menuju salah satu butik desainer ternama. Sang Nyonya bersemangat memilih dress layaknya seorang ibu yang putrinya akan mengikuti prom night. Irish tidak memahami kenapa ia harus berdandan sedemikian rupa. Bukankah Darren tidak bisa melihatnya? Ingin rasanya Irish bertanya, tapi ia tak ingin merusak senyum di wajah Nyonya Wina. "Meskipun Darren tidak bisa melihatmu. Kita tidak akan mengambil resiko. Mulai detik ini, kamu adalah Theana Waverly. Tidak hanya di depan Darren tapi juga orang-orang di sekeliling Darren," ucap Nyonya Wina seakan mengerti isi hati Irish. ** Irish dibuat tak berkedip begitu mobil yang membawanya berhenti di depan mansion lantai tiga. Bangunan mewah bergaya Eropa klasik itu bagaikan kastil yang Irish lihat di dalam film. "Mulai sekarang panggil saya Tante dan kamu akan tinggal di sini hingga dua bulan ke depan," Nyonya Wina berucap setelah mereka turun dari mobil. Belum habis rasa kagum Irish pada bangunan mansion, ia telah digiring masuk melalui teras samping. Terdapat kolam penuh ikan koi yang pada bagian sampingnya dihiasi tanaman begonia berdaun merah. "Selamat datang Nyonya, dan ...." Seorang pelayan yang menyambut di depan pintu terkejut melihat Irish. Ia bahkan memperhatikan wanita itu dari ujung kaki hingga kepala. "N-nona Thea?" "Siapkan kamar untuk Thea." Nyonya Wina mengajak Irish masuk dengan gerakan mata. "Baik, Nyonya." Pelayan bernama Tina mengangguk patuh lalu bergerak menuju lantai dua. Diam-diam ia masih mencuri pandang pada Irish di antara langkahnya. "Ayo, kita temui Darren. Dia pasti senang kamu datang." Irish pun mengikuti Nyonya Wina yang berjalan mendahului. langkah demi langkah terrlampaui, dan semakin mendekati tujuan Irish merasakan debaran aneh. Tok. Tok. Tok. "Darren?" Nyonya Wina membuka pintu setelah mengetuk. Ruangan bercat abu-abu muda itu tertata rapi dengan perabot bernuansa putih. Irish menyembulkan kepala demi melihat suasana di dalam. Di satu sudut, pria duduk menghadap langit sore keemasan melalui jendela lebar dengan tirai setengah terbuka. Irish tak bisa mengamati wajahnya dengan jelas. Hingga kemudian Nyonya Wina menariknya masuk. "Darren, tebak siapa yang Bunda bawa?" "Siapapun itu, Darren tidak akan menemuinya." Suara bariton pria itu semakin membuat detak jantung Irish bertalu. "Benarkah? Bagaimana jika itu Theana?" "Thea? Bunda bersama Thea sekarang? Di mana dia?" Darren segera bangkit dari sofa bersamaan dengan Nyonya Wina meminta Irish maju. Dua orang itu saling berhadapan. Irish menatap pria dengan aura pangeran itu. Mata indah Darren yang kini tak bisa melihat, cukup membuat Irish terpukau. Tubuhnya mendadak kaku, terlebih ketika tangan hangat Darren menyentuh pipi, mata lalu bibirnya. Aroma mint yang menenangkan menguar samar. Tanpa Irish duga, Darren memeluknya. Pelukan hangat yang tak pernah Irish rasakan dari seorang pria sebelumnya. Maklum saja, wanita itu tak pernah mengijinkan kisah cinta memasuki hidupnya yang kelabu. Selama ini Irish hanya sibuk bekerja dan bekerja. "Sayang, aku merindukanmu. Ke mana saja kamu selama ini?" Darren melepas pelukan dan bertanya. Irish yang kebingungan memandang Nyonya Wina. Mereka belum membicarakan skenario bagaimana seorang Thea bisa sampai di sini. "Bunda tidak sengaja bertemu dengannya. Setelah kecelakaan itu keluarganya membawa Thea berobat ke luar negeri. Benar, 'kan Thea?" sambar Nyonya Wina. "I-iya, itu benar," respon Irish