Home / Romansa / Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder / 3. Keinginan Untuk Tumbuh

Share

3. Keinginan Untuk Tumbuh

Author: Sandra Dhee
last update Last Updated: 2025-10-11 06:16:27

"Terima kasih," ucap Rose sekilas.

"Sudah lama juga saya bermimpi bisa bekerja sama dengan Anda. Saya akan mengangkat karir model Anda lagi seperti dulu. Bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Jika Anda tertarik, Anda bisa datang mencari saya." jelas Ethan.

Rose menatap pria itu, tapi karena tatapannya terlalu menusuk, ia langsung mengalihkan pandangan.

"Aku... Sudah lama meninggalkan dunia itu."

"Sayang sekali..." gumam Ethan, "Begini saja. Anda bisa memikirkannya baik-baik. Saya akan menggelar pameran dalam waktu dekat, dan saya ingin bekerja sama dengan Anda di pameran tersebut. Judulnya... 'wajah di balik topeng'."

Ethan kembali memberikan sebuah kertas. Kali ini undangan acara pameran yang ia maksud. Rose menelan ludah. Ia merasa tema acara itu sangat sesuai dengan kehidupannya.

"Entah mengapa, saya merasa Anda sangat cocok untuk menjadi model saya dalam acara ini. Saya yakin Anda juga merasakannya," tambah Ethan seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Rose.

Rose ingin berbicara, entah menolak atau menerima tawaran tersebut, tapi Noah tiba-tiba muncul di pintu teras.

“Rose,” panggilnya lembut namun mengandung peringatan. “Aku mencarimu.”

Rose menoleh pelan, matanya kembali berubah dingin. “Aku butuh udara segar. Apa itu masalah?”

Noah menatap Ethan sekilas, pandangan khas pria berkuasa yang menilai seseorang dari penampilan. “Kau fotografer?”

Ethan mengangguk sopan. “Ya, Tuan Ferdinand. Ethan Knoxx, dari Society Vision.”

“Baik. Pekerjaan sudah selesai?”

“Sudah hampir, Tuan.”

“Kalau begitu, pastikan tidak ada foto yang tidak pantas dipublikasikan,” suara Noah datar, tapi mengandung perintah.

Ethan menahan diri untuk tidak membalas. “Tentu.”

Noah kemudian menoleh ke Rose. “Kita harus kembali. Tamu sudah menunggu.”

Rose menatap suaminya lama, lalu menatap Ethan sekilas. Tatapan mereka bertemu sekali lagi. Singkat, tapi kali ini lebih dalam.

Ada sesuatu yang tidak terucap di antara mereka. Sebuah janji samar bahwa pertemuan ini belum berakhir.

Rose melangkah pergi bersama Noah, namun hatinya tertinggal di teras hotel, bersama pria berjaket denim yang memotret dunia tanpa topeng.

Dan di malam yang dipenuhi kebohongan itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rose merasa benar-benar terlihat.

***

Lampu-lampu hotel masih berkilauan saat malam semakin larut. Musik berganti menjadi nada yang lebih lembut, dan para tamu yang tersisa terlihat setengah mabuk oleh tawa, anggur, dan kesan kemewahan.

Namun bagi Rose, semuanya terasa seperti kabut yang tebal, pengap, dan penuh kepalsuan.

Sudah lebih dari tiga jam ia tersenyum, menjawab ucapan selamat, dan berfoto dengan wajah bahagia yang sudah tak ia kenali sendiri. Pipinya pegal dan hatinya terasa perih. Setiap kali Noah menoleh, ia tetap tersenyum. Tapi di balik senyum itu, Rose hanya ingin berteriak.

Ia ingin pulang. Ia ingin lepas dari sorot lampu, dari kamera, dari dunia yang menuntutnya menjadi sempurna padahal jiwanya nyaris runtuh.

Rose meneguk sisa air mineral di gelasnya dan berbisik pelan, “Aku ingin pulang, Noah.”

Noah masih sibuk berbicara dengan dua pria dari dewan direksi Hamilton Group. Ia menoleh sekilas tanpa benar-benar memperhatikan.

