Laju mobil putih membelah kepadatan pusat kota siang itu. Di dalamnya, terdapat sepasang pria dan wanita yang sedang beradu argumen.
"Lihat saja, Darren, bundamu masih tidak mau menerimaku sebagai menantu. Percuma saja aku datang jauh-jauh dari Singapura jika yang kudapat cuma penolakan," ujar wanita cantik dengan dress salem gusar. "Tenang, Sayang. Bunda pasti menerima pernikahan kita, hanya tinggal menunggu waktu." Pria tampan di belakang kemudi berusaha fokus pada jalan. Meski demikian satu tangannya menggenggam tangan si wanita. "Sampai kapan? Dua tahun seperti ini. Aku lelah. Mungkin ucapan bundamu benar jika aku bukan calon istri yang baik." Wanita bernama Thea itu menepis sentuhan Darren. "Thea, kamu adalah calon istri terbaik. Ingat pesan dokter. Kamu tidak boleh stress," ujar Darren yang masih tampak sabar menghadapi omelan wanitanya. Pria itu bahkan menggapai kembali tangan Thea dan menciumnya. "Tapi aku juga- Darren, awass!!!" Thea tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena mobil yang mereka naiki hampir menabrak truk besar yang menyalip berlawanan arah. Darren refleks memutar kemudi untuk menghindar tapi yang terjadi justru mobil itu terguling sebelum akhirnya menabrak pembatas jalan. ** Tiga bulan kemudian. Suasana rumah sakit di tengah kota siang menjelang sore berlangsung seperti biasa. Dua tiga perawat berjalan di koridor yang hening. Satu pintu ruang inap kelas menengah terbuka dari dalam. Sosok wanita manis berpenampilan casual muncul lengkap dengan ekspresi murung. Irish namanya. Wanita dua puluh empat tahun itu baru saja mengunjungi adik perempuannya yang sejak satu bulan lalu dirawat karena penyakit jantung bawaan. "Pasien membutuhkan operasi segera." Masih terngiang bagaimana kata-kata dokter beberapa hari lalu mengenai kondisi sang adik. Irish tergelak lemah, selaras dengan langkahnya keluar dari bangunan rumah sakit. Tentu ia ingin operasi adiknya segera dilakukan. Tapi apalah daya jika tindakan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terlebih wanita itu baru dua minggu bekerja di sebuah toko cake sebagai kasir. "Jam berapa ini?" Irish memeriksa jam tangan begitu sampai di halte bus terdekat. "Astaga! Aku hampir terlambat," rutuknya pada diri sendiri. Beruntung tak lama kemudian muncul bus yang akan membawanya ke sisi lain kota. Dan di sinilah Irish sekarang, dengan seragam putih dan hitam khas staff training dengan apron pink soft. "Kamu terlambat lima menit," ujar rekan kerja bernama Rani. "Iya, Kak." Irish tersenyum simpul lalu bergegas ke kasir untuk mengganti teman beda shift-nya. Dua jam kemudian, wanita dengan setelan sederhana memasuki toko cake dan roti bernuansa putih tersebut. Dengan ragu ia memeriksa tart cake beserta harganya lalu berjalan hati-hati menuju kasir. "Selamat sore, Ibu. Mau cari cake untuk acara apa?" sambut Irish dengan senyum ramah. "Mbak, saya mau beli cake ulang tahun untuk anak saya. Apa ada yang harganya di bawah seratus ribu?" Ibu tanpa nama itu memandangi satu per satu cake yang tersedia di etalase dekat kasir. Irish memandang wanita tersebut iba. Mendadak ia teringat akan mendiang ibunya yang menjadi single parent dan tulang punggung keluarga. Wanita tegar yang akan melakukan apa saja demi anak-anaknya hingga penyakit jantung merenggut nyawanya dua tahun silam. "Ibu pilih saja mau cake yang mana, hari ini kami ada diskon," ujar Irish lirih, khawatir ada orang lain yang mendengar. "Benar, Mbak?" seru si ibu tak percaya sekaligus senang. Irish mengangguk dan lima menit kemudian ia membungkus velvet cake dengan hiasan buah segar. Setelah si ibu pergi, ia menambahkan seratus lima puluh ribu pada mesin kasir. Nyatanya 'diskon' itu adalah idenya sendiri. Beberapa meter dari meja kasir, Irish tidak sadar jika tindak-tanduknya sedari tadi telah diperhatikan oleh dua orang. Wanita dengan dress merah yang tak lain adalah pemilik toko yang hari itu datang berkunjung dan Tina, si kepala toko. "Siapa dia?" tanya Nyonya Wina sambil terus memperhatikan Irish yang lanjut bekerja. "Dia kasir baru, Bu. Maaf, saya tidak tahu dia akan lancang seperti itu. Seharusnya saya lebih berhati-hati dalam menerima karyawati," Tina berucap sambil menundukkan kepala. "Tidak, minta dia temui saya sekarang juga." Nyonya Wina bersuara dengan wajah datar lalu memasuki