terbata. "Tolong temani Darren sebentar, Thea sambil menunggu makan malam," pesan si Nyonya besar sebelum beringsut. Irish menggeleng, mulutnya bergerak tanpa bersuara. Ia tak ingin ditinggalkan hanya berdua saja dengan Darren. Namun Nyonya Wina hanya tersenyum, seakan yakin jika Irish akan memainkan perannya dengan baik. Blam! Pintu hitam yang terbuat dari kayu solid itu tertutup kembali. Tersisa Irish yang masih berdiri canggung. Wanita dengan dress putih itu baru menyadari jika Darren tak melepas tangannya sama sekali. "Kemarilah, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan." Darren duduk di sofa dan menariknya lembut agar mau duduk di sampingnya juga. Satu jam yang sangat menyiksa. Setidaknya itulah yang Irish rasakan. Ia hanya menjadi pendengar dan sesekali menjawab, 'oh', 'benarkah?', dan 'aku tidak ingat'. Sedari tadi pria charming di sampingnya itu membicarakan hal yang tak ia mengerti. Hingga akhirnya seorang pelayan datang dan mengingatkan mereka jika makan malam telah siap. Irish mendesah lega, ia mengira setelah ini situasi akan lebih mudah untuknya. Wanita itu belum mengetahui takdir yang akan mengubah hidupnya tak lama lagi. Dengan langkah tenang, Irish berhasil menuntun Darren menuju ruang makan. Nyonya Wina tak bisa menyembunyikan raut bahagianya karena kini putranya itu mau menikmati waktu makan di luar kamar. Tiga orang duduk bersama. Hanya Iris yang merasa canggung. Sementara itu di depannya telah tersaji berbagai menu makan malam lezat dan mewah. "Kamu mau coba udang asam manis buatan Tante, Thea?" Nyonya Wina menawarkan. "Boleh, Tante," jawab Irish senang, sejak dulu ia sangat menyukai udang. "Sayang, bukankah kamu alergi udang?" Darren bersuara dan sontak saja dua wanita berbeda generasi itu saling pandang. ***Arthur menatap sekeliling ruangan dengan cemas. Setiap sudut ruangan penuh dengan penjaga yang mengenakan pakaian serba hitam, terlihat garang dan siap untuk mencegah siapa pun yang mencoba mengganggu jalannya acara. Di luar, Arthur bisa merasakan suasana yang sama menindas. Ruangan yang luas ini terasa lebih seperti penjara, tempat di mana siapa pun yang hadir hanyalah barang yang bisa diperdagangkan.Di atas panggung, Irish berdiri dengan tatapan kosong, seolah tak menyadari apapun yang terjadi di sekitarnya. Arthur menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. Ia tahu betul bahwa untuk bisa membawa Irish pergi, ia harus mematuhi aturan yang ada. Tidak ada jalan lain.Tiba-tiba, suara host terdengar lagi, memecah ketegangan di dalam ruangan."Saudara-saudara, mari kita mulai pelelangan ini. Yang pertama, harga pembukaan untuk produk kita malam ini adalah lima puluh juta," katanya sambil menunjukkan papan angka 5 yang diangkat oleh seorang pria gemuk dengan kepala botak. Arthur menger
Beberapa hari berlalu sejak percakapan dengan ibunya, dan Arthur masih terjebak dalam kebingungannya. Malam itu, ia duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang gelap. Pikirannya berkecamuk tentang Irish, dan ia merasa semakin putus asa. Semua petunjuk yang ia dapatkan berujung buntu. Saat hendak menutup laptopnya, sebuah notifikasi email muncul di layar. Nama pengirimnya kosong, hanya sebuah alamat email yang tak dikenalnya. Arthur ragu sejenak, namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia membuka email itu. Undangan Privé - Mister BDi dalam email tersebut, terdapat sebuah pesan singkat dan sebuah lampiran berupa gambar undangan. "Tuan Arthur, kami mengundang Anda untuk hadir dalam acara eksklusif yang akan diselenggarakan oleh Tuan Bastian. Acara ini hanya untuk tamu terpilih. Harap hadir sesuai petunjuk di bawah ini. Acara akan berlangsung pada 24 Januari, 19:00 WIB."Lampiran yang disertakan menunjukkan undangan elegan dengan kode rahasia yang tertulis di sudut