“Sebentar lagi, sayang. Mereka datang jauh-jauh hanya untuk membicarakan proyek baru. Aku tak bisa meninggalkan mereka begitu saja.”

“Tapi ini sudah larut,” suara Rose bergetar tapi tegas. “Aku lelah.”

Noah menarik napas pendek, menekan rahangnya agar tak menunjukkan kesal di depan orang lain. Ia berbalik, menepuk bahu salah satu koleganya, lalu mendekat ke Rose.

“Kalau begitu, kau pulang duluan saja. Aku akan menyusul setelah selesai.”

Rose menatapnya lama. “Sendirian?”

Noah tersenyum palsu. “Aku tidak ingin kau menunggu terlalu lama. Aku akan menyusul, aku janji.”

Janji. Kata yang sudah kehilangan maknanya dalam hati Rose.

Rose pun menunduk, lalu berkata pelan, “Baik. Nikmati saja pestanya.”

Nada suaranya datar, tapi dinginnya cukup untuk membuat Noah mengerjap sesaat. Namun ia tidak menahan Rose. Tidak malam ini.

Rose mengambil clutch kecilnya, berpamitan dengan beberapa tamu yang memperhatikannya, dan berjalan menuju pintu keluar dengan langkah tenang. Tapi setiap langkah itu terasa berat, seperti berjalan di atas pecahan kaca. Apalagi saat Rose mengedarkan pandangan, ia menangkap sosok Giselle di meja lain. Wanita itu sedang duduk dengan tatapan tersirat yang ditujukan pada Noah, suaminya.

Rose mendengus, tiba-tiba merasa jijik melihat mereka berdua. Dan dia sedang tak mau meributkan soal itu. Tidak malam ini.

Begitu melewati pintu kaca besar hotel, udara malam langsung menyambut dengan aroma tanah basah. Langit tampak gelap pekat, dan butiran air mulai jatuh satu per satu. Dalam hitungan detik, hujan turun dengan deras, menimpa trotoar dan memantulkan cahaya lampu kota.

Rose berhenti di bawah kanopi pintu masuk, menatap air yang mengguyur dengan tatapan kosong. Supir pribadinya sudah menunggu di depan.

“Nyonya Rose!” pria itu segera berlari kecil membuka payung dan membukakan pintu mobil.

Rose melangkah cepat di bawah payung, tapi angin malam membuat hujan menyelinap dari sisi kanan. Setetes, dua tetes, lalu semakin banyak. Saat ia masuk ke mobil, bagian bawah gaunnya sudah basah. Ujung kain sutra mahal itu menempel di kulitnya, dingin dan berat.

Pintu mobil tertutup. Dunia di luar berubah menjadi kabur di balik kaca berembun.

Rose duduk diam. Ia memandangi hujan yang menetes di jendela, menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca yang bergetar. Wajah seorang perempuan yang berusaha kuat, padahal kenyataannya sangat lelah.

Ia menyandarkan kepala di kursi kulit mobil dan menutup mata. Suara hujan menggantikan musik gala yang tadi memenuhi telinganya. Dan entah mengapa, suara itu terasa lebih jujur di telinganya.

“Madam, kita langsung ke rumah?” tanya sopir dari balik kemudi.

Rose membuka mata perlahan. “Ya. Langsung pulang.”

Mobil mulai bergerak, meninggalkan gemerlap hotel yang kini hanya tampak sebagai bayangan di kaca spion.

Namun pikirannya tidak ikut pergi. Ia masih tertinggal di balkon itu. Diantara bayangan Noah dan Giselle dan di antara ciuman yang seharusnya tidak pernah ia lihat. Setiap tetes hujan di kaca seolah mengulang kembali adegan itu, menciptakan gema yang tak bisa ia hentikan.

Rose menatap gaunnya yang kini sebagian lembap. Warna merah anggur yang dulu ia pilih dengan penuh semangat kini tampak gelap, seperti darah yang mengering. Ia mengelus kainnya pelan, lalu tersenyum pahit.