ruangan khusus untuknya di lantai dua. Tak menunggu waktu lama, Irish telah berada di depan pintu ruangan Nyonya Wina yang tertutup. Wanita itu berulang kali membuang napas, berusaha tetap tenang walau ucapan Rani baru saja cukup mengusik pikirannya. "Hati-hati lho, Rish. Kalau Bu Wina sudah manggil biasanya negur terus langsung disuruh resign." Irish menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap kekhawatirannya tidak terjadi. Memangnya kesalahan apa yang telah ia lakukan? Dan lagi, ia sangat membutuhkan pekerjaan ini demi membayar biaya rumah sakit adik perempuannya, Nora. Tok. Tok. "Masuk." Dengan patuh wanita muda itu masuk setelah membuka pintu. Nyonya Wina duduk di kursi nyaman, membaca lembaran yang Irish yakini adalah CV atas namanya ketika melamar tiga minggu lalu. "Ibu memanggil saya?" tanya Irish ragu. "Ya, silahkan duduk. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan." Mendapat perintah seperti itu, Irish duduk di kursi lain. Meja kaca menjadi pemisah di antara mereka. Dengan harap-harap cemas wanita itu menunggu. "Siapa namamu?" "Irish, Bu." "Nama lengkap." "Irish Magnolia," jawab wanita muda itu. Ia sedikit bingung karena ini layaknya sesi interview bersama Tina. "Baik, Irish. Saya telah melihat apa yang kamu lakukan di toko saya. Kamu memberi diskon tanpa ijin? Kamu tahu itu telah melanggar SOP?" Wanita paruh baya dengan kulit bercahaya itu menatap Irish lurus. "Tentang itu saya minta maaf, Bu. Saya bisa menjelaskan kalau-" Irish gegas menerangkan tetapi terpotong. "Jangan panik begitu, saya memanggil kamu ke sini bukan untuk memberi hukuman." Tiba-tiba ekspresi Nyonya Wina melunak. "Ibu bukan mau memecat saya?" Irish memastikan posisinya. "Tidak, tentu saja tidak. Tapi saya ingin menawarkan pekerjaan lain." "Maaf, Bu?" Irish memandang si bos tak mengerti. "Saya tahu kamu sedang membutuhkan uang saat ini dan saya akan memberi bayaran yang pantas untuk pekerjaan baru. Tiga milyar?" tawar Nyonya Wina santai. Mendengar nominal itu, Irish menelan saliva. Pekerjaan apa yang akan wanita itu tawarkan dengan gaji fantastis? Bagaimana jika pekerjaannya melanggar hukum? Tapi uang itu lebih dari cukup untuk biaya operasi Nora. "Irish?" panggil Nyonya Wina saat mendapati wanita muda itu justru terdiam. "Ehm, iya Bu?" Lamunan Irish buyar begitu saja. "Bagaimana? Kamu berminat?" Nyonya Wina tersenyum. "Pekerjaan apa yang Anda maksud?" tanya Irish lirih, mirip cicitan. "Selama dua bulan dimulai dari hari ini, saya mau kamu berpura-pura menjadi calon menantu saya. Theana Waverly," terang Nyonya Wina padat, lugas tapi mampu membuat Irish nyaris ternganga. ***Arthur menatap sekeliling ruangan dengan cemas. Setiap sudut ruangan penuh dengan penjaga yang mengenakan pakaian serba hitam, terlihat garang dan siap untuk mencegah siapa pun yang mencoba mengganggu jalannya acara. Di luar, Arthur bisa merasakan suasana yang sama menindas. Ruangan yang luas ini terasa lebih seperti penjara, tempat di mana siapa pun yang hadir hanyalah barang yang bisa diperdagangkan.Di atas panggung, Irish berdiri dengan tatapan kosong, seolah tak menyadari apapun yang terjadi di sekitarnya. Arthur menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. Ia tahu betul bahwa untuk bisa membawa Irish pergi, ia harus mematuhi aturan yang ada. Tidak ada jalan lain.Tiba-tiba, suara host terdengar lagi, memecah ketegangan di dalam ruangan."Saudara-saudara, mari kita mulai pelelangan ini. Yang pertama, harga pembukaan untuk produk kita malam ini adalah lima puluh juta," katanya sambil menunjukkan papan angka 5 yang diangkat oleh seorang pria gemuk dengan kepala botak. Arthur menger
Beberapa hari berlalu sejak percakapan dengan ibunya, dan Arthur masih terjebak dalam kebingungannya. Malam itu, ia duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer yang gelap. Pikirannya berkecamuk tentang Irish, dan ia merasa semakin putus asa. Semua petunjuk yang ia dapatkan berujung buntu. Saat hendak menutup laptopnya, sebuah notifikasi email muncul di layar. Nama pengirimnya kosong, hanya sebuah alamat email yang tak dikenalnya. Arthur ragu sejenak, namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia membuka email itu. Undangan Privé - Mister BDi dalam email tersebut, terdapat sebuah pesan singkat dan sebuah lampiran berupa gambar undangan. "Tuan Arthur, kami mengundang Anda untuk hadir dalam acara eksklusif yang akan diselenggarakan oleh Tuan Bastian. Acara ini hanya untuk tamu terpilih. Harap hadir sesuai petunjuk di bawah ini. Acara akan berlangsung pada 24 Januari, 19:00 WIB."Lampiran yang disertakan menunjukkan undangan elegan dengan kode rahasia yang tertulis di sudut