Arthur melangkah mondar-mandir di dalam ruangan di kantornya. Sudah seminggu lebih sejak Irish menghilang, dan setiap harinya terasa seperti siksaan. Ia menatap ponselnya dengan putus asa, berharap ada pesan atau panggilan yang datang dari Irish, tetapi harapan itu selalu berakhir dengan kekecewaan. "Aku seharusnya menjagamu… Aku seharusnya tahu ada sesuatu yang salah," bisiknya, suaranya parau penuh penyesalan. Arthur mengepalkan tangannya, memukul meja di depannya hingga beberapa barang terjatuh. Kenangan bersama Irish terlintas di benaknya—Irish yang selalu ceria meskipun menghadapi banyak kesulitan. Irish yang, tanpa ia sadari, telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. "Dimana kamu sekarang?" Arthur menggumam pelan, tatapannya kosong. Hari-harinya terus berlalu dengan hampa. Semua yang dulu berarti baginya terasa tak penting lagi. Arthur, yang dikenal sebagai pria tangguh dan penuh percaya diri, kini berubah menjadi seseorang yang hampir tak dikenali. Malamnya.Ballro
Irish berjalan tanpa arah, hanya mengikuti instingnya yang ingin menjauh sejauh mungkin dari apartemen tempat ia dikurung. Dengan perasaan cemas dan tanpa membawa ponsel maupun uang, ia merasa semakin terasing di tengah keramaian kota. Langkah-langkahnya mulai melambat seiring rasa lelah yang menjalar di seluruh tubuh. Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah halte kecil di pinggir jalan. Area itu tidak terlalu ramai—hanya sesekali sebuah kendaraan melintas. Irish duduk di bangku halte, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara pikirannya dipenuhi kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Tanpa ia sadari, sejak beberapa menit lalu, sebuah van hitam telah membuntutinya dari kejauhan. Di dalam kendaraan itu, Pedro duduk di kursi belakang dengan tatapan tajam. Sosok pria berperawakan besar dan berwajah dingin itu tampak puas melihat Irish akhirnya berhenti di tempat sepi. “Kau yakin itu dia?” tanya salah satu anak buahny
Irish membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya bisa melihat dengan jelas sekelilingnya. Kamar bernuansa putih itu tampak sama seperti sebelumnya—bersih, rapi, tanpa satu pun benda yang menunjukkan waktu. Tidak ada jam, tidak ada kalender. Hanya sebuah jendela besar di satu sisi kamar yang membiarkan cahaya matahari masuk, menyinari lantai kayu yang mengkilap. Ia duduk di ranjang, memijit pelipisnya, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Sudah berapa lama ia berada di tempat ini? Tiga hari? Satu minggu? Ia tak tahu. Setiap hari terasa sama—bangun, makan, menatap keluar jendela, dan berharap ada sesuatu yang berubah. Dengan langkah pelan, Irish bangkit dari ranjang dan berjalan menuju jendela. Dari sana, ia bisa melihat pemandangan kota yang ramai—gedung-gedung tinggi menjulang, mobil-mobil berlalu lalang, dan orang-orang yang berjalan terburu-buru di trotoar. Semuanya tampak normal, seolah ia hanyalah bagian kecil dari dunia yang bergerak tanpa
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na