“Lucu,” bisiknya lirih. “Bahkan hujan pun tahu kapan harus turun.”

Ia menatap keluar jendela lagi. Jalanan kota berkilau oleh genangan air dan lampu-lampu. Mobil-mobil berlalu, orang-orang berlari mencari teduh, sementara dirinya hanya duduk di dalam mobil mewah. Sendirian dalam kesepian yang berlapis kemewahan.

Di matanya, pesta itu kini tampak seperti mimpi buruk yang dibungkus glitter. Semua tepuk tangan, semua kamera, semua tawa palsu…

Semua hanya topeng. Dan topeng itu, perlahan, mulai retak.

Rose menggenggam tangan kirinya yang dingin. Hujan menetes di kaca, membentuk garis-garis panjang seperti air mata. Ia pun mengembuskan napas berat.

Malam ini, untuk pertama kalinya, ia tidak berusaha menahan perasaan itu. Ia membiarkan dirinya merasa hancur.

Membiarkan gaun mahalnya basah.

Membiarkan hatinya mengakui kebenaran yang selama ini ia tolak.

Cinta mereka mungkin sudah mati, tapi Rose tahu… dirinya belum.

Rose mengeluarkan kartu nama kecil dari clutchnya dan membacanya pelan. Noah Knoxx.

Pria itu menarik perhatiannya. Bukan karena ketampanan atau penampilannya, melainkan ada sesuatu yang hangat dan jujur di dalam sana. Selain itu, tawarannya pada Rose benar-benar menggiurkan. Apakah ini adalah pertanda bahwa Rose harus kembali menjalani dunia modelnya? Apakah ini jalan yang diberikan agar Rose bisa terlepas dari belenggu sepi yang diciptakan Noah?

Dan di tengah suara hujan yang tak berhenti, ada bisikan lembut di benaknya. Sebuah keinginan yang baru tumbuh, untuk tidak lagi menjadi bagian dari kepura-puraan dan kesepian yang selama ini ia jalani.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   5. Rasa di Balik Lensa

    “Kau datang tepat waktu,” kata Ethan sambil mendekat. “Kupikir kau mungkin berubah pikiran.”Rose mengerjap pelan. “Mungkin. Hampir saja. Tapi pagi ini tiba-tiba rasanya terlalu tenang untuk dihabiskan sendirian.”Ethan menatapnya sejenak, seolah mempelajari wajahnya lewat lensa yang tak kasatmata. “Kau terlihat berbeda dari semalam.”“Berbeda bagaimana?”“Lebih… segar dan bersemangat,” ujarnya sambil tersenyum samar. “Mungkin karena sinar matahari, atau mungkin karena kau akhirnya melepaskan sesuatu.”Rose tak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah dinding yang penuh dengan foto-foto hitam putih maupun berwarna. Potret lanskap, manusia, dan beberapa wajah yang tampak terlalu jujur untuk disebut ‘pose’.“Fotomu terasa jujur,” katanya pelan. “Tidak banyak yang berani memotret seperti ini. Kebanyakan orang ingin terlihat sempurna.”“Kesempurnaan membosankan,” jawab Ethan ringan. “Aku lebih suka kejujuran, meskipun bentuknya retak.”Kata-kata itu membuat Rose menoleh. Tatapan mereka bertemu

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   4. Sindiran Tajam

    Suara hujan sudah berhenti ketika Rose tiba di rumah tengah malam. Udara lembap masih menempel di kulitnya, dan ujung gaun merah anggur itu kini kusut serta berat oleh air. Ia tak peduli. Begitu masuk ke kamarnya, Rose langsung melepaskan sepatu hak tinggi yang sejak tadi membelit kakinya, meletakkan clutch nya di meja rias, melepas gaunnya asal-asalan, lalu memakai gaun tidur tipis dan berbaring di ranjang tanpa menghapus make up atau membersihkan diri.Tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih berat adalah pikirannya. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Noah dan Giselle di balkon hotel muncul lagi. Semua tampak jelas, menyakitkan, dan nyata. Ia menarik selimut hingga menutupi dada, berharap bisa tertidur sebelum pikirannya menenggelamkannya lebih dalam.Entah jam berapa akhirnya ia terlelap.Ketika cahaya pagi menembus tirai besar di kamarnya, Rose membuka mata perlahan. Kepalanya sedikit berat, tapi bukan karena alkohol, melainkan karena kenyataan. Ia menoleh ke sisi tempat tidur ya