Arthur melangkah mondar-mandir di dalam ruangan di kantornya. Sudah seminggu lebih sejak Irish menghilang, dan setiap harinya terasa seperti siksaan. Ia menatap ponselnya dengan putus asa, berharap ada pesan atau panggilan yang datang dari Irish, tetapi harapan itu selalu berakhir dengan kekecewaan. "Aku seharusnya menjagamu… Aku seharusnya tahu ada sesuatu yang salah," bisiknya, suaranya parau penuh penyesalan. Arthur mengepalkan tangannya, memukul meja di depannya hingga beberapa barang terjatuh. Kenangan bersama Irish terlintas di benaknya—Irish yang selalu ceria meskipun menghadapi banyak kesulitan. Irish yang, tanpa ia sadari, telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. "Dimana kamu sekarang?" Arthur menggumam pelan, tatapannya kosong. Hari-harinya terus berlalu dengan hampa. Semua yang dulu berarti baginya terasa tak penting lagi. Arthur, yang dikenal sebagai pria tangguh dan penuh percaya diri, kini berubah menjadi seseorang yang hampir tak dikenali. Malamnya.Ballro
Irish berjalan tanpa arah, hanya mengikuti instingnya yang ingin menjauh sejauh mungkin dari apartemen tempat ia dikurung. Dengan perasaan cemas dan tanpa membawa ponsel maupun uang, ia merasa semakin terasing di tengah keramaian kota. Langkah-langkahnya mulai melambat seiring rasa lelah yang menjalar di seluruh tubuh. Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah halte kecil di pinggir jalan. Area itu tidak terlalu ramai—hanya sesekali sebuah kendaraan melintas. Irish duduk di bangku halte, mencoba mengatur napasnya yang memburu. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara pikirannya dipenuhi kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Tanpa ia sadari, sejak beberapa menit lalu, sebuah van hitam telah membuntutinya dari kejauhan. Di dalam kendaraan itu, Pedro duduk di kursi belakang dengan tatapan tajam. Sosok pria berperawakan besar dan berwajah dingin itu tampak puas melihat Irish akhirnya berhenti di tempat sepi. “Kau yakin itu dia?” tanya salah satu anak buahny
Irish membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya bisa melihat dengan jelas sekelilingnya. Kamar bernuansa putih itu tampak sama seperti sebelumnya—bersih, rapi, tanpa satu pun benda yang menunjukkan waktu. Tidak ada jam, tidak ada kalender. Hanya sebuah jendela besar di satu sisi kamar yang membiarkan cahaya matahari masuk, menyinari lantai kayu yang mengkilap. Ia duduk di ranjang, memijit pelipisnya, mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Sudah berapa lama ia berada di tempat ini? Tiga hari? Satu minggu? Ia tak tahu. Setiap hari terasa sama—bangun, makan, menatap keluar jendela, dan berharap ada sesuatu yang berubah. Dengan langkah pelan, Irish bangkit dari ranjang dan berjalan menuju jendela. Dari sana, ia bisa melihat pemandangan kota yang ramai—gedung-gedung tinggi menjulang, mobil-mobil berlalu lalang, dan orang-orang yang berjalan terburu-buru di trotoar. Semuanya tampak normal, seolah ia hanyalah bagian kecil dari dunia yang bergerak tanpa
Malamnya, Arthur tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Sikap ‘Irish’ yang semakin aneh membuatnya resah, terlebih ucapan dingin wanita itu di balkon tadi malam. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan langkah hati-hati, Arthur berjalan menyusuri koridor menuju kamar Thea. Lampu-lampu di mansion redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela besar di ujung lorong. Arthur berhenti di depan kamar Thea. Pintu kamar itu tertutup, tetapi samar-samar ia mendengar suara seseorang berbicara di dalam. Arthur mendekat, menempelkan telinganya ke pintu. Suara itu milik Thea. Awalnya terdengar samar, tetapi kemudian ia bisa menangkap kata-kata yang diucapkan dengan jelas. “Alann, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir,” suara Thea terdengar tenang, tetapi Arthur bisa menangkap nada ketidaksabaran di dalamnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Arthur menahan napas. Na