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   3. Keinginan Untuk Tumbuh

    "Terima kasih," ucap Rose sekilas."Sudah lama juga saya bermimpi bisa bekerja sama dengan Anda. Saya akan mengangkat karir model Anda lagi seperti dulu. Bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Jika Anda tertarik, Anda bisa datang mencari saya." jelas Ethan.Rose menatap pria itu, tapi karena tatapannya terlalu menusuk, ia langsung mengalihkan pandangan."Aku... Sudah lama meninggalkan dunia itu." "Sayang sekali..." gumam Ethan, "Begini saja. Anda bisa memikirkannya baik-baik. Saya akan menggelar pameran dalam waktu dekat, dan saya ingin bekerja sama dengan Anda di pameran tersebut. Judulnya... 'wajah di balik topeng'."Ethan kembali memberikan sebuah kertas. Kali ini undangan acara pameran yang ia maksud. Rose menelan ludah. Ia merasa tema acara itu sangat sesuai dengan kehidupannya."Entah mengapa, saya merasa Anda sangat cocok untuk menjadi model saya dalam acara ini. Saya yakin Anda juga merasakannya," tambah Ethan seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Rose.Rose ingin berbicar

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   2. Tatapan yang Menusuk

    Rose menatap bayangannya di cermin raksasa yang tergantung di sisi ballroom. Senyumnya masih sama seperti lima menit lalu. Terlihat lembut, manis, dan sempurna di hadapan publik. Namun matanya… bukan lagi mata seorang istri yang bahagia.Di dalam pupilnya, ada retakan. Retakan halus yang tak terlihat bagi siapa pun, tapi cukup tajam untuk melukai dirinya sendiri.“Noah dan Rose, mari kembali naik ke atas panggung. Saatnya prosesi tiup lilin!” seru MC dengan semangat.Tamu-tamu bersorak. Tepuk tangan menggema. Rose menoleh pelan, melihat Noah berdiri di ujung ruangan. Pria itu sudah kembali dari balkon seolah tak terjadi apa-apa. Dasi hitamnya masih rapi, wajahnya tenang. Bahkan terlalu tenang untuk pria yang baru saja mencium sekretarisnya.Tatapan mereka bertemu. Rose tidak berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin, tajam, dan menusuk sampai ke dasar nurani. Noah sempat tertegun sepersekian detik sebelum memasang senyum yang nyaris terlihat kaku.Ia melangkah menghampiri Rose, menyod

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   1. Ulang Tahun Pernikahan

    Lampu kristal berkilauan bagaikan ribuan bintang yang jatuh ke bumi. Ballroom Hotel Imperial malam itu dipenuhi kilau gaun-gaun rancangan desainer internasional, setelan jas terbaik, dan senyum yang penuh kepura-puraan. Semua orang datang bukan hanya untuk merayakan ulang tahun pernikahan ke-5 Rose dan Noah, tetapi juga untuk menjadi bagian dari pesta paling bergengsi tahun ini.Rose berdiri di tengah ruangan, mengenakan gaun merah anggur dengan potongan leher berbentuk hati, membalut tubuhnya dengan elegan. Rambut panjangnya disanggul setengah ke atas, menyisakan beberapa helai bergelombang yang jatuh manis di bahu. Malam ini, ia tahu, semua mata tertuju padanya. Ia sudah terbiasa dengan sorot kamera, dengan bisikan iri sekaligus kagum dari kalangan sosialita. Ia adalah Olivia Rose, istri Noah Ferdinand. Pengusaha muda yang menjadi penerus satu-satunya tahta bisnis raksasa keluarga Ferdinand Group.Namun, di balik tatapan anggun dan senyuman yang ia pajang, jantung Rose berdegup lebi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status